Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 60 - Torin Maxima

Ketukan pintu Matthew terdengar saat dia duduk melamunkan nasib ke depan, di jendela kayu kecil yang lapuk dan berbau lilin, kursi itu menghadap jendela, sedikit yang bisa ia lihat dari sana, hanya atap-atap gosong dan merah puluhan tahun tersengat matahari, air dan dingin. Lautan awan mengepul kelabu sudah lelah dengan matahari, angin dingin mulai merambat ke timur dan Sonya mulai mendung.

"Masuk." Katanya pada orang di belakang pintu.

Galdam mengintip. "Tuan ada tamu, dia mengaku seorang Guru yang bersama Yang Mulia." Katanya, berdiri tegap dan rapi dengan seragam hitam-hitamnya. Pemuda  yang sudah mulai menjadi kepercayaan Matthew, dia lugu dan polos, orang dari Sonya yang sebelumnya bekerja di sekitar kubah, kedatangan Kiana dan pekerjaan membuat dia kecipratan lowongan yang kosong.

"Kiana belum kembali?"

"Aku belum mendengar apapun tuan." Akunya, melipat kedua tangan di belakang pinggangnya.

Matthew mengangguk-angguk, menarik cangkir kosong di mejanya. "Tolong isikan lagi Gal." Galdam mengambil cangkir dan membiarkan pintu terbuka lagi sudah kebiasaannya, kadang Matthew harus berdiri lagi dan menutupnya sendiri.

Seorang pria masuk dengan memiringkan tubuhnya agar tidak menyenggol daun pintu, lalu menutupnya. Pria itu berkulit coklat, sangat kurus, tulang rahangnya menonjol, dia mengenakan seragam putih yang licin dan jatuh hingga ke paha, celana besar dan lebarnya menjuntai menghilangkan kaki. Dia membawa beberapa buku, meletakkan di meja dan duduk di hadapan Matthew dengan bunyi-bunyi gemerincing berasal dari balik bajunya.

"Perjalanan yang menyenangkan." Dia bernada, menghela nafas pendek dan aroma asin.

"Kau menemuinya kan? Di mana dia?"

"Yang Mulia dan rombongannya menunggu kami, aku datang bersama rekan Varunnetteku. Aku bertemunya berpapasan di jalan, berbincang, lalu dia memberikanku 3 batu yang sangat indah dan satu botol air, aku tidak bisa mengulur waktu dan aku ke Torin sedangkan dia masih menggunakan waktunya membereskan hasil-hasil terakhir. Dia mungkin masih dalam perjalanan." Jelasnya. Kiana membawa batu Mid, Matthew memberikan batu Moonstonenya, dan di perjalanannya di sana entah bagaimana dia mendapatkan kiriman batu Ivriel. Matthew mendengar kabar batu itu sudah di tangannya, artinya dia sudah selesai. Kiana terbilang sangat cepat di Varunnette, bukannya butuh berhari-hari di sana?

"Aku kemari karena aku fikir Sonya mau mendengarnya karena kalian memerintah di sini. Dan, sekaligus memberitahumu dan memberikanmu buku ini." Dia menggeser dua buku tebal bersampul merah dan hitam, masing-masing polos tanpa judul. "Sedikit tentang kotamu."

Matthew mengambil buku merah, membuka dengan senang, ada hal lain yang nantinya bisa dia baca. "Aku tidak dilahirkan di Torin Maxima, tapi di Snowstone. Aku orang Torin Maxima tapi tinggal di Sonya. Aku punya darah Torin tapi sedikit yang aku pahami tentang kotaku." Lirihnya.

"Orang asing lebih tahu banyak daripada penguasanya sendiri. Kau orang asing untuk Torin Maxima, kau dan Kiana."

"Aku harap para roh tetua itu tidak mengamuk dan mengusir para orang asing yang akan berada di sana." Dengus Matthew meratap ke jendela, malam itu di Edgefour dia melihat roh suku yang selalu dia takuti, mengikuti mereka berdua kemana pun tidak pernah bebas.

"Roh suku itu jahat dan kau pria yang baik. Kau menerima semua orang dari kalangan manapun sedangkan roh itu benci mereka. Tapi mereka tidak berarti bagi yang hidup. Dunia sudah berubah, aku memberikanmu saran yang pasti kau tangkap." Dia menunggu, menunggu Matthew memahami makna dibaliknya.

"Dunia sudah berubah." Matthew mengulanginya, lalu teringat Kiana. "Bukan hanya kau yang mengingatkanku untuk merubah budaya lama Torin, ratusan orang dengan kalimat yang berbeda dan arti yang sama." Xavier pernah terang-terangan membayangkan Matthew untuk tidak usah mengikuti ajaran leluhurnya lagi dan mulai kehidupan baru di Sonya. Komandan Knanta dan teman-temannya sama. Raja Imanuel pernah menyinggung 'apa yang mereka tinggalkan untukmu sekarang? Tidak ada, buatlah yang baru.'

"Dan kau meneruskan saran ini untuk dia." Kata Guru itu mendengkur sedikit, menghempas punggung ke sandaran tinggi dengan nyaman.

Matthew meliriknya sinis, orang ini merasa dia punya kebenaran di setiap gerakan lidah. Saat mendengarnya kau seperti mendapatkan bisikan, bisikan yang menghasut. Kalimatnya selalu sama, seperti mengutip milik orang lain. Dari mana asal Guru ini? Dia tidak seperti orang Jatum.

"Saat aku dengar kabar seorang Guru dan Dewan Varunnette menuju Torin Maxima jantungku tidak pernah berdegup keras, aku hampir mengira aku sedang diracuni. Aku tahu apa yang akan terjadi, aku tidak tahu bagaimana saat aku melihatnya lagi." Matthew hanya ingat sedikit, dia buta kenangan masa kecil.

"Apa kamu belum pernah ke sana sama sekali?"

"Untuk apa? Hanya melihat hamparan putih tanpa kotanya?" Sekali dua kali Matthew pernah ingin mencoba, tapi mundur lagi.

"Kau benar," dia mendengus. "Saat aku ke sana salju itu hanya sampai mata kakiku. Udara di sana sedikit membeku ditambah musim dingin yang sudah datang. Aku berdiri di tengah-tengah kota, aku bisa melihat kastil masih bagus menawan di pinggir tebingnya dengan mata batinku. Rumah-rumah banyak yang rusak karena peperangan lama, pohon-pohon kelapa dan daunnya yang hijau gugur dan tumbuh. Bangkai yang mati termakan waktu sendiri dan aku yakin sudah bersih." Urainya.

"Kapal-kapalnya?" Salah satu media paling utama Torin Maxima, ratusan kapal perang dan ratusan yang kapal melaut lainnya.

"Aku tidak melihatnya." Jelasnya, dia tidak mau mengecewakan. "Butuh 24 jam penuh agar semuanya hilang dan memunculkan utuh Torin Maxima. Saat pergi setelah membuka segel magis, aku melihat sedikit demi sedikit satu menara di sisi barat mulai muncul."

"Bagaimana bentuknya?" Mata Matthew membiru cerah, seterang sinar yang menembus jendela di sebelah meja panjangnya.

"Rasanya seolah-olah kota malam yang sedikit demi sedikit disinari oleh matahari terbit. Dari bawah kau melihat kaki menara dan perlahan-lahan ia naik dan kau bisa melihat beberapa jendela dan kayu ulinnya yang kokoh. Salju di bawah kaki mulai berair saat aku pijakkan sepatuku. Kau tahu apa yang benar-benar aku harapkan bisa ku lihat kemunculannya? Padang lavender di sisi timur. Keindahannya, keharumannya itu!" Dia menggigil gemas.

"Aku mau melihatnya semuanya."

"Aku ingatkan tidak semuanya bagus, ada banyak sisa-sisa penyerangan kemarin dan menyisakan kerusakan besar. Aku yakin besok kota itu sudah jadi. Pulanglah, itu rumahmu. Akan sedikit emosional nanti kan?" Katanya tersenyum lebar.

Matthew terkekeh pelan dan meyakininya, dia mungkin lemas sampai harus berlutut. "Bagaimana dengan Varunnette?"

"Umm, itu, aku tidak tahu. Imity sudah tidak ada, dia bilang ada urusan mendadak dan tidak bisa menyapamu." Gugusnya dan mendorong kursi dengan betisnya.

"Tak apa, aku mengerti. Mungkin aku harus bersiap mengemas barang-barang dan ..." Matthew kehabisan kata-kata, dia benar-benar bisa pulang sekarang.

Guru membungkuk sopan. "Suatu kehormatan bisa melayani kalian semua, aku pamit."

"Terima kasih tuan." Dia menunggu Guru tidak ada, lalu memanggil Galdam. "Gal? Galdam."

"Ya tuan?"

"Kau sudah panggil pihak rumah kerajaan Sonya?" Matthew membenahi laci-lacinya dan mencari beberapa pena.

"Mereka bilang tuan bisa ke sana."

"Galdam." Panggilnya, dia menatap pemuda tinggi itu.

"Ya tuan?" Dia tegang.

"Aku tidak akan berada di sini lagi kau tahu kan?" Dia menunggu pria itu mengangguk dahulu. "Aku menawarkanmu perjalanan, untuk ikut ke Torin Maxima dan bekerja di sana bersamaku. Bukan di lapangan atau memegang benda tajam." Ajaknya.

Galdam terlihat malu-malu dan ragu, wajahnya terlalu kurus dan pucat, saat dia menunduk rambut pirang kerasnya tidak bergerak seperti membeku. "Untuk meninggalkan tempat yang sudah lama kutinggali, rasanya harus berpisah dengan teman dan keluarga lama tuan." Akunya sambil menunduk.

Jawabannya sontak membuat Matthew teringat Clark dan Imanuel. Orang-orang yang bersedia merawatnya dari dia polos, hingga bisa memegang pedang dan bertarung. Matthew benar-benar ingin menemui Clark atau Imanuel, walau sadar betapa sulit menemuinya. Tapi dia berhasil mendapatkan persetujuan menemui Imanuel dan Ratu, di kamarnya dan bukan di manapun berkat persetujuan perwakilan rumah kerajaan Sonya.

Lorong itu sunyi dan kedap suara, langkah tikus saja mungkin bisa didengar. Karpet merah di lantai memenuhi lorong panjang menuju kamar Raja dan Ratu. Batu Glork menyala berwarna kuning di tiap dinding, di balik gelas kaca bening berbentuk kubus dan hangat saat disentuh. Ia diantarkan oleh Nannr, pelayan kastil yang sudah lama bekerja di sana, mengenal Matthew dan mengenal hampir seluruh keturunan Handstar. Di depan pintu itu Nannr mengetuknya pelan-pelan, takut mengganggu bila ada yang sudah tertidur pulas. Lalu ada suara Ratu yang pelan mendeham, dia selalu tahu yang selalu mengetuk pintunya adalah Nannr tua yang punya wajah cemberut yang lucu.

Nannr mempersilahkan Matthew masuk, membukakan pintu lalu menutupnya pelan sekali. Ini pertama kalinya Matthew masuk ke kamar Imanuel, sekaligus melihatnya terbaring. Imanuel terlihat lebih kurus dan pucat seperti sakit, dia batuk-batuk dan Ratu selalu membuatkannya minuman hangat.

"Aku tidak tahu kau sakit Yang Mulia." Suara Matthew merendah dan ketakutan, dia kecewa baru mengetahuinya, ayah angkatnya tergeletak di dalam kamar yang hampa. Di kasurnya yang besar dan sulaman selimut hitam putih seperti bulu kucing, dan dia ditutupi selimut lembut berwarna hijau yang menjuntai ke lantai.

"Matthew, mari ke sini." Ajak Raja, suaranya semakin kasar dan serak, bergetar nadanya. "Ini hanya demam, dan sakit kepala, dan debaran jantung. Yah, orang tua yang sakit adalah normal kan? Dan kau yang muda harus tetap sehat." Titahnya, tetap terdengar saat dia menasihati Xavier, Clark dan Matthew kecil.

Ratu yang mengacak teh di mejanya terus mendentingkan sendok ke gelas, menyiram air panas di campuran rempah-rempahnya. "Apa itu?" Tanya Matthew.

"Ini teh Simmir dari pulau Krims." Urai Ratu, dia membawa tehnya. Matthew tidak pernah mendengar nama pulau itu, tapi pasti semacam pulau terpencil di dalamnya hanya 2 orang penghuni.

Imanuel melenguh kesal saat teh itu datang. "Ah, ini dia. Aku selalu bosan karena hanya teh yang aku minum dan bukan minuman rasa yg lain."

"Dia selalu merasa jijik dengan warna hijau mudanya. Ini sehat, lidahnya mati rasa dan penyakitmu juga. Membantumu tidur nyenyak dan debaranmu itu berhenti. Aku bersungguh-sungguh menjelaskan dia ratusan kali khasiat ini Matt, tapi dia tetap seperti yang kita tahu kan?" Dia bermain alis mata, tersenyum dengan mata lebih sipit dan hitam karena kebiasaan tidurnya yang sudah kacau.

"Kau selalu menjadi pengawas dan pedomanku Yang Mulia." Dia mulai bercerita. "Aku menganggapmu ayah angkat terbaik dan Ratu Flanitta ibu terbaik, alangkah beruntungnya aku. Kalian membesarkan aku, menerimaku di Sonya, kadang kalian memarahiku dan aku suka itu. Aku sangat ingin dipukuli oleh kalian, aku suka menjadi anak-anak normal. Dan kalian mewujudkannya, aku tidak memberikan apapun, maafkan aku."

Imanuel tersentuh, dia mengangkat tangannya dan Matthew segera mendatangi dan memeganginya di sebelah wajah. "Walaupun aku tidak bisa keluar, aku tetap memantaumu Matt dan mendengar perkembanganmu. Aku bangga, bangga." Tangannya gemetar dan dirasakan Matthew, matanya beriris abu-abu sudah makin memucat, mulai berkaca dan merah. "Aku tua, suatu saat aku mati dan aku tidak ingin mati sebelum aku menyelesaikan apa yang sudah aku rencanakan. Dan kau, kau salah satu campuran rencanaku, rencana menghidupkan Sonya. Kau kemari dengan cerita dan latar belakangmu, kau mengingatkan semua. Kau mirip dengan Xavier, mungkin dia sudah menjadi bagianmu. Peluk aku nak, seorang ayah bangga dengan anaknya yang berhasil."

Matthew hampir menangis saat memeluk raganya yang besar dan tua, rasanya sudah sangat lama dia di sini dan sekarang harus benar-benar tinggal di Torin Maxima dengan mandiri. "Jangan menangis." Raja berbisik. "Pintuku selalu terbuka untukmu Matthew anakku." Ia mengatakan sangat lembut dan sungguh-sungguh.

Anakku, belum ada yang memanggilnya seperti itu.

Dia sangat terharu dan senang, lalu giliran berpisah dengan Ratu mencium tangannya dan memeluknya. Ratu memegangi wajahnya dan mencium keningnya seperti seorang anak, seperti dia mencium Xavier yang ia sayangi setiap saat, yang dia lahirkan, yang meninggalkan dia sayangnya. "Aku mengharapkan yang terbaik untukmu. Untuk selamat dari dunia porak-poranda ini anakku." Wanita itu tegar, kalimatnya tegas.

Anakku, seorang ibu yang mengucapkan membuat dia makin berat hati.

Matthew memeluknya lagi, membisikinya. "Salamkan untuk Clark dan anak-anaknya. Katakan pada Olive, si anak barat sudah pulang ke tempatnya."

Ratu tersenyum dan bergenang air mata yakin Matthew sudah sangat dekat dengan semua keluarganya. Dia tahu kedekatan Olive dengan Matthew, bahkan dia sempat menyinggung mau menjodohkannya kalau Matthew bersedia pada Olive yang terlampau umur yang jauh. Tapi Matthew masih percaya adatnya dan dia menganggap Olive adik terbaiknya.

Matthew harus melihat mereka lagi, rasanya perpisahan yang aneh. Seolah mereka akan sulit ditemui lagi, sulit dilihat. Perasaannya semakin menyakitkan, dia mundur dan menutup pintu.

Menjelang sore itu Matthew dan seluruh rombongan besar menuju ke Torin Maxima, dia diberi tahu Kiana juga sedang dalam perjalanan dan kemungkinan akan berpapasan di jalan atau datang bersamaan. Dia lewat jalan utama ke barat dan sore itu mereka sampai. Matthew tidak ingat apapun kecuali suara ombak, dikejauhan memang belum terdengar namun di atas bukit sana dia melihat laut Handil, jantungnya berdebar. Dia turun dari bukit sana dan mulai mencapai perbatasan barat dan timur, jantungnya merosot. Jalan itu dahulu bersalju dia ingat, sekarang tanah. Lalu dia melihat teluk, pantai Pari dengan tebing tinggi dan karang hitam muncul dari lautnya, dermaga untuk kapal dan garis pantai yang luas dan bersih dari rerumputan dan segala kayu mati, hatinya bersorak. Dia semakin dekat. Dan semakin lama dia melihat rumah, diujung kabut dingin yang dikelilingi menara tinggi, dia menangis. Dia datang dari arah utara, melihat rumah-rumah kecil yang rusak dan jalan lebar yang tetap licin.

Matthew melompat dari kuda dibantu Galdam . Suara ombak menghantam tebing seolah membuat kakinya ikut bergetar, suara lonceng dari arah manapun berdentang seiring derasnya angin laut menerpa, lonceng-lonceng rumah penduduk yang menyerupai kapal, seolah bersorak akan kedatangan orang terakhir Torin Maxima.

"Ini rumahku." Ia berbisik, tapi ingin meneriaki langit.

"Rumah yang indah tuan." Galdam mengikutinya.

Matthew berjalan pelan-pelan menelusuri setiap blok, memastikan ini benar-benar nyata dan bukan mimpi siang di kubah Sonya. Dia menyentuh rumah sederhana itu, kokoh dan sedikit lembab. Seolah seseorang mengintip dari jendela. Tiba-tiba ada suara terjatuh, terdengar seperti peralatan dapur. Matthew menoleh dan mendapati jantungnya berdetak, lalu dia melihat satu rubah lari mencincing setelah mendapatkan tikus di antara giginya yang merah.

Lalu dia tersenyum, kota ini masih hidup.

Saat dia mendangak dan mendengar kicauan burung camar di atas langit yang kedinginan dia tidak sengaja melihat kastil Torin Maxima. Tempat ayahnya menjabat, tempat dia tinggal sementara dan makan ikan bakar tanpa tulang kesukaan ayahnya. Ayah dan dia punya rumah sendiri, tidak jauh dari kastil, dua adik tiri lelakinya tinggal di sana bersama pembantu asuhnya. Tapi karena ayahnya menjabat jadi tangan kanan Raja dia tinggal di kastil.

Tidak cukup untuk mengelilingi sudut Torin Maxima dalam satu hari, butuh berminggu-minggu menyesuaikan diri lagi dan mengingat jelas ini adalah Torin Maxima. Dia mendengar keributan, suara terkejut dan gosip-gosip yang mulai bertabur di dalam sana. Rombongan lain datang, rombongan Kiana yang sudah sampai. Kalau Matthew merasakan seperti ini, bagaimana dengan Kiana?

Rumah mana yang akan ia lihat dahulu? Apakah kastil di jauh sana? Atau mencari  beberapa kenangan di sini. Atau tempat dia bermain saat kecil di parit besar di samping kastil? Parit itu bersih dan tidak dalam, ada ikan kecil-kecil dan bersembunyi di pinggir kalau anak-anak sudah berenang dan membuat air keruh. Matthew kecil hanya melihat saja dan tidak berani masuk, karena dia ingat seorang bocah menangis dan keluar dengan biawak menggigit betis kanannya. Kalau keruh Matthew kecil tidak bisa melihat apa yang ada di dalam air, tapi saat panas atau tidak banyak anak-anak lain yang bisa mengeruhkan air dia menceburkan diri sendiri dan menggapai lumpur merah di dasarnya.

Rasanya dia ingin ke sana, para pria dan pimpinannya menaruh kudanya ke kandang kuda di dekat menara pengawas yang berjejeran di perbatasan luar kota. Kuda-kuda lama hilang, jeraminya masih ada dan basah. Kuda-kuda baru datang, enggan memakan jemarinya. Para penunggang istirahat, terkadang menemukan Matthew dan mulai bergosip, mereka ingin tahu.

"Tuan mereka meminta izin memeriksa setiap menara." Seorang pria melaporkan padanya, zirah Sonya dan wajah lonjong orang timur.

"Lakukan apa yang mereka inginkan, tapi tetap hati-hati." Titahnya yang ditunggu semua orang. Pria itu lari dan dia hampir tergelincir di jalanan, lalu dia berjalan pelan dan menolak berlari lagi.

Dia ingin segera ke kastil tapi bersama Kiana, dan diingat-ingat lagi dia belum ada muncul sedangkan rombongannya sudah membaur dan beristirahat. Mendapatkan rumah gratis yang kosong dan mengusir hantu-hantu yang sudah lama diam.

Enieda dan beberapa orang terdekat Kiana bahkan sudah mulai membawa beberapa barang, diikuti kereta barang menuju kastil. "Tuan Matthew, aku mau membawa barang-barang ini ke kastilnya atas permintaan Yang Mulia." Lapornya saat berpapakan.

"Tentu saja." Matthew tersenyum.

"Kau tidak tanyakan dia ke mana tuan?" Galdam mengintrupsi.

"Aku tahu di mana dia." Lalu semuanya jadi mudah ditebak, kalau bukan kastil atau parit sebelah kastil yang ingin didatangi pertama, hanya ada satu tempat yang paling berdampak padanya.

Matthew kembali lagi sendirian, berjalan di antara tanah keras dan sudah cukup jauh dari menara pengawas luar kota. Di lahan kosong sempurna itu dia melihat satu gua di tengah-tengah hamparan kosong, dan Kiana berdiri di depan sana. Dengan gaun tebal berwarna ungu kehitaman sepanjang lutut, leher yang terlilit kain ungu dan renda rantai yang kecil menghiasinya. Celana hitam yang tipis, dan batu A'din Sapphirenya dengan tembaga hitam dari Peri yang mengurungnya.

Kiana melihat siapa yang datang lalu kembali meratapi gua kecil gelap di depan. Tingginya 3 meter tapi mulut gua kecil dan masuknya sempit, seperti sarang beruang kecil.

"Saat pertama melihat kemeriahan di dalam sana aku mau menyerbu masuk kastil," dia terkekeh sendiri, sudah ada kebahagiaan. "Lalu aku melihat gua ini, tempat terakhir aku di Torin."

"Dan di sini kau, tempat pertamamu berdiri di Torin Maxima."

Dia melihat langit, mungkin mengingat hujan yang sering mengguyur. "Lalu Lonk terbang di atas sangat banyak, besar." Dia berdeham, merasa buruk kalau harus bersedih di saat yang menyenangkan. "Jadi, bagaimana kastilnya? Apakah rusak juga?" Alihnya.

"Belum, aku baru setengah perjalanan sampai kastil. Aku menunggumu." Jawabnya.

Kiana mendekati Matthew, menyentuh tangannya yang dingin. "Jangan menungguku, ini rumahmu sekarang, semuanya milikmu, semuanya yang ayahmu janjikan adalah untukmu." Lalu dia menjinjit dan menciumnya lembut, bibirnya sehangat musim panas yang dirindukan barat, tenang.

"Musim dingin hampir tiba, mendapatkan matahari senja terhangat akan langka." Kata Matthew.

"Yang penting masih ada mataharinya Matt." Balas Kiana. "Jadi, apa yang bisa menyulitkanmu my lord?"

"My lord? Jadi itu panggilanku sekarang setelah ada di sini?" Matthew wajahnya memerah.

"Jangan salah, kamu bisa naik pangkat jadi Raja." Katanya, berharap, sudah punya rencana.

"Ya?"

"Nanti." Mereka berdua tertawa.

"Ayo, aku mau ke kastil." Matthew dan Kiana menuju kastil, tertawa dan tersenyum sepanjang perjalanan. Torin Maxima punya struktur kota yang berbeda, karena berada di tebing dan dihapit 2 teluk kota itu sedikit agak meninggi. Semakin menuju kastil daratan semakin tinggi, dan saat berada di hadapan kastil di bagian kanan dan kirinya adalah parit besar, parit terakhir dan yang utama dari parit-parit kecil lainnya menuju laut. Kalau ombak bergejolak pintu parit akan ditutup, kalau tenang pintu di tempat tinggi itu dibuka.

Tidak ada tembok seperti Sonya, hanya menara besar di setiap perbatasan kota. Menara-menara dari batu dan menjulang tinggi dan lebar, dibangun di setiap meter di pinggir kota hingga ke pantai Pari dan pantai Claora.  Dulu setiap menara memiliki penerangan yang menyorot keluar, kalau dari kastil semua cahaya di menara akan terpanjar di kegelapan dan akan terlihat seperti tembok putih yang bercahaya setiap malam.

Mereka berdua seperti mendaki saat ke kastil, pohon-pohon kelapa di antaranya masih sama sejajar dan menua, berdaun hijau layu dan memucat karena dingin. Pintu itu terbuka setengah, terbakar sedikit dan ada banyak goresan pedang dan lubang-lubang panah. Saat masuk sudah sangat mudah mengingatnya, aula besar yang langsung merujuk ke tangga utama terlebar dan tertinggi.

Tangga itu satu dan memanjang lurus hingga lantai teratas, menuju balkon di atas sana. Saat Matthew mendangak ada lukisan lambang Torin Maxima besar di atas sana dan di bawahnya berjajar 10 garis, dan lampu emas tinggi menggantung dan bergerak. Bendera Torin Maxima menggantung di setiap sudut ruangan dan menari, angin laut dari balkon membuat siulan dari jendela-jendela.

"Kau tahu kenapa hanya ada satu tangga untuk ke semua lantai? Summerfun Isadora bilang kalau anaknya diam-diam kabur dia hanya bisa menggunakan tangga ini dan penjaganya selalu berada di lorong setiap lantai, jadi dia tidak bisa nakal." Jelas Matthew. Summerfun Raja yang merenovasi kastil menjadi lebih modern, meninggalkan kayu-kayu lapuk dan menggantinya dengan ulin tebal dan hitam.

Saat naik tangga dan menemui lantai pertama Kiana masuk ke lorong kiri dan Matthew ke lorong kanan. Di lantai pertama lorongnya lebih luas dan ruangannya banyak, biasanya banyak tamu-tamu dan jamuan makan. Lalu di tengah-tengah sana ada jendela untuk melihat ke arah kota, ada di setiap lantai. Di lantai kedua dan ketiga biasanya kamar-kamar, lupa siapa yang menggunakan atau apa kegunaannya Kiana dan Matthew terus naik sambil selalu tersenyum.

"Kamu sadar tangga ini hanya menuju satu pusat saja? Balkon itu." Ujar Kiana menujuk balkon teratas.

Mereka naik dan membuka pintunya, sampai di atas dan menggigil terdorong angin. Deruan angin sore menjeremus ke segala arah, pemandangan laut Handil, langit yang lembut dan awan yang sangat halus, matahari senja yang tidak hangat dan sudah mulai turun. Tebing hitam yang tinggi dan dideru ombak terus bertahan. "Dan di sini ayahku melemparkanku." Matthew berpegangan di balkon, melirik ke bawah ke dasar sana, tangannya sedikit bergetar lemah.

"Aku bisa langsung mati." Kata Kiana.

"Itu yang kufikirkan, lalu aku tiba di Sonya."

"Ada medan teleportasi rahasia kan? Satu di gua, satu di bawah sana, di mana satu lagi?" Tanyanya.

"Entahlah, buka rahasia kalau bukan ayahmu dan ibumu yang tahu."

"Matt." Suara Kiana memanggil lembut dan sudah menunggu dengan tatapannya.

"Sejak pertama semua yang kita kerahkan hanya untuk ini. Aku tidak mau pergi lagi." Katanya seperti gadis kecil yang ketakutan.

"Korbankan apapun untuk melindungimu, melindungi hal yang kamu cintai. Kakekku mengatakannya pada ibu, ibu mengatakannya pada ayah, dan aku mengatakan pada diriku sendiri. Istirahatlah, aku akan urus sisanya." Ia menggenggam tangan Kiana, melihatnya ketakutan dari tatapan. Menyaksikan dia turun tangga dengan pelan-pelan dan mencari lantainya di dua, mungkin ke kamar kecilnya atau orangtua.

Matthew meninggalkan Kiana menuju kamar ayahnya, saat ia buka kamar kecil itu sedikit berantakan. Merah hangat dan gelap dari matahari yang masuk melewati jendela panjang kecil, cahayanya menyorot lurus ke arah meja. Dari jendela, sisi laut menjadi pemandangan dari kamar ayahnya, dia bahkan masih bisa melihat sedikit pulau Kinglay.

Ayah juga suka membaca, saat Matthew melihat lagi ada kumpulan buku-buku berwarna merah di atas meja kecilnya, pasti buku yang akhir-akhir itu dia baca.

Matthew mengintip lemari dan melihat isinya, baju-baju ayahnya yang bergantung dan terlipat. Dia melihat 3 lembar baju merah dan satu hitam, baju dia masih kecil di lemari ayah. Dia tersenyum, seperti melihat ada yang lucu di dalam sana. Saat dilihat-lihat lagi ada pedang di dalam, di balik gantungan baju yang banyak. Pedang ayahnya yang sudah berkarat dan tumpul, dia gunakan untuk menggedor-gedor lantai kalau sedang pusing, atau mencongkel dinding kalau ada cicak-cicak yang buang kotoran di kasurnya, membunuhnya, menggapitnya sampai gepeng.

Di atas lemari ada box kecil yang punya ukiran kayu yang bagus, dan ada cungkilan-cungkilan jahil anak kecil. Dulu Matthew mencoba membuka isinya dengan beberapa besi kecil, ingin mengambil permen keras coklat pahit jatah ayahnya, tapi ayah menguncinya. Saat dia membukanya coklat-coklat itu masih ada, dia membuka bungkus coklatnya dan memakannya, puas saat mengunyah dan merasakan ayahnya kesal. Di dalam kotak juga ada cincin-cincin koleksi ayah, dia suka mengganti-ganti perhiasan cincin. Batu yang selalu dia sukai adalah yang berwarna biru, jadi semuanya hampir sama hanya pola yang membedakan. Matthew melepas satu cincin biasa dan menggantikannya dengan milik ayah yang berbatu biru bergaris-garis pasir.


Saat hampir puas Matthew  berada di kamar itu dia melirik kembali meja di depan jendela, masih ada sisa-sisa kertas di atas mejanya masih belum dia sentuh untuk dibersihkan. Masih banyak kertas-kertas acak yang berserakan di lantai, terbang karena angin atau badai yang menerpa. Jendela itu kecil, sempit untuk satu ruangan saja. Rasanya semua jendela sama-sama kecil dan sempit, ya, kalau lebar angin deras akan menghancurkan isi kamar dan menghempaskan segalanya.

Dia selalu ingat ayahnya pada siang hari yang panas duduk di meja itu dan menunduk pada kertas-kertasnya, ditemani berbotol-botol minuman di sisi lain dari meja, merengut saat bekerja dan terus mengheningkan ruangan. Saat kertas-kertasnya terbang dia membuang nafas kesal, memanggil Matthew kecil untuk memungutnya dengan sebutan liciknya 'permainan tangkap kertas', tapi Matthew menyukainya. Dulu dia melemparkan kertas pekerjaan ayahnya yang berhamburan dan yang di atas meja ke luar jendela, terbang dan basah saat sudah sampai di bawah sana. Dia dihukum, menyapu seperti gadis, ditertawakan para pelayan. Sampai saat ini mata Matthew masih bisa melihat sosoknya duduk, merengut dan menunduk membaca di mejanya.


Dia ingin kamar itu dimiliki kekosongan, biarkan ayahnya merapikan sendiri nanti. Matthew memilih kamar lain, ada kasur empuk dan selimut bulu coklat yang halus. Tungku api lebar dan lemari kecil diisi botol-botol minuman. Malam itu Torin Maxima begitu sepi, suara air laut terus berdatangan setiap detik dan angin selalu meniup gorden untuk menari. Lampu-lampu dinyalakan para penjaga yang ada di kastil, Kiana berada di kamarnya dan Matthew mulai mengawasi kotanya dari jendela balkon.

Pintunya diketuk dan suara Galdam di luar. "Tuan, ada tamu."

"Tamu itu banyak Gal, dari barat, timur, utara, selatan. Darkpross. Yang mana?" Keluhnya, lelah membuatnya gampang marah.

"Umm, lord Vikram tuan." Dia menggeser tubuh dan Lucas di belakangnya.

"Bawa masuk ke sini." Dia merasa malas ke mana-mana. Pria itu muncul dengan rambut kuningnya, asing untuk Torin Maxima sebenarnya. Tapi ini dunia baru, dunia yang sudah berubah. "Malam Lucas." Sapa Matthew.

Lucas masuk, rambutnya basah dan tersisir rapi seperti sengaja formal. "Kau punya rumah yang cantik dan sejuk." Ujar Lucas.

Matthew terkekeh. "Terima kasih, karenamu juga aku bisa di sini akhirnya. Kau kembali, bagaimana di sana? Apakah mereka menyetujui memberangkatkan pasukan Clemanos ke mari?"

"Aku sudah konsultasi pada paman dan beberapa jendral yang aku kenal. Sayangnya Clemanos tidak bisa meninggalkan perbatasan utara saat ini, ada berita akhir-akhir ini kalau para Darkpross semuanya turun, dan dibalik gunung itu aku masih mencemaskan Tamara dan grupnya." Dia mulai membagi cerita.

Matthew mengingat Kiana, nasib Tamara itu ada karena perintah Kiana sendiri. "Kalau dia belum kembali sebelum Daylight terbelah, dia tidak bisa ke mana-mana atau kembali. Varunnette tidak mengizinkan orang masuk atau keluar dari Varunnette setelah mereka memisahkan dengan daratan Darkpross."

"Aku tidak bisa mengabarkannya. Tapi dia tahu Daylight itu akan terpisah, pasti dia sedang bergegas." Ujarnya.

"Jujur saja Lucas aku cemas tentang Tamara." Matthew mengeluh, memang dia yang memutuskan setia untuk Kiana. Tapi Kiana yang memerintahkannya untuk misi ini, bukan yang lain. Dan dia berada di misi yang tidak bagus, aman pun tidak sama sekali.

"Tamara akan baik-baik saja." Katanya, bahkan Lucas itu cemas dia tahu itu.

"Malam ini aku mau memeriksa setiap menara kota yang berjaga, memastikan semuanya diisi oleh prajurit yang tidak aku kenal sama sekali." Keluh Matthew, dia sudah mengenakan sutra tebal ayah yang dia dapat dilemari.

"Milik timur, di mana para orang-orang baratmu?"

"Mereka ada di tempat mereka, menjaga dari sana bilang Kraken dan Shipnest sudah bisa dikatakan jadi tembok di bagian selatan sana, dan Roastrock menjadi mata untuk daerah utara. Aku tidak mau membebankan yang macam-macam untuk mereka, bisa dikatakan ini semacam perkenalan ulang dan mengeratkan pokok pembicaraan. Sudah lama ibukota barat ini tidak hidup, saingan ada di mana-mana dan aku dengar lord Shankster yang sebelumnya sudah mengajukan kota Boardflip jadi ibukota barat tidak senang dengan hal ini, dan pasti ada beberapa yang lain." Katanya.

"Tentu saja." Lucas selalu mengingatkan, dia baik dan bahkan rinci. "Kau sudah mengurus batu Camsya? Varunnette mempersipkan banyak di sana."

"Aku tidak tahu tahu." Matthew menoleh, mengerut dia sudah melupakan sesuatu.

"Aku fikir Kiana mengurusinya saat di Varunnette, dan seharusnya sudah. Matt, teleportasi berbahaya terutama di kotamu yang masih sepenuhnya baru lahir dan lembek seperti janin. Lindungi kotamu dengan Camsya dahulu, kemudian prajurit yang berjaga. Sihir selalu menang di peperangan." Nasihatnya selalu benar.

"Tidak mungkin dia tidak mengurusinya, pasti dia sudah. Atau mungkin lupa, atau belum memberitahuku." Ada mulai kegelisahan bagi Matthew.

"Kapan dia ke Varunnette?"

"Siang, 3 hari kemarin."

"Dan dia kembali kapan?" Lucas memulai percakapan yang tidak bisa difikirkan Matthew sebelumnya.

"Dia pulang sore ini." Matthew makim berfikir ke Kiana.

"Kau tahu Sonya ke Varunnette butuh 1 hari lebih kan?"

"Ya?"

"Siapa yang bisa tidak tidur satu hari? Dia pasti sampai siang besoknya, dan mengurusi semuanya. Tapi sudah pulang hari itu juga?" Dia memperhatikan Matthew dengan mata tajam dan dinginnya. Dia tahu semua, aneh dan misterius.

Matthew merasa ada yang aneh dengan Kiana.

"Tanyakan dia, dengan lembut." Ajak Lucas.

"Apa dia ke Varunnette atau tidak?" Ada suara kekesalan pada Matthew.

"Aku bilang tanyakan dia, dengan lembut." Seolah Lucas tahu kepribadian Matthew, dia akan berkata keras dan berteriak di depan wanita.

"Dan siapa Guru dan dewan itu? Apa dia berbohong padaku?!" Suaranya mulai menandakan kekecewaan.

"Kau punya banyak waktu. Perhatikan dulu prajurit dan perairanmu." Ingatnya.

"Aku mau turun ke lapangan, kau ikut?" Dia mengganti topik, tapi bukan berarti melupakannya. Kepalanya mulai panas yang artinya akan meledak kapanpun, sudah keruh, dia takut sesuatu.

"Tentu, aku ada di sini sekarang." Lucas sudah menetapkan pilihannya, tidak pulang. Kalau prajuritnya tidak bisa membantu, dia ada di sini untuk memberi bantuannya. "Sampai selesai."

Dia mengangguk dan bersamaan turun mengecek sekeliling kota dan penjagaan. Matthew tidak pernah menduga hal ini, tapi Kiana merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuannya.

*****

-Hai! Aku tukang php memang ehehehe. Maaf ya maaf, pokoknya aku punya alasan kok yang pasti salah satunya kekurangan ide. Kalau diwc sih dapet waktu itu, tapi pas udah di depan laptop malah ngebleng mau nulis apa. Kan kezel!

-Semoga menyukai part ini dan Lucas udah gak kemana-mana lagi kok, dia udah di Torin Maxima aja sama Matthew and Kiana. Dan Kiana ini aduuuh, apa sih yang dia pikirin -.-

-Jangan lupa adab wattpadnya! Kesel ya gak ada backsoundnya lagi, kalau ada kan enak bacanya dapat feelingnya :(

21/10/2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro