Bagian tiga
(Versi Revisi)
Matahari sudah setinggi tombak saat Difan selesai mempersiapkan segalanya. Kini ia sedang dalam perjalanan menjemput Adara ke rumahnya. Satu minggu berlalu dengan cepat. Setelah membujuk gadis itu dan mengiming-imingi dengan pemandangan yang luar biasa di Gunung Putri Lembang, akhirnya kekasihnya yang keras kepala dan anti terhadap terik matahari itu menyetujuinya, walau dengan wajah setengah tertekuk.
Ia tak sabar untuk mengajak Adara mengeksplorasi keindahan alam kota Bandung. Kemudian memperkenalkannya pada sejarah-sejarah yang melegenda dari gunung yang terletak di daerah Cihideung Lembang Bandung itu, serta menjadikan gadis itu objek dari bidikan kameranya.
Difan memelankan laju motornya, saat rumah bertingkat dua dengan cat putih tulang di depannya mulai terlihat. Di sana, seorang gadis dengan sweater tebal terlihat tangah memainkan ponsel tanpa minat. Rambut hitam bergelombangnya tertutup topi rajut berwarna pink cerah. Di samping kaki jenjangnya yang tertutup celana jeans hitam, terdapat sebuah koper berukuran besar.
Dari kejauhan, Difan menggelengkan kepala seraya terkekeh pelan.
Ia menepikan motor besarnya tepat di depan gadis itu. Tatapannya menilai dari atas sampai bawah penampilan Adara, kemudian terhenti dengan kening berkerut pada koper berwarna silver di sampingnya.
"Mau mudik, Neng?" godanya dengan tawa tertahan.
Adara menarik sebelah alisnya. "Mudik? Neng mau liburan bareng pacar, Bang," timpalnya.
Difan tergelak sambil memukul pelan setang motornya. "Liburan? Ke Eropa ya, Neng?"
Adara menekuk wajahnya, saat kalimat sindiran itu keluar dari bibir Difan. Ia menghentakkan kaki, kemudian memperhatikan penampilannya. Nggak aneh kok. Sweater tebal yang ia kenakan juga masih wajar. Melindungi tubuhnya dari dinginnya udara di puncak. Sepatu kets serta penutup kepala kesayangannya juga wajar-wajar saja. Ini kan demi keselamatan jiwa dan raganya.
"Hey! Malah ngelamun," ujar Difan. Tangannya dilambaikan naik turun di di epan wajah gadis berkets itu.
"Ck. Kenapa?" tanyanya diiringi decakan pelan.
"Itu koper buat apa? Kita kan cuma mau muncak, bukan mau liburan ke luar negeri. Ini lagi, sweater kamu tebel banget. Gerah aku lihatnya," komentar Difan yang seketika membuat wajah Adara semakin tertekuk.
"Ini tuh penting tahu. Isinya barang-barang cadangan kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nanti. Kan kata Mama, mencegah lebih baik dari pada mengobati," jawab gadis itu polos. Membuat Difan menjitak keningnya dengan gemas.
"Apaan. Dikira virus deman berdarah apa. Udah, taruh tuh barang. Yang dibawa cuma jaket biasa sama hp aja. Biar gak ribet," titah Difan.
"Gak mau, ih. Nanti kalo terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, terus kotak P3K gak aku bawa gimana?"
"Gak bakalan terjadi sesuatu, Ra. Percaya deh sama aku. Semua udah aku siapin. Ada nih di dalem tas," ujar Difan meyakinkan, sebelah tangannya yang tidak memegang setang motor tergerak menepuk carrier di punggungnya.
Sejenak, Adara tampak berpikir. Masalahnya barang-barang yang ada di dalam koper sudah dipersiapkan dengan susah payah oleh mamanya. Kalau ia taruh lagi, kasihan dong Kanjeng Mami sudah capek-capek mempersiapkannya semalaman, dan ujung-ujungnya tidak dibutuhkan juga.
"Gak mau taruh? Apa kita batalin aja ya trackingnya?" ancam Difan. Alisnya dinaik turunkan berkali-kali.
Adara menghela napas napas dengan kasar. Ingin protes tapi tatapan menukik pria yang masih setia menunggangi kuda besinya itu membuatnya ciut.
"Tunggu apa lagi? Sana taruh." Difan mendesak.
"Baik, Paduka," ujar Adara dengan pasrah.
***
Perbedaan udara mulai terasa setelah Difan melewati belokan yang ada di Grand Paradise Hotel. Selama perjalanan, Adara lebih banyak memejamkan mata dengan mengirup pelan udara segar yang ada.
Setelah melewati beberapa jalur yang terlihat asing bagi Adara, karena gadis itu yang memang jarang sekali keluar rumah, akhirnya mereka sampai di pelataran parkir Gunung Putri Lembang. Difan mematikan mesin motornya kemudian menepuk pelan tangan Adara yang melingkar di perutnya, menyuruh gadis itu untuk segera turun.
Saat memijakkan kakinya di tanah, Adara sempat oleng karena tas carrier Difan yang terlalu berat serta keseimbangan tubuhnya yang kurang stabil. Untung saja Difan dengan sigap menarik bagian belakang tas yang menempel di punggung kekasihnya itu.
"Ck, hati-hati," decak Difan pelan.
Adara mengerucutkan bibirnya. Dengan langkah ogah-ogahan, ia berjalan di belakang Difan menuju seorang tukang parkir yang sejak memasuki parkiran sudah memperhatikan mereka. Difan menyerahkan selembar uang lima ribuan sebagai uang parkir. Setelahnya, ia menarik tangan Adara menuju track yang akan mereka lalui.
Sejenak, Adara sempat kagum melihat pemandangan di sisi gunung. Belum sampai puncak saja, pemandangannya sudah seindah ini. Apalagi saat menginjakkan kakinya di atas nanti, Adara akan semakin dibuat takjub dengan keindahan alam yang Tuhan ciptakan dengan begitu apiknya.
Mereka mulai mendaki setelah sebelumnya mengucap Basmallah. Meski bukan orang yang paham agama, tapi kebiasaan yang satu itu tak pernah Difan lupa saat akan memulai sesuatu. Penting atau tidak.
"Fan, masih lama gak?" tanya Adara saat mereka baru berjalan selama lima belas menit.
Difan terkekeh kemudian mengacak rambut gadis itu dengan pelan. "Belum juga setengah perjalanan," ujarnya, "sini aku foto dulu." Kemudian mengarahkan kameranya ke arah gadis itu.
Adara sempat menggeleng. Namun Difan dengan kukuh menyuruhnya untuk berpose ria.
Langkah demi langkah mereka tapaki. Tak terasa sinar matahari di sebelah kanan mereka mulai menjingga, menerpa wajah dengan hangat. Difan meraih tangan Adara, kemudian menuntun gadis itu agar mempercepat langkahnya, tak ingin melewatkan indahnya matahari yang mulai bangkit dari peraduannya.
Tiga puluh menit tracking, akhirnya mereka sampai di puncak. Bagi Difan ini adalah perjalanan yang lumayan singkat. Namun untuk Adara yang merupakan pemula, meski jalurnya tidak terlalu ekstrem, tetap saja menguras tenaga dan membuat napas tersengal-sengal.
Difan tak berhenti terkekeh saat melihat wajah memerah Adara. Udara dingin di sekitar mereka ternyata tidak bisa menghalau keringat yang turun membasahi pelipisnya. Sambil berjongkok, gadis itu mengatur napas dengan pelan.
"Capek?" tanya Difan seraya ikut berjongkok di depannya.
Adara mengangguk. Setelah dirasa oksigen sudah cukup mengisi paru-paru, ia menegakkan tubuhnya. Matanya berbinar indah saat melihat kabut tipis dengan hangatnya sinar matahari yang mulai menerpa wajahnya.
"Fan, ini aku gak lagi mimpi kan?" tanyanya seraya menepuk pipinya pelan.
"Kenapa?"
"Sumpah! Ini tuh keren banget. Huaaa... kamu kenapa baru ngajak aku ke sini? Gila! Ini mah surga dunia banget," serunya diiringi dengan decakan kagum.
Lagi-lagi Difan terkekeh dibuatnya. Padahal waktu Difan mengajaknya, ia tegas menolak. Tahu-tahu ketika sudah sampai di atas, raut wajah yang sebelumnya terlihat seperti mayat hidup, kini berbinar cerah seperti terlahir kembali. Mata bulatnya terbelalak saat netra cokelat terangnya mulai menyapu keindahan di sana.
"Eh, iya. Udah sarapan belum?" seakan baru tersadar, Difan segera mengeluarkan dua bungkus roti dengan selai kacang dari carriernya.
Adara yang sebelumnya tengah mengedarkan pandangannya ke keindahan sekitar menoleh. Lalu mengangguk patuh saat pria di depannya menyodorkan satu bungkus roti padanya.
"Beneran belum sarapan?" Difan memastikan, dan berdecak kecil saat mendapat gelengan dari gadis yang kini duduk lesehan di sampingnya. "Kebiasaan."
"Gak sempet. Kamu sih ngechatnya dari subuh, aku jadi kelimpungan sendiri nyiapin ini itu," cabiknya dengan mulut penuh roti.
"Dibilangin jangan bawa apa-apa. Ngeyel sih," ujar Difan seraya menoyor pelan kepala Adara yang tertutup topi rajut. "Udah. Yuk, jalan."
"Jalan lagi? Ke mana? Di sini juga pemandangannya udah keren," ujar gadis itu setengah hati.
Difan berdecak pelan, kemudian mmengangkat bokongnya dari hamparan rumput yang terlihat menguning. Pria itu memejamkan matanya sejenak, menghirup udara sejuk di sekitarnya dengan pelan, persis seperti yang dilakukan Adara beberapa saat lalu.
"Di sini ada banyak tempat menakjubkan, Yang. Jadi sayang kalo dilewatin. Kamu juga pasti belum tahu misteri legenda bukit kecil yang ada di sini," jelas Difan seraya menatap ke arah Adara, tepat saat gadis itu juga menatap dengan lekat wajah tegas miliknya.
Adara menggeleng, tahu tempat ini saja baru kemarin, itupun dari Difan. Apalagi misteri yang ada di balik wisata bangunan bersejarah ini.
"Makanya kamu harus tahu. Sayang 'kan, kalau pulang gak bawa apa-apa." Difan menjulurkan tangannya ke depan wajah Adara, yang kemudian langsung disambut dengan setengah hati oleh gadis itu. "Udah selese kan sarapannya?" Adara mengangguk.
Kemudian dengan bergandengan tangan, dua sejoli itu menyusuri setapak yang tidak terlalu terjal. Beberapa rombongan yang sempat beriringan dengan mereka menyapa, dibalas hanya dengan anggukan oleh Difan. Adara sendiri semakin memegang erat tas kecil yang dibawanya saat menaiki beberapa batuan yang lumayan menanjak, dibantu Difan dengan gandengan tangan yang tidak juga lepas.
"Gak kerasa, ya. Ternyata kita udah dua tahun bersama," ujar Adara saat trek kembali normal. Ditatatapnya wajah berkeringat Difan dengan seksama. Wajah inilah yang sudah menemaninya beberapa tahun ini. Wajah yang selalu ada untuknya setiap kali ia butuhkan, yang selalu menuruti keinginan-keinginan anehnya ... meski dengan setengah hati.
"Dan selama dua tahun ini kita mampu saling menutupi kekurangan masing-masing. Yah, meski sampai sekarang sikap gak jelas kamu masih sering buat aku jengkel," lanjutnya, mengundang kekehan Difan setelahnya.
"Kamu baik, Ra. Tapi aku heran, kenapa kamu mau sama cowok gak jelas kaya aku." Cengiran lebar menghiasi wajah tegas bercucur keringat itu.
"Walaupun kamu gak jelas, jelek, kumal, jorok suka ngupil, tapi aku tetap sayang kok," kekeh Adara. Tanganya dengan jahil mencubit bagian bawah dagu Difan, membuat pria itu memanyunkan bibirnya dengan ekspresi terharu yang dibuat-buat.
"Gak bisa ya, di saat-saat kaya gini kamu gak usah nyebut-nyebut kejelekan aku?" tanya Difan, hendak berpura-pura ngambek.
"Jangan mulai. Aksi ngambek kamu gak bakalan mempan," cegah Adara seraya menarik hidung mancung Difan.
Setelahnya, mereka tertawa bersama.
Dua tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan ternyata, selama dua tahun ini mereka mampu menurunkan ego masing-masing. Bahkan Difan yang notabenenya tak pernah serius dalam hal apapun heran sendiri melihat hubungan yang sebenarnya ia mulai dengan main-main itu sudah sejauh ini. Adara juga, gadis itu sampai beberapa kali berpikir ulang, tentang apa yang membuatnya bisa bertahan sampai hari ini. Tapi lagi-lagi, tak ada alasan khusus yang mampu menjawab kenapa ia masih bisa bertahan dengan cowok ini.
Difan berharap, Tuhan tetap mempersatukan mereka. Membiarkan gadis ini tetap berdiri di sampingnya hingga tangan dan kaki sudah tak mampu berpijak di atas tanah lagi.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro