Bagian dua belas
Difan menelusuri koridor teknik dengan senyum merekah. Langkahnya yang lebar dan besar mulai menaiki setiap undakan tangga yang menghubungkan antara koridor lobi dengan ruangan 2A. Entah mengapa, hari ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Perasaan pria itu kini tak sesendu hari kemarin. Seperti ada sesuatu yang tengah mekar di hatinya. Rasanya berbunga-bunga dan sedikit menggelitik.
Katakan saja dia lebay dan sedikit alay karena mengartikan getaran yang tiba-tiba hadir di hatinya saat mengingat wajah tetangganya itu, sebagai rasa baru yang berhasil menyingkirkan rasa lama yang masih nyempil di sudut hatinya. Gadis berkerudung yang sempat membuatnya kesal itu entah mengapa tiba-tiba menggantikan wajah Adara di pikirannya.
Kemarin sejak Mentari dan Gendis pulang dari toko, ia tiba-tiba menjadi orang yang aneh. Sering tersenyum dan tiba-tiba terkekeh sendiri. Sampai membuat Dina yang memperhatikannya merasa was-was dan mengira ia tengah terserang penyakit rabies. Ah, ada-ada saja.
Pria itu memasuki kelas teknik sipil A dengan sesekali bersiul. Dari daun pintu, ia melihat seorang gadis dengan cermin kecil di tangannya tengah memoles lipstik pada bibirnya. Gendis. Gadis berjilbab pasmina pink cerah dengan rok panjang berwarna cream itu membuat senyum Difan semakin mengembang.
Ia melangkah menuju bangku paling depan tempat Gendis duduk. Tanpa basa-basi, Difan mulai mendudukkan dirinya pada bangku kosong di samping gadis itu.
"Ckck, maka nikmat Tuhan yang manakah yang hendak kau dustakan?" decak Difan membuat Gendis sedikit terlonjak.
Gadis itu menatap Difan sekilas, kemudian kembali menatap cermin kecil di tangannya.
"Gila! Ndis, lo cakep bener," puji Difan seraya menggelengkan kepalanya.
Gendis yang awalnya menatap Difan dari sudut matanya, kini tersenyum samar. Ia mengecap bibir merahnya beberapa kali sambil bercermin. "Baru nyadar?" tanyanya dengan begitu pede.
Difan tergelak sambil memukul pelan meja yang ia gunakan untuk menumpu dagunya beberapa saat lalu. Ia baru ingat kalau Gendis ini ternyata memiliki tingkat kepedean yang jauh di atas rata-rata, sama seperti kebanyakan teman kelasnya yang lain. Makanya kemarin ia sedikit lupa pernah punya teman seperti gadis ini. Tubuhnya yang mungil dengan bibir tipis yang dipoles lipstik dengan tebal tiga senti itu menjadi kata kunci yang berhasil Difan ingat sesaat setelah kepergiannya dari toko kuenya kemarin.
"Iya, aura Luna Maya lo baru keliatan sekarang," kekeh Difan yang membuat pipi Gendis tiba-tiba memerah.
Difan memperbaiki posisi duduknya. Ia hampir saja lupa tujuan awal ia menghampiri gadis yang saat ini tengan menundukkan kepalanya itu.
"Eh, Ndis?" panggilnya, membuat Gendis mengangkat kepalnya. Kening gadis itu berkerut dengan tatapan seolah bertanya. "Minta nomer Mentari dong," lanjut Difan.
Seketika, wajah Gendis menjadi kusut. Tukang modus, sekali modus tetap modus. Ia kira tadinya Difan memujinya karena pria itu sudah mulai tertarik dengannya. Tapi nyatanya, pria sableng yang saat ini tengah nyengir ke arahnya itu punya maksud terselubung.
"Mau nomer apa?" tanya Gendis, membuat sudut bibir Difan tertarik membuat sebuah lengkungan indah yang saat itu juga langsung membuat Gendis mengelus dada. "Nomer baju, nomer sepatu atau apa?" lanjutnya kemudian.
Difan mendengus. Jitak gak ya, jitak gak ya, rapalnya dalam hati.
Dengan suara yang dibuat agar terdengar sehalus mungkin, Difan kembali bersuara, "Nomer hape dong Gendis cantik," ujarnya.
Gendis mengangguk-anggukkan kepalanya sok mengerti. Dalam kepalanya, ide ljahil mulai berkelana. Ia kemudian memerkan segaris senyum licik yang terlihat samar. "Gue kirimin lewat SMS ya?"
Difan mengagguk antusias. "Nomer hape gue udah lo save?" tanyanya.
"Iya," jawab Gendis tanpa menoleh ke arah Difan. Tangannya kini sibuk mengutak-atik ponselnya.
Tring..
"Noh, udah masuk," ujar gadis itu membuat Difan langsung merogoh ponselnya.
Difan mengangkat jempolnya kemudian mengedipkan sebelah matanya ke arah Gendis. Sementara gadis itu, dalam hati bersorak dengan ketawa jahat.
Dasar playboy cap kodok. Mau aja dikibulin, batin Gendis berujar.
Difan kemudian bangkit dari duduknya. Di wajahnya masih menampilkan segaris senyum menawan yang membuat gadis di depannya itu lagi-lagi hanya mempu mengelus dada seraya beristighfar. Difan, pria sableng yang menjadi sumber godaan bagi gadis-gadis di kampusnya terlebih di jurusan mereka kini berlalu meningalkan Gendis dengan segurat senyum licik di wajah gadis itu. Dengan sorakan riang, Difan melangkah menuju salah satu bangku yang terletak di deretan tengah.
***
Beruntung kelas siang ini berakhir lebih cepat, karena kebetulan dosen yang mengajar sedang ada panggilan darurat sehingga Difan bisa segera ngacir dari ruangan pengap itu. Ia melangkah menuju taman yang ada di belakang gedung fakultasnya. Sebuah bangku kayu panjang yang dicat dengan warna putih bersih terlihat begitu memikat Difan. Setibanya di sana, ia langsung menghempaskan bokongnya.
Senyum pagi tadi masih mengambang di wajah tampannya. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi Mentari jika dia tiba-tiba mengubunginya. Menanyakan kabarnya dan memperkenalkan dirinya sebagai seorang Radifan Mahesa yang berbudi pekerti luhur. Ia tiba-tiba terkekeh sendiri dengan pemikirannya.
Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba menyelinap di otaknya. Ia hampir saja melupakan satu fakta yang beberapa hari lalu membuatnya menjadi gegana alias gelisah galau merana karena Mentari. Entah mengapa, gadis berkerudung itu tiba-tiba menjadi sebuah mantra oblivate atau mantra penghilang ingatan seperti pada novel Harry Potter kesukaan Dina.
Mentari mambuatnya melupakan beberapa luka yang sempat hadir karena mantannya beberapa hari lalu. Dalam waktu sekejap, Mentari membuat teori move on telor ceplok Difan menjadi kenyataan. Terdengar sedikit berlebihan memang jika harus membahas tentang cinta yang tiba-tiba tumbuh begitu cepatnya setelah beberapa saat lalu mengalami keretakan hati yang sangat dalam. Tapi sebagian orang memang begitu. Kadang ada saja yang mampu menjadi lem sekaligus amplas untuk membuat retakan yang tercipta kembali utuh meski bentuknya terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Secara tidak langsung, Mentari pun sudah membuat retakan di hati Difan perlahan memudar.
Difan mendial nomer telpon yang diberikan Gendis padanya tadi pagi. Menunggu beberapa saat sampai deringan ketiga, panggilan terhubung.
Senyum Difan terbit.
"Halo, Assalamualaikum," sapanya terdengar ramah.
Terdengar dehaman berat dari seberang telepon. Ini beneran Mentari 'kan?
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," ujar suara berat itu. "Ini siapa?"
Difan terdiam sejenak. Keningnya berkerut dengan mata yang mengerjap beberapa kali. Ia pun ikut berdeham sebelum akhirnya mengeluarkan suara.
"Maaf, saya temannya Mentari. Kalau boleh tahu, ini dengan siapa ya?" Difan berujar dengan hati-hati. Berharap, yang bericara dengannya saat ini bukan pria berkumis yang merupakan ayah Mentari.
"Oh, temannya Mentari," ujar pria di seberang telepon. "Saya ayahnya Mentari," lanjutnya.
Difan menelan ludahnya dengan susah payah. Benarkan kalau ini adalah Pak Henis, pria berkumis dengan perut buncit yang sering meminjam golok ke rumahnya. Pria yang mempunyai tampang sangar, dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak.
"Eh, Om. Ini saya Difan, Om," ujar Difan pada akhirnya. Semoga bapak ini inget gue.
"Difan? Difan yang di depan rumah?" tanyanya yang seketika membuat Difan menaggguk.
Eh, bego. Pak Henis gak bakalan tahu lo ngangguk, rutuknya.
"Iya, Om. Saya Difan," ujar Difan diakhiri dengan kekehan.
"Oalah. Tumben nih, Fan. Ada apa nyariin Mentari?"
Difan kembali terdiam. Sekarang dia harus jawab apa? Masa mau langsung bilang ingin meminang anak bapak? Ya kali! Mentari saja masih ogah-ogahan melihatnya. Apa iya, bapaknya akan langsung menerima Difan? Sepertinya Difan harus tidur dulu agar bisa segera bangun dari mimpi tidak jelasnya ini.
"Nggak kok, Om. Tadinya mau nanyain tentang bisnis kue online yang beberapa hari lalu kami rencanakan."
Kami? Huft. Tidak ada kata kami di antara mereka. Tapi ya sudahlah. Difan nanti akan berterima kasih pada Dina karena gadis itu dengan murah hati memberi tahu tujuan Mentari datang ke toko mereka kemarin.
Setelah bercakap ngalur ngidul tentang perkembangan toko kue milik ibunya, Difan akhirnya berpamitan untuk menutup sambungan telepon. Dengan alasan masih mempunyai tugas kuliah yang harus dia kerjakan, Difan berhasil menghindar dari pertanyaan-pertanyaan ayah Mentari yang mulai merambat ke arah perkembangan agama di kompleks perumahan rumah mereka. Difan mana ngerti dengan hal begituan.
Ayah Mentari kemudian ber'oh' ria. Sebelum memutus sambungan telepon, pria itu memberi tahu Difan kalau nomer yang yang diberikan Gendis adalah nomer hape Pak Henis.
Setelahnya, pria itu menghembuskan napasnya lega.
Ia jadi benar-benar ingin menjitak Gendis sekarang. Gadis licik itu hampir saja membuat Difan terjerat ke lubang buaya. Untung saja ia bisa berkelit seperti belut yang licin. Jadi sebelum terperangkap ia bisa keluar dengan selamat.
Ayah Mentari tergolong dalam kategori calon mertua berbahaya. Jika papanya Adara memiliki jiwa yang keras dan menentang apa yang tidak ia sukai dari anaknya, maka ayah Mentari berbeda. Dari yang Difan ketahui, pria ini jauh manusiawi namun, diam-diam menghanyutkan. Dengan caranya sendiri, ia mampu membuat anaknya berbelok arah dari tujuan awalnya. Persis seperti Almarhum ayah Difan.
Difan menyandarkan punggungnya. Ia mulai menerawang jauh. Menatap langit biru di atas sana. Matahari sedang bersinar malu-malu di balik awan. Cahayanya yang tersalurkan ke bumi sedikit redup tapi terasa lebih baik dari pada teriknya yang menusuk kulit.
Ucapan ibunya tempo hari saat Difan menanyakan semua hal tentang Mentari padanya tiba-tiba terlintas dipikiran Difan.
Gadis seperti Mentari ini ibarat mutiara. Sulit untuk menemukannya. Secara, mereka terselam di dasar laut. Jika ingin memilikinya, maka harus benar-benar mempunyai tekad dan usaha yang besar.
Dari kaca mata Difan, Mentari tergolong gadis yang tidak mudah didekati begitu saja. Sama seperti kata ibunya, prinsip hidup Mentari itu kuat. Jadi akan sangat sulit untuk mematahkannya. Namun, apapun itu, Difan tidak peduli. Mentari haruslah menjadi miliknya.
Bersambung...
****
Hola hola.. khaifa khaluk guys? :')
Aku lagi kangen nyerocos. Ehehe
Yok siapa yang mau jadi mutiara kek Mentari, acungkan jempol kaki... huft
Daku sering banget baca kata2 di sebuah artikel yang menyentuh beut. Di sana itu membahas tentang wanita yang diibaratkan sebuah mutiara. Seorang laki-laki harus menyelam ke dasar laut jika ingin mendapatkannya. Bayangin guys, enak banget jadi mutiara. Tanpa tebar2 pesona, dia sudah mampu memikat para penyelam dengan kilaunya. *YaAllah bahasaku :D
Nah, sebagai seorang wanita, ilmu mutiara ini seharusnya bisa kita terpakan. Tetap bersinar dengan cahaya kita sendiri, meski tidak mengumbarnya sekalipun. Kita sebagai wanita punya sumber cahaya dari berbagai macam sisi. Entah itu dari sisi akhlak, penampilan dan tutur bahasa. :') *jadingajidehaku
Kata-kata favorutku; "Wanita itu merupakan separuh dari jiwa yang hilang. Maka seorang pria harus mencarinya dengan seksama, memilihnya dengan teliti, melihat dengan hati-hati sebelum menjadikannya pasangan jiwa." *Ini aku kutip di salah satu artikel yang langsung makjleb banget di hati. Ehehe
Sekian dulu deh. Sampai jumpa di next chapt.
Krisan tetap daku tunggu. See ya!
Big love,
Calon uminya anak-anak💕
.
.
.
.
.
.
Ngakak dulu bentar😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro