Bagian empat
(Versi Revisi)
Motor besar Difan melaju membelah jalanan kota Bandung di sore itu. Di belakangnya, duduk Adara dengan memeluk erat tubuh yang tertutup jaket parasut miliknya. Bibir mungilnya terus merutuki Difan yang tadi pagi melarangnya membawa sweater tebal. Sekarang lihat saja akibatnya. Saat turun dari gunung, udara sore itu ternyata tidak mampu ditahan tubuh mereka. Adara yang hanya menggunakan jaket denim, terpaksa harus menggunakan jaket parasut kebesaran yang terlihat aneh di tubuhnya. Bahkan saat motor besar Difan sudah keluar dari area pegunungan, gadis itu sama sekali tak berhenti mendumel.
"Udah dong, Yang. Lain kali kita bawa mantel tebal yang ada bulu-bulu dombanya deh. Kaya yang kamu pake tadi pagi," sela Difan. Telinganya sudah hampir mengepulkan asap karena ocehan gadis di belakangnya.
"Tahu, ah! Kalo tadi aku mati kedinginan gimana? Masih mending tubuh kamu tahan dingin. Kalo sampe ambruk, aku gendongnya gimana coba?" cecar gadis itu. Dari kaca spionnya, Difan bisa melihat pipinya mengembung lucu dengan bibir yang dicabikan.
"Aku 'kan udah bilang kalo aku tuh kebal, Yang. Tahan banting. Jadi kamu jangan remehin pacar kamu ini," tutur Difan seraya memukul pundak di bagian kanannya.
"Heleh. Sok tahan banting. Sama anak tikus aja takut. Yakin mau nikah sama aku?" komentar Adara dengan alis yang dinaik turunkan.
"Yakinlah. Kamu gak percaya nih sama calon bapaknya anak-anak?"
"Ngg-"
Tepat saat Difan membelokkan motornya pada perempatan alun-alun, suara ponsel Adara bergetar, membuat mulutnya yang hendak terbuka kini kembali mengatup. Ia menepuk pundak Difan seperti seorang tukang ojek, menyuruh pria itu memelankan laju sepeda motornya.
Dengan susah payah Adara meraih ponsel dari dalam sling bagnya, menggeser tombol hijau yang ada pada benda pipih itu saat nama papanya terpampang jelas.
Agak ragu, ia mulai membuka suara, "Halo?"
"Dara? Kamu di mana?" suara Papanya di seberang telepon terdengar marah.
Adara menggigit bibir bawahnya. Ia memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Papa.
"Dara lagi di jalan, Pa," jawabnya.
Difan yang mendengar Adara menyebut Papa, semakin memelankan laju sepeda motornya.
"Anak gadis keluyuran sampai gelap begini. Cepat pulang!" Suara tegas itu membuat Adara terkesiap.
"I ... iya, Pa. Bentar lagi Dara sampai kok," ujar Adara terbata.
Setelah itu, sambungan telpon terputus. Adara mengembuskan napas dengan kasar. Jika sudah begini, bisa dipastikan ia akan mendapat omelan dari papanya. Sikap over protektif pria paruh baya itu kadang membuat Adara merasa terkekang. Padahal ia tahu maksud papanya baik. Tapi tetap saja hal itu membuat Adara yang notabenenya memiliki jiwa pemberontak merasa terusik. Semakin dirinya terkekang, ia merasa jiwanya semakin liar.
Difan juga paham Adara bukanlah orang yang mudah diatur. Apalagi status gadis ini sebagai seorang anak tunggal. Jadi sikap manja dan keras kepalanya kadang sangat sulit ditangani.
"Papa kamu bilang apa?" Difan menyuarakan isi hatinya. Kini laju motornya telah kembali normal.
Adara menyenderkan kepalanya pada punggung Difan, mengeratkan lingkaran tangannya pada kaus yang dikenakan pria itu. Dengan napas lelah, ia mulai berujar, "Papa nyuruh aku pulang."
"Ya udah. Kita langsung pulang," putus Difan tanpa berpikir panjang.
Di balik punggung, Difan merasakan Adara menggelengkan kepalanya. "Terus dinner kita gimana?"
"Gak papa. Kita bisa dinner lain kali. Lagian ini bukan terakhir kalinya kita bakalan ketemu," ujar Difan menenangkan.
Adara mengangguk lesu. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba berubah ganjil. Kebahagian yang tadi pagi ia rasakan menguar seketika. Sesuatu terasa menghimpit dadanya. Perasaan akan mendapat masalah bukan hanya untuk dirinya, tapi juga hubungannya dengan cowok di depannya ini. Lagu-lagi ia harus mengalah pada kehendak papanya. Meski berat, ia tak ingin bersikap egois.
Selama ini, papanya selalu bersikap seakan ia berhak atas diri Adara sepenuhnya. Mengatur dan mengarahkan jalan mana yang benar untuk hidup yang ia jalani, tanpa berpikir hal itu membuat Adara bahagia atau tidak. Tapi lagi-lagi, dirinya yang bersih terus mensugestikan untuk tetap mendengarkan setiap perkataan papanya. Meski pada akhirnya, hal inilah yang akan membuatnya kehilangan sesuatu yang benar-benar sudah ia anggap menjadi bagian dari denyut nadinya.
***
Motor Difan menepi saat sampai di depan rumah Adara. Di sana, seorang pria paruh baya berdiri dengan tangan terlipat di atas perut. Rahangnya terkatup rapat dengan tatapan tajam menusuk ke arah Difan. Adara yang menyadari hal itu, segera turun dan langsung menghampiri pria itu.
Difan ikut turun dari motornya sesaat setelah Adara berdiri di samping papanya. Saat pemuda itu hendak meraih tangannya untuk disalami, tanpa sepatah kata pun pria di samping Adara itu justru langsung membalikan badan.
"Dara, masuk!" titahnya dengan tegas.
Adara menatap sendu ke arah Difan. Kekasihnya itu kini hanya menatap uluran tangannya yang masih menggantung di udara.
"Fan," ujar Adara kemudian menepuk pundak Difan, pelan. "Maafin sikap Papa, ya?"
Bukannya merasa kecewa, Difan justru nyengir ke arah Adara. Memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Santai aja, Yang. Mungkin Papa mertua lagi capek. Makanya dia langsung masuk pas lihat wajah tampan mantunya," ujarnya dengan percaya diri.
Perasaan Adara semakin tak menentu saat melihat senyum konyol pria di depannya. Tiba-tiba ia merasa khawatir tentang kelanjutan hubungan mereka, melihat dari sikap Papanya yang bahkan menatap Difan saja ia tak sudi. Adara tahu betul perangai pria yang sudah membesarkannya selama dua puluh satu tahun lamanya itu. Jika ia sudah tidak suka dengan orang, maka akan sangat sulit untuk membuatnya luluh.
"Udah, ah. Ngeliatinya jangan gitu banget," ujar Difan dengan kekehan garing.
"Beneran gak papa?"
"Iya, Aa gak papa kok, Neng," selorohnya seraya memamerkan cengiran kuda khasnya. Adara hanya membalas dengan senyum tipis. "Udah masuk, gih. Nanti dimarahin Papa mertua," lanjutnya.
Adara mengagguk pasrah. Sebelum membalik badanya, ia meraih tangan Difan kemudian membawanya ke bibirnya, mengecup tangan besar Difan dengan pelan. "Apapun yang terjadi dengan hubungan kita di masa depan, kamu harus janji kalo kamu gak bakalan sedih. Kamu harus tetap tersenyum kaya gini," ujarnya kemudian menarik sudut bibir Difan, membetuk lengkungan yang terlihat lucu.
"Iya bawel. Lagian gak bakalan ada yang terjadi dengan hubungan kita. Lusa juga Papa mertua bakalan baik lagi," ujarnya kemudian kembali terkekeh.
"Tahu, ah! Kamu gak pernah serius. Pulang sana!" usir Adara seraya mendorong pelan bahu Difan, membuat tubuh pria itu refleks mundur beberapa langkah.
Difan terkekeh kemudian menjulurkan tangannya untuk mengacak rambut Adara.
"Abang pulang dulu, Neng," ujar Difan seraya menyodorkan tangannya ke arah Adara. "Sini, salim sama calon papanya anak-anak dulu," lanjutnya.
Meski jengkel dibuatnya, tak urung membuat gadis itu meraih tangan Difan dan menciumnya dengan khidmat, persis seperti seorang istri.
"Masuk sana. Tuh, Papa mertua nengokin mulu." Dagu Difan menunjuk bayangan ayah Adara yang sekilah terlihat di balik jendela rumahnya.
Dengan setengah hati, Adara kemudian membalikan badan, melangkah meninggalkan Difan yang setelah kepergiannya langsung menekuk wajahnya. Nasibnya sungguh malang. Belum menjadi menantu saja, calon ayah mertuanya sudah memandang rendah ke arahnya.
Sakit sih sebenarnya. Tapi Difan bisa apa? Saat ini ia hanya bisa memastikan bahwa hati Adara tetap terpaut padanya meski ayah gadis itu menentang keras hubungan mereka. Difan juga sadar diri, ia dan Adara jauh berbeda. Tapi mau bagaimana lagi? Yang namannya cinta 'kan tidak pernah memandang dari sudut, bentuk, rupa dan dari segi manapun. Kalau sudah terlanjur jatuh, maka akan sangat sulit untuk bangkit. Bangkit dalam artian meninggalkan rasa yang bahkan kian hari kian tumbuh, semakin membuncah.
Difan menggelengkan kepalanya. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana jika mereka sudah resmi menjadi keluarga besar nanti. Akan sangat menakutkan jika membayangkan pria berewok itu memusuhinya hingga Difan mendapatkan anak dari Adara. Mungkin ketika Difan datang berkunjung, anaknya akan mendengarkan dongeng-dongeng mengerikan tentang ayahnya sendiri.
Memikirkan hal konyol itu, Difan bergidik sendiri.
Hih, jangan sampai ya Allah, rapal Difan kemudian dalam hati.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro