Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6 - Sebuah Janji

Menuju istana Raja Salvado dia diiringi prajurit Peri dari belakang, mengharapkan wanita itu hafal jalan dengan penjagaan ketat menuju kastil Salvado, semakin banyak jalan setapal yang melengkung dan ditutupi daun kuning yang bersih, desir angin menggugurkan daun coklat dari atas Kiana, jatuh membelai rambut gelapnya yang terurai, kasar saat menyentuh pipinya yang dingin. Dia selalu menyukai sinar matahari yang menembus sela-sela setiap pohon, orange yang semakin banyak dan merah yang semakin menyengat mata. Tangga-tangga penduduk Peri yang selalu ditimbuni oleh lembar-lembar daun kuning, setiap tanah tandus dan rumput kering selalu diselimuti daun kuning. Hangat dan sejuknya di dalam sana, prajurit Peri yang jika dilihat-lihat tidak begitu menyeramkan, mereka manis dan dingin.

Mendekati daerah istana dia melihat batu Regone tertanam di masing-masing pohon terbesar di Radella, pohon seperti raksasa yang menjulang, memberikan tatapan kelam bagi mereka yang berjalan di antaranya. Kedua pohon sudah berumur ribuan tahun, menjadi gerbang utama ke jalan utama menuju istana Radella, di sebelah kedua pohon terukir patung wanita dan pria yang membungkukkan kepala dan menyatukan telapak tangan seperti memberi salam. Mereka memejamkan kedua matanya, sedikit tertutupi reruntuhan daun, namun wajah mereka sangat kental akan Peri. Mereka mengenakan celana dan baju yang menjuntai hingga lutut, bermahkota dan membawa pedang di samping celana.

Dimulai dari gerbang itu para prajurit Peri berdiri mematung, terkadang melirik kedatangan Kiana dan beberapa mereka mengenalinya. Ia dianggap bangsawan di Radella, seperti menerima senyuman santun dan bungkukan sapa dari tiap prajurit. Jalan utama yang melelahkan mulai memunculkan pucuk istana Radella dari sela-sela ranting pohon di atas, berkabut dan cerah.

Seorang pria muncul dari arah berlawanan, dia formal dan tersenyum lebar. "Kau memang selalu mengejutkan dia." Sapanya, pria pertama yang terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

"Hai Priel," sapa Kiana ia memeluk pria itu. "Bagaimana Radella akhir-akhir ini?" tanya Kiana kembali mengisi waktu kosongnya sembari Priel kali ini yang menuntunnya ke istana.

"Banyak berkembang my lady," balas Priel dengan kesopanan yang kental. Kiana mengenali Priel sejak dia tinggal di Radella, pria yang diberikan tugas untuk mengantarkan Kiana pada jalan sebelum meninggalkan Radella. Sisanya hanya Kiana yang memutuskan, Priel tahu dia ke daerah barat dan memberitahunya pada Raja. "Sebelah sini." Priel akhirnya menuju sebuah jembatan yang menuju pintu aula kerajaan yang dijaga dua pria.

Kiana menengok ke bawah jembatan melengkung tersebut, aneh rasanya bila melihat ketinggian ribuan kaki tidak takut, melainkan takjub dengan air terjun di bawah sana dan sebuah pelangi yang menghiasi. Pintu setinggi empat meter yang terbuka oleh dua penjaga membuat Kiana membuyarkan lamunan kosongnya dan berjalan masuk ke dalam aula Istana, Priel membiarkannya masuk dan pamit. Salvado datang dari arah tangga selatan, menyeret jubah menjuntainya di tanah, raut wajahnya mengekspresikan kegemparan yang kental mendengar Kiana datang dengan mendadak, tepat ketika ia ingin menemui Kiana saat itu.

Kiana tersenyum kecil, membungkuk sampai ada sepatah kata dari Salvado. "Bangunlah anakku, kau sudah kembali."

"Mari, minum teh denganku," pintanya. Kiana mengikutinya menuju tangga kecil di selatan, naik di sana untuk berbincang dengan Raja yang baik.

Perbincangan yang menenangkan itu berjalan baik, Kiana mengerti dan Kiana memaklumi, dia tahu siapa yang ada di Radella dan apa yang akan dilakukannya. Priel membawa Kiana kembali menuju tempat tinggal Matthew dan Errol di penginapan masih di dalam kawasan istana. Langit pagi menyala orange, hutan masih indah, ia terhenti ketika Priel berada di depan sebuah rumah yang menjulang tinggi. Goresan kayu pohon di dinding-dinding tempat tinggal tersebut membuatnya nyata sebagai hunian harmonis yang membetahkan.

Rumah itu terletak di antara dua pohon besar berumur ratusan tahun, ada sebuah kolam ikan koi di belakang. Saat matahari pagi mulai bersinar, dedaunan pohonnya tidak akan melindungi cahayanya begitu pula cahaya sore. Namun bila matahari berada di atas dengan teriknya yang menyengat, daun lebat pohonnya menutupi atap dari panas, sehingga begitu nyaman. Priel membawanya masuk pada rumah setinggi tiga tingkat itu.

Matthew dan Errol berada di lantai dua, tak perlu berlama-lama lagi Priel mengantar wanita yang terus terdiam sampai pada deretan ruangan untuk para tamu.

"Apa kau tahu apa yang terjadi Priel?" Kiana mencemaskan keadaan sekarang.

Saat langkahnya masih terus menaiki tangga, Priel mencari kesan hangat untuk tidak mengkhawatirkan Kiana. "Tentu my lady, hanya sekedar antisipasi ringan."

"Kau pernah melawan mereka sebelumnya?" Kiana berjalan di belakangnya, dan Priel menoleh sejenak.

"Aku sering melawan mereka, tapi mengapa itu semua tidak membuatku takut? aku juga heran, aku seharusnya takut melawan mereka dengan bantuan makhluk-makhluk gelap itu, tapi entah mengapa aku berani dan memenangkan semuanya." Dia tersenyum dengan lesung pipit.

Priel mengetuk pintu di bagian kiri, menengok pada Kiana. "Jangan takut, kau punya bantuan." Dia mengingatkan seperti kakak.

"Aku butuh lebih dari bantuan, lebih," ia menunduk lemah, cemas dan kebingungan.

Gagang pintu membengkok, pintu kayu berwarna caramel terbuka. Priel masuk dan membuat Errol termundur cepat. Matthew tengah duduk di depan jendela membelakangi pintu, menuliskan penanya di atas buku tebal dengan tulisan tangannya yang rapi dan lurus.

"Matthew." Errol memanggilnya, pelan agar tidak mengganggu.

Matthew menoleh pada Errol, dan sosok wanita berjalan pelan dari luar pintu bagaikan hantu yang mendadak muncul tanpa diharapkan kedatangannya. Debaran jantungnya melejit cepat dengan mata birunya yang hidup, merefleksikan suatu citra yang sama sekali tidak ia mengerti, namun anehnya hanya kilasan masa lalu yang kejam yang teringat, bagaimana Kiana dan dirinya kehilangan orang tua dan rumah. Dia ingin menangis untuk melihatnya pertama kali setelah lama berpisah, darah keduanya sama dan hanya satu-satunya seolah kembali mengalir ke nadi masing-masing.

Kiana menatapnya dengan rasa kebingungan lainnya, terharu dan sesak itu membunuh. Dia selalu ingat Matthew belajar lebih giat di Sonya, melupakan jauh lebih cepat kehilangan dan duka dari Torin sedangkan ia masih selalu jatuh di dalam keterpurukkan. Setiap menatap masing-masing mata mereka selalu mengingat rumah dan kecelakaan tersebut, mendengar tangisan setiap malam setelah hari itu terjadi, betapa inginnya bertemu orang tua dan saudara masing-masing. Mereka tersandung di jalan yang sama, berdarah di luka yang sama dan mengenang hal yang sama.

Dia berjalan menuju Matthew pelan-pelan dan Matthew mendorong kursinya ke belakang, menyeret dirinya ke hal terkejam yang pernah ia rasakan, meninggalkan Kiana sendirian. Dan ia menangkap Kiana dalam dekapannya, hangat seperti musim semi, sesak seperti di dalam tanah. Mengharukan Priel dan Errol, mereka bisa merasakan kesedihan yang mengecap, membaca perasaan mereka begitu sulit menghadapinya hanya berdua.

Kiana mencoba tak menangis mengingatnya, tapi memori kelam kerajaan Torin selalu membekas padanya, dia yang paling sulit menerima itu terjadi. Setelah masa kehilangan Torin Maxima, Matthew dan Kiana bersama-sama tinggal di Sonya, diurus oleh keluarga kerajaan hingga besar, belajar dan menjadi keluarga di sana. Namun saat Kiana menginjak umur 15 tahun, ia pindah ke Radella dan mendapatkan izin Imanuel, tanpa mengucapkan perpisahan pada Matthew.

Matthew meraba pinggang Kiana, dapat merasakan hembusan hawa panas yang membelai bulu-bulu di lehernya. Rambut harum Kiana yang unik begitu menyengat indera penciuman Matthew, dan yang ia rasakan hanyalah lingkaran lengan Kiana di dada dan pundaknya.

"Aku tinggalkan kalian sekarang. My lady, kamarmu kini ada di depan." Priel akan pergi, dan Kiana melepaskan pelukan untuk memberikan anggukan perpisahan padanya.

Matthew menatap Priel yang pergi dan Kiana kembali melihat wajah Matthew dari jarak yang dekat, dia sangat dewasa. Dan Matthew menghapus air mata Kiana, membentuk senyuman Kiana semanis yang dia ingat. "Aku sudah ingatkan jarang sering menangis, lupakan sejenak tentang Torin dan ingatlah kehidupanmu." Katanya, seperti 5 tahun yang lalu ia katakan pada Kiana yang ditemuinya menangis setelah melihat lukisan kerajaanya lagi.

Dia ingat Errol begitu penasaran dengan siapa dan bagaimana Kiana itu, dia banyak mendapatkan cerita lagi. "Um, Kiana, ini Errol." Dia memperkenalkan canggung.

Errol mengangguk senang, mata hazel yang lebih terang dibandingkan milik Kiana berbicara tentang kehormatan menemui Kiana. "Kita akan bertemu lagi Kiana," dia menundukkan kepala dan berjalan pergi, meninggalkan ruangan untuk Matthew.

Di dalam sana Matthew menulis kata dengan senyuman, dia tak bisa menjelaskan kalimat untuk Kiana, begitupula wanita itu. Ruangan cukup hening dalam beberapa saat, Matthew duduk kursi di depan jendela dan menutup buku sedang Kiana memainkan gantungan kunci milik Matthew, gantungan lambang kerajaan Torin Maxima yang bergoyang. Gantungan kunci Pari laut besar dari besi berwarna abu-abu, membentangkan sirip dada yang indah, dan taji tajam yang pendek dikaitkan lonceng yang bersuara khas Torin Maxima.

"Salvado sudah memberi perintah untuk mencarimu di daerah barat pagi ini," pria selalu memulai percakapan.

"Lalu aku datang," kata Kiana, tersenyum.

"Lalu kau datang." Matthew mengulanginya dengan pelan.

"Siapa yang meyakinkanmu kembali?" Dia melirik dagu kecil Kiana, seperti mendiang Ratunya, lancip dan coklat.

"Entahlah, mungkin Xavier." Kiana mengangkat kepala, melihat isi kamar Matthew sebelum membayangkan kamarnya nanti. Ia sudah merasa lelah di bagian kaki terutama perjalanan ke kastil begitu jauh, dia diantar tanpa menggunakan kuda ataupun kereta.

Ia tersedak geli. "Anak itu. Jadi dia menemukanmu?" Tanyanya lagi sarkatik.

"Kufikir hanya dia yang tahu aku di mana. Kita punya batu Heles And Alice, sebelum aku meninggalkan Sonya dia datang ke kamarku, memberikanku batu Heles dan dia mengenakan batu Alice. Dia tidak percaya aku, dia pikir aku akan pergi ke benua lain dan mencari tulang naga diseserakan sampah," ia tertawa kecil, menunjukkan satu cincin di jemari manisnya yang tersemat sebuah cincin dengan batu berwarna merah muda. "Aku rasa tidak ada salahnya memberi secercah harapan bagi orang-orang yang khawatir pada mentalku, ya bukan?"

"Ya," singkatnya. "Apa mereka memperlakukanmu baik?"

"Aku bekerja di sana, tidak ada yang tahu aku siapa." Jawab Kiana tenang, ia menggenggam gantungan kunci Matthew dengan erat. "Apa Sonya membantumu?"

"Banyak," ia mengangguk, selalu bersyukur ada yang baik setelah badai menerpa. "Aku selalu penasaran apa dibalik pikiranmu tentang meninggalkan Sonya lalu Radella." Dia tertawa kaku.

"Keramaian hanya membuatku semakin buruk, aku tidak pernah menghilangkan kekacauan di kepalaku. Tapi kau berbeda Matt, kau bisa. Kau jauh lebih tabah dan kuat dibandingkan aku. Di saat aku selalu memikirkan bagaimana orang-orang itu mati, dan cara membangun spirit mereka, tapi kau selalu memikirkan sebuah solusi. Aku memikirkan hanya permasalahannya, kau solusinya. Jadi aku pergi untuk menghilangkan keramaian dan mencari keheningan." Nadanya mulai menandakan akan menangis.

"Seharusnya ini memang tidak terjadi padamu, namun tuhan memberikan cobaan untukmu agar kau belajar cara mengamati dunia," imbuh Matthew. "Kau ingat apa yang dikatakan ibumu saat itu?" lanjut Matthew, mata Kiana bergerak ke manik birunya. "Kau adalah anaknya yang paling ia cintai, dia akan melakukan apa pun untukmu, dia akan menjagamu, dan kau patut menerima pertolongan." Saat itu Kiana dan Matthew tengah berada di aula yang sama, acara pernikahan paman Kiana yang masih muda dengan sepupunya sendiri.

"Dan sekarang ibuku dan ayahku sudah tiada," suara Kiana sangat tabah.

"Mereka masih menjagamu," tutur Matthew melegakan.

Kiana mengulum bibirnya pelan, setiap kali ia ingin menemuinya ayah dan ibunya, satu-satunya harapan adalah setiap malam hari saat memejamkan mata berharap sosok mereka muncul di mimpi, menyapa sang anak satu-satunya dalam rindu. Ia tak dapat melindungi keluarganya saat hari itu terjadi dan keraguan menguat setelah itu, ia sadar ia bukan apa-apa di dunianya, sangat lemah dan kikuk. "Berjanjilah kau tidak akan pergi." Pintanya tulus

Matthew tersentak pelan dan ia melepas tautan tatapan menuju Kiana, menunduk untuk memikirkan permintaan Kiana, lalu suara mulai berlari pergi.

"Aku akan selalu ada untukmu," sahutnya.

"Bila aku ikut, aku akan selalu dalam bahaya, kau harus menyelamatkanku," pinta Kiana. Matthew memahami setitik rangkuman dari kalimat Kiana, ia sadar Kiana akan ikut perjalanan dan menjalankan tugas-tugas mereka.

Matthew tersenyum sadar. "Aku berjanji akan menolongmu ketika kau membutuhkan bantuan." Matthew menggenggam pergelangan tangannya dengan nyaman. Dia sangat mengharapkan lebih dari sekedar tugas, ia mengharapkan sebuah perjalanan lebih lanjut mengenai kaumnya. "Seperti yang ayahku lakukan untuk ayahmu." Dia tersenyum dari kejauhan, saat itu suara ayahnya muncul kembali, meneriaki nama Matthew berulang kali dengan paniknya, ratusan titik api muncul, ledakan dari segala arah, keributan, dan jeritan dari dalam kastil.

"Jadi apa rencana Raja Salvado? Aku tahu mereka mengincar Torin Maxima dengan ketiga batu yang diramalkan. Sonya sudah bergerak, mengirim prajuritnya ke perbatasan wilayah dan memperketat mengamanan. Sedangkan Radella menyusun rencana dalam bidang pertahanan dari bangsa Darkpross. Lalu apa yang kita lakukan?" Mulai Kiana membahasnya.

"Kita tak bisa menggerakkan prajurit besar, sehingga mereka membantu kita dengan bagian itu selagi kita berurusan dengan ketiga batunya. Jika berkeliaran terlalu ramai akan terlihat pergerakan besarnya, kita diam-diam, menyamar seperti pemegang batu A'din belum dipertemukan dan tidak tahu apa-apa." Urai Matthew, dia mengamati sampul buku diary yang menjadi pegangan hidupnya. Sampul bukunya dilukis oleh sepupu Olive sesuai yang Matthew inginkan. Rantai, kapal, ikan pari dan batu A'din biru gelap yang menjadi gambar utama. Bingkainya diserahkan pada sepupu Olive untuk melukisnya bagaimana, tapi Matthew kagum betapa menarik dan mencuri perhatian bakatnya tersebut. "Dalam artian sempit kita semua akan memunculkan Torin Maxima lagi bagaimanapun caranya. Dan setelahnya entah itu berhasil atau gagal, sangat sulit mengira hasil akhir saat masih di awal perjalanan yang belum memanas." Dia meyakinkan ada titik cerah.

Kiana bergumam. "Pergi sendirian tanpa bala di belakang sangat beresiko."

"Aku tahu," putus Matthew cepat. "Tapi jika mengambil jalan sepi dan menjauhi batu kita dari mata kerumunan akan bisa berhasil." Lanjutnya sebelum Kiana tidak yakin pada perjalanan. "Apa lagi keresahanmu tentang ini?"

"Aku tidak pandai dengan kekerasan, pedang, dan fisik." Dia menggeleng, teringat keributan di bar desa Bashpit saat itu memercikkan amarah besar bagi para pria yang terlibat. Mereka sama-sama marah antara satu kelompok dengan kelompok lain dan ayunan pisau beserta darah yang bercecer terjadi di bar itu tepat dihadapan Kiana.

"Kamu tidak membutuhkannya. Jangan memaksa kekuranganmu, tapi tetap harus berusaha saat akan digunakan." Dia mengingat pelajaran dari Sonya.

"Suatu saat jika itu terjadi dan tidak ada kau?" Keresahan selanjutnya selang-seling berganti.

"Kukira mulai dari sekarang hanya tentang kita berdua bukan?" Ia menundukkan kepala, tertawa sendiri. "Aku selalu berjanji untuk melindungi. Apakah kalimat itu terlalu sering diutarakan seseorang?"

"Ya. Tapi butuh keberanian besar untuk mengatakannya." Ia membawa gantungan kunci ke meja Matthew, kembali duduk di atas kasur.

"Kita akan pergi ke Clemanos, hanya menunggu kapan Raja Salvado mengizinkan kita ke sana." Matthew berdiri, mengintip dari jendelanya. Terkadang jendela di Sonya langsung menuju pemandangan hutan, sungai, dan pegunungan di kejauhan. Di Radella dia hanya bisa melihat pohon tinggi seperti biasa, lalu mulai bosan dan menutup gorden.

"Istirahat pilihan terbaik, kau sudah berteleportasi jauh." Sarannya.

"Sebenarnya desa Bashpit tidak sejauh yang mereka kira dari Radella. Aku tidak seberani itu untuk pergi terlalu ke barat dan tersesat." Bisiknya memberi bocoran, dia berdiri dan mulai lapar.

"Beruntung kalau begitu. Apa batu A'dinmu kamu bawa juga atau-?"

"Aku menitipkannya pada Raja," senyumannya kembali membingungkan. Ia menuju pintu dan Matthew membukanya.

"Kunjungi aku untuk cerita-cerita baru," dia mengedip dan Kiana tertawa, dia tahu Matthew tidak sanggup mengedip seperti lelaki penggoda lainnya, jadi Matthew terlihat memejamkan mata tapi matanya selalu bergetar.

Dia punya waktu banyak untuk menyegarkan diri, membaur kembali dengan kenalan-kenalan lamanya di Radella. Tapi Priel punya pribadi yang menarik perhatian, dia punya humor yang disukai Kiana. Membawanya ke tempat baru dan memanjakannya, dia terkadang membeberkan cerita kastil dan Peri-Peri golongan tinggi yang selalu bersama Raja. Dia menceritakan Ratu yang selalu didatangi kenalan yang sudah tua dan meminta saran. Minggu menemukan minggu lain, dia betah dan terkadang bosan. Belum ada perintah Salvado untuk memulai perjalanan, dia yakin ada yang menghambatnya baik itu pekerjaan lain atau kondisi di luar.

Tapi pagi itu datang dengan Priel yang mengetuk pintu Matthew yang bersama Kiana dan Errol di dalamnya. Meminta semuanya ke istana membawa perbekalan seadanya. Kiana hanya punya seragam andalannya sehari-hari, celana hitam yang dipadukan kain lembut dari sutra, menutupnya dengan jeket tipis yang nyaman dibuat bergerak. Sedangkan Errol dan Matthew hanya selalu memikirkan gaya rambut dan cambang, sayangnya Errol dan Matthew tidak menyukai cambang yang penuh. Dan Matthew yang rambutnya memanjang tidak pernah berfikiran memangkasnya sedikit, sedangkan Errol sudah memangkasnya sebelum berpergian ke Sonya.

Pagi itu Radella sedikit mendung dari biasanya, awan kelabu menghantam perbatasan langit Radella, dan cahaya benderang mulai hilang. Mereka bertiga menuju istana menemui Salvado yang telah menunggu bersama Raydon yang sudah sangat rapi. Pria itu punya rambut lurus dan coklat hampir pirang, cambangnya tumbuh dan lebih cocok untuknya. Tubuhnya sangat kuat dan terbentuk, dibalik kain cerahnya badannya sudah dipenuhi otot. Dia mengunyah permen karet rasa anggur, menatap Kiana yang kini sudah ia lihat setelah kabar kedatangannya dia dengar.

"Sebelum kalian menuju Clemanos ada beberapa hal yang harus aku ingatkan, beberapa dari kalian tidak pernah menjejali dunia luar, di luar sana ada banyak hal yang menunggu, bila itu membahayakan kalian gunakan kekuatan kalian." Kata Salvado. Kiana terdiam ketakutan dan mata Matthew meliriknya, jelas terlihat bagaimana Kiana ragu menjalani perjalanan dengan wanti-wanti yang diceritakan Salvado. "Clemanos adalah kerajaan yang tegas, terkadang mereka menjadi keras. Ada permasalah demokrasi dan yang lainnya dari kerajaan itu, jadi tetap tenang dan tak berbuat ulah. Kalian akan diterima dengan layak nanti."

"Tentu," ujar Errol menyanggupi diri sendiri

"Jika ada waktu, luangkanlah untuk mengunjungi hutan Marclewood. Tinggallah di sana dan temukan benih-benih kekuatan dari sana. Aku percaya cahaya masih ada di sana dan kegelapan masih jauh." Mata abu-abunya teduh. "Kiana." Dia meminta wanita itu datang.

Saat Kiana maju dengan gugup mata Raydon mengawasinya tajam, mata lentiknya tidak berkedip karena dia tahu apa yang akan diserahkan Salvado. Raja memunculkan kalung perak dengan batu biru Sapphire, dia menggantungnya meminta Kiana yang menyentuhnya.

Kiana meneguk salivanya merasa tegang, itu batu A'din yang memberikan dua opsi dalam hidupnya, membahayakannya atau melindunginya.

"Jangan takut bila kau tidak mengetahui bagaimana kerjanya, lambat laun kau akan belajar dari mereka," bisik Salvado kepada wanita yang gugup di depannya. "Kau akan belajar," sambung Salvado cepat.

Kiana meraih kalung membawanya ke leher dan menyembunyikan batu dari balik baju. Untuk sejenak dinginnya batu meresap dan kemudian menghilang. Dia melihat Raydon yang berdiri begitu tegap, penasaran di mana batu A'din yang bukan miliknya disimpan dan bagaimana bentuknya.

"Bantuan Peri akan bersama kalian, percayalah anak-anakku." Salamnya membentuk bekas di kepala semua pemegang batu A'din. Yang berhadapan dengannya menunduk pamit dan berpaling, Raydon melirik Raja dan ia mendapatkan rangkulan hangat.

"Tolong beritahu ayahku aku pergi," pintanya santun. Ayahnya sangat jarang bersama Raydon, dia punya urusan lebih sibuk dan kemunculannya sangat langka, mendekam di salam kastil dan ruangan bekerja.

"Tentu Bantu mereka nak, mereka butuh kamu. Hati-hati dengan batumu, hari semakin gelap, aku memimpikan malam datang semakin lama." Ia tahu ada tanda dari mimpinya, dia berusaha mengabaikan. Raydon mengangguk dan menunduk kepada Raja, mengikuti ke luar pintu.

"Clemanos sangat jauh dari sini." Raydon yang membuntuti di belakang mengingatkan. Terutama untuk seseorang yang mempunyai kekuatan Berpindah Tempat.

Tidak ada jawaban dari ketiganya, mereka masih berdiri di atas jembatan dan menunggu Matthew berbicara. Dia punya kekuatan itu, memindahkan keempatnya menuju daerah berjarak puluhan kilometer. Kiana menatap bergilir Errol dan Raydon yang memasang tatapan ke Matthew, dia punya wajah gelisah sedang berfikir.

"Matt kau tidak apa-apa?" Kiana memastikannya baik, dia seperti akan jatuh sakit.

"Ya." Matthew mengangkat kepalanya, untuk sesaat dia yakin suara disekitarnya kembali hilang dan efek yang kembali muncul meresahkan. Dia tak pernah berpindah begitu jauh seperti menuju Clemanos, khawatir dan ragu di dalam hatinya tidak ingin ia utarakan. Mengecewakan semua tidak begitu memperbaiki reputasi, dia hanya berharap dia mampu mengatasi. "Tolong jangan pikirkan tempat manapun. Bayangkan kegelapan. Dan aku akan memindahkan kalian ke Clemanos, jarak yang jauh sama dengan beban yang berat. Tubuh kalian mungkin melemah dan lunglai, haus dan sakit kepala." Dia menjelaskan.

"Kapan pun kau siap Matt," suara Kiana menjadi penenangnya.

Saat Matthew menundukkan kepalanya dan menggerakkan jemarinya, Kiana, Errol dan Raydon memposisikan lebih dekat pada Matthew. Sihir yang selalu ia ingat menjadi kuat, mengingat ayahnya dan keluarga. Di sekitar kaki muncul putaran angin dan gelap menjadi bayang-bayang, cahaya itu meremang dan menggantikannya dengan kabut hitam, cahaya biru menarik kaki san saraf-saraf dari tanah. Daun ikut berputar di antara mereka, semakin panas di dalam kabut hitam yang memekat. Lalu semuanya merebak hitam dan seperti bangun dari pingsan, semuanya lemas dan sakit kepala, tubuh yang berat dan kesulitan berdiri.

Cahaya berubah menjadi sangat gelap, keadaan stabil dan masih berputar-putar. Begitu pula Matthew yang tubuhnya mendadak tiba di atas jembatan batu, badai melanda tanpa angin, gelap jelaga dan biru di langit mendebarkan jantung jika salah masuk daerah. Angin meniup hebat, mengambung tubuh-tubuh lemah setelah masuk ke salah satu Jembatan Portal Clemanos.

Masih memikirkan kondisi diri sendiri di ambang jurang di kanan dan kiri, mereka melihat Matthew hambruk dan bersamaan kilat petir jatuh dari awan begitu dekat. Raydon tersentak dan jantungnya berdebar, dia menangkap Matthew dengan iringan jerit Kiana yang panik.

*****

-Okelah as always, hope u like it and dont forget to vote and komen :)


-Dan aku belum nemui pemeran yang pas buat Kiana, tidak ada satupun yang mencakup kriteria wanita itu arrgh!!! Hailee Steinfeld dan Stefanie Scott pun gagal casting ;p

22/01/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro