Bagian dua puluh satu
Pra-Move On!
"Fan, ikut pengajian anak rohis yuk?" ajak Abrian setelah kelas siang itu usai.
Difan yang tengah memasukkan tab beserta alat tulisnya ke dalam ransel mendongak, kemudian mengangguk mengiakan. Kebetulan sekali hari ini ia free. Jadi lumayanlah untuk mengisi waktu luang. Dari pada nongkrong gak jelas, pikirnya yang kini sudah mengarah ke arah positif. Abrian tentu saja senang dengan hal itu.
Ia bersyukur pada akhirnya hati Difan berhasil diketuk. Dulu, sangat sulit untuk menasehati pria ini. Bahkan, meski sangsi akan dituruti atau tidak, Abrian selalu berlapang dada dan tetap menjadi pengingat Difan. Abrian tahu ketika tidak bersamanya, Difan selalu lalai melaksanakan solat wajib. Tapi apa mau dikata. Sudah kewajibannya sebagai seorang muslim untuk saling memperingati. Baginya, dengar atau tidaknya Difan, yang penting ia sudah menasehati. Ia percaya, lambat laun hatinya pasti lunak.
"Mau makan siang dulu, apa langsung ke masjid?" tanya Abrian seraya melangkah berdampingan dengan Difan.
"Langsung aja. Siapa tau entar di sana dikasih konsumsi," ujarnya diakhiri kekehan kecil.
"Giliran gratisan aja lancar," gerutu Abrian yang membuat Difan hanya mengendikkan bahunya tak acuh.
Mereka berjalan dengan santai, menelusuri koridor teknik sipil yang siang itu lumayan lengang. Seperti biasa, mereka selalu menjadi pusat perhatian. Apalagi dengan Difan yang akhir-akhir ini terlihat agak sedikit kalem namun, kesan selengekannya masih kentara sekali. Hal ini justru memicu fans fanatiknya semakin ganas.
Seperti beberapa hari lalu, Difan malah dilabrak juniornya, karena dikira jual muka. Ceritanya pendek. Juniornya ini punya pacar, yang ternyata ngefans ke Difan. Setiap kali berpapasan dengannya, gadis itu selalu bertingkah seperti Difanlah pusat dunia. Sontak saja Difan terbahak. Dan itu memicu amarah juniornya. Tapi beruntung Difan orangnya santai. Jadi tidak terlalu memikirkan semprotan adik tingkat yang bahkan terlihat cetek di matanya itu. Difan tidak suka berkelahi. Jadi yang ia lakukan hanya menasehati juniornya itu agar menutup mata pacarnya kalau seandainya nanti mereka berpapasan lagi dengan Difan. Setelah itu, dengan acuh Difan berlalu.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di masjid besar yang ada di kampus mereka. Masjid Salman, masjid kampus pertama yang ada di Indonesia. Suasana sudah lumayan ramai dan sudah banyak yang berkumpul di dalam masjid. Sepertinya acara akan segera dimulai.
"Yan, gue belom sholat dzuhur," ujar Difan ketika mereka telah memasuki area masjid.
Abrian mengangguk. "Gue juga belum," ujarnya. "Mendingan kita sholat dulu sebelum ikut kajiannya," imbuh pria yang berjalan di samping Difan itu. Mereka kemudian melangkah memutar arah menuju tempat bersuci.
Tempat bersuci antara laki-laki dan perempuan disekat dengan dinding tinggi yang memiliki gerbang sebatas dada orang dewasa sebagai penghubung. Abrian masuk lebih dulu. Sementara Difan, ketika hendak membuka sepatu sportnya ia tak sengaja melihat seoarng gadis melewatinya. Difan terdiam sejenak, memperhatikan langkah gadis itu dengan intens. Awalnya gadis dengan setumpuk map di tangannya itu sempat melihat ke arah Difan, sekilas. Saat itu Difan hendak menyapa. Namun gadis itu lebih dulu masuk dan mengacuhkannya begitu saja.
Abrian yang heran kenapa pria berjambul itu tidak masuk juga, akhirnya menghampirinya. Alisnya saling bertaut ketika melihat Difan terdiam mematung dengan posisi berjongkok sambil memegang tali sepatunya.
"Fan?" Abrian memanggil namun, pria itu tak bergeming. "Lo ngapain?" Pria berambut cokelat ikal yang tampak basah itu mengibaskan tangannya di depan wajah Difan dan pria itu sama sekali tak bergerak atau pun sekedar mengedipkan matanya. "Kesambet nih anak."
Abrian kemudian berinisiatif untuk menepuk pundak Difan, dan seketika dirinyalah yang terlonjak karena ucapan Difan.
"Salah ya, kalau gue mau hijrah tapi masih tetep mengharapkan dia yang bakalan jadi jodoh gue?" tanya Difan dengan pandangan lurus ke arah di mana gadis bergamis yang melewatinya tadi berdiri.
"Buset," ujar Abrian refleks. Ia kemudian menepuk pundak Difan semakin keras, hingga kini Difan tersadar.
"Gue ketemu Mentari," ujar Difan.
Abrian menghembuskan napasnya dengan lega. Ia kira sahabatnya itu benar-benar kesambet. Ternyata hanya karena gadis berkerudung dengan belah manggis itu. Abrian kemudian mengangguk paham. Ia mengajak Difan untuk segera mengambil wudhu sebelum waktu dzuhur habis. Jika terus menerus meladeni mode galau Difan, bisa-bisa Abrian ikut larut dan jadi lupa kalau mereka harus mengikuti pengajian siang itu.
***
Difan dan Abrian selesai melaksanakan sholat wajib tepat setelah acara dimulai. Abrian mengajak Difan duduk di syap yang lumayan jauh dengan seorang pria yang kini berdiri di depan mimbar. Mereka mulai menyimak materi yang disampaikan dengan seksama. Ustad yang berdiri di sana adalah orang yang sama yang membuat hati Difan tersentil beberapa minggu lalu setelah mengikuti kajiannya. Seperti biasa, kajian hari itu lumayan seru dan lebih ramai dari kajian khusus ikhwan yang ia dan Abrian sering ikuti.
Sementara jauh di belakang mereka, di waktu yang bersamaan seorang gadis yang duduk di antara mahasiswi lainnya tengah menatap ustad yang berdiri di depan mimbar dengan penuh rasa kagum. Entah mengapa pria itu selalu saja membuat gadis yang besar dengan nama Mentari itu terkesima dengan wibawanya.
Wajah bercahayanya selalu mengingatkan Mentari dengan salah satu Habibnya ketika di pondok dulu. Begitupun dengan tatapannya yang meneduhkan namun menghanyutkan. Kata-katanya selalu membuat Mentari tersihir dan selalu kehilangan kendali, seperti saat ini.
Gendis yang berulang kali mendapati Mentari memandang ustad Haidar dengan tatapan yang patut dicurigai, beberapa kali menyenggol gadis itu dan menyadarkannya. Mentari yang mengerti langsung mengubah posisi duduknya. Tetapi beberapa saat kemudian, ia kembali memandang pria itu dengan pandangan yang sama seperti sebelumnya. Dan itu benar-benar membuat Gendis dongkol setengah mati.
"Tar?" Gadis berperawakan kecil dengan kerudung modern-nya menyentuh pundak Mentari, membuat gadis itu menoleh. "Lo kok natap ustad Haidar gitu banget sih? Gak takut ghadul bashar emang?"
Mentari gelagapan. Ia mengusap lengannya yang tertutup lengan gamisnya dengan salah tingkah. Dengan wajah yang berubah menjadi semerah tomat, ia menggeleng.
"Aku ... aku gak natap ustad Haidar kok," dalihnya yang malah membuat Gendis berdecih.
"Heleh. Menilik dari sudut manapun, wajah merah lo sudah membuktikan kalo tatapan lo beneran mengarah ke sana," ujar Gendis seraya menunjuk ke arah pria di depan mimbar.
M
entari yang duduk berdampingan dengan Gendis masih tetap menggeleng, menyangkal ucapannya.
"Nggak kok. Lagian emang gak boleh ya aku nyimak ceramahnya?"
"Iya simak tinggal simak. Tapi emang gak bisa ya, tatapannya dikondisikan?" tanyanya seraya menggelengkan kepalanya diiringi decakkan pelan.
Gendis kadang merasa heran dengan sahabatnya ini. Katanya paham agama dan setiap minggu rutin menghadiri majelis ta'lim yang membahas bagaimana seharusnya seorang perempuan berakhlak. Tapi kenapa gadis ini masih saja bertingkah seakan ia tak mengerti dengan prestisenya. Padahalkan dia tahu menundukkan pandangan bukan hanya untuk laki-laki saja.
Apa sebesar ini efek jatuh cinta? Intelek dan logika seolah mati rasa. Daya pikirnya yang cerdas, seolah tak berfungsi. Jika dinasehati barulah ia bisu. Tapi ya gitu. Sebelum diam, manusia yang satu ini tak habis dalihnya.
"Jangan mulai deh, Ndis," ujar Mentari seraya kembali mengubah posisi duduknya. Kali ini ia menundukkan kepalanya. Ia memilin ujung kerudung panjangnya dengan gugup. Tatapan mengintimidasi Gendis selalu membuatnya sadar dan diam tak berkutik.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro