Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian delapan

Rabu kelabu menjadi tema yang pas untuk hari rabu kali ini. Di depan ruang kelas, sehabis kuis mendadak siang itu Difan dan teman-temannya duduk pada bangku panjang yang ada di sana. Wajah mereka tampak kusut dan lelah. Mata terlihat mengantuk. Sebelumnya mereka tidak pernah membayangkan Prof. Handoko akan sekejam itu. Hari itu mereka kira kelas akan kosong karena Prof. Han sudah telat selama tiga puluh menit. Tapi nyatanya ketika beliau datang, tiba-tiba bak mantera kutukan mereka langsung mendapat kuis dadakan. Difan yang sebelumnya tak pernah belajar, bahkan membuka buku saja tidak hanya melongo dengan jantung yang tiba-tiba berdegub kencang. Persis ketika sedang jatuh cinta.

"Gila! Prof. Han hari ini kejam banget ya," ujar seorang gadis bertubuh kecil yang duduk berjarak dua orang dari Difan. Entah Difan lupa siapa nama gadis itu. Gadis berkerudung yang setiap paginya wajib berdandan di dalam kelas.

"Ho'oh, masa gerak aja gak boleh. Aku sampe tahan napas loh ngerjain kuisnya," sahut gadis yang duduk bersebelahan dengan gadis berkerudung itu.

Di jurusannya, Prof. Handoko memang terkenal sebagai dosen paling killer. Wajah tegas dengan kumis tebal membuatnya terlihat semakin garang. Apalagi tubuhnya yang tinggi dan tegap. Membuat bapak yang sudah berkepala empat itu terlihat lebih cocok menjadi ABRI atau TNI saja daripada seorang pengajar.

Tapi hebatnya, tidak ada mahasiswa yang tidak berhasil selama dibimbing beliau. Sikapnya yang tegas dan disiplin selalu bisa membuat anak bimbingannya wisuda tanpa kendala, meski sebelumnya mengalami tekanan batin yang luar biasa. Bagaimana tidak, kata senior Difan, Profesor yang mengajar di bidang menejemen proyek itu merupakan dosen pembimbing tersadis. Di saat konsul skripsi, coretan akan full di mana-mana. Judul tidak diterima, bisa dilempar sembarang arah. Tapi kalau di luar kampus, dosen berkumis itu baik dan ramah. Apalagi ketika mengantar tugas ke rumahnya, Difan sering disuguhi berbagai jenis makanan yang bisa menemani mereka sampai diskusi selesai.

"Jangan-jangan Prof. Han sedang PNS lagi," sahut Difan sok tahu. Ia terkekeh kecil saat membayangkan dosen berkumis itu benar-benar dalam mode wanita datang bulan.

"Eh, lo tadi bilang apa, Fan?" Zulhan yang duduk di antara Difan dan Abrian menyahut.

"Yang mana?" Difan balik bertanya. Keningnya terlihat berkerut, tanda ia sedang berpikir keras.

"Itu, tadi lo bilang Prof. Han lagi PNS?" Zulhan mengulang ucapan Difan beberapa saat lalu. Seketika, tawa teman-temannya pecah. Difan yang masih tidak mengerti letak kesalahan ucapannya, hanya menatap bingung dengan anggukan polos.

"Lo salah, ogeb! Yang bener PMS bukan PNS," sahut Abrian seraya menepuk paha Difan dengan keras, kemudian beberapa menit selanjutnya mereka saling memiting leher satu sama lain.

Dengan tampang sok polos, Difan membela diri. "Lah, tadi gue emang bilang PMS 'kan?" Ia merapikan kemeja putih pemberian dari mantannya--Adara-- yang kala itu terlihat kusut akibat ulah Abrian.

"Si Difan Mahendra, udah bego pikun lagi," sahut salah seorang pria berambut keriting yang bersandar pada tiang koridor di depannya.

"Mahesa, Den Mahesa. Nama gue Radifan Mahesa. Mahendra mah nama bapak tetangga gue," terang Difan seraya melempari pria bernama Deno itu dengan kulit kacang. Sesuka hati mengganti nama orang. Tak tahu apa kalau bikin nama harus sembelih kambing seperti sunnah Rasul.

"Eh ... eh, Fan. Itu kayanya temen Adara deh," sela Zulhan seraya menepuk pundak Difan, membuat pria itu mengalihkan perhatiannya dari Deno.

"Si Laura, bukan?" sahut Abrian yang diangguki oleh Difan.

"Dia jalan ke arah sini, Fan," Deno menimpali, "jangan ... jangan." Kemudian sedikit mencondongkan wajahnya ke arah Difan, membuat Difan mendorong wajah oval pria itu dengan menempelkan telapak tangannya.

"Jangan-jangan apa? Jangan bicara setengah-setengah, nakutin aja!" ujar Difan dengan raut wajah panik yang terlihat dibuat-buat.

"Difan?" panggil gadis dengan rambut sebahu berpipi bakpau itu. Tanpa mengatakan apapun, gadis itu langsung menyodorkan undangan berwarna pastel ke arah Difan.

Difan mendongak, lalu menatap undangan itu dengan bingung namun pada akhirnya mengambil kertas itu dengan ragu. Saat melihat nama pemilik yang tertera di undangan itu, Difan langsung menatap Laura, meminta penjelasan. Sementara gadis yang ditatap hanya mengendikan bahu dan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata.

Setelah gadis Bakpau itu pergi--begitu kata Deno menamainya-- Zulhan langsung merebut undangan yang ada di tangan Difan, membuat teman-temannya yang lain ikut penasaran dan jadilah mereka saling berebutan.

"Wih, untuk Radifan Mahesa dan pasangan, di tempat." Deno membaca undangan tersebut dengan lantang. "Gila! Ini mah namanya penghinaan, Fan," lanjutnya. Abrian langsung menoyor kepalanya ketika melihat raut wajah Difan yang berubah nelangsa.

Menyaksikan hal itu, teman-temannya yang lain terkekeh. Bahkan ada yang sampai tergelak dengan tangan memegang perut.

"Malang kali nasib kau, Fan. Apalagi yang lebih mengenaskan selain dapat undangan pernikahan dari mantan tercinta?" kelakar Deno yang tambah membuat hati Difan memanas.

Sementara Abrian yang masih setia duduk di sampingnya hanya menepuk pundaknya dengan pelan, namun setelahnya ikut mentertawai kemalangan Difan.

Para gadis hanya menyaksikan mereka dengan wajah penuh tanda tanya. Mereka bahkan tak tahu nasib buruk apa yang telah menimpa Difan sehingga menjadi bahan olokan bagi teman-temannya. Melihat ekspresi Difan, sepertinya itu bukan hal yang menyenangkan.

"Yang kalian lakuin ke aku tuh ...," Difan mulai mendrama, "jahad!" ujarnya dengan menekan huruf terakhir dari kata yang diucapnya.

"Iyuh. Jijik gue, Fan," ujar para gadis bersamaan. Pura-pura menatap Difan dengan tatapan jijik, seperti ingin muntah.

Setelahnya mereka semua tertawa bersama. Saling berteriak kemudian memeluk Difan dari samping secara bersamaan, kecuali para gadis. Mereka menepuk-nepuk pundak Difan bergantian, memberikan kekuatan untuk pria itu. Meski Difan terlihat tidak galau dan justru ikut tertawa lepas, mereka tahu betul hati pria itu sedang kacau. Luarnya saja yang terlihat hangat. Padahal mereka tahu kalau dari dalam, Difan sedang terperosok dalam selokan cinta. Maka yang dibutuhkan Difan saat ini hanyalah tumpuan yang bisa membantunya berdiri.

Difan pun ikut terkekeh. Ah, teman-temannya ini bahagia sekali. Bahkan di saat Difan tengah patah hati pun mereka begitu bahagia. Meski begitu, Difan bersyukur memiliki mereka yang selalu setia menemaninya dalam keadaan apapun. Tanpa mereka, mungkin hari-hari Difan tidak akan pernah berwarna. Karena bersama mereka, meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tengah dilanda mendung, selalu ada cahaya yang berhasil menyelinap masuk. Menerangi sisi-sisi gelap dan dingin hati Difan. Memberikan kehangatan meski hujan lara melanda.

Difan benci galau. Karena ketika galau, Difan bukanlah Difan. Ketika ia galau, teman-temannya pun ikutan galau. Suasana akan terasa suram jika Difan muram. Karena di antara mereka, Difanlah sumber tawanya.

Ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Menginstrupsi dirinya agar tidak galau lagi. Bisa-bisa julukan pria terkece sepanjang semester lima tergantikan menjadi pria galon.

"Heh, banci banget kalo lo beneran mewek gara-gara selembar undangan ini, Fan," protes Deno saat melihat Difan terkekeh.

Teman-temannya yang lain mengagguk setuju.

"Awas lo galau-galauan, Fan. Gue kawinin lo ama dugong," imbuh Zulhan yang kembali membuat suasana pecah.

"Kan, gue jadi inget tragedi perkembangbiakan dugong kemarin," seloroh Difan. Ujung matanya menatap ke arah Deno yang kini tengah memperhatikannya.

"Woy! Ngomongin dugong jan liat-liat ke arah gue dong," ujar pria berambut keriting itu.

Difan terbahak diikuti Abrian dan teman-temannya yang lain.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro