Bagian sembilan belas
Bosan. Satu kata yang mewakili keadaan suasana hati Difan saat ini. Ia menguap beberapa kali kemudian menatap ke arah pria yang sedang memegang mikrofon di depan mimbar. Pria berwajah Arab di sampingnya menyimak dengan seksama. Sesekali ia dan beberapa orang yang hadir hari itu terkekeh mendengar seauatu yang diucapkan pria di depan mimbar.
Ustad Haidar, pria dengan sorban putih yang dililitkan di leher itu. Dengan jubah kebesarannya, pria yang beberapa waktu lalu bercakap dengan Difan tampak berwibawa. Untuk kali kesekian, Difan kembali menguap. Rasanya ngantuk sekali. Kalau saja saat ini ia sedang berada di kelas, ia mungkin sudah menelungkupkan tangannya dan tertidur lelap.
Pria berjambul itu menyangga dagunya di atas lipatan pahanya. Matanya berusaha ia pejamkan meski suara-suara di sekitarnya sedikit mengganggu. Lama ia dalam posisi seperti itu, gelak tawa orang-orang kemudian mengejutkannya. Abrian, pria itu kini menyeka air matanya yang keluar seiring dengan suara tawa yang berusaha ia hentikan. Difan penasaran.
Kini tatapannya tertuju ke arah mimbar. Berusaha fokus dengan apa yang Haidar sampaikan.
"Jodoh. Banyak sekali gejolak rasa yang timbul dari satu kata ini," ujar Ustad Haidar, begitu Abrian memanggilnya. " 'Ah, kalo jodoh mah gak bakal ke mana,' Begitu kalimat yang sering sekali saya dengar dari lisan para jomblo karbitan," lanjutnya yang kembali mengundang gelak tawa.
Difan ikut terkekeh.
"Memang benar, jodoh gak akan ke mana. Sudah digariskan takdirnya untuk kita. Sudah dituliskan namanya bersanding dengan nama kita menggunakan tinta emas di lauhil mahfudz," jelasnya.
"Ah, saya bilang 'kita' saja ya. Soalnya saya dan antum ini sama-sama jomblo," kekeh Haidar.
"Na'am ... na'am, Tad," sahut para jamaah, ikut terkekeh.
"Tapi bukan jomblo karbitan. InsyaAllah jomblonya lurus di jalan Allah. Kalau bahasa mujahidnya, jomblo fiisabilillah," imbuhnya.
Lumayan seru, pikir Difan. Kini fokusnya hanya tertuju pada Haidar dan suara halus nan bersahaja pria sepantarannya itu.
"Jadi kalau sudah ditentukan, kenapa harus pusing-pusing mikirin kriteria jodoh? Toh pasti yang kita dapat belum tentu yang kita inginkan. Secara, Allah sudah siapkan." Haidar kembali bersuara.
"Nah, kalimat tadi biasanya muncul di otak para jomblo pasrah yang ada di luar sana."
"Hailah, Tad. Sukanya bener bae," ujar salah seorang pria berhoody di depan Difan. Yang lain kembali terkekeh.
Asik. Haidar menyampaikan kajian dengan sangat santai. Bahasanya juga anak zaman sekarang banget. Bahkan kini ngantuk Difan sudah lenyap digantikan dengan kekehan geli.
"Ehehe ... lanjut ya?" tanyanya memastikan.
"Lanjut!" sorak mereka bersamaan.
"Begini kawan-kawan, meski jodoh sudah ditentukan, takdir dia dan kita telah digariskan, tentu saja ada beberapa hal yang harus kita persiapkan sebagai calon imam yang baik," terang pria berkulit putih agak bercahaya itu.
"Prinsipnya begini, memang benar jodoh di tangan Allah, tapi kalau tidak dijemput, jodoh akan tetap ada di tangan Allah. Itulah yang membuat kita harus berikhtiar untuk mendapatkannya."
"Tapi ...," jeda sejenak, "ikhtiar ini banyak caranya. Ingat, gak harus melalui pacaran," peringatnya.
Difan terdiam. Masih menyimak kelanjutan ucapan Haidar. Kalimat terakhir tadi sedikit membuatnya tersentil.
"Ikhtiar pertama, kita bisa menjemput jodoh dengan cara berdo'a. Ada orang yang dijauhkan jodohnya karena kurang berdo'a. Maka berdoalah agar dibimbingNya menjadi dan menuju jodoh yang soleh dan solehah."
"Tapi kita tahu nih, do'a gak bakalan dikabulkan dalam sekali pinta. Untuk itu kita harus terus meminta, jangan berhenti sampai do'a terkabul dan sang bidadari surga duduk satu syap di belakang kita," ujar Haidar diakhiri senyum simpul. Jamaah di depannya mengangguk. Meresapi kata demi kata yang baru saja ia sampaikan.
"Kedua nih, kita harus peka sama kode yang Allah berikan."
Kening beberapa orang berkerut, termasuk Difan. Allah lempar kode juga? batinnya. Sementara Abrian di sampingnya mengangguk pelan dengan senyum merekah.
"Biasanya, setelah berdo'a meminta jodoh, Allah berikan kita tanda-tanda yang kadang gak kita sadari. Seperti, tawaran emak untuk mengenalkan kita dengan anak tetangga mungkin," ujar ustad yang beberapa menit lalu seketika mendapatkan julukan Ustad gaul itu.
"Jangan pernah abaikan tanda-tanda Allah, meski hanya sebesar biji zarah. Kita harus tetap berayukur."
"Selanjutnya, sedekah mempercepat terkabulnya do'a. Sedekah memiliki banyak manfaat, beberapa di antaranya membuka pintu rizeki, menjauhkan kita dari sifat kikir serta menjadikan kita pribadi yang senantiasa bersyukur."
"Selain jodoh sudah ditentukan, Allah juga berikan jodoh yang sesuai dengan diri kita. Pernah dengar jodoh adalah cerminan diri? Begitu tepatnya. Allah berikan kita jodoh yang sesuai dengan bagaimana kita, kebiasaan kita dan lain sebagainya. Maka dari itu, selain ikhtiar yang saya sebutkan tadi, memperbaiki diri juga bisa masuk ke dalam list cara menjemput jodoh." Haidar menutup kalimatnya dengan senyum meneduhkan. Matanya menatap satu per satu orang-orang yang ada di dalam masjid itu.
"Cocok tidaknya jodoh kita dengan diri kita, itu tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Juga ... jodoh itu ada yang dekat, tapi tak selalu dipertemukan dengan cepat. Bahkan yang jauh juga kadang pertemuannya agak singkat dan biasanya langsung akad kalau sudah benar-benar takdirnya dan langsung merasa mantap," imbuhnya kemudian menutup majelis.
Adem banget dengernya. Difan bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali setelah kalimat Haidar selesai. Abrian yang duduk di sampingnya menepuk pundaknya dua kali dengan pelan.
Aih, galaunya kenapa berubah jadi cemas begini? Ia sekarang sudah tak galau memikirkan cara selanjutnya untuk mendekati Mentari. Sekarang ia malah cemas karena mungkin ia terlalu memaksakan diri untuk lebih dekat dengan gadis itu. Ia juga cemas, Mentari memanglah bukan jodohnya. Karena menilik dari kepribadian mereka, sungguh jauh bertolak belakang. Ibarat langit dan bumi. Matahari dan bintang yang tak pernah bisa bertempuh.
Tapi terkadang manusia memang pelupa. Mereka tak ingat dan mungkin tak pernah memikirian kalau Allah mampu membolak-balikkan hati. Bumi saja mampu Ia goncangkan hanya dengan sekali sentil, apalagi menyatukan dua jiwa yang berbeda sekalipun.
***
"Ustad Haidar keren banget kan, Fan? Dia bisa menyentil hati dengan kalimat-kalimat halusnya. Bahasanya juga adem banget," ujar Abrian setelah motor skuternya keluar dari pelataran masjid.
Di belakangnya, Difan hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon atas perkataannya.
Kajian hari itu selesai tepat setelah pukul dua belas. Dan sebelum pulang, mereka melakukan sholat dzuhur berjamaah. Dan untuk kali pertama setelah bulan ramadhan kemarin Difan kembali melakukan sholat wajib dengan dua puluh drajat ganjarannya itu.
Sepanjang perjalanan, Abrian kembali mengulas apa yang di sampaikan Haidar di kajian tadi. Dan di sepanjang perjalanan juga, Difan terdiam dengan fikiran-fikiran yang mulai terpecah. Di sisi lain otaknya, kini tertuju pada Mentari, dan di sisi lainnya penuh dengan sentilan dari ceramah Haidar. Bahkan sepanjang perjalanan pulang di siang itu kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Abrian hanya ia anggap angin lalu. Hanya anggukan kepala yang menjadi respon setiap kali Abrian melontarkan kalimat tanya.
"Eh, Fan. Makalah gue masih di Gendis," ujar Abrian kemudian. "Kita ke kampus sebentar ya?" Difan kembali merespon dengan anggukan.
Motor tua yang mereka kendarai memutar kembali. Melewati gang perumahan yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah Difan.
Beberapa menit berikutnya, mereka sampai di pelataran parkir kampus setelah sebelumnya telinga Abrian panas dengan sumpah serapah Difan.
"Lo ya, Yan. Niat banget mau bunuh gue secara kilat. Spot jantung gue," dumelnya.
Abrian terkekeh. Seratus kilometer per jam padahal bukan apa-apa jika pria berjambul ini yang mengendarai. Lah ini, ketika ia yang diboncengi malah ribut kaya emak-emak pasar.
Abrian berdecak. "Gaya nyaingin Marques, gue bonceng malah tereak kagak jelas kaya bencong," oloknya.
"Gue gak pede kalo dibonceng lo, Curut," ujarnya.
Difan parnoan kalau dibonceng Abrian ngebut-ngebut. Bagaimana tidak, minggu lalu bahkan bule Arab ini pernah membuat jempol kaki Deno lecet, karena terburu-buru ketika mengantar makalah yang mepet deadline ke rumah salah satu dosennya yang terletak di pinggir kota. Sepi, sudah begitu mereka pergi ketika menjelang magrib. Mana sebelum mereka berangkat sebuah rumor tentang perampok di sekitar sana membuat Abrian ngeri sendiri.
"Ayo turun. Lewat aula," titah Abrian.
"Kenapa emang?"
"Di depan rame. Anak-anak rohis lagi pada persiapan buat acara minggu depan," jelasnya.
"Lah, bukannya Gendis anak rohis juga?" Difan menaikan alisnya.
"Ah, iya. Gue lupa," ujarnya kemudian membelok haluan menuju ke arah barat parkiran.
Difan berjalan mengikuti Abrian dari belakang. Pria berjambul itu menyeret kakinya tanpa minat. Ngantuknya beberapa waktu lalu kembali menyerang.
Mereka melewati beberapa orang gadis yang berdiri di samping sebuah terop yang terpasang di halaman fakultas IT. Difan terdiam sejenak. Seorang gadis dengan kerudung maroon menarik perhatiannya. Mentari. Difan memperhatikan gadis itu dengan seksama. Setiap gerak geriknya dan langkah-langkah kecil yang pada akhirnya membuat gadis itu berdiri tepat mengadap ke arah Difan.
"Fan, ayo!" Suara ajakan Abrian terdengar. Difan yang sempat berhenti melangkah, kini kembali berjalan di belakang pria berambut cokelat ikal itu.
Begitupun Mentari yang di tangannya terdapat sebuah papan ujian dengan beberapa lembar kertas di atasnya juga kembali melangkah, berjalan berpapasan dengan Difan.
Canggung. Dua anak muda berbeda jenis itu saling melewati dalam diam. Difan yang biasanya selalu menyapa dengan cengiran khasnya terlebih dahulu kini berjalan lurus ke depan. Hal itu entah kenapa malah membuat Mentari bingung.
Apa Difan menyerah secepat itu?
Bersambung...
***
Silahkan beri pendapat pada bagian mana yang menurut kalian tidak sesuai.
Part ini aku tulis dengan terburu-buru. Maaf jika ada yang bertentangan dengan kalian guys. Aku hanya menulis apa yang ada di otakku saat ini :')
Krisan tetep setia kupentengin😅
-Big love,
Rifa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro