Part 64 - Mengambang, Menjauh, Tak Terlupakan
Tapak sepatu kuda berkali-kali mengetuk tanah dingin bersalju tipis bagaikan permen kapas. Di lahan kosong udara dingin lebih kejam menyerang lebih dulu dan menakuti. Pandangan di depan lebih tipis, berkabut, jarak pandang yang tidak punya rasa kasihan pada semua prajurit. Perjalanan perlahan yang tetap tenang di balik gelap lahan dingin kawasan perbatasan Daylight.
Ray yang masih berkuda melirik komandan Ugrah yang tengah membuka mulutnya ke udara, memakan salju yang turun seperti anjing. "Katakan padaku jika rasanya sudah berubah." Canda Raydon meringis.
"Masih rasa cacing." Ugrah melapor dengan intonasi candanya yang khas, dia sangat riang mengikuti rombongan murung ini.
"Kemarin rasanya kacang tanah." Sahut Raydon, terkekeh lagi ketika Ugrah membuka mulutnya, menggigit salju yang datang di bibir hitamnya karena ragu apakah tadi rasa cacing atau rasa kacang tanah.
"Oh ... tidak, tidak, ini rasa, tunggu sebentar." Komandan Ugrah masih suka bercanda, ya dia berhasil membuat Raydon yang murung tersenyum. "Ini rasa bulu ketek mereka, sial!" Dia mengumpat, meludah.
"Astaga komandan..." Raydon mendecak tak sanggup dengan leluconnya, melirik ke barisan prajurit lain yang masih murung, tidak tertawa sepertinya. Lalu itu membuat Raydon kembali murung, berkuda dan menatap lurus ke kabut tebal di depan.
"Pamanmu murung." Kata komandan Timur itu sendiri. "Saat pimpinan mereka murung, semua murung, lihat? Prajuritmu punya wajah yang sama dengannya. Aku tidak suka ketika akan berperang aku memikirkan apakah aku hidup atau mati. Tentu itu akan membuatku murung. Aku selalu lebih memilih memikirkan apa yang kubawa ketika aku pulang nanti. Apakah aku membawa barang? Apakah aku membawa bunga dari utara? Apakah aku membawa boneka yang hanya dijual di Helly? Atau mungkin permen, kesukaan semua. Sesuatu yang akan menenangkanku." Ia menyimpulkan.
Raydon mendengarkan, menyesal dengan sikapnya yang murung akhir-akhir ini. Tapi memang seperti itu, tak ada kabar baik yang didapat tak satupun. Teman-temannya, musuhnya, perang, adik-adiknya, pejalan batu, dan kekasihnya. Kekasihnya, Lily yang masih di Lyither menunggu kesembuhan.
"Terkadang aku lupa pemikiran yang bagaimana yang akan menenangkanku, selain "aku akan baik-baik saja."" Ujarnya.
"Apa yang mengganggu kepalamu?"
Lily, hatinya cepat membaca rindu. "Orang-orang ini." Dustanya.
Komandan Ugrah menggeram. "Aku mendengar kabarnya, pejalan kaki yang para Peri gosipkan sepanjang kedai minum, sepanjang toko buku, sepanjang sauna." Dia menarik nafas. "Ini dunia yang luas, orang-orang berambisi dan ambisi menghasilkan, sisanya adalah hadiah dari-Nya. Orang-orang ini menciptakan hal karena akal, akal selalu terasah dan tak pernah tumpul. Jika memang mahluk itu diciptakan untuk mengukir dunia? Sebaiknya kita kembali untuk mempelajari hal itu dan kembali untuk mereka saat kita tahu apa tujuan dan cara menyelesaikannya. Akal orang dan orang lain selalu berlomba Edgrado, yang pintar hidup lebih lama dibanding yang kuat, lihat orang tua di Jatum itu." Ceritanya.
"Ya," jawab Raydon. "Mungkin kita pintar komandan, karena kita masih hidup."
"Jika mati nanti artinya saat itulah kita bodoh." Akhir Ugrah.
Kabut dingin semakin ditemani ribuan prajurit, memberikan siulan dingin di setiap jengkal. Kaki-kaki dan deraknya semakin padam karena bercampur rumput. Hutan yang jarang mulai habis dan menyisakan lapangan luas kembali. Jarak pandang yang dapat Raydon lihat hanya 50 orang di kiri, kanan, depan, belakang. Sisanya tak bisa matanya melihat ditambah semakin perih karena kering. Ia mencari paman di depan, ya dia masih tegar duduk di kuda coklat berambutnya dan menuju lurus ke Legacy.
Tidak ada yang tak pernah ke salju, tapi salju itu selalu Raydon rasakan semakin pekat. Bukan kabut dingin yang biasanya tapi ini bercampur gelap asap yang pekat entah dari pekerjaan Darkpross macam apa. Sempat ia bertanya-tanya daratan selebar utara ini dipisahkan dengan ratusan Hervodus yang terbentang. Ya utara tidak begitu luas dibandingkan selatan karena di sini sudah dibagi dengan kekuasan Darkpross. Tapi tetap saja, ini permainan waktu. Penyerangan, penyelamatan, dan kembali membutuhkan waktu. Raydon melirik dengan gelisah ke belakang, bertanya-tanya apakah dia baru saja berangkat atau itu hanya perasaannya saja.
"Sudah seberapa jauh kita?" Ia masih melirik.
"Entahlah nak, aku hanya mengikuti pamanmu." Jawab Ugrah dengan tenang tidak tahu tujuan.
"Berapa lama kita sudah pergi?" Ia kini bertanya pada prajurit dibawah yang berjalan di sisi kiri kudanya, bercambang tebal merah yang menghangatkan wajahnya. Ia ingin punya cambang banyak seperti pria itu, tapi lebih rapi dan tidak kusut.
"Sekitar 3 jam mungkin."
"Darimana kamu berasal?"
"Amanor, bukit Dahal." Pria itu tetap berjalan.
"Satu jam lagi hingga ke Legacy dan Helly." Kata Raydon.
"Tuan" Ugrah mencari teman berbicara. "Satu jam dari tujuan, selalu siapkan peralatanmu." Ia melirik Ganusion indah Raydon, ungu dan punya tempat batu yang kosong tak diisi. Pedang legenda yang punya alkisah sebelum dan sesudah takdir. Rajanya Imanuel, punya satu, diam di dalam kastil belum pernah merasa udara liar.
"Tapi aku lupa di mana Legacy dan Helly dari kabut tebal ini, aku ingat ada hutan. Lalu kota." Urainya mengingat, tak ada kegiatan yang para Peri lakukan ke daerah luar perbatasan Daylight selain memukul mundur para pengikut Darkpross.
"Sepertinya kita sudah di hutan." Ugrah melirik kaki kuda menginjak rumput. Ya ini semua lahan kosong tanpa apapun seperti berjalan di lautan es tanpa hutan atau bukit.
Raydon melihat seksama tanah di bawah itu ternyata hitam bekas pembakaran, sisa-sisa jerat akar pohon di hutan masih ada dibalik kaki kuda, kering dan dingin, mati dan lenyap. Mengerikan para Darkpross ini merusak semua, melahap hutan yang dahulu luas hingga menjadi gundul tak menyisakan satu pohon kurus pun.
"Aku lupa tempat sini." Dia mulai cemas. Melirik kanan kiri menyaksikan hampa.
"Tidak masalah, jika mau kembali hanya berjalan lurus 4 jam lebih sampai melihat para Hervodus." Elak Ugrah. "Aku heran, kenapa belum ada penyergapan sama sekali. Aku selalu tidak asing dengan penyergapan sebelum dekat dengan tempat tujuan di timur itu."
"Mungkin itu sia-sia bagi mereka." Raydon memeriksa kudanya, kuat atau tidak, nafasnya normal.
"Sia-sia?" Ugrah mengernyit membingungkan. "Mereka tahu kalian datang ke mari?"
"Mungkin ya."
"Seharusnya ada penyerangan sekarang," keluhnya. "Atau terlihat pergerakan. Atau mungkin mereka tidak tahu kalian?"
"Ya mungkin mereka tidak tahu ada kita." Balas Raydon tak biasa, bingung dan tidak membaca situasi. Hanya ada hal lain di kepalanya, bagaimana dia kembali dan menyelesaikan ini dengan mulus. Lalu mengobati Lily lagi, kekasihnya jauh dan Samborsa masih menjadi harapan satu-satunya.
"Ray ..." ia mendengar panggilan, tapi bukan yang pertama, seperti panggilan ke sekian kali dari pamannya. Ia membawa kuda lebih cepat untuk mendatangi paman.
"Regu tuan Martam sudah di Helly terlebih dahulu." Paman memberi informasi menarik. "Itu di depan Legacy, aku akan membawa sebagian maju untuk menjaga lokasi selagi kamu dan sisanya membawa warga dan bawaannya kembali. Prioritaskan wanita dan anak-anak di kuda. Barang bawaan yang berlebihan tinggalkan, kau tahu cara berkompromi dengan mereka. Dan setelah itu aku menyusul kembali."
"Baik paman." Raydon mengangguk paham, pernah mendengar bahwa ada beberapa bagian yang menetralisir daerah Legacy dan Helly saat kembali. Alih-alih bila ada penyerangan dadakan mereka garda terdepan yang menyelamatkan setengah rakyat utara dan para Peri lain.
Legacy kota kecil yang tenang dimana kebanyakan orang-orangnya merantau ke kota-kota besar seperti timur atau barat. Pimpinan mereka sudah dikabarkan menghilang sebelumnya, dan desas-desus yang bertebaran ia memilih posisi Darkpross. Namun para rakyatnya tidak begitu menggubris, mereka hanya menerima siapa yang datang dan siapa yang pergi. Terkadang Legacy punya reputasi buruk jika sebagian dari mereka penganut Darkpross, tapi tidak, isinya hanya para wanita, janda, dan anak-anak yang menunggu para keluarganya pulau merantau.
Sore itu tenang dan banyak yang diam di rumah, kepulan asap muncul dari cerobong rumah. Saat permintaan datang mereka menuruti, keluar dengan barang bawaan yang sudah disiapkan. Tapi jika di hitung-hitung itu rakyat yang tak begitu membuncah dibandingkan dari porsi kota yang lumayan padat. Mungkin sebagian dari mereka telah dahulu pergi dari sana, ke timur atau ke utara setelah adanya berita pertama dahulu. Dan ini sisanya, yang masih terlalu sayang dengan rumah lama yang mereka bangun. Kebanyakan wanita, orang tua, pekerja rumahan, mereka yang lemah di perjalanan dingin dan panjang di utara.
Para kuda membawa barang-barang yang bergantung di perut, para wanita dan anak-anak di kuda. Tidak ada kereta yang di bawa, hanya kuda dan para prajurit yang membantu. Hampir satu jam mengumpulkan, membina, menyatukan kembali mereka dan mengosongkan tempat tinggal.
"Pastikan mereka tidak kedinginan, jangan terlalu lama, duluan saja bersama rombongan lainnya." Raydon memberi perintah ke para prajurit dan mereka berjalan lebih dahulu. Lalu Raydon yang tanpa kudanya selalu memeriksa kondisi, semua rakyat aman.
"Tuan kita berlomba dengan waktu, Raja menunggu di perbatasan." Seorang asisten mengingatkan Raydon, dan semua komandan Peri lainnya.
"Di mana paman?" Ia mencari di depan kota, di balik pepohonan jarang di timur Legacy.
"Di depan kota tuan."
"Baiklah, bawa semua kembali. Mereka akan menyusul kita." Titah Raydon menyuruh semua kembali seperti yang paman instruksikan untuk tidak menunggu. "Tuan Ugrah, kau tidak apa-apa?" Tanyanya saat Ugrah muncul membawa tombak setinggi tubuhnya, tumpul, tidak berbahaya.
"Lebih baik kita kembali lebih cepat, tapi bawa pamanmu dan regunya." Saran dia, setelah menggeledah rumah-rumah memastikan tidak ada yang ketiduran dan lupa mengenai evakuasi.
"Dia di depan sana, tidak terlihat, tapi menjaga di sana. Haruskah aku menjemput mereka?" Ia terdengar ragu, menggenggam pedang Ganusion.
"Tidak perlu, mereka tahu yang dikerjakan."
Satu jam berselang dan Raydon menunggu di Legacy dan mensterilkan tempat. Para Regu pembawa rakyat yang pertama tadi sudah dahulu meninggalkan, jauh. Komandan Ugrah mengeluarkan kunci di sakunya, datang dari rumah yang lain. "Lihat ini, para ibu-ibu membuat kunci rumah sangat indah. Di Sonya kerajinan tangan seperti ini dilirik para bangsawan-bangsawan, mereka menyukai keunikan seperti ini." Ia menunjukkan kunci dengan gantungan pahatan dari kayu yang diukir membentuk bangunan kubah. Ya itu memang lucu, para pemilik penginapan berani memesan untuk 10 pintu kamar. Di Lyither mungkin hanya ada 1 yang membelinya, itu Raydon untuk mengunci kamar jika bersama Lily setiap malam atau siang, tidak ada ayah yang membuka atau Bob yang mengintip, atau siapapun itu yang tidak punya kegiatan lain selain memeriksa kamar.
"Kau tahu tuan, kau selalu menemukan sesuatu yang bagus." Pujinya.
"Oh begitukah?" Ia riang, "lihat ini," ia mengeluarkan koin dengan semangat, itu koin yang lagi-lagi dia dapatkan. "Kau pilih, sisi merah dan sisi wajah. Kau benar maka kau akan minum-minum malam ini, jika salah kau tidur denganku." Ia tertawa menunggu Raydon memilih koin lebar yang digunakan anak-anak Legacy bermain lompat tanah.
Raydon terkekeh geli, dia tidak mau tidur dengan tuan Ugrah karena dia benci dengkuran. "Wajah." Pilihannya jatuh ke ukiran wajah mengolok yang dipahat para bocah.
Ugrah melempar koin ke udara tinggi, menunggu jatuh ke tangannya dan ia tutup.
"Merah!" Raydon senang.
"Baiklah baiklah, aku akan bersama para tikus lagi." Tawanya. Ia melempar lagi ke udara hanya untuk bermain, tapi ia mendengar sesuatu dibalik kabut di udara. Mendadak ia waspada, ia tahu suara apa. Pedangnya ia tarik hingga desingannya membuat Raydon cemas.
"Apa? Komandan?" Raydon mengernyit dalam, semakin bingung melihat komandan memandangi langit dan pedangnya sangat siap.
"Kau mendengarnya?" Tanya Ugrah berbisik, kakinya melebar waspada dan melihat langit.
"Tidak." Raydon memegang pedang.
"Kembali sekarang..."
"Apa?" Ray terbata-bata. "Tapi kita-"
"Raydon kembali sekarang! Ini perangkap!" Ugrah menjerit, dia paham.
Lalu benar saja, kepakan sayap di udara terdengar lagi. Itu kumpulan Lonk terbang rendah. "Pamanku." Raydon berlari tapi ke arah yang salah.
Ugrah menjerit namanya, tapi Raydon lari dengan cepatnya menuju paman dan rombongan, ia mau pamannya dan semua kembali. Mereka berlari, Ugrah mengejar Raydon dan Raydon mencari Paman. Dijalan itu ia hanya mengikuti jejak lama, sepatu prajurit dan tapak kaki kuda. Mencari dimana paman dan regu. Lalu dia melihat rombongan berkumpul satu dan lengkap.
"Paman!" Raydon menjerit.
"Kembali sekarang! Itu Lonk! Mereka memancingmu masuk lebih dalam!" Ugrah membaca situasi sekarang.
Tapi Lonk itu terbang, banyak dan dia menjatuhkan sesuatu.
Suara dentuman jatuh seperti longsor dari langit, di depan regu pamannya mereka melihat tumpukan salju dan tanah terbang saat yang dijatuhkan itu besar dan berat. Dan itu bergerak, benda itu berdiri perlahan, membuka mata putih dan tangan yang mencakar tanah, kaki yang menginjak. Dan mulut yang meraup udara. Dia berteriak berlari.
Di saat itulah Lonk di atas menjatuhkan satu, dua, puluhan, puluhan, dan puluhan hal yang sama di tempat yang berbeda.
Raydon menjerit, tahu ini kebodohon karena Lonk menjatuhkan sendiri mahluk pejalan batu di depan. Saat itu Raydon tahu tidak ada yang namanya peperangan, yang ada hanya lari.
"Paman lari!!"
"Lari!!!" Dia menjerit memberi komando selagi puluhan pejalan batu jatuh dari langit.
Kuda mengikik liar, takut dan melompat, menjatuhkan paman dan prajurit lain di kuda. Raydon tak mau diam, ia lari ke paman. Menarik pedang dan menahan pejalan batu yang akan memakan kakinya. Dia mendorong, membawa paman yang shock melihat mahluknya, lalu bangkit dan lari kembali.
Mereka lari, beberapa mencoba memanah dan menancapkan beberapa anak panah di tubuh pejalan batu. Tapi tubuh mereka sebagian batu tak tembus panah dan masih kuat. Mereka lari mengikuti jejak para prajurit Peri. Selagi para Lonk di atas masih terbang mereka tetap menjatuhkan para pejalan batu tanpa jeda. Mahluk itu jatuh ke badan kuda, melukai dan merubuhkan tubuh kuat. Jatuh di sebelah prajurit, menarik dan mencongkel kaki. Jatuh di kepala prajurit dan menggugurkan otak. Menghantam kepala. Itu semua terjadi begitu ramai dan di berbagai sisi hingga hanya lari yang terbesit oleh kepanikan luar biasa.
"Daylight!" Jerit Raydon. "Kita ke perbatasan Daylight!!" Ia memerintahkan, berlari kencang.
"Paman lari tolong, cepat! Kita tidak bisa memerangi ratusan dari mereka." Ia menoleh ke atas. "Dan Lonk masih membawanya. Sialan!"
Mil penuh mil mereka melewati jalan dengan berlari seolah lupa lelah, mahluk dibelakang ikut berlari walau lebih lambat, mengeluarkan suara-suara lapar, suara aneh. Teriakan prajurit yang jatuh dan dilukai mereka sahut menyahut dibelakang. Yang tersandung tetap sama berlari dan lupa lelah. Ini perjudian, antara pejalan batu dan para manusia.
"Ray jika mereka sampai ke perbatasan semua mati!" Ugrah menjerit berlari di depan lebih dulu. Entah kapan sampai.
"Dia benar." Kata paman.
"Apa?!" Raydon mencoba berfikir, tapi ia panik.
"Mahluk itu tidak bisa dihentikan. Para Hervodus menunggu di depan dengan para prajurit dan rakyat lain mungkin masih belum sampai. Ini masalah waktu dan keputusan." Ia melirik Raydon pasrah. "Putuskan perbatasannya sekarang."
"Apa?! Paman!!"
"Tembakkan Firework stone!!!" Paman tanpa fikir panjang memberi komando pada pimpinan lain yang menyebar.
Dan suara perintah sahut menyahut dari mulut ke mulut lain. Perintah menyebar hingga pada pemilik kewenangan.
"Butuh 2 jam lebih lagi kita sampai di perbatasan! Ratusan orang akan tertinggal di sini jika pulau terputus lebih jauh paman!!" Keluh Raydon memikirkan nasib ratusan para Peri yang berlari tanpa harapan bisa tertinggal, seperti dirinya.
"Maka lari lebih cepat!" Sahut komandan Ugrah.
Mereka berlari dari ratusan pejalan batu di belakang, mahluk itu kini membuat keributan di udara dengan suara serak dan raungan. Dentuman itu terdengar, kembang api merah terbang begitu tinggi di atas mereka yang lari. Kembang api merah lainnya di sisi yang lebih jauh. Kembang api merah lebih tinggi di kejauhan dibalik kabut tebal. Itu pemandangan yang sangat indah, tapi tidak dengan kenyataan di lapangan.
Kembang api untuk tanda paling bahaya adalah merah, itu komando Raja saat benar-benar siaga dan tiada ada pilihan lain selain memutus perbatasan ketika mendesak. Mereka berlari tetap dengan menit yang berganti, zirah berat dan luka lecet dikaki tak diperdulikan hingga mereka akhirnya melihat perbatasan.
Diperbatasan Daylight itu para prajurit berdiri sudah berjam-jam setelah melihat kembang api yang turun bagai komet langit dan menunggu ada apa di bawah. Raja diam di dalam tendanya. Tapi pilihan adalah pilihan. Ia dan segenap dewan Varunnette tidak menganggap remeh. Mereka mempertaruhkan yang ada di daratan dan prajurit yang berlari, itulah konsekuensi di dua pihak. Dan mereka memulai pemutusan.
Para Hervodus ditempatnya berdiri dan meletakkan tangan ke kulit dunia. Mereka selalu didampingi para korban atau yang mereka sebut bahan bakar untuk membantu menyalurkan energi masing-masing. Lalu mereka di sana merapalkan mantra kuno yang gelap, bahasa Hervodus yang sudah ada sejak ratusan abad silam.
Dataran retak, berteriak dan mengamuk. Tanah lari dan mengkerut dengan ratusan Hervodus lain yang melakukan hal yang sama menjadi pemandangan tak terlupakan. Para rakyat dan regu yang pertama awalnya diam kini berteriak dan berlari, menjerit sambil ketakutan menggapai perbatasan Daylight sebelum tanah membelah.
Hervodus masih bermain dengan ilmu sihirnya, membelah tanah dan melukai daratan. Lalu tanah itu mulai melebar, melebar, bergetar dan menghasilkan gempa di titik-titik utara dan sekitar, merubuhkan pohon, melongsorkan bukit, memecah batu gunung, merobohkan menara kosong, hingga air laut di bawahnya naik, lahar merah padam, akar pohon tumbang ke laut dibawah.
Itu retakan yang besar dan belum ada regu terakhir yang sampai. Air laut Deepeye terus membantu Hervodus meretakkan tanah utara, membelah dan menggempakan tanah di sekitar. Itu adalah hal menakjubkan di abad Earthniss tahun ini, bagaimana tanah utara terbelah sepanjang Daylight. Akar-akar jurang Daylight menari dan patah, saling tarik-menarik saat lepas. Hervodus itu tumbang, banyak yang berjatuhan di utara hari itu.
Retakan tanah mulai membesar, suara pelepasannya begitu keras dan menjatuhkan batu-batu di bawah bagai guntur di bawah awan. Air laut mulai meninggi di sela-selanya dan daratan tentu akan mulai menurun. Lebarnya sudah 1 meter lebih, air laut mendorong perbatasan semakin menjauh. Lalu di sana satu pria muncul, berlari mencoba menggapai tanah Earthniss. Ia melompat, berlari lagi menjauhi. Diikuti prajurit lainnya dan terbirit-birit.
Retakan yang melebar 2 meter ialah tantangan dan kematian. Mereka semakin banyak yang melompat, menggapai kaki ke jurang tertinggi dengan laut murka di bawah. Mereka selalu ketakutan melompati perbatasan yang sudah terbelah, seolah mereka takut tidak bisa menggapai tanah Earthniss. Deru ombak di bawah kaki menambah ketakutan. Mereka melompat dan lari.
Sekarang ombak yang bekerja, ombak di sela-sela retakan yang mendorong daratan Earthniss dengan daratan Darkpross. Mereka mengejar waktu dengan kekuatan alam. Tanah itu begitu lebarnya sekarang dan mengambang hingga mereka harus melompat dan menggenggam dengan tangan. Itu yang dilakukan mereka semua melompat dan menahan berat badan. Yang tak beruntung dan ceroboh jatuh ke sela-sela. Meluncur dalamnya dan hilang diantara ombak.
"Paman jangan!" Raydon menjerit saat pamannya mencoba membunuh pejalan batu dibalik kabut dingin.
Dia terhenti dan menendang mundur satu mahluk yang mendekat lalu ia berlari lagi. Sudah berkali-kali mereka merasakan guncangan tanah yang sudah terbelah. Mereka pasrah apa yang akan ditemui di depan. Apakah daratan Earthniss yang sudah sangat jauh. Ataukah menerjunkan diri ke air beku Deepeye?
"Lari Raydon! Perbatasannya sudah semakin jauh terbelah." Pinta pamannya.
Tuan Ugrah di depan sudah melihatnya, retakan besar dan ratusan prajurit yang melompat, bergelantungan dan tetap berlari. Rasa panik begitu menghipnotis, tak pernah ia melihat fenomema daratan terbelah. Daratan itu mulai lebih tinggi dilihat dan harus melompat. Jika telat tentu berada di tempat yang salah, Darkpross bersama mahluk pejalan kaki, dan tentu saja mereka akan mati. Jika mereka jatuh 90% adalah kematian. Waktu dan lari yang menyelamatkan.
Ugrah melompat dengan tingginya, ia tidak sadar ia bisa sampai di ujung utara menggenggam tanah dan menarik tubuhnya yang tua. Ia hanya berfikir jika dia di belakang sama ia akan menjadi pejalan batu lain. Tapi ia selamat, menunggu rombongan, membantu para Peri karena daratan itu lebih tinggi ketimbang daratan Darkpross di depan.
Lalu dia melihat Raydon berlari bersama paman yang kelelahan, menjulurkan lidah kehausan. Tersenggal larinya, panik dan mau selamat. Daratan Earthniss semakin tinggi, menjauh, dan sulit dilihat karena kabut asap. Selalu saja Ugrah menarik prajurit di bawahnya agar sampai di atas. "Ayo! Ayo! Cepat!" Jeritnya.
Di depan sana di belakang para pejuang Peri yang menuju perbatasan Daylight deru kaki pejalan batu menggebu dan memekik, menjerit nafsu merobekkan kulit. Mereka memakan banyak peri, menumbangkan banyak korban di tanah itu.
"Aku tak bisa Ray!" Paman menangis melihat daratan itu lebih tinggi dari kesanggupannya melompat, dia tidak kuat, lelah.
"Apa yang paman katakan! Cepat lompat!" Dia marah mendengar keputusasaan. Jangan, jangan putus asa, paman harus selamat, dia tidak mau paman tertinggal.
"Itu terlalu tinggi, aku tidak kuat! Aku tidak akan mampu." Suara paman menangis, dia tetaplah orangtua dan kepanikan membuat lupa jati diri.
"Paman jangan banyak bicara." Raydon melihat paman, melihat ke belakangnya ke pejalan batu. "Lompatlah paman, komandan Ugrah akan menangkapmu, lompat yang tinggi, yang kuat!" Dia memohon, sangat memohon.
Raydon berhenti berlari. Menunggu pejalan batu dan berkelahi dengan mereka. Menusukkan pedang di mahluk yang kanan, kiri, depannya, semua ia tumbangkan sebisanya. Demi mengulur waktu paman menarik ancang-ancang untuk lompat pada komandan Ugrah.
Komandan Ugrah melihat Raydon dan aksinya yang mustahil berhasil. Dia akan mati dikerumuni pejalan batu. Selalu saja ada pengorbanan, kematian, demi menolong satu yang dikasihi.
Pamannya melompat dan jatuh dijurang, ia menangkap akar2 di bawah, mencengkram sekuat mungkin dan mencoba memanjat. Di atasnya komandan Ugrah menunggu menjulurkan tangan, berkeringat. Desah suara Raydon bertarung dengan pejalan batu membuat konsentrasi hilang, anak itu tak akan bisa menggapai daratan Earthniss jika masih melawan pejalan batu.
Raydon melihat lagi pamannya yang berusaha naik, mengangkat tubuhnya yang diambang jurang. Ia menusuk perut pejalan batu satu ini, tepat ke kulitnya yang belum ditutupi batu dan terjatuh. Dia menusuk leher pejalan batu lain, menendangnya dan jatuh. Dia menusuk pejalan batu besar berambut kuning menutupi wajahnya, tapi berdenting pedangnya dan memantul. Pedang Ganusionnya jatuh di antara kaki mereka semua. Ia mengambilnya, tertidur dan terinjak di cakar dan di tindis hingga ia tak bisa bernafas, tak bisa bergerak. Tumpukkan mahluk batu itu puluhan diatasnya, tidak bisa mencakar Raydon atau melukainya karena mereka saling bertubrukkan.
Aku mau pulang, begitu kata hatinya.
Aku mau kembali, begitu inginnya.
Dia meringsut, merayap, mencari celah dan udara yang makin menipis membuat ia hilang kesadaran. Zirahnya besar dan menggesek batu mahluk diatas tubuh. Lalu ia melihat cahaya, menggeram menarik dirinya keluar membawa pedang. Udara! Ia merasakan udara dingin, menabung nafas banyak. Berlari Raydon menuju daratan terbelah, tinggi dan sangat jauh. Masih dikejar ratusan pejalan batu ia tetap mau pulang, ia tetap mau menuju Earthniss dan tidak akan menginjak Darkpross dengan pejalan batu di ujung utara.
Lalu ia melompat begitu tinggi, tapi ia terjun tak mendapatkan pegangan dan ia terjun. Komandan Ugrah dan paman berteriak, mencari Raydon di bawah.
Sigap tangan Ray dan pedangnya ia tancapkan di jurang, membuatnya bergantung bersama pedang di antara bebatuan keras tanpa ranting untuk memanjat.
"Berikan aku tali sekarang!" Paman di atas mencari bantuan, lalu melemparkan tali pada Raydon yang jauh sekali jatuh. Ia mendapatkannya, menarik diri dan ditarik.
Ia menarik tubuhnya untuk terakhir kali dan merebahkan diri di atas. Matanya membelalak melihat langit dan pepohonan, mendengar suara paman dan komandan Ugrah, seruan para peri yang panik, suara ombak, suara pejalan batu, dan ia sadar. Ia berdiri dengan kaki lemah dan bergetar. Melihat ke bawah di seberang, pejalan batu banyak yang terjun ke laut dan tak bisa berhenti. Tapi semakin lama mereka paham dan mengerti, dan menghentikan kaki dan diam di ujung daratan. Melihat ke atas menatap para manusia hidup.
Tatapan itu adalah manusia setengah hidup, manusia yang termakan virus menjadi ancaman mengerikan Earthniss. Ratusan peri yang terbaring di bawah menyayat hati, nasib itu mereka bawa hingga mati dan menjadi mayat bersama pejalan batu. Raydon meringis ngeri melihat sepajang daratan di hadapannya adalah ribuan pejalan batu, diam di balik kabut utara. Menjauh dari Earthniss, berkembang di dunianya dengan tangan kanan para tokoh-tokoh Darkpross. Ia murka, itu musuh dunia yang sangat banyak.
"Ray..." paman bersuara, menangis dan ketakutan.
"Aku baik-baik saja, Paman? Komandan?" Balasnya.
"Apa yang tadi kamu lakukan, itu sangat bodoh." Caci pamannya mengingat ia hendak berkorban demi nyawa orang tua kelelahan.
"Jika itu bodoh, mestinya aku sudah mati." Guman Raydon, mendapatkan lirikan komandan Ugrah. Ya seperti yang dia katakan sebelumnya. Mati hanya untuk orang yang bodoh.
Sambil menunggu daratan yang makin menjauh Raydon melamun dalam kecemasan. "Ke mana pulau itu menuju?"
"Mengambang, menjauh, tak terlupakan." Kata komandan Ugrah cemas.
"Tak terlupakan." Ulang Raydon. "Aku mau setiap prajurit yang terluka dari bawah sana di tempatkan di tempat yang berbeda. Pisah semuanya. Jangan satukan, jangan dekatkan. Karantina yang terluka untuk 14 hari atau lebih." Titahnya segera.
"Tapi kenapa Ray?" Paman heran.
"Itu pejalan batu!" Nadanya meninggi, melotot marah. "Dia menyebarkan dampaknya lewat infeksi luka. Varunnette harus mencari obat untuk penyakit pejalan batu. Atau infeksi yang masuk di sini membahayakan semua penjuru Earthniss."
"Lalu jika ada yang terinfeksi?" Tanya paman berjalan mengikuti keponakannya.
"Jika karantina tidak berhasil menyembuhkan," ia mencari jeda. "Membunuh mereka adalah-" ia memikirkan Lily, tidak sadar situasinya sama dengan yang kekasihnya tengah lalui di Lyither. Ya dia belum sembuh, belum. "Membunuh mereka adalah pilihan terbijak untuk menyelamatkan orang lain dari penyakit yang belum ada obatnya ini."
Raydon pergi kembali pulang bersama ratusan prajurit dalam masa pendinginan setelah peperangan utara. Jenazah Hervodus itu diangkat dengan layak, dimasukkan ke peti-peti penghormatan. Para prajurit yang merasa terluka diberangkatkan ke wilayah dalam pengawasan, Notiler di dekat perbatasan Daylight setelah adanya kesepakatan dan pembicaraan rapat darurat oleh Raja Radella dan Dewan Varunnette.
"Kau menyelamatkan nyawa lebih banyak komandan." Gumam Raydon saat berjalan balik bersama komandan Ugrah di pertengahan malam itu.
"Aku hanya lari." Pikir Ugrah yang lelah.
"Di sana jika kau tidak berteriak lari aku akan tetap tertawa dan bilang kita bisa melawannya, menahan semua prajurit untuk tidak mundur dan bertahan. Lalu apa yang terjadi? Kita semua akan menjadi pejalan batu, menjadi prajurit Darkpross." Urainya. "Kami berhutang banyak padamu Komandan Ugrah dari Sonya. Rakyatku selamat karenamu dan karena Hervodus."
Komandan tersipu malu dalam murung wajahnya yang lelah, ya dia pahlawan hari itu dan pejuang Hervodus lain. Menyelamatkan populasi Peri lebih banyak, hari yang tak bisa dilupakan.
Mereka sampai di Lyither hampir pada jam subuh, ayam-ayam terdengar mulai resah dengan banyaknya tapak kaki yang berlalu lalang mencari rumah peristirahatan, arak atau anggur hangat, makanan, atau langsung tidur saja.
Raydon selalu memikirkan Lily kekasihnya dan Samborsa, setelah kejadian hari itu banyak pikiran yang bermunculan dikepala berspekulasi berbagai hal tentang penyakit pejalan batu. Dengan kaki lemah dan haus yang menggores tenggorokan ia tak perduli, hanya menuju ke rumah pengobatan yang gelap seperti biasa. Tapi tak biasa, pintu itu terbuka sedikit, longgar, lampu di dalam padam dan remang. Aroma lilin yang sudah lolos dari rumah membuat Raydon cepat memeriksa.
Samborsa tidak pernah tak mengunci pintu karena perintah Raydon yang tak ingin ada yang mengetahui. Ketika pintu rumah dibuka itu berdecit kecil engsel tuanya, beraroma sama seperti sebelumnya busuk dan menyengat obat-obatan dan cairan milik Samborsa.
Belum selesai kekacauan hari itu, kekacauan ia lihat di dalam rumah. Pelan-pelan di lantainya mengalir darah merah segar, larut dalam kayu dan menguap amis. Semakin pelan dan miris hatinya mencakup rumah lebih dalam. Tapi ia melihatnya, Samborsa tergeletak lemah, kulitnya berubah biru, wajah keriputnya putih dan mata hijau gelapnya terbuka merah, dia menggeram, geraman pejalan batu yang lemah dan tidak menyerang.
Raydon menangis, menangis menjadi-jadi tahu apa yang terjadi di rumah yang ia tinggal hari itu. Samborsa terinfeksi, sedangkan Lily wanitanya yang terikat diranjang sudah bukan lagi dirinya. Dua adiknya yang menemani Lily tewas tak berdaya di sisi ruangan lain, ikut terinfeksi dan terluka karena ada cakaran dan gigitan.
Ia lemah dan menangis di antara pejalan batu yang ia kenal, Samborsa, kekasihnya, dan 2 adik kekasihnya yang ia kenal. Raungan Samborsa yang pelan semakin membuat air matanya turun, tangisan lemah, kelalahan dan tak berdaya. Saat matanya mulai membengkak ia mengambil pedang Ganusion, mencoba berdiri di lututnya dengan pedang. Mengarahkan pucuknya ke dada Samborsa yang ia andalkan, lalu ia tancapkan hingga tak ada suara, mati lagi. Begitupula dengan 2 anak malang adik Lily yang ia sayangi.
Tangisannya semakin besar saat melirik Lily, yang sudah sempurna menjadi pejalan batu di ranjang sambil terikat. Dia mengambil kain tebal abu-abu di belakang, menutupi wajah Lily hingga leher, mencium kainnya dan mendekati wajah.
"Aku mencintaimu." Ia makin menangis, tangisan cinta yang hilang.
"Aku mencintaimu selamanya, maafkan aku. Maaf aku tidak bisa menolongmu ..." Pedangnya dia tancap di dada yang kosong. Menangis besar.
Makhluk itu menjerit dan mati perlahan.
"Mengapa dunia membiarkanku membunuh orang yang aku cintai?" Ia menggeram, bertanya pada mayat Lily.
Ya, Raydon membunuh kekasihnya di tangannya sendiri.
Dalam bentuk yang berbeda.
*****
-Hai! Terimakasih sudah membaca dan sanggup sabar menunggu.
-Semoga suka bagian ini dan tegangnya as always selalu dapat.
-Comment down bellow untuk mempertanyakan sesuatu hal yang belum cukup jelas. Jangan lupa supportnya dengan masukkan ke library dan share cerita IOS.
Keyword
-Notiler - Kota Karantina Sementara di Utara milik Peri
3/05/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro