Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 [Membuka Kembali Kotak Pandora]

    Reygan membuka pintu ruang rawat Alexander. Namun beberapa langkah ia ambil, dia dibuat tertegun ketika melihat ranjang kosong. Tak juga ia temui Alexander berada di ruangan itu.

    Mengeluarkan ponselnya, Reygan memutuskan untuk menghubungi Alexander. Namun sayangnya panggilan itu tak kunjung mendapatkan jawaban hingga Reygan menyerah dengan mudah.

    Tersenyum tak percaya, Reygan kemudian bergumam, "apa yang kuharapkan dari orang asing itu?"

    Alih-alih marah, wajah Reygan justru menampakkan keputusasaan. Meninggalkan ruangan itu, Reygan memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Sedangkan di sisi lain, tepatnya di sebuah Gereja yang terletak di kota. Alexander berdiri seorang diri di ruangan besar itu.

    Berdiri di bawah mimbar, pandangan yang sebelumnya mengarah pada lantai lantas terangkat. Mempertemukannya dengan patung Yesus Kristus.

    Bukan hanya mulut, bahkan batinnya sama sekali tak ingin mengucapkan apapun sejak ia berdiri di sana lima belas menit yang lalu. Sesungguhnya Alexander tengah meyakinkan dirinya sendiri kenapa ia berdiri di sana. Setelah waktu berlalu dengan cepat dan menyisakan waktu dua hari dari tujuh hari yang dijanjikan, harusnya ia pergi ke rumah si dokter.

    Setelah terdiam cukup lama, helaan berat itu membimbing pandangannya untuk kembali bertemu pada lantai. Dan ketika perasaan itu berangsur tenang, kedua kelopak mata itu secara perlahan menutup. Mencoba meyakinkan dirinya akan jalan yang harus ia ambil hingga mulut itu bergumam seiring dengan tangan kanannya terangkat menyentuh kening.

    Membuat tanda salib menggunakan tangan kanannya, mulut Alexander bergumam, "dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Amin," lantas menyatukan kedua tangannya di depan perut yang kemudian ia naikkan hingga di bawah dada.

    "Aku mengaku kepada Tuhan yang mahakuasa, kepada St. Maria tetap perawan, kepada malaikat agung St. Mikael, kepada St. Yohanes Pembabtis, kepada Rasul Petrus dan Paulus, kepada semua orang kudus dan kepada saudara sekalian, bahwa aku sangat berdosa dengan pikiran, perkataan dan perbuatan ..."

    Untuk kali pertama, Alexander mengucapkan doa pengakuan dosa. Dan setelah waktu yang lama, Alexander kembali merasakan beban yang membuatnya seperti tak mampu menegakkan bahunya. Untuk kali pertama pula, setelah waktu yang cukup lama air mata berhasil meloloskan diri dari kelopak matanya yang tertutup ketika mulutnya bersaksi atas segala pemikiran dan perbuatan yang selama ini ia lakukan. Meski pada kenyataannya Alexander tidak melakukan hal-hal yang menyeleweng dari keyakinannya. Namun dosa yang sangat memberatkan bagi Alexander adalah saat di mana ia melarikan diri ketika akan menjalani pembaptisan.

     "... oleh sebab itu aku mohon kepada St. Maria tetap Perawan, kepada malaikat-agung St. Mikael, kepada Rasul Petrus dan Paulus, kepada semua orang kudus, dan kepada saudara sekalian, supaya mendoakanku pada Tuhan, Tuhan kita."

    Mulut itu lantas terkatup untuk beberapa detik sebelum mata itu kembali terbuka seiring dengan kedua tangannya yang kembali diturunkan. Mengakhiri pengakuan dosanya, Alexander kembali memandang patung Yesus Kristus.

    Dalam satu tarikan napas, Alexander berucap, "tolong jagalah anak-anakku, Bapa."

    Berbalik, Alexander melangkah menuju pintu keluar dengan langkah lebar tanpa keraguan. Menghampiri mobil sewaan yang ia parkir di halaman Gereja, ia pun bergegas meninggalkan Gereja.

INSIGHT

    Reygan memasuki rumahnya dan menghentikan langkahnya di bawah tangga. Pandangannya tertuju pada lantai atas. Meski Alexander telah melarangnya untuk pulang, namun Reygan sempat pulang untuk mengambil beberapa pakaian. Tapi ia belum melihat keadaan kamar putranya ataupun ruang tengah.

    Mengambil langkah pertamanya menaiki anak tangga, Reygan merasa bahwa suasana rumahnya semakin suram ketika tak ada satupun suara yang ia dengar kecuali suara langkah kakinya serta hembusan napasnya.

    Berhenti sejenak di ujung tangga, pandangan Reygan tertuju pada pintu ruang tengah yang tertutup. Dengan pertimbangan singkatnya, Reygan kemudian kembali melangkahkan kakinya menuju pintu ruang tengah.

    Tangan itu terangkat dengan ragu untuk memegang gagang pintu. Pandangan itu lantas terjatuh, disusul oleh genggaman pada gagang pintu yang terlepas dan digantikan oleh ketukan pintu sebanyak tiga kali.

    Sebuah gumamam lantas terdengar, "Ethan, ini ayah ... ayah minta maaf, ayah mohon pulanglah."

    Tangan yang kembali menyentuh gagang pintu itu lantas tergerak untuk membuka pintu di hadapannya. Dan ketika pintu terbuka lebar, masih Reygan dapati sisa kekacauan yang belum sempat ia bereskan. Tentu saja tanpa ada siapapun di sana.

    Reygan berjalan masuk dan sejenak berhenti, memandang lilin yang berserakan di lantai. Kembali melangkah, Reygan mendekati jendela dan berhenti tepat di hadapan piano yang masih sama seperti sebelumnya.

    Berbeda dengan mulut yang terkatup rapat, batin itu justru berjuang keras untuk menemukan cara agar ia bisa mendapatkan kembali putranya. Namun sebanyak apapun ia berpikir, dia tetap tidak bisa menemukan jalan keluar ketika harus berpikir dengan cara Alexander.

    Lembah kematian, seandainya Reygan tahu bagaimana datang ke tempat itu, dia pasti akan segera pergi ke sana dan menjemput putranya. Satu helaan napas berat lantas mengakhiri keterdiamannya.

    "Jika kau memang membawa putraku, kembalikan sekarang dan aku pastikan kami tidak akan mengganggumu lagi ... kami akan segera pindah dari sini, jadi sekarang kembalikan putraku."

    Tak ada apapun yang terjadi. Reygan merasa bahwa semua akan percuma. Perhatian Reygan kemudian teralihkan oleh panggilan yang masuk ke ponselnya. Mengambil ponselnya, Reygan menemukan kontak yang baru ia simpan kemarin.

    Setelah mencari dari beberapa sumber, Reygan menemukan seorang Paranormal dan memutuskan untuk meminta bantuan dari orang tersebut alih-alih menunggu Alexander. Bukannya tidak mempercayai Alexander, hanya saja Reygan sedikit mengkhawatirkan kondisi Alexander.

    Berbalik, Reygan menerima panggilan tersebut sembari berjalan keluar.

    "Benar, aku sendiri orangnya," ucap Reygan setelah orang di seberang memberikan teguran.

    Namun baru beberapa langkah menjauh, Reygan berhenti dan tampak tertegun ketika mendengar suara piano tepat di balik punggungnya. Memutar tubuhnya ke arah sebelumnya, netra Reygan menajam terkejut ketika melihat seorang bocah duduk di atas piano yang tetap berbunyi meski tidak ada yang memainkannya.

    Perlahan Reygan menjauhkan ponsel dari telinganya, mengabaikan seseorang yang masih bicara padanya ketika pendengarannya dikuasai oleh suara tawa dari bocah itu.

    "Siapa kau?" tegur Reygan dengan suara yang terdengar sedikit gemetar ketika perasaan takut mulai menyergapnya.

    Bocah itu tak menjawab dan tetap tertawa. Perlahan Reygan mengambil langkah mundur, namun bocah itu turun dari piano dan datang mendekatinya.

    "Berhenti di sana," Reygan memberi peringatan, namun sayangnya hal itu tak berguna.

    Bocah itu berhenti tertawa, namun justru bersikap seperti hewan buas yang tengah ingin menerkam mangsanya dengan kepala yang sesekali miring ke kanan lalu ke kiri.

    Tak sempat memperhatikan langkahnya, Reygan tergelincir setelah tak sengaja menginjak lilin, dan itu membuatnya jatuh terduduk. Merasa dalam bahaya, Reygan bergerak mundur hingga berada di tengah lingkaran yang sebelumnya dibuat oleh Alexander.

    Bocah itu terus memojokkan Reygan, namun bocah itu tersentak ketika kakinya seperti terbakar setelah menginjak bubuk putih yang sebelumnya ditaburkan oleh Alexander. Bocah itu segera melangkah mundur dan meraung.

    Pandangan Reygan terjatuh pada kaki bocah itu dan beralih pada bubuk putih yang mengitari tempatnya. Sedangkan bocah itu kemudian mengitari tempat Reygan dengan tatapan marah. Tak berani mendekat seakan tengah menghindari sesuatu yang terlarang.

    Dengan hati-hati Reygan meraih bubuk putih itu, dan gurat heran terlihat di wajahnya ketika ia menyadari bahwa bubuk putih itu adalah garam. Reygan berpikir, bagaimana garam itu menjadi sesuatu yang menakutkan bagi bocah itu. Hingga ia teringat bahwa Alexander sama sepertinya, penganut ajaran Katolik.

    "Garam suci," gumam Reygan.

    Kembali memandang bocah yang masih mengitari tempatnya seperti hewan buas itu, Reygan kemudian dengan gerakan cepat meraup bubuk putih di lantai yang kemudian ia lemparkan pada bocah itu.

    Bocah itu meraung kesakitan. Berjalan mundur sembari menutupi wajahnya, dan saat itu Reygan mengambil kesempatan untuk keluar dari ruangan itu. Berlari sekuat tenaga menuju pintu keluar, sayangnya pintu itu tertutup lebih dulu sebelum ia menjangkau pintu.

    Berusaha membuka pintu dengan panik, perhatian Reygan teralihkan oleh suara teriakan orang dewasa yang berasal dari bocah itu. Reygan menoleh, dan saat itu tubuhnya terhempas ke samping lalu menabrak rak buku.

    Reygan terlihat kesakitan dan tak mampu bangkit hingga bocah itu berdiri di hadapannya. Bocah itu mengangkat tangan kanannya setinggi dada, dan bersamaan dengan itu perlahan tubuh Reygan terangkat. Namun saat itu Reygan merasa lehernya tercekik dan membuatnya kesulitan untuk bernapas.

    Semakin tinggi bocah itu menggerakkan tangannya, semakin tinggi pula tubuh Reygan terangkat hingga kedua kakinya tak lagi menapak pada lantai. Reygan berusaha memberontak dengan kedua tangan yang memegangi lehernya, namun apapun yang ia lakukan seakan sudah percuma.

    "Matilah kau ... Reygan Munaf," ucap bocah itu dengan suara orang dewasa yang berbisik disusul oleh sebuah seringaian yang sangat mengerikan.

    Sedangkan Reygan semakin sulit untuk bernapas. Yang bisa ia lakukan hanya berpasrah diri ketika batinnya tak lagi menemukan cara untuk menyelamatkan diri.

    Kedua kelopak mata itu menutup. Namun saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka dari luar dengan kasar. Mata Reygan kembali terbuka, mendapati Alexander yang berjalan masuk dan memicu kemarahan bocah itu.

    Bocah itu meraung, hendak menyerang Alexander. Namun sebelum itu terjadi, Alexander mengambil belati dari balik punggungnya yang kemudian ia lemparkan ke arah bocah itu.

    Namun sebelum belati itu mengenai sasaran, bocah itu tiba-tiba menghilang dan belati itu melesat hampir mengenai kepala Reygan jika saja Reygan tak segera jatuh. Belati itu kemudian menancap pada rak buku tepat di atas kepala Reygan.

    Alexander kemudian menghampiri Reygan yang tampak kesulitan untuk bernapas dengan tubuh yang condong ke lantai. Alexander segera menjatuhkan satu lututnya di hadapan Reygan dan meraih kedua bahu dokter itu.

    "Dokter Munaf, kau baik-baik saja?"

    Belum bisa menggunakan mulutnya untuk menjawab, Reygan hanya memberikan anggukan. Dan saat itu Alexander bernapas lega. Dengan wajah yang mengernyit, Alexander memandang sekeliling. Tak lagi menemukan jejak bocah itu. Hingga helaan singkatnya membimbingnya kembali menemukan Reygan yang mulai bisa bernapas dengan normal.

    "Maaf, harusnya aku tidak pergi begitu saja."

    Reygan meraih lengan Alexander dan memberikan tatapan menuntut. Dia kemudian berucap, "Lembah kematian, bawa aku ke sana."

    Alexander menatap tak percaya. "Bukan kau yang akan pergi ke sana."

Selesai ditulis : 01.11.2020
Dipublikasikan : 01.11.2020

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro