the secret of normal
...
Aku berjalan memasuki bar dengan semangat yang sudah padam. Berlawanan dengan lampu hiasan natal meriah yang menghiasi seluruh dinding bar kecil ini, lampu yang ada di dalam diriku gelap gulita. Retak sejak entah kapan dan hancur berkeping-keping baru saja.
Di bar yang cukup sepi ini—karena kebanyakan penduduk kota ini sudah pulang ke kampung masing-masing—seorang pria tua tampak membersihkan meja bar dengan kain. Beberapa orang lainnya sedang mendiskusikan banyak hal, dan dua-tiga orang duduk di bar dengan wajah memerah—mungkin mereka mabuk.
Aku duduk di kursi paling ujung, tersembunyi dan gelap. Pria tua itu mendatangiku dengan kain lapnya.
"Ho, halo, Sunshine." Ia tersenyum. "Sendirian saja di pojok ini?"
"Aku tidak benar-benar butuh teman," sahutku seraya tersenyum tipis. "Apa minuman yang menurutmu paling enak di sini?"
"Aku suka whiskey," pria itu mengangkat kain lapnya dan menyampirkannya di pundak, "tapi kurasa kau akan lebih suka cocktail ringan yang kubuat ini."
Pria itu pergi sejenak, kembali dengan sebuah tabung besi. Ia memasukkan banyak hal ke dalamnya, mengocoknya, lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas berbentuk aneh. Diberikannya gelas itu padaku, dan anehnya, aku menyukai rasanya.
"Sedang kabur dari masalahmu?" Pria itu bertanya.
Aku mendongak kaget. "Aku tidak menduga pertanyaan itu."
"Aku belum pernah melihatmu mengunjungi bar ini, Sunshine." Ia membersihkan bekas kocokannya tadi dengan kain lapnya. "Dan biasanya setiap orang yang baru kemari pertama kali memiliki masalah."
"Jadi kau langsung mengira aku punya masalah?"
"Kau tampak terhilang, Nak." Pria itu menarik sebuah kursi dan duduk di hadapanku. "Kenapa kau tidak bercerita padaku?"
Aku menatap pria itu. Ia memang sudah terkenal di kota sebagai pria tua yang aneh—tampak seolah-olah ia tahu segalanya, selalu bahagia, dan tidak punya masalah sama sekali. Namun aku percaya padanya, entah bagaimana. Sorot matanya mendorongku untuk bercerita.
"Hanya ... hal-hal nggak penting, kau tahu."
"Semua hal itu penting kalau kau sampai datang ke sini."
Aku menyeringai singkat. "Entahlah. Ada banyak hal tidak penting yang membuatku kecewa."
"Sunshine, kau itu penting. Semua hal yang mengganggumu adalah penting." Pria itu tersenyum. "Jangan meremehkan kekuatan hal-hal 'tidak penting' itu. Seperti sekarang ini, kau sedang bertarung dengan hal-hal 'tidak penting' itu."
"Kurasa begitu." Aku tidak tahu harus menyahut apa.
"Jadi berceritalah."
Sesaat, lidahku tidak bisa mengucapkan apapun. Namun tatapan lembut pria itu seolah mengajakku untuk mulai mengadu. Pada Pria Tua Aneh yang siap menampung curahanku. Entahlah, kurasa aku benar-benar desperate sampai mengeluh pada orang yang sama sekali tidak kukenal ini.
"Ini hanya ... tentang menjadi normal." Aku menatapnya sekilas, sebelum kembali memperhatikan cairan di dalam gelasku. "Aku tidak pernah bisa menjadi normal."
"Dan mengapa kau bilang begitu?"
"Menjadi normal adalah memakai kalung choker hitam. Aku memakainya, dan aku tidak menyukainya. Menjadi normal adalah memakai atasan pendek yang memperlihatkan perutmu. Aku sangat tidak menyukainya. Menjadi normal adalah menggunakan bahasa gaul, dan aku membencinya." Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak akan pernah jadi normal."
Pria itu terdiam sejenak sebelum pergi. Aku menatapnya, tahu ia tidak akan tahan mendengar keluhanku. Jika demikian, untuk apa ia memaksaku bercerita?
Tanpa kusangka, ia kembali dengan sebuah bola di hidungnya—kau tahu, seperti badut. Orang-orang yang pertama kali melihatnya langsung menyeringai lebar, sebagian lagi tertawa. Aku hanya bisa melongo, tidak paham apa yang dilakukannya.
"Apa ini normal, Sunshine?" tanya pria itu sambil menunjuk ke hidungnya.
"Uhm, jelas tidak." Aku mengernyit. "Apa yang kaulakukan?"
"Well, kata orang ini tidak normal." Pria itu melepas bola itu. "Tapi kalau menurutku hal ini normal, apakah salah? Apakah berarti hal ini tidak normal?"
Aku terdiam. "Aku ... tidak paham."
"Menurut orang, pakai tali pencekik itu normal." Pria itu menunjuk ke choker yang kukenakan dengan risi. "Pakai baju kurang bahan yang memperlihatkan perut mereka itu normal. Tapi apa menurutmu itu normal?"
Aku menggeleng.
"Lalu apa yang menurutmu normal?"
"Tidak pakai perhiasan karena kulitku sensitif. Pakai sweter kebesaran milik kakakku yang warnanya pudar dan baunya aneh."
"Nah, kalau itu normal, kenapa kau harus jadi tidak normal dengan pakai pencekik, baju kurang bahan, dan segala macam ketidaknormalan yang lain itu?"
"Well, karena semua orang menganggap hal itu normal."
Pria itu tersenyum, kemudian tertawa. "Ah, Sunshine, aku tahu di mana permasalahanmu."
"Aku tidak."
"Kau terlalu mendengarkan perkataan orang lain terhadapmu, Sunshine." Pria itu kembali duduk. "Begini. Kau dengar mereka bilang pakai pencekik itu keren dan kalau tidak pakai pencekik itu ketinggalan zaman dan 'tidak normal.' Lalu kau pikir kau harus pakai pencekik agar kau dianggap 'normal.' Apa kau paham?"
"Iya ... tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian, Sunshine. Itu yang terjadi padamu sekarang. Kau ingin diterima oleh orang lain di sekitarmu. Karena itu kau berusaha berbaur. Caranya? Dengan menjadi sama seperti mereka, tidak peduli seberapa besar kau benci menjadi mereka."
"Apa itu salah?" Aku menggigit bibirku. Benarkah itu yang terjadi padaku?
"Salah, menurutku." Pria itu menuangkan cocktail ke dalam gelasku yang kosong. "Karena kau jadi lupa siapa kau yang sebenarnya, dan jadi tidak bahagia."
"Maksudmu?"
"Biar kubagi sebuah rahasia, Sunshine. Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan. Apa yang orang bilang mengenaiku?"
"Kau adalah pria tua aneh yang bisa dibilang nyaris gila karena tampak seolah-olah tanpa beban."
Pria itu tertawa sejenak. "Ah, mereka lucu. Kenapa mereka menganggapku tanpa beban?"
"Karena kau selalu tertawa dan tampak bahagia."
"Apa mereka menganggapku normal?"
"Tidak."
"Apa aku bahagia?"
Aku terenyak. Kupandang pria itu, yang sedang menyeringai lebar menanti jawabanku. "Aku akan menjawab iya."
"Aku bahagia karena aku menjalani hidup sesuai dengan yang kuinginkan, Nak." Pria itu tersenyum. "Menurutku mentertawakan segala sesuatu itu normal. Maka aku tertawa. Tapi menurut orang itu tidak normal. Apa aku pusing memikirkan ucapan mereka? Tidak. Aku mentertawakan mereka. Dan aku bahagia."
"Jadi, maksudmu adalah," aku terdiam sejenak, berusaha menyimpulkan semua dalam satu kalimat, "kita tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain?"
"Tepat, Sunshine." Pria itu tersenyum. "Termasuk mengenai 'normal' versi mereka. Karena belum tentu mereka punya definisi normal yang sama denganmu."
Aku termenung.
"Itulah rahasia normal, Sunshine. Setiap orang punya definisi yang berbeda untuk normal. Dan kau tidak perlu mendengarkan versi mereka untuk menjadi 'normal.'"
Aku kini paham. Kuhabiskan cocktail itu dalam sekali tenggak. "Terima kasih. Kau benar-benar telah membantuku."
"Berhenti mendengarkan mereka, Sunshine."
"Siap," aku tersenyum.
"Dengan begitu, kau akan bahagia."
...
if being normal means copying others and losing yourself, why do you still want to be normal? isn't it better to be not normal and feel happy about it?
you have your own version of normal, and it can--it MAY--differ from their definitions. be your own version of normal. you'll be happier that way.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro