Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[boys do cry]

boys do cry

...

"Boys don't cry, boys don't cry, boys don't cry."

Tubuhku merosot jatuh di atap sekolah, berusaha menelan air mata meski terasa sulit. Laki-laki nggak boleh nangis. Laki-laki tidak menangis. Sudah cukup banyak kalimat itu diucapkan oleh orang-orang di sekitarku. Boys don't cry. Laki-laki tidak menangis.

Lima tahun. Memanjat pohon. Jatuh saat hendak meraih cabang pertama pohon itu, yang untungnya tidak jauh dari tanah. Bagiku waktu itu, dunia sudah mau kiamat. Seluruh tubuhku remuk redam sampai aku tidak berani bergerak, takut akan membuatnya semakin parah. Aku menangis. Papa langsung datang sambil berkata, "Laki-laki nggak nangis, Ge."

Tujuh tahun. Belajar sepeda. Rodanya menabrak kerikil di lapangan yang menyebabkan sepeda yang kunaiki dengan laju tinggi langsung menghantam tanah dengan keras. Tulang lenganku serasa patah dan aku yakin kulitku sudah membiru sempurna. Aku ingin menangis. Temanku menghampiri sambil berkata, "Ih, Gerald kayak cewek ya suka nangis. Mana ada laki-laki nangis!"

Sepuluh tahun. Membela teman. Si Penindas yang aku lupa siapa namanya menghantamku di wajah yang membuat pipiku bengkak dan bibirku berdarah. Bekasnya tidak hilang selama seminggu. Sambil menahan rasa sakit aku pun membalasnya. Setelah dilerai oleh guru, aku dibawa ke UKS untuk diobati lukanya. Air mataku menetes sedikit. Sang perawat bilang, "Jangan nangis, laki-laki kok nangis."

Lima belas tahun. Bermain paintball untuk pertama kalinya. Tanpa sengaja bola itu mengenai leherku yang tanpa pelindung. Perih luar biasa, dan rasa sakit itu masih dapat kuingat hingga saat ini. Aku meringis saat petugas mengecek leherku untuk melihat apakah aku terluka atau tidak. Aku benar-benar ingin menangis saat itu. Luka itu benar-benar menyakitkan, aku nyaris mengira aku akan mati. Dan Papa menepuk pundakku, dengan enteng berkata, "Cuma luka kecil. Nggak usah nangis."

Enam belas tahun. Mengikuti lomba sepak bola tingkat provinsi. Setelah pertandingan ketat, tim sekolahku berhasil pulang dengan juara satu, dengan skor 2-1 yang dimenangkan lewat adu penalti. Akulah yang menyumbang tendangan kemenangan itu. Rasanya amat sangat membahagiakan; mimpi yang terwujud nyata. Beberapa temanku pun ikut menangis, bisa bayangkan perasaanku? Tapi Pelatih datang sambil berkata, "Hei, nggak usah nangis. Laki-laki nggak nangis."

Tujuh belas tahun, hari ini. Mendapat kabar bahwa Papa, pria yang telah menyuruhku untuk tidak menangis selama 17 belas tahun kehidupanku, kecelakaan dan sedang dalam kondisi kritis. Sekeras apapun ia padaku, aku amat menyayanginya. Ia mengajariku banyak hal—banyak sekali—mulai dari bersepeda, mengendarai motor dan mobil, sampai menjadi laki-laki yang gentleman dan tahu cara memperlakukan orang lain di sekitarku.

Aku tidak bisa kehilangan Papa.

Tasku sudah ada di sampingku, begitu pula kunci motor, tapi aku tidak bisa berangkat sekarang. Aku ingin menangis untuk Papa; di saat yang sama, aku ingin tegar untuk Papa.

"Boys don't cry," ucapku, seolah sedang merapal mantra. Seolah dengan kalimat itu, air mataku bisa dikembalikan ke tempatnya dan tidak dikeluarkan. Seolah dengan kalimat itu, aku tidak jadi menangis.

Jangan salah, aku benar-benar cowok. Aku bukan tipe cowok yang kecewek-cewekan dan genit atau semacamnya. Aku hanya ingin menangisi seseorang yang sangat kusayangi, karena aku belum memberikan sesuatu yang Papa mau. Aku belum sempat membahagiakan Papa.

Alhasil, aku hanya bisa duduk menengadah. Menatap langit sambil berusaha agar gravitasi tidak menarik air dari mataku. Aku tidak boleh menangis. Demi Papa. Demi pria yang sudah berulang kali menyuruhku agar tidak menangis. Aku tidak boleh menangis. Karena laki-laki tidak menangis.

"Kamu di sini ternyata, Ge."

Suara Ilona membuatku menoleh padanya. Dia adalah teman masa kecilku, berhubung rumah kami berdekatan dan orang tua kami pun bersahabat. Dialah yang berteriak paling keras saat aku jatuh dari pohon. Menuntun sepedaku dan menemaniku pulang setelah aku babak belur menghantam bumi. Si Tertindas yang kulindungi sampai berkelahi. Yang menorehkan luka saat main paintball dan menangis karena telah melukaiku. Yang membuat kue-kurang-gula untuk merayakan kemenanganku di lomba tingkat provinsi.

Ilona menghampiriku dan langsung duduk di sebelahku. Dia langsung menggenggam tanganku erat dan menatapku. Dapat kulihat pula bahwa matanya memerah—dia telah lebih dahulu menangis.

"Aku udah denger dari Tante Rania," ujarnya. Setetes air mata kembali mengalir bebas.

Andai bagiku, menangis segampang itu juga.

"Lon ...." Aku segera menggenggam tangannya.

"Ge, boys do cry." Ilona melepas genggaman tangannya dan langsung memelukku. "Boys do cry, Ge. Nangis aja."

Aku terpaku. Jelas, dia tahu dan kenal kalimat itu, sama baiknya denganku memahami dan hidup selalu mendengarnya. Namun ucapannya bertentangan dengan apa yang harus kupercayai. Apa yang baru saja dia katakan merupakan kebalikan dari apa yang selama ini harus kulakukan.

Aku baru hendak membalas saat ponselku berdering. Dari Tante Merry, ibu Ilona. Jantungku langsung mencelus, takut dengan apa yang belum kudengar. Ilona pun melepas pelukannya, menatap ponselku yang berdering dengan ketakutan yang sama.

Dengan ragu, aku mengangkatnya. "Halo?"

"Halo, Gerald?"

Suara Tante Merry bergetar. Dan di latarnya, aku bisa mendengar tangisan Mama. Seketika, aku paham. Aku paham bahwa aku terlambat.

Entah apa yang dikatakan Tante Merry selanjutnya. Yang kutahu, Ilona merebut ponsel itu dari tanganku, membalas ucapan Tante Merry, lalu menyimpan ponsel itu di dalam tasku. Aku menatapnya kosong, tercekat oleh perasaan yang terasa asing.

"Ge ...," Ilona menepuk pundakku. "Cowok boleh nangis kok. Laki-laki boleh nangis. Jangan ditahan, Ge."

"Boys don't cry, Lon."

"They do." Ilona kembali memelukku. Terisak di dalam lingkar tangannya yang mendekapku. "They do, and that means you do too."

"Tapi—"

"Ge, kalau cowok nggak boleh nangis, mungkin Tuhan nggak akan ngasih mereka air mata."

Ucapan Ilona membuatku tidak tahan lagi. Satu demi satu, air mata terbebas juga, meluncur di pipiku. Aku menyelipkan wajahku dalam lekukan bahu Ilona, akhirnya memutuskan untuk memecahkan tangisku.

"Nangis bukan berarti kamu lemah, Ge." Ilona mengelus punggungku, dan aku mendapatinya menenangkan. "Nangis nggak bikin kamu lemah. Justru nangis itu nunjukin kalau kamu masih punya perasaan. Justru nangis itu nunjukin kalau kamu masih hidup."

Ilona menungguku selesai menangis, sebelum dia melepas pelukannya dan mengulurkan beberapa lembar tisu. Dia membereskan seluruh barangku, lalu mengulurkan kunci motorku. Dia menatapku dengan wajah jelek karena habis menangis—mata dan hidung memerah serta ekspresi pura-pura tangguh. Aku berdiri sambil menghapus jejak air di wajahku.

"Ayo kita pergi ke rumah sakit," ujarnya.

Aku mengangguk.

"Boys do cry, Ge. Itu bukan berarti kamu lemah. Kamu hanya sudah menjadi kuat untuk waktu yang lama."

...

boys can cry. boys do cry. God won't give them feelings and tears if they can't cry.

kadang-kadang, justru kamu perlu nangis biar beban itu nggak terasa terlalu berat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro