Bagian tiga puluh
InsyaAllah, Move On!
Senja sudah bersiap untuk meninggalkan ufuk barat dan akan tergantikan dengan langit hitam kelam tanpa cahaya bulan. Meski begitu, Difan tak berniat untuk bangkit dari duduknya barang sebentar pun. Ia bersandar pada kursi putarnya, memejamkan mata dan mulai membawa jiwanya ke alam mimpi. Pria itu berusaha menghilangkan penat yang seharian ini mengganggu pekerjaannya.
Ia belum ingin pulang meski suasana kantor sore itu sudah lumayan sepi. Pekerjaannya sudah kelar sebelum memasuki waktu asar tadi, tapi ia terus saja mencari kesibukan-kesibukan yang akan membuatnya pulang lebih lambat. Meski lelah, ia menikmati semua ini. Daripada berada di rumah dan terkekang dengan perasaan sesak setiap kali melihat istrinya, pikir Difan.
Pada kubikel di depannya, duduk seorang pria berperawakan sedang menatap ke arahnya. Sudah tiga hari belakangan ini Zaki memperhatikan kerja Difan yang lumayan gesit. Selain itu, Difan juga selalu berusaha mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Pekerjaannya di kantor cukup santai, hanya mendata beberapa bangunan yang akan mereka tangani. Tapi akhir-akhir ini pria berjanggut tipis di depan Zaki itu sering ikut terjun langsung ke lapangan.
Zaki kemudian menghampiri Difan, menepuk bahunya dengan pelan. Hal itu membuat Difan seketika terbangun. Zaki tersenyum ramah ke arah pria yang sudah beberapa bulan belakangan ini menjadi rekan kerjanya.
"Gak pulang, Fan?" tanyanya.
Difan menatap jam yang menempel pada dinding ruangan sebelum menjawab. Sudah lebih dari pukul enam sore. Difan mengusap wajahnya, pelan. "Pulang kok, Ki. Lo duluan aja," ujarnya.
Zaki kemudian mengangguk dan menyampirkan tas punggung yang ia bawa. "Istrirahat ya lo. Pulang, jangan di sini," nasihat Zaki.
Mendengar ucapan pria yang dua tahun lebih tua darinya itu, Difan merasa seperti tengah berbicara dengan Abrian. Dewasa dan selalu berperan sebagai seorang kakak yang menasihati. Ah ... sekarang ia jadi merindukan pria itu.
Difan terkekeh, kemudian mengangguk patuh. "Iya gue pulang kok. Lo duluan aja," ujar Difan seraya menutup laptopnya, dan memasukkan benda itu ke dalam tas kerjanya.
Sebelum meninggalkan Difan, Zaki menepuk pelan bahu pria itu. Ia tahu sebenarnya anak muda yang sudah beristri itu saat ini sedang mengalami sesuatu yang berat dalam hidupnya. Terlihat dari mata sayu dan lelahnya. Bahkan Zaki pun sering sekali menemukan Difan tengah melamun.
Difan mengembuskan napas pelan kemudian bangkit dari duduknya setelah Zaki berlalu. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju parkiran. Mengambil motor besarnya dan mulai keluar dari pelataran parkir tanpa minat.
Sudah satu minggu ini ia berusaha menghindar dari Mentari. Berharap, setiap ia pulang di malam harinya wanita itu akan menunggunya di depan pintu dengan gusar, kemudian menanyakan keadaannya setelah sampai di rumah. Tapi nyatanya setiap kembali ke rumah di malam hari, ia selalu mendapati Mentari tertidur pulas hingga pagi ketika Difan bangun lagi.
Sekarang rasanya ia sudah benar-benar lelah. Tak ada gunannya mendiamkannya jika pada akhirnya Mentari menjadi semakin tak acuh. Bahkan yang Difan dapatkan hanya lelah dan sakit kepala akibat kurang beristirahat.
Difan menepikan kuda besinya di depan sebuah masjid besar di pinggir jalan. Ia ingat kalau ia belum melaksanakan sholat magrib. Pantas saja ia merasa gusar. Bersama motornya ia mulai memasuki pelataran parkir masjid. Dengan buru-buru ia melepas helm full facenya dan melangkah menuju tempat untuk berwudhu.
Selesai wudhu, ia langsung memasuki masjid dan mulai melaksanakan kewajibannya. Di sana, ia mulai berdiri menghadapkan dirinya pada sang Kuasa. Bersimpuh kemudian bersujud di rumahNya. Ada banyak hal yang setiap harinya ia adukan. Tentang rasa lelah dan bosannya, serta keluhan-keluhan yang selama ini membuat hatinya lama-kelamaan menjadi kotor karena sering sekali berprasangka buruk terhadap ketetapan Allah.
Di setiap sujud terakhir, tanpa bisa dicegah air matanya selalu saja berhasil membasahi sajadah tempatnya bersujud. Setiap kali ia ingin menyerah, ketika ia sujud seperti ada bisikan-bisikan halus yang berusaha membuatnya bangkit.
"Allahumma yaa maqllibal qulub... Wahai dzat yang Maha bembolak-balikkan hati. Jika memang takdir kami untuk bersatu, maka satukanlah kami seutuhnya. Bukakanlah sekat yang kini menghalangi langkah kami menuju Ridho-Mu."
"Yaa Allah, Engkau mampu menyatukan kembali Adam dan Hawa setelah terpisah ribuan jarak yang terbentang jutaan tahun cahaya. Dan aku pun percaya, Engkau bisa menyatukan dua hati yang kini saling berpaling." Difan menundukkan kepalnya dalam-dalam. Merendah pada Rabb-nya.
Lama setelah ia selesai berdo'a, suara dari perutnya membuatnya terganggu. Rasa lapar yang tak bisa ditahan terpaksa membuatnya harus meninggalkan rumah suci yang selalu memberikannya ketenangan. Difan kemudian berdiri dan melangkah keluar dari masjid. Sepertinya ia harus mampir di salah satu rumah makan dulu sebelum pulang ke rumah. Karena saat ini, perutnya benar-benar sudah tidak bisa dikondisikan.
***
Di remang-remang lampu kamar bernuansa abu-abu itu, Mentari terus mondar-mandir tak karuan. Sesekali ia menatap jam dinding yang terdapat di atas pintu kamar mandi. Sudah jam sepuluh malam, tapi Difan belum juga kembali. Dan itu membuat Mentari semakin merasa cemas.
Sore tadi, setelah mendengar cerita dan nasihat dari abinya, perasaan bersalah karena sikapnya pada Difan selama ini tidak bisa ditepisnya. Saat itu, setelah selesai sholat magrib Mentari langsung pulang dan menanyakan keberadaan Difan pada ibu mertuannya. Karena biasanya, Difan selalu pulang sebelum sholat magrib. Tapi tadi, yang ia dapatkan hanya gelengan kepala dari wanita yang usianya tidak jauh berbeda dari uminya.
Mentari meremas jemarinya dengan gusar. Ia ingin mencoba menghubungi Difan, tapi sayangnya ia tidak memiliki nomer ponsel pria itu.
Ya Allah...
Istri macam apa yang bahkan menyimpan nomer ponsel suaminya saja tidak. Jika ia meminta pada ibu mertuanya atau Dina, Mentari khawatir nanti mereka akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Hingga yang bisa ia lakukan saat ini adalah menggigit jari telunjukknya sambil terus membayangkan beberapa kemungkinan yang tengah dilalui Difan saat ini.
Sekarang ia mulai berpikir, betapa beruntungnya ia memiliki suami sebaik Difan. Pria itu bahkan tak pernah mengeluh ketika Mentari belum juga mencintainya atau meminta dan memaksa haknya sebagai seorang suami. Difan tidak pernah protes ketika Mentari tidak membangunkannya untuk sholat subuh. Dia bahkan masih sering mentransfer uang untuknya pada sebuah ATM yang beberapa minggu lalu Difan berikan padanya.
Jika selama ini Mentari menginginkan pria sholeh, maka ia telah mendapatkannya pada diri Difan. Suaminya itu tidak pernah absen melaksanakan sholat, puasa sunnah dan bangun di sepertiga malam untuk melakukan sholat sunnah tahajjud. Jika dulu definsi soleh menurutnya adalah seseorang yang selalu menyampaikan kebajikan dan menepis tuntas kebatilan, maka Mentari hanya mengelak dan sebenarnya masih menyimpan rasa pada Haidar. Dan itulah yang membuatnya tidak bisa membuka hati untuk Difan, suaminya sendiri.
Air mata Mentari luruh begitu saja ketika membayangkan wajah lelah Difan ketika pulang bekerja. Tidak ada Mentari yang menyambutnya di depan pintu, membawakan tas kerja serta menyalaminya seperti kebiasaan kebanyak istri di luar sana.
"Allah ... ampunilah hambaMu yang tak tahu malu ini," gumamnya, kemudian memilih mendudukkan dirinya di tepi ranjang.
Kepalanya menunduk dengan air mata yang terus berjatuhan, membasahi pipinya. Cukup lama ia dalam posisi seperti itu, hingga suara pintu di depannya terbuka. Dan refleks, ia mengangkat kepalanya.
Di sana, pada daun pintu di depannya Difan berdiri mematung. Menatap ke arah Mentari yang matanya mulai terlihat sembab. Pria itu mulai bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya menangis. Dan tumben-tumbenan jam segini belum tidur juga. Tapi ketika wanita yang menatapnya dalam diam itu tiba-tiba bangkit dan menubruknya, barulah ia mengerti bahwa inilah jawaban dari do'anya selama ini.
"Maafkan Mentari, Mas. Mentari sudah durhaka. Mentari bukan istri yang baik." Suara Mentari terdengar parau.
Difan membalas pelukan Mentari. Sebuah lengkungan indah menghiasi wajah lelahnya. Ia usap punggung Mentari dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan Mentari, Mas ... maafkan Mentari," isak Mentari yang masih di dalam pelukan Difan.
Difan bahagia. Bahakan tidak sedikitpun ia berniat untuk melepaskan pelukannya pada Mentari. Ia sulit untuk mengeluarkan suara saking bahagianya. Hingga yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah semakin mengeratkan pelukannya, sebagai jawaban dari kalimat yang terus Mentari rapalkan berulang kali.
"Maafkan Mentari...."
Difan mengangguk. Karena pegal dalam posisi seperti ini, ia terpaksa harus melepaskan pelukan istri tercintanya kemudian memilih untuk menggiring Mentari untuk duduk pada sofa di samping pintu. Mendudukkan wanita itu kemudian menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Sesaat, mata mereka beradu tatap. Menyelam ke dalam binar lelah juga bahagia di mata masing-masing.
"Jangan nangis, ah. Mentari kalo nangis gini kok jadi keliatan jelek ya," ujar Difan membuat Mentari terdiam menatapnya untuk beberapa saat. "Aku jadi nyesel-"
"Nyesel apa ... hah?" sela Mentari dengan suara terputus. "Nyesel ... nikahin Mentari? Iya?"
Difan terkekeh kemudian kembali memeluk wanitanya dengan gemas. "Nggak nyesel kok," ujarnya. "Terimakasih karena sudah mau berbalik ke arahku," lanjutnya dengan senyum yang terus mengambang.
Senyum di wajah sembab Mentari ikut terbit. Ia mendongak guna melihat ekspresi wajah Difan saat ini. Mata pria itu tampak berbinar indah. Bulu tipis di bawah hidung membuatnya semakin terlihat tampan. Iya, tampan. Sekarang Mentari baru menyadari kalau Difan memang tampan. Persis seperti apa yang dikoar-koarkan Gendis semasa kuliah dulu.
Malam itu, tak ada yang bisa mengalahkan rasa bahagia Difan. Do'a dan perjuangannya berhasil membuat Mentari benar-benar menjadi miliknya. Dari usahanya, saat ini ia benar-benar bisa merasakan bagaimana menjadi suami seutuhnya. Buah dari kesabarannya membuatnya kembali pada apa yang seharusnya menjadi miliknya. Dan sesak serta sakit yang ia dapatkan selama ini membuatnya Move On menuju Rabb-nya serta berhasil membuatnya menemukan apa yang seharusnya telah digariskan untuk menjadi miliknya.
S E L E S A I
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro