
Chapter 11 [Haruskah Pergi?]
Reygan memasuki ruangan yang ditempati oleh Alexander, di mana saat itu Alexander tengah duduk bersandar di atas ranjang. Dan pandangan yang sebelumnya mengarah pada jendela, lantas menemukan sosok Reygan yang berjalan mendekatinya.
Reygan menghentikan langkahnya di samping ranjang. Membuat Alexander dengan jelas melihat kekhawatirannya.
Alexander kemudian menegur, "ada hal yang ingin kau tanyakan?"
Terlihat ragu, Reygan kemudian memutuskan untuk bertanya. "Apa yang terjadi saat aku meninggalkanmu?"
"Bukan apa-apa, kau tidak perlu memikirkan hal itu."
"Bagaimana kau bisa jatuh dari sana? Apa yang sebenarnya kau lakukan?"
Alexander menjatuhkan pandangannya dan bergumam, "mungkin kau akan menganggapku gila jika aku mengatakannya."
"Anggaplah begitu."
Mendengar respon Reygan, Alexander kembali mengangkat wajahnya. Menatap penuh tanya pada Reygan.
Reygan kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan botol plastik berisikan beberapa butir obat yang sebelumnya ia dapatkan dari saku pakaian Alexander.
Saat itu Alexander menunjukkan reaksi tak nyaman. Jika berhadapan dengan orang biasa, dia bisa saja menghindar. Namun sayangnya saat ini dia dihadapkan dengan seorang dokter yang sudah jelas lebih mengerti apa kegunaan obat-obatan itu.
Reygan kemudian bertanya, "sejak kapan?"
Pandangan yang sempat teralihkan itu kembali menemukan sang lawan bicara. Namun terlihat seperti tak akan ada jawaban yang keluar hingga sang lawan bicara memutuskan untuk kembali menegur.
"Kau ingin mengatakan bahwa ini bukan milikmu?"
"Itu milikku," sahut Alexander dengan cepat.
"Lalu sejak kapan kau mengkonsumsi obat-obatan ini?"
"Apakah itu penting?"
"Berapa kali kau mengkonsumsinya dalam sehari?"
"Aku tidak ingin melakukan konsultasi padamu."
"Kau mengalami halusinasi?"
Tatapan Alexander berubah menjadi tak ramah setelah mendengar ucapan Reygan yang terdengar seperti sebuah penghakiman.
"Jawab aku."
Alexander lantas menjawab, "kau mengira bahwa aku mengalami halusinasi dan kemudian melompat dari jendela? Apa itu yang kau pikirkan?"
"Tidak. Sebaiknya kau membantu dirimu sendiri terlebih dulu sebelum kau membantu orang lain."
Alexander tersenyum tipis. "Ini adalah pilihanku."
"Kau mungkin akan membuat dirimu dalam bahaya."
"Aku hampir mati berkali-kali, aku tidak butuh simpati dari orang lain."
"Itu pilihanmu. Beristirahatlah," Reygan berbalik, hendak meninggalkan ruangan itu.
"Kembalikan padaku," teguran itu membuat langkah Reygan terhenti.
Sedikit memutar kakinya, Reygan kembali memandang Alexander.
Alexander berucap, "aku akan berada dalam masalah besar jika kau mengambil itu."
"Kau sudah bergantung pada obat-obatan ini?"
"Aku menggunakannya sesuai dengan resep dokter. Aku bukan orang gila yang akan menggunakan obat secara sembarangan."
"Berapa kali dalam sehari?"
Alexander sempat terdiam sebelum helaan napas itu membimbing sebuah jawaban untuk terucap.
"Tiga jam ... dalam keadaan sadar."
Netra Reygan memicing. "Apa?"
"Tiga jam sekali."
Reygan tampak terkejut.
"Sudah puas? Sekarang kembalikan padaku."
"Apa yang terjadi padamu?"
"Hanya gangguan kecemasan biasa, jangan terlalu dipikirkan."
"Gangguan kecemasan biasa tidak akan membuatmu mengkonsumsi obat dalam dosis besar dengan jangka waktu yang singkat."
Alexander menatap tanpa minat. "Hidupku masih baik-baik saja sampai sekarang. Jangan pedulikan aku dan kembalikan itu padaku, lalu tinggalkan aku."
Merasa tak bisa mencampuri kehidupan Alexander lebih jauh, Reygan mendekat dan menaruh botol plastik itu di atas meja sebelum berjalan menuju pintu.
"Kau ingin pergi ke mana?" teguran itu berhasil kembali menghentikan langkah Reygan tepat saat sang dokter membuka pintu.
"Melihat keadaan rumahku."
"Jangan sekarang."
Reygan kembali menghadap Alexander. "Alasannya?"
"Kau akan celaka jika pulang sekarang."
Reygan menghela napas. "Hantu itu ada di rumahku?"
"Lebih tepatnya dia sedang menunggumu."
"Kenapa dia menungguku?"
"Apa lagi? Kau pikir dia akan mengembalikan putramu? Jika memang bisa begitu, mungkin aku tidak akan kehilangan seluruh anggota keluargaku waktu itu ... dengarkan aku. Jangan menginjakkan kaki di rumahmu tanpa aku."
Reygan sejenak memalingkan wajahnya. Mencoba untuk meyakinkan diri bahwa tak apa jika dia menuruti perkataan Alexander. Namun batinnya menolak untuk mempercayai Alexander setelah mengetahui bahwa Alexander mengkonsumsi antidepresan.
Mengetahui kekhawatiran Reygan, Alexander pun kembali bersuara. "Aku seperti ini juga karena putramu."
Mendengar hal itu, Reygan langsung memandang Alexander dengan tatapan bertanya.
"Apa maksudmu?"
"Berbulan-bulan aku mengalami mimpi buruk, dan itu membuatku terkena gangguan panik dan hal-hal buruk lainnya."
"Lalu apa hubungannya dengan putraku?"
"Lembah kematian adalah tempat yang terlarang untuk aku datangi, dan sekarang aku harus terlibat lagi dengan Lembah kematian karena putramu."
Ada perasaan tak terima dalam tatapan mata Reygan. Dia pun berucap, "aku tidak pernah meminta bantuanmu, kau yang menawarkan diri untuk mencari putraku."
"Jangan salah paham, aku tidak sedang menyalahkan putramu ... percaya atau tidak, semua sudah ditakdirkan. Teman-temanku melarangku berurusan dengan Lembah kematian. Tapi sepertinya iblis itu benar-benar mengambil kesempatan yang bagus untuk membawaku ke sana."
"Bolehlah aku menyebutmu gila?" Reygan dengan dahi yang mengernyit.
"Itu keputusanmu. Yang jelas, tetaplah di sini. Jika kau tidak bisa, anggap saja aku sedang meminta bantuanmu ... jika kau celaka, semua akan semakin sulit untukku."
Reygan memalingkan wajahnya, memandang dengan tatapan frustasi ketika ia tengah mempertimbangkan ucapan Alexander.
"Istirahatlah," gumam Reygan kemudian sebelum benar-benar meninggalkan Alexander.
Selama beberapa detik Alexander tak bisa mengalihkan pandangannya dari pintu. Dan setelah beberapa detik itu terlewati, pandangannya terjatuh pada kedua punggung tangan yang berada di atas pangkuannya. Teringat kembali insiden saat ia menghadapi iblis dalam wujud bocah yang membuatnya mendapatkan kembali rasa takutnya.
Alexander baru menyadari bahwa perasaan asing yang selama ini mengganggunya, mungkin saja karena insiden ini. Dan juga mimpi yang seakan tengah ingin memberitahunya akan sesuatu, mungkinkah Tuhan sedang memberikan pertolongan padanya. Namun Alexander merasa ragu untuk menyebut hal itu sebagai pertolongan dari Tuhan.
Alexander kerap mengatakan kepada ketiga rekannya bahwa dia sudah mengkhianati Tuhan. Namun sampai minggu lalu dia masih memimpin doa di Gereja, meski hanya para anak asuhnya yang mengikuti acara doa. Alexander mengatakan hal itu sejak ia melarikan diri saat pembaptisan. Dan seandainya waktu itu dia tidak melarikan diri, mungkin saat ini dia telah menjadi seorang Pastor. Dan untuk nama yang disebutkan oleh Pastor Gabriel dalam mimpinya, mungkinkah nama itu adalah nama yang akan ia pakai setelah pembaptisan.
"Michael," gumam Alexander.
Kembali terlihat mempertimbangkan sesuatu, Alexander kemudian meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Membuka daftar kontak, pergerakan jari Alexander terhenti pada kontak bernama 'Pastor Gabriel'. Sempat ragu, pada akhirnya Alexander memutuskan untuk menghubungi sang Guru Besar yang sudah seperti ayahnya sendiri.
Keraguan itu semakin besar ketika ia menunggu panggilan tersambung. Dan ketika hatinya hampir kehilangan keyakinan, saat itu Pastor Gabriel menjawab panggilannya. Namun yang dilakukan oleh Alexander hanyalah berdiam diri dengan wajah yang menunjukkan kecemasan, hingga pada akhirnya Pastor Gabriel lah yang memberikan teguran pertama.
"Kau tidak ingin bicara padaku, Alexander?"
Alexander menghela napas singkat sebelum menyahut, "bagaimana kabar Pastor?"
"Tidak berbeda jauh dengan saat kau pergi. Sudah sangat lama sekali ... aku harap kau menjalani kehidupan ini dengan baik."
"Maaf."
Pastor Gabriel terdiam, dan Alexander tahu bahwa saat ini pria itu tengah tersenyum. Seperti kebiasaan lama yang tak akan bisa dihilangkan.
"Maaf untuk apa?"
"Aku menelepon Pastor untuk meminta bantuan."
"Bantuan apa yang bisa diberikan oleh orang tua ini? Katakanlah."
"Gereja Protestan berniat mengambil alih Gereja yang aku tempati. Tolong bawa pergi anak-anakku."
"Kau ada di mana sekarang?"
"Bekerja. Jika anak-anak bertanya, tolong katakan bahwa aku pergi ke luar negeri. Aku mohon bantuanmu, Pastor Gabriel."
Tak menunggu jawaban dari Pastor Gabriel, Alexander memutuskan sambungan secara sepihak. Kembali terdiam dengan wajah yang tampak mempertimbangkan sesuatu. Tujuh hari tersisa, bisakah ia menyelamatkan Ethan dalam keadaannya saat ini?
Selesai ditulis : 31.10.2020
Dipublikasikan : 31.10.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro