Chapter 14 [Sebuah Akhir Di Lembah Kematian]
"Lama tidak bertemu, Alexander," suara orang dewasa yang keluar dari mulut bocah seusia Ethan.
Batin Alexander tersentak, memandang waswas ke arah bocah yang berdiri di ambang pintu. Dan saat itu Alexander merasakan bahwa genggaman tangan Ethan menguat. Cukup membuktikan bahwa bocah itu tengah ketakutan saat ini.
Bocah di ambang pintu itu berjalan masuk sembari berucap dengan suara yang sama seperti sebelumnya, "kau tumbuh dengan sangat baik, aku tersanjung melihatmu kembali kemari."
Pintu ruangan itu tertutup dengan kasar. Tak seperti sebelumnya, kali ini Alexander tak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Namun ia sedikit menarik Ethan agar bocah itu bersembunyi di belakangnya.
Tanpa rasa takut, Alexander menegur, "tunjukkan wujudmu yang sebenarnya."
"Seperti apa? Seperti ini?"
Bocah itu berubah wujud menjadi sosok yang lebih dewasa, menjadi pemuda yang sangat dekat dengan Alexander. Iblis itu berubah wujud menjadi Aslan, dan hal itu sudah cukup untuk memicu kemarahan Alexander.
"Anak nakal, kenapa melihat kakakmu seperti itu?"
Alexander memandang dengan tatapan terluka ketika bukan hanya wujud yang sama. Melainkan suara yang sama pula dengan suara Aslan.
Menyaksikan Alexander kembali terluka, iblis berwujud Aslan itu tertawa dan berjalan mendekat. Alexander sama sekali tak beranjak dari tempatnya, namun saat itu tangan kanannya yang terbebas menyusup ke balik jasnya.
"Kau tidak ingin lari lagi, Alexander? Bukankah kau suka sekali melarikan diri, anak buangan Tuhan?"
Iblis itu berhenti di hadapan Alexander dalam jarak satu meter, namun Alexander sama sekali tak memberikan respon yang berarti.
"Kenapa? Kau sudah menyerah? Semudah itu?"
Mencoba untuk tetap tenang, Alexander kemudian menyahut, "ada satu hal yang kau ketahui, Pendosa."
Iblis itu kembali tertawa, tampak meremehkan Alexander. Dia kemudian berujar, "satu hal yang harus kau ketahui ... kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini, Anak nakal."
Alexander tiba-tiba menarik tangan yang sebelumnya ia sembunyikan di balik jas dan langsung melemparkan segenggam garam suci pada sosok iblis itu yang kemudian bergerak mundur sembari menutupi wajahnya dan meraung kesakitan.
"Tuhan tidak pernah membuangku," tandas Alexander dan sekali lagi melempari iblis itu dengan garam suci yang tersisa dalam genggamannya.
"Arghh ..." iblis itu menggeram dan semakin menjauh.
Alexander kemudian mengangkat tubuh Ethan, menaruh bocah itu di bahunya dan segera meninggalkan tempat itu.
"Alexander! Kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini, Argh!!" geram iblis itu yang kemudian kembali pada wujud yang sesungguhnya. Bukan lagi seorang bocah, melainkan sosok pria dewasa dengan wajah penuh luka yang sangat mengerikan.
Teriakan sang iblis lantas memenuhi bangunan itu, membimbing langkah Alexander meninggalkan rumah itu. Alexander kemudian berlari memasuki hutan, masih dengan Ethan yang berada di atas bahunya. Namun kebisingan tiba-tiba mengiringi langkah Alexander.
Suara tangis yang bersahutan dengan suara tawa, suara anak kecil yang tengah bermain bersama teman-temannya, suara ayahnya, suara ibunya, suara kakaknya dan bahkan suara dari kesepuluh anak asuhnya. Semua terdengar dalam satu waktu dan menyesatkan langkah Alexander.
Alexander menurunkan Ethan di bawah pohon yang menjulang tinggi. Kepanikan terlihat di wajahnya ketika hutan tempat mereka berada saat ini tiba-tiba berkabut. Menyingkap jasnya, Alexander mengambil sebuah salib seukuran genggaman tangannya dan langsung menjatuhkan satu lututnya di hadapan Ethan.
Sejenak menggenggam salib tersebut, Alexander kemudian meraih tangan kanan Ethan dan memberikan salib di tangannya pada bocah itu. Alexander meraih tangan Ethan yang lain dan membuat bocah itu menggenggam salib tersebut.
"Dengarkan paman baik-baik. Apapun yang terjadi, jangan biarkan salib ini terlepas dari tanganmu."
Ethan mengangguk dan tampak menahan tangisnya.
"Paman, di mana ayahku? Aku takut."
"Kita akan segera bertemu dengan ayahmu." Alexander mengulurkan tangan kirinya, "ayo, kita pergi dari sini."
Ethan mengangkat tangannya, namun sebelum tangan keduanya bersentuhan, tubuh Alexander tiba-tiba terhempas ke belakang dan menabrak salah satu pohon sebelum jatuh terduduk dengan wajah yang tampak kesakitan. Tak cukup sampai di situ, tubuh Alexander tiba-tiba terangkat. Namun bersamaan dengan hal itu, Alexander merasakan sesuatu mencekik lehernya semakin kuat ketika tubuhnya semakin bergerak ke atas. Ethan yang melihat hal itu tampak ketakutan dan berjalan mundur sembari menggenggam salib pemberian Alexander.
Alexander yang menyadari pergerakan Ethan berniat mencegah bocah itu, namun suaranya justru tercekat di tenggorokan ketika ia ingin bicara. Alexander menggerakkan tangan kirinya semampu yang ia bisa untuk menghentikan Ethan.
"E-ethan ..." hanya satu kata terputus yang mampu terucap oleh mulutnya.
"Tetap di sana, jangan pergi," batin Alexander.
Tubuh Alexander tersentak ketika cekikan di lehernya semakin kuat dan membuat kedua tangannya sontak memegangi lehernya. Saat itu pandangan Alexander menangkap sosok iblis yang tengah bersembunyi di dalam kabut dan mulai berjalan mendekatinya.
Sedangkan Ethan yang semakin ketakutan terus berjalan mundur dengan pelan sebelum langkahnya terhenti ketika ia tak sengaja tersandung akar pohon yang mencuat keluar. Bocah itu menatap sekeliling dan mulai menangis tanpa suara.
"Ayah ..." lirih pemuda itu.
"Ethan, kau di mana?"
Batin Ethan tersentak ketika ia tiba-tiba mendengar suara Reygan.
"Ayah," seru bocah itu yang tertangkap oleh pendengaran Alexander.
"Ethan, kemarilah. Datanglah pada ayah, ayah menunggumu," suara itu semakin terdengar jelas.
Ethan berdiri dan mengikuti suara Reygan yang terus menyuruhnya untuk datang. Dan hal itu membuat kepanikan yang bertambah besar di wajah Alexander.
"Tidak, jangan pergi. Itu bukan ayahmu, jangan pergi," batin Alexander ketika ia memberontak. Mencoba untuk melepaskan diri.
Namun semua percuma ketika dengan cepat Ethan menghilang di dalam kabut.
"Ethan!" satu teriakan putus asa berhasil keluar dari mulut Alexander dan seketika menghilangkan kebisingan yang sempat menguasai pendengarannya.
Semua hening dan bahkan terasa mati. Alexander tak lagi merasakan cekikan pada lehernya kendati tubuhnya masih menggantung di batang pohon. Dan saat itu sebuah tawa sinis berhasil menarik perhatian Alexander. Memandang ke bawah, ia menemukan sosok iblis yang tengah mempermainkan takdirnya.
"Sudah berakhir, Alexander Lim. Inilah akhir dari kesombongan ayahmu."
"Kaulah yang akan berakhir," balas Alexander namun dengan suara yang putus asa.
Alexander tersentak ketika tubuhnya jatuh. Namun tak sampai membuat kakinya menapak pada tanah, karena sebelum itu terjadi iblis di hadapannya benar-benar mencekik lehernya dengan kuat dan hampir merenggut napasnya.
Iblis itu kemudian berbicara dengan suara yang berbisik, "semua sudah berakhir, Alexander Lim. Seperti ayahmu, kau akan menjadi budakku."
Iblis itu tertawa dengan suara besar yang memenuhi hutan kosong tanpa kehidupan. Satu tetes air mata melarikan diri melalui sudut mata Alexander. Tangan kirinya lantas terangkat dan mencengkram kuat lengan yang tengah mencekiknya itu. Membuat hening seketika kembali melanda ketika tawa iblis itu terhenti.
"Kau yang akan berakhir," ucap Alexander dengan lebih tenang.
Pandangan yang sempat terjatuh itu lantas kembali terangkat. Memandang dengan tatapan terluka tanpa ada sedikitpun perasaan takut hingga mulut itu kemudian menggumamkan sesuatu yang terlarang bagi iblis itu.
"Sáncte Míchael Archángele," (Mikael The Archangel)
Iblis itu tampak terkejut.
"... defénde nos in proélio, cóntra nequítiam et insídias diáboli ésto præsídium." (Lindungi kami dalam pertempuran melawan kejahatan dan jerat iblis)
Kalimat yang diucapkan oleh Alexander mulai bereaksi. Iblis itu menggeleng kuat, tampak terganggu dengan kalimat yang diucapkan oleh Alexander. Dengan cepat iblis itu menghentikan ucapan Alexander dengan menguatkan cekikan pada leher Alexander, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Alexander.
Berucap dengan nada berbisik, asap putih tipis keluar dari mulut itu ketika ia berbicara. "Beraninya kau ..."
Alexander menguatkan cengkramannya pada lengan si iblis dan berucap dengan suara yang lebih lantang, "Ímperet ílli Déus ..." (Dan lakukanlah)
"Argh!!" iblis itu menggeram di hadapan wajah Alexander dengan suara yang menyerupai hewan buas.
Bukannya takut, Alexander justru berucap dengan lebih lantang lagi seakan tengah menantang iblis itu.
"... súpplices deprecámur: tuque, prínceps milítiæ cæléstis,"
"Argh!! Alexander!"
Iblis itu melangkah mundur dan seketika tubuh Alexander merosot hingga terduduk di tanah. Sedangkan iblis itu terlihat kesakitan sembari meringkuk dan menutupi kedua telinganya.
Melihat hal itu, Alexander kembali berucap dengan suara yang lebih lantang, "Sátanam aliósque spíritus malígnos, qui ad perditiónem animárum pervagántur in múndo, divína virtúte, in inférnum detrúde,"
(Hai tuan rumah surgawi Setan dan semua roh jahat yang berkeliaran di seluruh dunia mencari kuasa Tuhan, dimasukkan ke neraka)
Diakhiri oleh sebuah teriakan yang seakan bisa merobek pita suaranya, "Amen!"
"Argh!" wajah iblis itu menghadap langit. Berteriak sekeras mungkin sebelum tubuhnya terkikis oleh hembusan angin pelan dan menghilang menjadi asap hitam yang dengan cepat menghilang dari pandangan Alexander.
Napas Alexander tersenggal, tak menyadari jika air mata kerap meloloskan diri dari sudut matanya. Mengusap kasar wajahnya, Alexander segera beranjak dari tempatnya untuk mencari keberadaan Ethan.
Berlari di tengah kabut yang semakin pekat, Alexander meneriakkan nama Ethan dengan harapan besar bahwa ia akan menemukan bocah itu.
"Ethan!"
Namun sayangnya semua panggilan yang ia lakukan justru dikembalikan padanya ketika suaranya menggema di dalam kabut. Dengan perasaan putus asa, Alexander menghentikan langkahnya. Memandang ke sekitar dan hanya menemukan dirinya yang semakin tertelan oleh kabut.
"Ini belum berakhir, tidak akan berakhir seperti ini," kalimat putus asa itu terucap oleh batin Alexander.
Namun tubuh Alexander tersentak ketika sesuatu menarik satu kakinya. Alexander seketika terjatuh dengan satu kaki yang terperosok ke dalam tanah yang tertutupi oleh dedaunan kering. Mencoba untuk bangkit, Alexander merasa bahwa sesuatu menarik tubuhnya ke bawah.
Alexander memberontak, namun saat itu pandangannya menangkap tangan-tangan yang mencoba menarik tubuhnya ke bawah. Alexander berusaha melepaskan diri, namun satu kakinya turut terperosok. Mencoba mencari pegangan, tubuh Alexander perlahan mulai masuk ke dalam tanah.
"Tidak ... ayah," batin Alexander putus asa ketika ia menangis tanpa suara.
"Aku tidak akan mati seperti ini. Maafkan aku," kalimat terakhir yang mampu diucapkan oleh batin Alexander sebelum tubuhnya benar-benar menghilang tertelan oleh tanah dan tertimbun oleh dedaunan kering ketika tangannya tak mampu mencari pertahanan.
Selesai ditulis : 03.11.2020
Dipublikasikan : 03.11.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro