Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9 - Marclewood

Setiap Matthew mencari Xavier anak itu tidak ia temukan di kastil, dia sudah dewasa dan saat marah kamar bukanlah tempat ia bersedih seperti gadis, hal yang dihafal Matthew tentang anak itu ialah pergi ke hutan mencari sebuah pohon lalu menebaskan kapak hingga merobohkannya jika sedang jengkel. Ya, dia tetap mencarinya hingga ke hutan Greenleaf di belakang tembok Sonya arah utara. Hutan itu masih terbilang aman dan masih di wilayah Sonya, Rooftown masih hidup dan beraktivitas di antara hutan dan salah satu yang berdiri di belakang panji Sonya, mereka kenal anggota kerajaan. Pohon berjarak banyak dan tidak berbuah, banyak kera yang mulai bergantungan di pinggir hutan karena buah yang habis di dalam hutan, mengincar Sonya dan mencium aroma pisang. Matahari menerangi hutan dari celah lebar pepohonan, bersih dan segar tidak menakutkan pejalan kaki melewati hutan sana.

Saat Matthew berumur 10 tahun dia bersama Xavier dan rombongan teman-teman lainnya sudah merencanakan ikut memancing ikan di kolam besar di dalam hutan, ada perlombaan memancing di kolam pemancingan sana dan para partisipan dari berbagai daerah datang bergerombol ke hutan. Di dalam sana begitu penuh hingga sangat ramai hingga sore, dia yakin masih ingat banyak yang membuka lapak dagang makanan di hutan dan sangat membingungkan. Mereka berdua dan teman-temannya membuat pancingan sendiri, mencari kayu panjang yang masih kokoh untuk pancingan, meminta tali pancing dari pria-pria di sana, membawa kail pancing dari rumah, merakit sendiri lalu sesudahnya menggaruk tanah basah mencari cacing.

Semua teman Matthew duduk berdempetan di sisi lain kolam hijau sedikit berlumut, mengedarkan pandangan kesenangan seluas kolam pemancingan yang dipenuhi orang-orang duduk berlomba dan yang menonton. Terkadang kail mereka tersangkut satu sama lain dan mengira ikan besar menggigitnya, lalu kerepotan untuk melepaskan kait yang cacingnya sudah hilang. Xavier suka memancing saat seumurannya dibandingkan ayahnya yang suka memanah burung, Clark lebih suka bergulung dengan lumpur dalam permainan konyolnya menangkap babi, ibunya benci Clark seperti anak kampungan dan ia selalu pulang dengan omelan ketika tertangkap basah.

Masa-masa itu teringat kembali ketika Matthew menaiki kuda hitam rawatan kastil di bawah pepohonan yang masih sama seperti ingatannya. Jika semakin jauh ke hutan dan belum menemui tanda-tanda Xavier dia harus kembali dan menuju bar, yah, Xavier memang dilarang minum di bar sembarangan karena cemas pangkat tingginya itu mengakibatkan hal-hal buruk terjadi padanya apalagi di bar kumuh, tapi ia tidak perduli. Jika dia dan Xavier ke bar untuk bermain saja saat itu, tetap saja ada perbedaan dari anak Handstar. Dia malah memesan air putih pahit ketimbang anggur yang disukai Matthew, memakan agar-agar gula merah seperti sedang di toko makan malam wanita. Xavier tidak menyukai anggur dan tetap bugar, para wanita selalu senang dengan sosoknya yang tenang dan larut dalam fikiran, diam dan melirik sana sini.

Ketika ia melihat pohon dengan bekas ayunan kapak cukup dalam ia sadar sudah terlambat, Xavier sudah melakukannya dan pergi lagi, entah mencari pohon lain atau ke kota karena sudah baikan. Matthew memutar kuda dan merencanakan diri mengunjungi bar-bar yang pernah dikunjungi Xavier, sebelum dia membawa wanita ke penginapan karena mabuk untuk menghilangkan fikirannya. Matthew mendengar suara ranting patah dan cabikan daun yang besar, dengan waspada Matthew mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara dan memunculkan kuda abu-abu bercorak hitam dengan pria yang ia kenal.

"Sudah kembali rupanya? Kukira aku tidak bisa menemukanmu," sapa pria itu mendekatkan kudanya ke samping kuda Matthew.

"Kau harus sering berjalan-jalan agar bertemu banyak orang tuan Knanta, aku sudah di sini sejak 3 hari yang lalu dan masih terjebak di sini." Ceritanya pada komandan 5 Sonya, Jarke Knanta. "Aku tidak tahu seorang komandan pergi sendirian dalam bekerja, tidak membawa anak buah?" Mereka berangsur-angsur kembali bersamaan ke kota.

"Siapa bilang aku bekerja?" Alis mata putihnya naik, bercanda. "Aku mencari getah pepaya untuk Mark, tangannya terbakar terkena batu Osmos saat penyerangan, dia selalu mengeluh dan aku kasihan. Seorang prajurit menceritakan getah pepaya bisa mengobati luka bakar dan menghilangkan bekasnya, beruntung tempat ini cukup tropis untuk bisa ditumbuhi tanaman-tanaman bagus." Jelasnya, menepuk-nepuk tas di samping kudanya yang penuh dengan batang pepaya.

"Oh kasihan anak itu," gumam Matthew, dia salah satu kenalan dan teman main Matthew dan mulai jarang bertemu. "Salamkan padanya dariku ya, semoga tangannya mampu bertahan dan mengangkat busur kembali." Dia tersenyum dan tunduk melihat jalan.

"Tentu Matthew." Dia mengingat pria di sebelahnya pernah diceritakan akan kembali ke Torin untuk sekedar berkunjung dan Raja melarangnya. "Dan apa yang kamu lakukan berkuda sampai ke mari?" Lontarnya. Mereka mulai melihat tembok kuning Sonya dari pinggir tanah.

"Aku mencari Xavier, siapa tahu dia kemari, tapi aku rasa dia punya selera lain untuk berpergian." Kata Matthew, senyuman kakunya semakin pudar.

"Lord Xavier? Aku yakin melihatnya di pos barat bersama Ugrah menikmati kue jamu sebelum aku pergi. Mereka terlihat mengobrol, ada apa memang?" Fikir Jarke tidak biasa, tapi tahu kedekatan Matthew dan Kiana.

Saat itu dia tahu sudah sia-sia, tapi tetap terbantu oleh Jarke yang melihat ke mana selanjutnya Xavier setelah melukai pohon. "Hanya beberapa kata dan saran, dia menghindari kastil lagi."

"Dia dekat dengan Ugrah sudah lama, datangilah di pos sana, aku bisa menemani selagi arah kita sama." Tawarnya begitu baik. Jarke punya hidung besar dan rambut habis, dia sudah menjabat menjadi komandan cukup lama dan Mark akan dicalonkan menjadi komandan muda, dia harus menjaga keluarganya untuk meneruskan kebiasaan baik.

Di kubah Sonya Kiana mulai menjalin hubungan dengan penasihan Kozzak Hogga yang menolongnya. Pria itu punya barisan cerita tentang Torin Maxima dibandingkan Raja Salvado, dia seperti rakyat Torin yang mengetahui segala cerita dari kisah-kisah kesatria, cerita tentang peristiwa menarik dan yang menggemparkan, kehidupan sebelum Kiana dilahirkan, legenda-legenda yang berenang di laut Handil milik Torin, dan hal manis yang dirindukan Kiana dari sana. Dengan dekatnya Kiana dengan Kozzak, Matthew selalu memintanya untuk tetap berhati-hati dan waspada, ia masih terluka di wajah karena serangan Lonk. Dia juga menitipkan arahan untuk para pemegang A'din dalam tugas pencarian batu selanjutnya dan dia memberi saran-saran itu.

Lucas memutuskan kembali ke Clemanos sehari setelah penyerangan dengan izin Clark, dia sudah resah karena peliharannya itu. Dia tahu harus meninggalkan mereka terbengkalai dan ia susah membiarkan mereka pergi berkeliaran, terkadang butuh waktu yang lama untuk hewan-hewannya pulang. Dulu Stella pernah ia bebaskan untuk merasakan udara bebas, dia terbang ke selatan dan malah tidak pernah terbang ke langit Clemanos lagi setelah sebulan diterbangkan. Lucas sadar Stella masih kurang pandai untuk mengerti latihan agar pulang kembali setelah terbang, beruntung burung itu pulang dengan bulu yang rontok bekas perkelahian dengan betina lain mungkin.

Pekerja kastil tidak ada yang berani memberi makan Brute kecuali kakak Tamara, tapi pria itu selalu disibukkan oleh Hadad kakaknya dan sulit membagi tugas, sedangkan Tamara bisa dan dia dekat dengam Brute. Hanya saja Tamara suka lupa, harus lolongan garang Brute di kandangnya saja yang bisa mengingatkannya. Rencana Lucas pulang untuk membuat pekerjaan rumah Tamara selagi ia pergi, demi kenyamanan hidup hewa peliharaannya yang special itu ia mengatur jadwal padat Tamara dan membagi pekerjaan untuk 5 hewan peliharaannya sebelum berpisah untuk waktu yang lama.

Dan Raydon, anak itu tidak banyak melakukan apapun di kota asing itu. Ia tidak terbiasa dengan kota dan keramaian, dia terbiasa dengan kesunyian hutan dan tawaan rekan-rekannya setelah membasmi makhluk kegelapan. Raydon selalu duduk di tangga kastil kedua Sonya dan mengemati wanita-wanita menawan Sonya, dia tersenyum dan menunggu salah satu dari mereka mengajaknya berbincang.

Siang menjelang sore didatangi angin sejuk, di balkon kastil Matthew menyorot matanya ke sungai dan membolak-balik batu A'dinnya di tangan. Kejadian menuju Clemanos membuktikan dia kurang mahir, tidak seperti Raydon yang aktif menggunakannya, terkadang ia ingin menanyakan apakah batu mereka pernah memberikan efek yang sama sepertinya, atau itu hanya berlaku padanya. "Di sana rupanya." Suara wanita mendatanginya.

"Kau mencariku berapa kali?" Selidik Matthew tertawa kaku pada Kiana. Dia juga heran siang itu mengapa ingin menghabiskan waktu di balkon dan tidak bersama pria lain, atau menjahili Olive.

"Baru dua kali, Olive juga mencarimu. Aku mencarikanmu untuknya di bawah dekat taman dan ke balkon sini." Urainya, ikut membungkuk di pagar balkon setinggi dadanya dan menatap lurus pemandangan.

Matthew terkekeh tentang Olive. "Aku tadi berbicara dengan Xavier di pos barat, kau dari kubah lagi?"

"Ya, aku selalu penasaran rahasiamu betah di sini selama itu dan tidak ingin mendengar cerita Kozzak tentang rumahmu yang hilang itu." Sindir Kiana.

"Aku bukan bocah yang suka mendengar cerita, aku suka berpergian dan Imanuel terkadang menyibukanku untuk ikut ke sana dan sini. Olive menjadi pusat perhatianku ketika bosan melanda." Jelasnya, tersenyum ramping. "Lihat kan? Kau yang selalu mengingat rumah, dan aku yang berusaha sedikit melupakannya."

Kiana membersut menyesal. "Kau benar lagi, kita dua orang berbeda." Kekehan kecil mereka sama-sama mengisi balkon. "Kozzak menyarankan kita ke hutan Marclewood, dia bilang mudah untuk belajar meningkatkan kekuatan batu di sana. Aura sihir batu A'din sejak terbentuk pertama kali masih kuat di sana." Mulainya membahas perjalanan itu.

"Cukup jauh dari timur sini, tapi tetap saja masih berbahaya. Aku tidak keberatan karena masuk akal, aku butuh aura hutan itu untuk batuku. Jika kamu juga tidak keberatan dan menerima tanggapan Errol, Lucas dan Raydon tentang itu, kita bisa meminta ke Raja untuk pergi." Pikirnya.

"Tidak ada yang bisa dikerjakan para pemegang batu A'din di sini kecuali mencari ketiga batunya. Aku akan tanyakan Errol dan Raydon dan membahasnya, tapi Lucas belum kembali lagi." Ia menawarkan diri.

Matthew tersenyum bangga, itu Kiana yang berbeda dari yang dulu dikenal. "Anak itu tidak pernah menyulitkan, dia akan selalu ikut aku yakin. Aku akan berbicara pada Clark sebelum pada Raja." Ia membalik badan pada Kiana.

Setiap kali Matthew melihat dengan mata birunya Kiana mengingat seorang paman, terdekat dari paman lainnya dan selalu menemaninya berlayar. Mata biru gelap yang sama dimiliki Matthew, angin laut seperti meniup perutnya tiap tatapan mereka bertemu, warna laut hidup di mata pria itu setajam layar kapal, dan Kiana selalu dihampiri perasaan kebingungan terhadapnya.

"Errol di kamarnya, Raydon di tangga kastil 2." Suara Matthew membuyarkan bayangan laut Kiana, ia tertawa geli dan Kiana malu. Dia pergi dengan tangan yang hampir ingin menggenggam tangan Matthew, tapi ia masih ragu dan bingung.

Kesepakatan antara Kiana dengan Errol membuahkan hasil yang sama dengan Raydon, yaitu kesetujuan. Mereka juga mengharapkan hal yang sama di hutan Marclewood untuk mendapatkan kekuatan batu A'din mereka membesar dan mudah dikendalikan. Clark menceritakannya pada Raja saat makan malam keluarga Handstar tersaji, menimbulkan cerita-cerita dari pamannya, keponakannya, ibunya dan Xavier tentang perjalanan itu. Setelahnya Imanuel menganggukan kepala dan memerintahkan Clark mengawali anak-anak A'din, bukan Xavier lagi.

Beberapa hari setelahnya mereka berada di kamar masing-masing untuk mempersiapkan keberangkatan. Di aula Clark sudah bersama Matthew dan memberikannya batu Ort untuk diserahkan pada masing-masing temannya. Dia tahu kejadian Matthew menuju Clemanos dan tidak ingin apapun terulang, antisipasi dibentuk dan memilih berpindah ke sana sendiri-sendiri. Xavier lagi-lagi tidak terlihat dan Clark menceritakan dia beradu mulut kembali dengan ayahnya. Clark tidak selalu menyalahkan Xavier dan mendukung ayahnya secara penuh, sebagai kakak dia merasakan kekerasan yang kental untuk adiknya, bahkan perbedaan yang ia rasakan sangat khas. Ayahnya memang bisa dibilang keras bukan jahat pada Xavier, dia yakin punya keinginan lain untuknya yang tidak sejalan dengan Xavier.

"Jika ada apa-apa kembali lagi ke Sonya," pesan Clark pribadi.

"Dan jika ada apa-apa terjadi di Sonya lagi, jangan lupa apa yang sering mereka incar itu." Bahas Matthew sebelum berangkat dan menemui kawannya di luar.

"Ya, para prajurit." Gumam Clark. "Hutan di sana begitu luas, aku yakin kau mengenalnya lebih dariku. Tapi jagalah mereka dan jauhilah tempat-tempat terlarang dan berbahaya. Pengelana juga sering ke sana yang berniat baik dan yang buruk, kalau terjadi apa-apa gunakan kekuatan kalian." Sarannya. Clark berada di timbangan antara sihir dan pedang, dia pernah menggunakan sihir air seperti Olive tapi ia malah tidak tertarik.

"Tentu saja." Matthew mengangguk dan berpamitan, ia keluar kastil dan menemui kawan-kawannya di teras.

Saat di depan sana ia menyerahkan batu Ort pada Errol, Kiana, Lucas dan Raydon. Mewanti-wanti mereka ke tujuan yang sama agar tidak terpisah. Berpergian sendiri-sendiri jauh lebih berbahaya dan konsekuensinya terpisah jauh di hutan terluas di Earthniss. Semua pernah ke sana dari yang sejak kecil maupun baru-baru saja, dan mereka menghilang bersamaan.

Sinar matahari perlahan merosot mendekati penghujung, ada awan kelabu yang mengikuti mereka di sepanjang hutan dan sebagian awan lainnya berwarna putih susu. Ranting bertabrakan dengan ranting lain, daun bergesekan dengan daun lain, dan setiap jengkal wilayah Marclewood telah mereka telusuri mencari lokasi yang dimaksud.

Tidak butuh lama mereka merasakan energi berbeda di dalam, siklus perputaran medan kekuatan di dalam sana membuat mereka tidak kelelahan dan merasa cukup nyaman. Mereka berlima harus berhenti beristirahat dahulu di dekat mata air sambil makan dari perbekalan atau mencari buah yang bergantung di pohon.

Matthew cukup serius untuk menemukan tempat yang ia maksud, sehingga ia memimpin kali ini. Sebagai patokan untuk mencari tempatnya Matthew mencari gunung es dan gunung api yang dideskripsikan. Semakin dalam mereka mencari semakin jauh mereka dari dunia luar, dan semakin gelap aura yang terasa. Hutan seperti menjepit mereka dengan untaian miliaran akar di bawah tanah.

"Di sana!" tiba-tiba suara Errol besar, pergi mengarah ke kanan. Yang lain mengikuti Errol yang menuju jejeran pepohonan lebat dan tinggi di kanan. Errol menyusuri pohon lebat yang berumur ratusan tahun lamanya, dan ia sendiri lebih dahulu melewatinya. Ketika Errol membuka sedikit demi sedikit rumput yang memanjang akhirnya ia menemukan sebuah pemandangan di balik jejeran pohon yang melindungi tempat tersebut.

Hawa segar menyelimuti atmosfir saat Errol lepas dari ikatan pohon lebat di belakang diikuti dengan yang lain. Buru-buru Errol menghirup dingin dan menyegarkan menggelitik lehernya.

Ada sebuah jalan tanah di atas mereka dan danau luas di depannya begitu tenang. Di belakang danau berdiri gunung agung, rasanya aneh saat cuaca tidak dingin karena ada es dipucuk gunung dua kali lebar danau.

"Kita memasang tenda," perintah Matthew. Dia kenal kawasan itu dari cerita sepupunya dahulu, ada gunung dan danau di hutan, salju dan rumput bertemu, sihir dan keyakinan menyatu.

Mereka menyusuri jalan tanah setapak menuju arah kanan dan mencari lahan rata untuk tempat tinggal sementara yang tersembunyi dari pijakan para penjelajah lainnya.

"Aku rasa di sini cukup baik," ujar Errol berdiri di tengah-tengah lahan rumput yang di kelilingi pohon gemuk.

"Malam akan menjadi dingin, sebagian menyiapkan api unggun dan sebagian membuat tenda, aku akan menanam batu perlindungan di sekitar kita," ujar Matthew dan merogoh tasnya.

Ia membawa satu kantung besar yang berisi bola-bola kecil seperti kelereng, Kozzak membelikan semahal itu untuk perlindungan para pemegang batu A'din. Batu Moonstone dapat melindungi mereka dari berbagai serangan dan mentransferkan pesan ketika ada sesuatu yang berjalan melewati batas-batasnya. Batu itu diciptakan 3 abad yang lalu oleh seorang pengrajin batu di Varrunnette, Pora Stone. Dia mendapatkan persetujuan dewan-dewan Varunnette dan menciptakan moonstone lainnya dan berkembang lambat laun.

Matthew hanya perlu menanamkan batu-batunya dalam radius dua meter untuk setiap batu, mencari patokan perbatasan yang tepat, dan mulai menanamkannya. Itu seperti tembok gaib yang melindungi seperti di kerajaan-kerajaan. Setelah batu terakhir ia letakkan 100 meter dari tempat pekemahan, ia berdiri dengan tenang. Membaca doa-doa meminta perlindungan. Batu Moonstone pegangannya yang utama dan paling besar mendadak berubah menjadi bagaikan kaca yang terawang. Mengeluarkan cahaya bagaikan bulan yang bergantung di malam hari. Sehingga, ketika ada sesuatu yang melewati perbatasan batu Moonstone yang tersebar batu utama akan mengeluarkan titik-titik hitam dan menyala berulang kali karena menerima pesan. Matthew menyimpannya di dalam saku celana, pergi dari sana dan kembali ke perkemahan sebagai pengawas tempat mereka.

Tenda terpasang berkat Raydon dan Errol sambil tertawa cekikikan, mereka mulai dekat karena Errol menyukai berbagai cerita dan hampir semua kisah Raydon yang diceritakannya membentuk lelucon yang tak bisa dilewatkan hanya dengan senyum. Mereka membagi tempat, 5 tenda kecil untuk 5 sekawan.

Setelah Kiana membersihkan daun untuk tempat unggun ia kembali memasuki tendanya yang dingin, ia butuh pengharum agar menyegarkan di dalam dari bau kain dan plastik bakar yang baru. "Aku ingin mandi," ia menghela nafas keluar tenda.

"Pilihan yang baik, aku selanjutnya." Sahut Errol memperbaiki tendanya yang ia fikir miring.

"Ada kolam air panas, mungkin baru terbentuk di belakang sana." Kata Matthew yang baru saja datang dan mendengarkan permintaan wanita.

"Yah, aku yang pertama." Kiana melenceng pergi dengan senang.

"Hati-hati Kee." Pesan Matthew sebelum ia hilang di balik rimba pohon. Hanya lambaian tangan Kiana yang terlihat.

"Hati-hati aku mengintip," sahut Raydon jahil. Dia menatap Matthew lebih dahulu karena tahu hubungan antara keduanya pastinya ada, Matthew menoleh dan menyantap matanya dengan tajam tapi ia sudah melihat Raydon menunggunya melihatnya seolah ia tahu gerakan selanjutnya. Matthew yang kedapatan membungkuk dan menarik kayu untuk ditumpuk ke api unggun.

Kolam hangat itu seperti danau mini dengan asap-asap panas yang muncul seperti cacing dari lubangnya. Bebatuan licin berwarna hitam yang samar membentuk tapak untuk dilangkahi, aroma hujan dan lahar seperti tercium di dekat sana. Ada serpihan batu-batu di tengah kolam dan mudah digunakan untuk bersandar. Permukaan air nampak keruh, tapi belum tentu itu dangkal. Kiana hanya berharap tidak ada biawak dan kadal air yang ikut mandi di bawah sana, menggeliat dan menggigit pahanya ketika ia menyentuh kulit bergerigi dengan kakinya.

Kiana membuang nafasnya yang penat, menarik uap-uap panas untuk ikut melegakan jantungnya dan memanaskan persendian. Ia melucuti pakaiannya, semuanya tidak tersisa. Lalu mencelupkan kaki coklatnya dan mencipratkan permukaan, bila saja kawanan hewan di bawah air lari, kemudian mulai merosot dan tenggelam, menggerakkan kakinya untuk menjelajahi semua sisi kolam air panas.

Ia lupa rasanya panas sampai sekarang, tinggal di barat selalu diguyur hujan dan tinggal di Sonya selalu terang dan sejuk. Kali ini ia mencintai alam, pori-pori itu rasanya terbuka, deru nafas nyaman terus dikeluarkan. Ia berharap ada pelayan-pelayan wanita mandi bersamanya, saling memijat dan menguncir rambut. Mengharapkan para sepupu, saudara, dan bibi-bibinya ikut kembali ke hutan dan menemui kolam air panas selain mendidihkan air sendiri. Melihat air hijau selain air laut biru gelap, mengharapkan ibunya membangun kolam yang sama di bawah kastil.

Dia tidak sadar memimpikan itu hingga tertidur, rasanya belum nyata dan masih angan-angan. Lalu ia menegakkan tubuhnya yang mulai rilex, mencelupkan kepala dan menahan nafasnya, membayangkan legenda kuno di air kelautan Torin Maxima, Kiana menyambar udara begitu cepat karena takut saat kegelapan mulai memunculkan gambar-gambar aneh, sayap lebar yang mengepak pelan di bawah air.

Ia bersandar dipinggir kolam, memberikan pijatan keras dan kasar dibahunya dari batuan hitam yang tajam. Batu A'din yang ia kalungkan tenggelam bersama dadanya yang keras, Matthew memesaninya untuk terus membawa batu A'din apapun yang ia lakukan saat berpergian. Suara daun kering bergejolak keras dan berulang kali, Kiana melebarkan mata karena daun kering selalu berasal dari bawah, ia cepat-cepat menurunkan kepala di bawah batu dan menahan nafas untuk diam, tapi riak air masih menciptakan gelombang di kolam dan ia dapat diketahui berada di dalam sana dan telanjang.

Di kepalanya muncul dugaan karena suara daun yang diinjak, beruang, babi liar, kucing hutan dan makhluk bertubuh besar karena suara itu pastinya bukan dari makhluk kecil, atau manusia. Ia memberanikan diri mengintip dari kolam, hanya memastikan apakah makhluk itu penasaran apa yang membuat kolam terus mengeluarkan gelombang. Mata hazelnya naik bersama kepala, setenang nafasnya dan sepelan debaran jantung.

"Oh astaga," bisiknya membuang nafas banyak. Itu hanya Lucas menyisir tanah memunguti ranting-ranting kering. Anak itu punya rambut pendek yang rapi, kuning keemasan. Wajahnya sedatar kayu dan berkarisma, dia tidak tahu banyak tentang pria itu karena Lucas jarang berbicara. Dia hanya punya gestur datar dan tidak terbaca, hanya bebas pada Tamara dan peliharaanya, bahkan sampai sekarang itu Kiana tidak pernah melihatnya tersenyum.

Kiana mengembalikan posisi semula, mendengar daun kering yang pecah dan ranting-ranting yang ditumpuk oleh Lucas untuk dijadikannya api unggun.

"Oh?!" Ia kaget dan berpaling cepat setelah sadar. "Maaf, maaf, aku tidak tahu kau di sana?" suara Lucas semakin besar dan berat.

Kiana hanya terkekeh tanpa sebab. "Tidak apa-apa."

Lucas hanya mengangguk tersipu malu. Ia ragu-ragu untuk lebih dekat dan ke arah lain mencari kayu, karena dari sana ia sudah bisa melihat kulit dan kaki telanjang. Tangan Kiana di permukaan air di depan dada, mengapung bagaikan perahu bersandar. Dia nyaman dan percaya diri, Lucas selalu membuatnya ingin mengenal lebih sering ketimbang Raydon ataupun Errol.

"Apakah petir menciptakan api?" Tanya Kiana dari bawah sana.

Errol menoleh lalu lupa dan ia berpaling canggung dan mencari ranging-ranting di bawah kakinya. "Ya, tapi juga menciptakan suara melengking. Dan suara keras tidak bagus di sini, mengulang memori dan mengundang tanya."

"Kau sering menggunakannya? Matthew sering seperti Errol, Raydon jarang, dan aku? Yah, aku menghindarinya tapi aku bisa." Urainya, ia mencoba bergerak agar bisa memandang Lucas.

"Karena terlalu sering menggunakannya aku mulai menghindarinya," balas Lucas, ia bisa melihat kulit Kiana coklat dan tubuhnya berisi, dia tidak pernah takut dengan wanita tapi jika dihadapkan dengan pewaris Torin Maxima, batu A'din, sekaligus temannya membuatnya harus berfikir dua kali.

"Aku tak pernah melihat kakakmu atau fotonya, dan lagi pula dia yang seharusnya pemegang batu A'din itu bukan?" selidik Kiana dan berenang dengan tenang.

"Well, kerajaanku berantakan. Ayah dan Ibuku bercerai, ayahku tidak kembali dan belum mendapatkan pengganti ibuku. Hadad memerintah, sistemnya hancur, takhta tidak beraturan, dan cabang pewaris batu A'din tidak pernah menjadi hasratnya," ujar Lucas bercerita. "Varunnette mengizinkan Hadad melepaskan tanggung jawab batu A'din dan akhirnya menyerahkannya padaku." Dia bercerita dengan logat kaku.

Sekarang Kiana tahu tentang Lucas, dia berani berkata jujur dan terbuka, kesantunan dan kelembutannya berbeda dari yang dimiliki Errol, dia lebih gagah berani dan yah tampan dengan wajah bersihnya.

"Tetap tidak menghentikanmu. Aku dihentikan dengan realita pahit, hukuman tuhan untuk kaumku, diriku dan Matthew." Kiana merasa mengolok dirinya sendiri agar sadar.

"Belumlah mereka disebut sosok kesatria bila belum diuji." Kutipnya. "Kita hidup dibara arang dan menunggu api mengobar diri kita, saat kita sudah panas dan membara kita dibentuk ke ukuran yang baru. Dan kita tak akan pernah merdeka jika kalbu ini masih sehitam arang."

Kiana mengerti, ada renggang sepi di antara mereka dan mungkin Lucas mau berbicara lagi, tapi dia diam. "Apa kau selalu menjadi pendiam?" Tanyanya, aneh.

Anehnya Lucas tersenyum, dia punya senyuman semanis madu hutan dan selentur karet. Semuanya menjadi manis ketika ia tersenyum, ia selalu punya kimestri menarik. "Aku tidak tahu harus merespon apa untuk satu itu. Tapi kelopak bunga yang tertutup akan membuka perlahan. Segeralah naik, kulitnya mulai memerah." Lucas pergi.

Setelah sore berhenti dan malam memulai, mereka berkumpul mengelilingi api unggun besar. Suara pecahan ranting yang terbakar menyemarakkan suasana dinginnya malam. Raydon bermain api dengan tongkat, menggeser ranting agar lebih selaras untuk terbakar dan memberikan pasokan hangat ke tubuh. Keheningan sempat menjadi canggung, ini seperti perkemahan anak remaja yang harus diisi oleh sebuah cerita mengasyikkan. Namun akhir-akhir ini memang cerita lebih menuju pada cerita mengerikan, terutama penyerangan kerajaan Sonya.

"Di mana menurutmu batu Grass?" tanya Errol memulai.

"Tak ada yang tahu," ungkap Matthew menghela nafas. Ia duduk di sebelah Kiana di tanah sedangkan Kiana duduk di atas tubuh badan pohon yang hambruk.

"Begitu pula musuh," ujar Raydon. "Sebelum mereka mendapatkannya, sebaiknya kita pergi setelah di Marclewood."

"Ke mana?"

"Varunnette," kata Raydon.

"Itu tempat terekspos," kata Matthew lagi.

"Di mana lagi memulai selain dari pintu masuk seluruh batu? Aku kenal seseorang di sana, ahli dalam berbagai jenis batu dan bila beruntung dia mungkin tahu di mana batu Grass," gumam Raydon memberi secercah harapan.

Semuanya hening, sebagian hanya ikut dengan opsi dan sebagian dari mereka menimbangi, Matthew salah satunya. Namun ide Raydon adalah opsi satu-satunya yang cukup meyakinkan dengan mendatangi Varunnette yang mengetahui 100% batu-batu berkekuatan besar.

Bulan sabit menggantung di ufuk barat, mengedarkan cahaya terang pada hutan Marclewood yang tidak akan pernah berhenti menjadi pusat para tokoh-tokoh mencari ilmu. Kiana merebahkan tubuhnya menghadap ke pintu tenda. Rasa dingin yang perlahan tertiup menggigilkan tubuhnya, suara hewan-hewan hutan malam berbunyi bagaikan suara detakan jam dinding, syahdu dan maknawi. Jangkring berderik dan burung hantu menyanyi, suara hewan asing yang tak dikenali membuat resah. Mereka berjaga bergantian kecuali Kiana, setiap beberapa jam Matthew akan menyerahkan ke Raydon, lalu ke Errol, lalu ke Lucas.

Suara bising di belakang tendanya membuatnya perlahan terbangun, tapi ia malah mendapatkan sebuah cahaya dari luar tenda. Semakin lama ia menunggu cahaya yang menerang dan meredup terus bergulir dari arah tenda Matthew. Ada sorot bayangan tubuh Matthew yang tidur, lalu menghilang saat cahaya itu redup. Ia memutuskan untuk keluar, menuju tenda Matthew. Ia mengintip dari balik pintu tenda Matthew, melihatnya tengah menyangga kepala dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegang sebuah batu.

"Kee?" Matthew cemas dengan kedatangan Kiana cukup kaget dengan spontan tiba-tiba ada yang masuk ke tendanya, ia bahkan tidak mendengar suara.

"Boleh aku masuk?" bisik Kiana.

Matthew bangkit lalu duduk. "Tentu," balasnya parau. "Kenapa? Tidak bisa tidur?" Kiana mengangguk, tapi matanya berat dan merah sedang duduk membungkuk di hadapan Matthew, menatap moonstone yang bercahaya dan redup. Banyak bintik-bintik hitam di dalam batu yang bergerak seperri semut, meremang dan muncul selalu terpantau.

"Semua tanda itu, aku khawatir bisa ke mari." Kata Kiana pelan.

Di telapak tangannya batu itu memenuhi kulitnya yang dingin, tidak mencemaskan hal itu. "Mereka hanya berputar di sana-sana saja, mungkin hanya rakun atau sejenis hewan malam lainnya."

Kiana tersenyum begitu kecil hingga terlihat seperti sebuah murungan. "Apakah usul Raydon benar? Kita berdua selalu menghindari Varunnette," mulainya, menamani malam Matthew.

"Raydon, Errol dan Lucas ternyata sama dengan kita, mereka selalu membuat diri mereka sibuk saat harus ke sana. Mungkin tidak kali ini, dia benar dan hanya opsi itu yang bisa membantu. Setelah dari sana jika tanpa hasil mungkin kamu bisa menanyakan hal serupa pada Kozzak atau seseorang yang kamu kenal tahu tentang bebatuan. Jika bangsa itu menemukan batu Grass terlebih dahulu maka mereka mendapatkan kerajaan itu." Urainya pelan. Kiana harus selalu tahu perkembangan informasi lanjutan yang sering dibicarakan Clark pesan dari ayahnya.

"Sungguh bodoh hanya ingin kerajaan itu," dia selalu berbisik.

"Dan mereka tidak bodoh. Imanuel mengatakan saat pertemuan dengan para staff bila bangsa Darkpross selalu mengincar hal-hal besar selama ini." Matthew tidak punya pilihan lain selain mengulang memori Kiana. "Mereka mengincar hal lain yang juga berada di dalam Torin, sesuatu yang besar dan kuat seperti yang menjadi hasrat mereka. Imanuel menyadari hal yang sama denganku, sebuah batu yang terakhir kali melindungi kerajaan dari pengkhianat, mengeluarkan cahaya benderang besarnya saat dilepaskan ayahmu, membuat dingin yang membekukan kerajaan seperti es yang mengawetkan daging, batu Zonela."

"Oh? Aku lupa tentang hal itu. Seputih es, sekeras gunung, dan dinginnya sesakit mata pisau, kata ayahku ketika Zonela masih menguarkan energinya siapapun yang memegangnya akan merasakan dingin yang begitu sakit hingga memunculkan darah dalam sekejap." Urainya, tersenyum mengingat ayahnya yang begitu muda menceritakan hal serupa bersama Kiana, paman, dan salah satu kesatria tua yang masih aktif Solovan Hang.

"Kau ditakdirkan untuk membawanya, ayahmu melepaskan kekuatan itu artinya hanya dengan darah yang sama dan batu itu tak bisa melukaimu." Sahut Matthew, Kiana selalu tenang bila ada tugas khusus yang diserahkan padanya, atau dia punya umpatan di hati yang tak terdengar.

"Kau juga punya darah yang sama." Kiana memandangi Matthew dengan aneh, sebiru laut Handil.

Hal serupa kembali menjadi momok pikiran Matthew, semua kaum Torin Maxima dialiri darah yang sama, darah 10 penemu Torin Maxima, kakek dan nenek moyang kaumnya. Matthew merasa bodoh, dan dia terdiam hanya menyisakan Kiana yang memandangnya rekat ke mata, dia selalu ingin menanyakan mengapa Kiana selalu tenggelam di sana.

"Hmm, 'darah ini untukmu, darah ini akan selalu bersamamu sepanjang dunia berenang melewati waktu, biar laut mencuci merah menjadi biru, biar laut membawa darah ini ke rahimnya'." Kiana mengutip bait dalam sumpah utama Torin dengan bernada setegas ketua adatnya, dia masih ingat begitupula Matthew yang selalu membaca semua kalimat sumpah di buku diary.

"Kamu yang terbaik," puji Matthew, dia bingung ingin merasakan apa, kekuatan di hutan sana tidak hanya meningkatkan sihir di batu melainkan meningkatkan perasaannya. "Matamu memerah, jangan membuang waktumu untuk bangun. Aku sudah mendengar dengkuran Errol sampai sini karena dia mudah lelah." Kiana terkekeh.

"Bolehkan aku tidur di sini? Malam ini saja?" Pinta Kiana. "Aku merasa ada sesuatu yang bergantung di atas tendaku, menyeramkan."

"Rumahku, rumahmu." Singkatnya. Ia membawa tumpukan kain untuk mengangkat kepala Kiana, dia berebah nyaman merasakan tumpukan daun seempuk matras, memiringkan tubuhnya dan mengulur tangan kiri. Gelap menghilangkan wajah Matthew dan mata birunya, hingga ia mulai terlelap.

Senandung burung yang melewati tenda membuat Kiana buru-buru membuka mata, sinar terik dan hawa dingin yang menyengat ternyata telah menyelimuti seisi tenda. Ia kesiangan karena terlalu malam tidur dan ia ditinggal oleh keempat kawannya untuk melihat Sunrise. Raydon tengah membuat keributan dengan mengasah pedang di luar, bunyinya mengilukan dan alarm yang buruk. Dia memimpikan laut Handil dan lumba-lumba yang bermigrasi, menyaksikannya dari kapal layar milik ayahnya, mimpi terindah dan hampir nyata. Saat ia keluar hanya ada Raydon, mengenakan kaus tipis berlengan panjang, menggosok batu ke pedang ungu.

"Di mana yang lain?" tanya Kiana setelah melirik sana-sini, tidak melihat yang lainnya.

"Mereka lebih dahulu pergi untuk meningkatkan kekuatan masing-masing, mungkin." Bahunya mengangkat, matanya ke pedang.

"Ray." Kiana berjalan ke arahnya. "Aku ingin menanyakanmu sesuatu." Raydon berpaling dari kegiatannya.

"Bagaimana kau menyelaraskan kekuatanmu? Maksudku, bagaimana kau memulainya?" tanya Kiana.

"Hmmm, kau harus percaya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Percaya akan membuatmu fokus dengan hal tersebut. Karena fokus merupakan hal terpenting dalam penggunaan batu A'din." Imbuhnya.

"Fokus yang bagaimana?"

"Ada dua macam, kau fokus dengan target atau tujuanmu dan fokus dengan batunya. Ketika kau menemukan titik harmonis dan keseimbangan, kau bisa merasakan kohesi batunya, mengggelitik di ujung jemarimu meminta untuk dikeluarkan. Lalu keluarkanlah, sampai kau bisa." Ia mengangkat pedang, menutup mata kanan untuk melihat detail pedang.

"Bagaimana jika tidak bisa?" tanya Kiana takut.

Raydon memutar matanya dan mendatangi Kiana. "Mencoba saja belum sudah bilang tidak bisa."

"Entahlah, itu terdengar mustahil," Kiana mengangkat bahunya resah. "Aku sudah mulai melupakannya, 4 tahun tidak menggenggamnya." Bahkan tinggal di Radella dalam waktu singkat ia tak pernah tahu Raydon pemegang batu A'din lainnya.

"Konon ada sebuah kofaktor yang melegenda dari pemegang batu A'din sebelumnya, seperti kiasan. Semuanya sama sepertimu, memulai tanpa bisa menggunakan kekuatannya atau bingung bagaimana dengan memulai. Kepercayaan adalah bibit kesuksesan, bersabar adalah usahanya, makanannya adalah waktu, pupuknya adalah motivasi, keberhasilan adalah hasilnya." Kiasan jaman dulu yang sering ia dengar dari Per tua. Seperti menanam, dari bibit, menyiramnya, memberi pupuk, menunggu hingga tumbuh, lalu menjadi tanaman indah.

Kontemplasi itu membuat Kiana termenung dalam ambang pemikirannya, Raydon memberikan motivasi sangat baik sekali, sangat membangun jati diri Kiana.

"Kau tidak mencari ilmu seperti mereka bertiga?" Kiana duduk di depan perapian, sisa-sisa panas api cukup menghangatkan tubuhnya yang menggigil.

"Yang aku tahu Tenebrific sudah sangat kuat, menguatkannya lagi akan menjadi mara bahaya bagiku dan batu yang lain," balasnya. Kiana ingat, Tenebrific adalah kekuatan dari bangsa kejahatan yang ditanamkan seseorang pada masa lalu di sebuah gua. Gua yang di suatu belahan hutan Marclewood masih berdiri, menjadi objek utama suatu cerita kuno yang tidak pernah dilupakan siapa pun. "Aku punya rahasia."

Kiana menoleh pelan, apakah Raydon bercanda atau tidak. Tapi wajahnya segelap malam dan murung, dilintasi gangguan yang sering ia dapat. Raydon meletakkan pedang dan berjongkok di samping Kiana, duduk di depan api mengirup baranya.

"Terkadang batu Tenebrific milikku selalu memunculkan mimpi, mimpi buruk yang ingin membuatmu terus membuka mata. Setiap mimpi itu sebuah suara mengatakan hal yang sama berulang-ulang kali, bernada mengerikan bisa memecah besi sekalipun. Kegelapan yang lebih gelap, kegelapan yang lebih gelap, kegelapan yang lebih gelap, kegelapan yang lebih gelap. Selalu itu yang aku dengarkan, ada saat di mana aku tidak tahan dan takut setengah mati, aku bangun memikirkan orang yang pantas mengetahui hal semacam ini. Raja Salvado dan Peri tidak pernah berkaitan dengan hal semacam itu, dan aku mencari penyihir besar. Di kuilnya aku menceritakan hal sedemikian, dia bisa meremang masuk ke is kepalaku dan mengakui suara itu merekat di kepala seperti sarang lebah, tapi ia belum bisa melihat maksud di baliknya. Kegelapan yang lebih gelap? Darkpross adalah kegelapan yang sebenarnya, tapi apakah ada yang lebih gelap dari mereka? Aku masih selalu merinding bila menceritakannya." Tangan Raydon terangkat, memperlihatkan kulitnya yang merinding, bintik-bintik seerti bekas tusukan jarum memenuhi lengannya yang besar.

"Kau punya cerita baru, fikiranku mulai aneh setelah mendengarnya seperti aku tahu jawaban itu. Tapi tidak mau mengatakannya, susah disebutkan dan mengerikan membayangkan. Tanda itu jelas Ray, hanya butuh waktu agar kau tahu." Balas Kiana, Raydon berhasil membuatnya ketakutan.

Apakah ada kegelapan yang lebih gelap dari Darkpross? Apakah mereka datang?

*****

-Hohoho *tabur bunga* tanya tanyalah jikalau ada kata yang kurang mengerti, komen mau ramai, tapi pasti yakin pembaca geregetan, #kepedean.

-Terimakasih meluangkan waktu membaca, and give me an orange stars!!

-Add to your reading list people if this is worth it, so everyone in this orange world now they see this fantasy story <3

Keyword :

-Batu Moonstone : Batu perlindungan, berawal dari satu bongkahan besar yang dibagi menjadi ratusan atau puluhan batuan kecil. Berfungsi menjadi sensor pergerakan di daerah luar. Batu Moonstone memiliki batu utama, ukurannya lebih besar, yang berfungsi sebagai titik patokan untuk mengetahui apapun di sekitar batu Moonstone yang sudah tersebar.

11/02/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro