Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian dua puluh sembilan

Pra-Move On!

***

Ayam di luar sana sudah bekokok sejak adzan subuh belum berkumandang tadi. Cahaya matahari bahkan sudah mulai mengintai di balik tirai kamar Difan. Pria itu menggeliat saat cahaya-cahaya itu mulai menyilaukannya.

Untuk beberapa saat kemudian, ia terdiam pada posisinya; terlentang dengan kedua lengannya seperti tengah mengibarkan sayap. Ia raba bagian sisi kanan tempat tidurnya. Tempat di mana Mentari biasanya merebahkan dirinya.

Difan menghembuskan napasnya berat. Sebenarnya ia sudah biasa tidak menemukan istrinya ketika bangun tidur. Setelah subuh tiba, Mentari akan bangun terlebih dahulu tanpa membangunkan Difan. Dan itu tentu saja membuat Difan merasa kecewa.

Dengan sempoyongan, ia berjalan ke arah kamar mandi. Mengambil wudhu, dan melakukan sholat subuh. Seperti biasa, sebelum meninggalkan kamar Mentari memang menyediakan alat sholat untuk Difan. Seperti baju koko dan sarungnya, kemudian menggelar sajadah di bawah kaki tempat tidur. Tapi ia sama sekali tidak membangunkan Difan.

Setelah selesai sholat, Difan kemudian bersiap untuk berangkat ke kantor. Pria yang sudah rapi dengan pakaian kantornya itu melangkah keluar dari kamarnya. Ibu Tia dan Dina sudah tidak di rumah. Sepertinya mereka sudah berangkat ke toko sebelum Difan keluar.

Sampai di meja makan, pria yang kini sudah tidak berjambul itu menemukan makanan telah tersaji di atas meja. Lagi-lagi Difan menghela napas lelah. Istrinya memang pengertian. Tapi entah mengapa dia sama sekali tidak mengerti bagaimana harus berbicara dengannya. Bahkan setelah seminggu umur pernikahan mereka, komunikasi antara Difan dan istrinya bisa dihitung. Mungkin hanya dua kali, setelah selesai resepsi dan beberapa hari yang lalu saat Difan menanyakan di mana letak sepatunya.

Difan kemudian menarik kursi kayu di depannya dengan pelan. Ia masih mencoba untuk bersabar dan menguatkan hatinya. Ia sebenarnya bosan dengan keadaan mereka yang terbilang sangat tidak wajar ini. Difan tahu, mereka tidak menikah karena adanya cinta. Ralat. Ada tapi hanya Difan yang merasakannya. Mentari masih sama seperti dulu sebelum mereka menikah. Gendis salah jika sudah mengira sahabatnya itu kini telah move on dan ingin memulai hidup baru dengan Difan. Buktinya, sampai sekarang gadis itu masih saja tak acuh dan benar-benar mendiamkan Difan. Bahkan selesai mempersiapkan sarapan untuk Difan pun, Mentari tidak berinisiatif untuk menemani pria yang sudah satu minggu ini berperan sebagai suaminya.

Dari tempat duduknya, Difan bisa mendengar seseorang menyapu di halaman belakang. Dan ia tahu kalau itu Mentari. Wanita itu, selalu saja mencari kesibukan lain agar tidak menampakkan wajahnya di depan Difan. Dengan kasar, Difan mendorong kursi yang ia duduki. Ia melangkah dengan hati yang gusar menuju garasi dan mulai meninggalkan rumah denga hati yang kacau. Jika berlama-lama di rumah, dadanya akan terasa sesak karena ulah Mentari.

***

"Mentari masih tetap sama, Yan," ujar Difan pada seseorang di seberang telepon. "Gue gak tahu harus mulai dari mana lagi supaya Mentari bisa benar-benar menerima kehadiran gue," lanjutnya dengan hembusan napas kasar.

Terdengar suara dehaman pelan dari seberang. Abrian, pria yang kini tengah bertugas melakukan sebuah proyek di luar negeri harus kembali mendengar keluahan-keluhan yang sama setiap harinya dari sahabatnya itu.

"Lo tahu, kadang kehidupan pernikahan tidak semanis yang lo bayangin, Fan. Dan bukannya gue udah pernah bilang sebelumnya?"

Meski tak melihat ekspresi wajah Difan saat ini, tapi dari suaranya saja Abrian bisa memastikan kalau pria itu saat ini sedang dalam mode kacau. Sudah menjadi kebiasaan seorang Difan, ketika sedang seperti ini akan mengadu pada Abrian.

"Iya, Yan. Gue tahu. Tapi apa harus seperti ini? Kalau kaya gini kan kesannya cuma gue doang yang memperjuangkan pernikahan ini," keluh Difan.

"Karena ini memang ujian khusus buat lo. Lo juga kan udah janji kalau apapun yang terjadi ke depannya dengan hubungan pernikahan yang lo jalanin, lo bilang gak bakalan pernah menyerah dengan mudah. Karena lo tahu juga kalau hubungan pernikahan itu adalah sebuah hubungan suci," ujar Abrian kembali menyadarkan Difan.

"Gue bosen, Yan. Gue lelah saat dia seakan gak pernah menginginkan pernikahan ini." Difan mendesah frustasi. Ia sudah kehabisan akal untuk meluluhkan hati Mentari.

Di seberang sana, Abrian ikut menghembuskan napasnya dan mendecak. "Jangan pernah mikir tentang cerai lo," peringat Abrian.

"Sayangnya, iya."

"Inget, sekali lagi inget. Allah memang tidak pernah mengharamkan perceraian. Tapi Dia sangat benci dengan perkara yang satu ini," ujar pria di seberang telepon itu kembali membuat Difan terdiam. "Coba tenangin diri dulu. Buat istri lo itu menyadari bagaimana letak kesalahannya tanpa lo harus menjelaskannya," imbuhnya kemudian mengakhiri pembicaraan berat mereka dikarenakan pria berdarah Arab Jawa itu harus segera kembali bekerja.

Setelah sambungan telepon ditutup, Difan kembali merenung. Memikirkan bagaimana cara membuat istrinya sadar tanpa harus menegurnya langsung.

***

Matahari bersinar cukup terik di pagi itu. Dina berjalan dengan tergesa, menghampiri ibunya yang tengah menjemur beberapa lembar pakaian.

"Bu?" panggilnya yang membuat wanita berdaster di depannya menoleh.

"Kenapa, Din?" tanyanya kemudian mengangkat keranjang cucian setelah selesai menjemur pakaiannya.

"Ini hari minggu, tapi kok Bang Difan udah gak di rumah? Semalem juga kayanya dia pulang telat," adu gadis itu.

Ibu Tia yang juga memperhatikan puteranya akhir-akhir ini ikut bingung. Tidak biasanya Difan seperti itu. Ia bahkan tidak berpamitan terlebih dahulu pada wanita itu.

"Ah, Abang kamu palingan lagi banyak kerjaan, Din. Makanya lembur," ujar Ibu Tia berusaha berfikir positif.

"Nggak, Bu. Kayanya bukan karena lembur deh. Aku malah curiga Bang Difan lagi marahan sama Teh Mentari," ujar Dina mulai menebak-nebak.

Ibu Tia menggeleng seraya mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah, jangan mikir yang macem-macem kamu. Gak ada apa-apa antara mereka," ujarnya. "Ayo masuk."

Dari seberang pagar rumah mereka, Pak Henis yang tengah memanaskan motor tuanya tak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan anak itu. Mendengar nama Mentari disebut, dia jadi khawatir kalau anaknya itu membuat ulah.

**

Siangnya, Mentari kebetulan berkunjung ke rumah abi dan uminya. Sesampai di sana, Mentari langsung menghampiri uminya di dapur. Ibu Fatma menyambut kedatangan puterinya dengan senang hati. Meski tinggal berdekatan rumah, Mentari terbilang jarang mengunjungi kedua orang tuanya. Ada beberapa hal yang melatar belakanginya, salah satunya karena masalah rumah tangganya yang sampai saat ini tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Tar?" Pak Henis berdiri di depan pintu dapur, memanggil Mentari yang tengah asik mengadon kue bersama Ibu Fatma.

Wanita bergamis itu menoleh dan tersenyum riang ke arah pria itu. "Iya, Bi?"

"Abi mau ngomong sesuatu. Penting," ujar pria paruh baya itu, masih berdiri di depan daun pintu.

Mentari dan uminya serempak mengernyitkan dahinya.

"Di sini, Bi?" tanyanya.

"Di ruang tengah," ujar Abinya. Mentari kemudian menganggukkan kepalanya dan melangkah menuju kran wastapel di belakangnya sebelum akhirnya menyusul sang Abi menuju ruang tengah.

Pak Henis duduk dengan memasang ekspresi wajah yang terlihat datar. Menunduk menatap ke arah ujung kakinya. Ketika Mentari menghampirinya, barulah pria itu mengangkat wajahnya.

"Duduk," perintahnya yang langsung dituruti Mentari.

Entah mengapa, tiba-tiba perasaan Mentari menjadi tidak karuan seperti ini. Pria paruh baya itu bukan tergolong pria yang ramah, pun suka berbasa-basi dengan orang baru. Namun Abinya tak pernah bersikap tidak ramah padanya seperti saat ini. Raut wajah tegasnya seakan membuat nyali Mentari menciut. Tenggorokan wanita itu pun kini rasanya tercekat.

"Mau ngomong apa, Bi?" tanyanya dengan sedikit ragu.

"Kamu sama Difan ada masalah apa?" Pak Henis balik bertanya.

Deg. Mentari terdiam, saling bertatapan dengan wajah keras abinya. "Ng-nggak ada masalah apa-apa, Bi," ucapnya sedikit terbata.

"Tapi tadi pagi Abi denger dari Dina, kalian ada masalah. Sampai-sampai Difan jarang di rumah dan selalu pulang tengah malam. Benar gak ada masalah?" Pak Henis menatap intens ke arah puteri semata wayangnya.

Mentari masih terdiam. Tidak ada tanda-tanda ia akan membenarkan ucapan abinya, pun menyangkalnya. Ada sesuatu yang tidak beres selama ini. Perasaannya tiba-tiba menjadi gusar saat menyadari fakta kalau selama satu minggu belakangan ini ia memang jarang melihat keberadaan Difan di rumah. Saat Mentari terbangun di pagi hari, suaminya itu justru sudah tidak terlihat. Dan Mentari pun tidak menemuinya ketika malam tiba.

Kenapa ia merasa khawatir dengan pria yang berstatus sebagai suaminya itu? Apa Difan selama ini tersinggung dengan sikap tak acuhnya? Untuk beberapa saat, di hari itu ia ingin bertemu dengan Difan. Mulai membuka pembicaraan dengan pria yang selama ini diabaikannya.

"Tar," Pak Henis kembali bersuara. "Kalau ada masalah, abi mohon dengan sangat, selesaikan baik-baik dan jangan biarkan sampai berlarut-larut," ujarnya.

Mentari menunduk dalam diam.

"Jangan menghindar ataupun mengabaikannya. Dia itu suamimu, orang yang harus kamu hormati. Kamu juga pasti sudah tahu hukum berbakti kepada suami," imbuhnya, membuat sang puteri mengangguk pelan.

Paham. Mentari paham betul dengan apa yang abinya ucapkan. Tapi sampai saat ini ia belum bisa menerapkannya. Tersebab masih ada ego yang lebih besar yang saat ini sedang menguasai dirinya. Dan kini Mentari merasa berdosa terhadap suaminya. Ia telah durhaka. Mengabaikan Difan dan mendiamkan pria itu adalah suatu ketidakwajaran dalam hubungan pernikahannya, yang selama ini baru Mentari sadari.

Allah ... Difan adalah suamiku. Dan aku melupakan fakta, bahwa dia pun bagian dari syurgaku.

Bersambung...

***

Huaaaa... cepet banget kelarnya. Padahal ini belom apa-apa :( hiks

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro