Bagian Satu
(Versi Revisi)
Difan mengembuskan napas lega saat tubuh tegapnya berhasil keluar dari kerumunan orang-orang kelaparan di belakangnya. Dengan susah payah, ia membawa nampan berisi semangkuk soto yang beberapa saat lalu hampir saja tumpah, akibat tersenggol oleh orang-orang yang tidak mengerti bahasa mengantre.
Ia kemudian melangkah menuju bangku panjang di tengah-tengah kantin, tempat teman-temannya yang kini sudah anteng dengan makanan masing-masing. Kantin ini sebenarnya tidak terlalu besar dan terletak agak di pojok kampus. Di gedung Timur bahkan ada kafe yang tempatnya lebih nyaman dari kantin ini. Namun bagi Difan dan teman-temannya, kantin ini merupakan tempat yang paling nyaman untuk bercanda gurau tanpa khawatir akan membuat orang lain terganggu tawa mereka.
Makanan di sini juga terbilang enak dan cukup terjangkau. Apalagi soto dari jauh saja sudah tercium aroma kuahnya. Membuat Difan rela berdesak-desakan, saking banyak yang menyukai makanan khas Indonesia itu.
"Gila! Itu manusia apa jombi sih? Rusuh banget kaya orang kagak pernah makan setaon," dumelnya sesaat setelah mendudukkan bokongnya pada bangku kosong di samping Abrian.
Teman-temannya hanya menatap dengan kening berkerut.
"Lagian lo, sih. Disuruh mesen dari tadi malah asik chattingan. Lo kan tahu, kalo jam segini waktunya para zombie keluar kandang," sahut Abrian tanpa menoleh. Tatapannya kini terpokus pada benda pipih di tangannya.
"Sirik aja, Jomblo," hardiknya, yang seketika mendapat delikan tajam dari pria berdarah Arab Jawa itu. Difan langsung mengangkat dua jarinya, mengajak berdamai.
Mereka kemudian kembali pokus pada makanan masing-masing, dengan sesekali membahas hal-hal yang kurang penting dan tidak masuk di akal. Salah satunya, membahas bagaimana cara putri duyung berkembang biak, yang berujung perdebatan sengit antara Difan dan Deno. Difan mengatakan putri duyung itu berkembang biak dengan cara membelah diri. Sementara Deno beranggapan bahwa duyung itu sama seperti lumba-lumba yang berkembang biak dengan cara beranak. Hingga membuat Abrian mengeluarkan teori bahwa duyung itu adalah makhluk yang berasal dari imajinasi manusia. Jadi, duyung itu tidak bertelur ataupun beranak. Bahkan tidak juga membelah diri, karena menurutnya duyung tidak pernah ada.
"Kalian salah." Zulhan yang duduk di tengah-tengang mereka menyela, "Duyung itu memang ada, tapi bukan kaya yang di film-film," jelasnya.
"Ah, masa?" Difan sepertinya lebih percaya dengan teori Abrian yang mengatakan duyung hanyalah makhluk imajinasi.
Zulhan mengagguk pasti. Kini teman-temannya menatap penuh rasa ingin tahu ke arahnya.
"Begini, kalian tahu Dugong?" Ia menatap teman-temannya satu persatu.
"Tahu," sahut Difan dengan cepat. "Ini," tunjuknya pada pria berambut kriting di depannya. Sontak teman-temannya tergelak, beberapa menggeleng takjub dengan kelakuannya.
"Sialan lo!" Pria berambut kriting yang ditunjuknya mengumpat, menatap kesal ke arah Difan, namun setelahnya ikut tertawa.
"Sorry, Den sorry. Canda doang," ujar Difan dengan tangan terangkat ke depan dada.
"Gue serius ...." Zulhan kembali menarik perhatian teman-temannya. "Duyung atau yang sering kalian sebut dugong tuh sejenis mamalia laut, salah satu anggota Shirenia atau lembu laut. Duyung sebenarnya bukan ikan, karena menyusui anaknya dan masih merupakan kerabat evolusi dari gajah. Mamalia laut ini satu-satunya hewan yang mewakili suku Dugongidae," jelas pria yang aslinya merupakan mahasiswa jurusan biologi itu, membuat teman-temannya kompak bertepuk tangan.
"Gila! Lo keren banget, Han. Gak sia-sia lo duduk sama orang-orang sesat ini," ujar Abrian, dengan nada cemooh yang menusuk.
"Siapa yang sesat? Gue?" sahut Difan dan Deno bersamaan.
"Gue gak bilang gitu ya," ujar Abrian dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Tanpa aba-aba, Difan dan Deno yang merasa tersindir langsung menyerbu Abrian, memiting leher pria itu bergantian.
"Ampun, woy ampun! Canda doang elah," pinta Abrian dengan suara tercekat. Beberapa temannya yang duduk di sana bahkan tak berniat untuk memisahkan mereka. Lumayan jadi tontonan gratis, pikir mereka. "Sensi banget dah, kek pantat ayam semok." Abrian berusaha melepas tangan kekar dua manusia laknat di lehernya itu sambil terbatuk-batuk.
Tiba-tiba suara deringan dari ponsel Difan mengintrupsi mereka. Sontak Difan melepaskan leher Abrian, kemudian merogoh ponselnya dari dalam saku jeansnya. Melihat sekilas nama yang tertera di layar dan langsung menggeser tombol hijau saat melihat nama Adara beserta foto cantik gadis itu terpampang jelas.
"Difan?! Kamu di mana sih? Katanya mau jemput!"
Suara melengking khas gadis itu menyambut Difan, memekakkan telinga. Bahkan setelah pria itu menjauhkan benda pipih itu dari telinga pun, dengungannya masih terasa.
"Ah, iya, Yang. Gue ini ... tadi cacing di perut minta jatah, pada demo. Jadi gue belok ke kantin dulu deh," ujarnya diakhiri cengiran.
Di sebrang sana, Adara mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Alasan mulu, ih. Capek aku nunggunya. Rambutku jadi lepek lagi nih," ujarnya bersungut-sungut.
Difan memutar bola matanya seraya kembali duduk di samping Abrian. Kini, tatapan teman-temannya menatap penasaran ke arahnya. Cowok jangkung itu mengelus kupingnya dengan sesekali meringis. Adara kalau ngomel ya begini. Sudah panjang seperti rel kereta, ditambah suara menggelegarnya yang membuat saraf vestibulokoklear terganggu. Kalau saraf penting ini sampai rusak, mana bisa ia mendengar celotehan gadis ini lagi.
"Iya, Yang iya. Dua puluh menit lagi gue sampe kok," ujarnya.
"Dua puluh menit apaan?!" Gadis itu kembali mendelik. "Dari satu jam yang lalu kamu bilangnya juga gitu. Masa sampe sekarang bel--" Tuut..
Difan memutus sambungan telepon secara sepihak. Kupingnya sudah mulai panas mendengar ocehan gadis itu. Jika menunggu sampai ia selesai bicara, waktu yang Difan gunakan untuk menghabiskan sisa soto di depannya akan sia-sia. Biar saja pacarnya itu mengomel panjang lebar. Ia terlalu malas meladeninya.
"Hah, untung sayang," desahnya seraya meniup layar ponselnya.
Deno yang mendengar hal itu langsung mencibir, "Heleh, sayang sayang gitu sering lo PHPin. Gak tahu apa, kurma sekarang ada yang pahit."
"Sirik aja lu, Dugong!" Difan meraih tasnya, kemudian bangkit dari duduknya. "Gue duluan. Mau jemput calon uminya anak-anak," pamitnya yang sontak mendapat sorakan geli dari teman-temannya. Deno bahkan sudah berpura-pura ingin muntah karenanya.
***
Pria berkaus oblong yang dipadukan dengan celana belel itu memarkirkan motor besarnya di depan bangunan mewah berlantai dua, yang tak jauh dari kampusnya. Ia melepas helm full face-nya, kemudian menyisir rambut ke belakang. Orang ganteng, mau diapakan juga auranya tetap terlihat, pikirnya sambil berkaca pada spion kecil yang bertengger di kepala motornya. Beberapa remaja yang hendak menyebrang di seberang jalan sampai jingkrak-jingkrak melihatnya. Tatapan mereka terlihat memuja dengan pekikan tertahan saat Difan menoleh ke arah mereka.
Difan terkekeh pelan. Kemudian tanpa menoleh lagi, ia menghampiri gadis bertubuh molek yang wajahnya kini tertekuk sempurna.
Adara memberengut. Memalingkan muka saat Difan berdiri di hadapannya.
Bukannya merasa bersalah, pria dengan rambut jambul ayam itu terkekeh geli. Alamat bakalan panjang ini urusan, pikirnya.
"Yang," sapaan dengan nada memelas itu terlontar. Difan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
Adera di depannya masih tetap pada pendirian, mendiamkan Difan sampai pria itu jengah sendiri.
"Yang, ayo balik," pinta Difan dengan suara pelan.
Kalau Abrian melihat tingkahnya saat ini, mungkin pria itu tak akan berhenti mengejeknya. Buaya Teksip-Teknik Sipil-kini berubah menjadi kucing anggora kesayangan Mama. Wajah menyebalkannya bahkan berganti raut memelas yang sebenarnya bikin geli.
"Balik aja, sana! Gue udah pesen ojol juga," sentaknya, membuat tangan Difan yang hendak meraih lengannya terpental.
Difan menelan saliva. Sebelum bersuara lagi, ia membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. "Yang, beneran loh aku jalan dari kampus dua puluh menit lalu. Tapi macet, anak SMA pulang sekolah," jelasnya yang kini malah dapat plototan tajam dari gadis berwajah galak di depannya.
Demi menutupi kegugupannya, pria itu menarik sudut bibirnya, membentuk senyum kaku yang tampak aneh. Ia kini merasa seperti maling sendal di masjid. Sudah ketahuan, mau ngeles takut dosa. Jadi serba salah.
Namun, ntah kedatangan ilham dari mana, sebuah ide licik terlintas di kepalanya.
Ia memasang senyum jenaka kemudian berujar, "Hmmm, kamu misuh-misuh gini bukan karena aku telat dateng kan?" ujarnya.
"Emang lo pikir karena apa?" Suara gadis itu terdengar datar. Ekspresinya tidak juga melunak.
Dengan alis yang di naik turunkan, Difan kembali berujar, "kangen kan, kamu? Bilang aja, Yang. Aku gak bakal marah kok."
"Hiiiiihhh, amit-amit jabang bayi," sewotnya dengan tangan di samping hidung, berlagak seperti orang yang hendak membuang ingus.
Melihatnya Difan tergelak. Nyalinya yang sempat ciut beberapa saat lalu balik lagi. Tanpa persetujuan gadis di depannya, tangannya terangkat- merangkul bahu lebar gadis itu.
"Hayo, ngaku. Kangen ya? Padahal tadi siang udah ketemu," godanya, mencolek dagu Adara dengan jahil. Ah, untung ia ingat trik ini. Adara si cewek dengan ego setinggi langit emang paling anti kalau udah menyakut perasaan, apalagi sampai bilang kangen-kangenan gini.
"Ish! Apaan sih?! Jangan pegang-pegang!" Tangan Difan ditepis, "Bukan muhrim," semprotnya kemudian memalingkan wajahnya dari Difan.
Wajah Difan tambah mesem. Bibir bawahnya yang tebal dimajukan beberapa senti, mengolok lagak gadis di depannya. Sok-sokan bukan muhrim, padahal tiap hari gandengan tangan. Gak bisa jauh-jauh dari Difan, udah gitu nemplok terus macam tokek. Kan gak cocok kalau gadis ini bicara masalah muhrim.
Dasar cewek labil, batin Difan.
"Ah, iya. Maaf ya, Cantik," ujarnya. Gadis di depannya itu masih saja memalingkan wajah.
"Gak!" gertaknya sarkas. Matanya enggan menatap Difan yang kini berusaha meraih tangannya.
"Yang, jangan gitu dong," ujar Difan. Jemarinya mengusap lembut tangan Adara, namun gadis itu segera melepasnya. "Kamu gak takut pacar kamu yang ganteng ini direbut sama degem-degem itu?" Pria itu menunjuk gadis-gadis remaja yang masih menatap ke arahnya.
Adara mengikuti arah telunjuk Difan, kemudian mengernyit melihat gadis-gadis yang tengah menyaksikan perdebatan kecil mereka. "Pede banget sih," elaknya.
"Lah iya, kamu gak takut emang? Padahal tadi mereka sampai jingkrak-jingkrak loh lihat aku," terang Difan membuat Adara berdecih.
"Iyuh. Itu mah kamu aja yang sok kegantengan," sangkal gadis itu. Sudut bibirnya mengerucut lucu, persis seperti mulut ikan buntal.
Difan terkekeh pelan. Gemas, ia menarik pipinya hingga membuat gadis itu meringis dan menjerit pelan.
"Difan, ih! Sakit tahu," protesnya.
Bukannya merasa bersalah, Difan justru tersenyum manis, meneduhkan. Membuat Adara terdiam untuk beberapa saat. Perlahan, ekspresi wajahnya yang semula tertekuk kini berubah menjadi sedikit lunak, kemudian terlihat memerah.
Tapi bukan karena bekas cubitan Difan, melainkan tersipu malu sebab Difan yang terus menatapnya bersamaan dengan senyum manis pria itu yang tidak juga surut.
"Difan!" Gadis itu berseru malu, menutup wajah yang kini semerah tomat dengan telapak tangan.
Difan sendiri malah tergelak, kemudian dengan gemas mengacak rambut pacarnya. Trik yang ia gunakan berhasil 'kan? Gadis ini memang tidak akan pernah tahan ditatap seperti itu oleh Difan. Abrian memang benar, bahwa wanita itu rapuh. Saat marah, mereka hanya bisa diluluhkan dengan cara halus. Kalau semakin dikasari, mereka akan semakin brutal dan tambah memberontak.
"Udah gak marah lagi kan?"
Awalnya Adara menggeleng, kemudian beberapa saat setelahnya mengangguk.
Difan tersenyum geli melihat hal itu. "Pulang yuk?" ajaknya.
Gadis itu kembali mengagguk, kali ini terlihat patuh.
"Eh, sebentar," selanya saat Difan hendak menggandengnya menuju parkiran.
"Kenapa?"
"Tas aku ketinggalan di dalam. Aku ambil bentar," terangnya, lalu memutar langkah memasuki salon.
Difan mengiakan, memilih menunggu di depan seraya memperhatikan lalu lalang orang-orang sore itu.
Matanya tanpa sengaja menangkap sosok gadis yang tak asing baginya. Gadis itu terlihat kesulitan membawa beberapa paper bag dan kardus berukuran sedang di tangannya. Saat hendak membuka pintu mobil, ia hampir saja menjatuhkan kardus yang ditentengnya- jika saja tangannya yang membawa beberapa paper bag besar tidak sigap menahannya. Difan baru akan melangkah, berniat membantu. Namun tepukan Adara di pundaknya menghentikan langkah pria itu. Mengurungkan niat baiknya, kemudian melanjutkan langkah menuju parkiran dengan tangan Adara di genggaman.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro