Part 59 - Perbatasan Daylight
Ray memasang sabuk hitam mengkilat ke pinggang, menempatkan pedang ungunya ke sarung yang tebal di paha kanan dan menggelantung berat. Belati berpegangan emas dan dihiasi permata bening dia sisipkan dikiri, jubah ringan dan tebal telah melapisi zirah tipis di dalam baju. Di dalam kastil dia masih menunggu beberapa jam untuk pasukan di luar bersiap. Setengah jumlah penduduk sudah pergi, Lyither tenang, sepi, dingin, kelabu, bersuara angin.
"Ray, ayahmu pergi lebih dulu." Paman Shaga datang mengintip di ambang pintu, sudah siap lebih dahulu. Tubuhnya ringan tanpa zirah. "Aku lihat dia tidak berpamitan dengan siapapun."
"Oh, aku tahu itu paman Shaga." Sahut Raydon.
"Kau mau menyusulnya?"
"Ya." Dia sudah memutuskan pergi ke utara dan bersama Hervodus, tapi dia belum membayangkan bagaimana nanti.
"Kufikir kau ke selatan." Pamannya mengacak pinggang, lebih pendek daripada kakaknya.
Maunya, bersama Taneta dan melihatnya dari kejauhan bermain salju dan membuat boneka es dari tangannya yang kecil. Mendengar suara mungil yang mudah dikenali. "Tempatku di sini." Katanya, paman mengangguk puas.
"Kau sudah lama pergi, bagaimana teman-temanmu?"
Kesedihan meluputinya, tapi dia menutupi dengan tenang. "Aku dengar tentang Kiana, Ratu Torin Maxima kuyakin mendengar sebutannya. Errol di Valueya entah apa yang anak itu kerjakan di sana. Matthew? Aku bertaruh dia di Sonya lagi."
"Penguasa besar barat." Ulang paman, dia tidak pernah ke Torin Maxima, tak pernah mau. Dulu Raja Aries Isadora pernah akan berkunjung ke utara, tapi tidak ada dia sampai, dan dengar-dengar para Peri tidak menyukai orang-orang barat itu.
"Menarik saat pertama kali bertemunya, dia hanya seorang gadis lemah, tidak berhasrat apapun, bahkan aku yakin dia menyerah dengan rumahnya. Lalu dia bangkit membawa nama Ratu Barat." Kata Ray.
"Kenapa memang?"
"Dia lemah paman." Dia berbisik, membersihkan sepatu berdebu dan sarang laba-laba kurus lemari. Menggosok-gosoknya sampai terlihat baru, udara mulai dingin dan sudah sering mendung hingga utara. Tapi tidak ada yang lebih mengerikan ketimbang awan hitam dari Darkpross yang sampai ke utara, membawa badai merusak.
"Dari bagian mana?"
"Pada dirinya sendiri." Akunya.
"Dan dia bisa naik hingga menggantung nama Ratu Barat dan mendapatkan dukungan? Mungkin dia tidak lemah lagi temanmu itu." Kata adik terakhir ayah.
"Didampingi Matthew tentu saja, tanpa dia?" Dia berfikir Matthew bisa berjalan ke mana-mana, benar-benar bangkit dari kematian.
"Darah itu kotor Ray." Paman berkata sesuai keyakinannya, bergumam sambil meraba permukaan lemari, menggosok-gosok debu diantara jemari.
Ray menoleh dengan kesal. "Paman! Hormati saja mereka. Aku tahu ajaranmu menentang itu tapi biarkan mereka."
"Teman yang baik kamu itu. Ajaran Peri manapun tetap menentang pernikahan sedarah dari dulu. Itulah kenapa Radella dan lainnya tidak mau berurusan dengan Torin Maxima, tidak hanya Radella tapi semuanya." Ajar paman, seperti biasa.
"Jadi kau senang?"
"Kenapa?" Paman belum mengerti.
"Dinasti mereka habis?" Tanyanya skeptis.
"Aku tidak bilang gitu kan?" Elak paman, terkekeh dengan jenuh di nadanya.
"Tapi kau terlihat seperti itu. Mereka temanku, batu ini yang mempertemukan kita semua."
"Torin Maxima sebelum Raja Aries dan Raja-Raja sebelumnya adalah penguasa barat, ibukota barat, tuan rumah semua klan di barat. Mendapatkan dukungan dari klan lama sangat mustahil, yang ada semua klan di barat akan berlomba-lomba menggeser posisi Torin dari ibukota barat." Ujar paman, dia suka meramal sendiri, politiknya lebih kuat ketimbang ayah dan nasihatnya benar-benar bagus sepertinya.
"Jika dia dapat?" Dia berusaha yakin pamannya akan salah.
"Belum cukup. Aku tahu, ini pernah terjadi dengan Sonya dan Varunnette. Orde lama dan baru, dukungan yang melilit sana sini." Katanya, mengintip ke jendela.
"Kiana punya Sonya." Pikirnya.
"Sonya itu ibukota timur." Paman mulai berbisik-bisik. "Tidak ada yang selamat dengan kehormatan orang timur, kalau kau mendukung barat ketimbang tempatmu sendiri utara misalnya? Apa yang akan orang utara perlakukan padamu?" Dia memberi kiasan mudah, ya mudah membayangkan resikonya.
"Mereka mencintaiku paman, mereka mungkin akan menarikku dan tidak mengkhianatiku." Dustanya, membentuk pemahaman lain.
"Tidak, utara punya tradisi dan keunikan tersendiri, barat punya hal yang sama. Saat orang-orang barat mengetahui Ratu Torin Maxima itu tidak memenuhi keutuhan barat, apa iya dia tidak akan dikhianati?"
"Dia punya kesempatan paman." Raydon mulai malas membahas ini, pamannya yang cerewet, apalagi membalas setiap pertanyaannya hanya membuat dia mengulang topik yang sama kembali. Dia memang suka berbicara, teman yang asik tanpa ditinggal terdiam sendirian.
"Tidak jika hanya berdua, mereka musnah, itulah takdir mereka, kehidupan baru menunggu mereka berdua." Kata paman, ya, memang seperti itu.
Ray berdiri, mengetuk-ngetuk sepatu ke lantai. "Kau membenci orang-orang sedarah itu aku paham. Kenapa tidak coba menasihati Kiana?" Dia menyindir.
"Raydon tunggu, kamu harus tahu kepercayaan itu kekuatan. Kita punya kepercayaan mereka punya kepercayaan, kekuatan mana yang terkuat akan terlihat dengan adanya keterlibatan pada dunia." Ujarnya.
"Bahasamu tinggi paman."
"Kau terluka di dalam aku tahu, aku dengar yang terjadi padamu di timur." Dia membuat topik baru, terlambat.
Raydon berhenti sejenak, bertatapan kosong dan berfikiran keruh. Mutilasi itu membayanginya lagi, orang-orang Umna yang mengejarnya di bawah gelap, guyuran hujan, lelah. "Bukan masalah lagi." Gumamnya.
"Masih jadi masalah, semua membayangimu kan? Jangan takut melepaskannya lewat apapun. Air mata, darah, kejujuran, kepercayaan."
Dia membuang nafas. "Aku percaya kita akan pulang."
"Aku tahu." Paman percaya diri.
Raydon cepat-cepat keluar sebelum paman membuatnya harus menemaninya bercerita, malas, dia turun, kastil sudah sepi dan hanya ada beberapa penjaga Lyither yang santai dan mengintip dari jendela. Sebagian pembantu kastil juga sudah meninggalkan utara dan menuju selatan, rombongan pertama 3 hari lagi sampai ke Rockwind disambut beberapa tenda di dekat lereng.
Paman mengikuti di belakang menuju rombongan yang sudah mulai berangkat. "Tunggu sebentar, ada yang mau aku ambil, lupa aku bawa." Dia berjalan kembali menuju kastil, membiarkan paman berjalan menuju persediaan pasukan.
Tapi Raydon tidak melupakan apapun, dia mengingat semuanya termasuk memeriksa Lily lagi. Di sana sepi, hampir terasa rumah-rumah sudah dihuni si penyelinap malam berkumis tipis. Hantu-hantu duduk di belakang lentera padam, debu dan dingin mengusik masuk di antara kekosongan. Ia mengentuk pintu Samborsa. "Ini aku." Katanya pada pintu coklat.
Lama Samborsa membukanya, berjalan perlahan dan membuka satu per satu kunci di pintu dari atas hingga bawah. Gemerincing kunci banyak yang sulit dia pilih, decitan engsel pintu tuanya. Samborsa melihat Raydon, tinggi dan tegap kalah dengannya. "Masuk tuan."
"Aku cuma mau bersalaman sebentar dengannya." Kata Raydon.
"Tentu tuan, tentu." Dia bergetar, matanya lelah, bekerja luar biasa lama, tidak punya kesempatan mengungsi ke selatan.
Raydon berjalan menuju kamarnya yang beraroma lebih aneh lagi, berbeda dengan sebelumnya. Lily berbaring dengan lemah, menutup mata, tubuh dipenuhi batunya masih sama. Dia melihat banyak peralatan Samborsa, kursi kayu untuk mengobati Lily di sebelah ranjangnya. Sepatu yang berdetak pada kayu membuat nafasnya sesak, memegang tangan Lily tidak mengenakkan. Banyak batu dan sangat kasar seperti memegang lumut pada batu, ada bagian yang licin dan sisanya batu.
"Aku akan kembali, aku melakukan semuanya untukmu." Katanya, rasanya seperti berbicara pada roh. Tidak ada ciuman, tidak ada pelukan atau genggaman erat.
"Samborsa, jaga dirimu. Aku akan kembali, kunci pintu dan makanlah." Salamnya pada guru tua yang ia paksa berkali-kali.
"Tuan." Dia mengangguk, tubuhnya membungkuk sangat rendah sekarang, dia mungkin lebih lama tinggal di Lyither ketimbang ayah sendiri.
Raydon berpaling keluar, merasa matanya berkaca-kaca dan kering. Dia melihat langit, kelabu dan gelap, mendengar derak pohon di jauh sana dan tiupan udara dingin yang bersiul. Musim dingin akan datang sebentar lagi, bintang U'crix menghilang perlahan saat malam. Sekali lagi dia melihat pintu yang dikunci Samborsa dari dalam, membayangkan Lily menyambutnya saat pulang nanti dengan senyuman dan jeritan mengejutkannya yang sudah sering Raydon terima. Dia kembali sembuh, lalu setelahnya apa?
Raydon kembali lagi ke jalan awal, kuda-kuda mengendus dan mengikik di markas terdengar ramai dan sudah siap pergi ke utara. Terkadang dia mendengar bisikan di telinga, entah hanya perasaannya atau memang itu ibu. Dia langsung merinding, takut untuk berhenti dan menoleh. Hanya jalan lurus dan melihat jalan sepi tak berujung. Tapi ada perasaan di depan seseorang menunggunya, berdiri dengan tegap, berkaus tebal dan melihatnya.
"Komandan Ugrah?" Ucap Raydon, melihatnya di sana baru sadar.
"Pasukannya sudah mau berangkat, kukira kau akan ditinggal." Katanya, beberapa meter dari rumah baca yang dia tinggali.
"Aku baru mengambil sesuatu," jelasnya. "Sudah lama aku tidak melihat obor Darkpross." Dia tersenyum ketidaksabaran.
"Aku tidak pernah melihatnya, bagaimana bentuknya?"
"Sangat tinggi."
"Kalau roboh apa bisa mencapai Lyither?" Bayangnya.
Raydon tertawa sambil menggeleng. "Tidak, lebih tinggi daripada menara kembar Varunnette. Orang-orang suka mengklaim menara kembar Varunnette lebih tinggi ketimbang obor Darkpross, tapi mereka hanya melihat menara dan belum melihat obornya. Obornya sangat tinggi, apinya menyentuh awan seperti membakar langit."
"Itu bangunan yang tinggi ya, dan isinya api?"
"Ayam bakar, entahlah." Jawab Ray, tertawa bersama.
"Pasti baunya sejuk."
Raydon terkekeh. "Bagaimana perkembanganmu? Apa dapat petunjuk baru."
"Semuanya sama, masih pertanyaan." Komandan sangat lelah, cemberut, beruntung rumah baca itu tidak ada yang mengunjungi, dia tinggal di sana dan bisa seharian bergulat di sana. Kadang jendelanya masih terang saat malam, saat semua jendela di sekitar sudah gelap ditinggal tidur, dia masih tetap terjaga.
"Kapan bisa menjadi titik kalau setiap saat selalu tanda tanya?"
"Saat aku tidak lagi penasaran," dia melihat pasukan Lyither di belakang, mulai bergerak pergi dan sebagian masih bertahan. "Tidak pernah aku melawan Darkpross, kecuali Dubhan."
"Dubhan punya orang-orang, Darkpross punya makhluk. Kau pernah melawan makhluk-makhluknya di Sonya?" Jejal Raydon, menyembunyikan tangannya yang membeku di seragam.
"Di timur sana hanya ada makhluk hama. Reguku tidak pernah berpapasan dengan hal itu." Katanya.
Dibandingkan berbicara dengan pamannya, Raydon mau menghabiskan waktu bersama komandan Ugrah, selain mudah bercerita dia suka melucu sampai harus tertawa seharian, lupa segalanya. "Kau harus pulang komandan, keluargamu."
"Mereka aman kan? Ketimbang mereka ikut aku kesini?" Dia mudah menutupi lubang.
"Memang, tapi mereka cemas."
"Pasti aku pulang, pasti, tapi belum sekarang. Aku lebih cemas dengan yang ada di sini. Orang-orang ini banyak sekali, langsung menuju ke sana dan tidak ada yang tinggal." Dia mengeluh, berbicara dengan tangan kosong dan kepala yang banyak pengalaman. Dia salah satu komandan Sonya, diangkat karena banyak hal, diragukan memiliki kelemahan. Berapa banyak komandan utama pasukan Sonya? Mungkin sampai 12.
"Ada, tapi Radella meminta pasukan yang banyak sekaligus ke sana." Gugus Raydon, menyembunyikan leher yang juga mulai membeku.
"Kurang bagus." Dia mendengus, malu mengucapkan.
"Berikan pengalamanmu komandan." Kata Ray.
"Saat di peperangan pasukan tidak semuanya maju, ada pembagian regu dengan visi masing-masing. Kebanyakan visi ganda, tapi aku tidak menyuruh semua maju. Aku memajukan satu regu, saat regu 1 mulai kena resiko aku menurunkan regu-regu yang lain yang masih kuat."
Raydon menggeleng sambil tersenyum, kalau saja Komandan dari timur itu tahu rasanya. "Darkpross mencuri, merampas tanpa memperdulikan pasukan musuhnya. Dan saat itu terjadi mereka selalu satu langkah di depan, kita harus bersamaan secara besar menembus mereka. Selalu dengan cara itu peri memangkas habis mereka sejak dulu."
"Taktik dibalas taktik." Pikirnya.
"Betul, Peri banyak bahkan lebih banyak. Mereka mungkin takut kalau melihat jumlah." Kata Raydon, hidungnya mulai buntu, ada air-air yang terus turun dan membuat gatal.
"Ada benarnya juga. Jadi, apa yang nanti terjadi?"
"Bayangkan, gempa." Tangannya dibuat gergelombang seperti sedang merasakan gempa sekarang. Tidak pernah ada gempa di utara, karena tidak ada gunung api satupun. Kecuali gempa karena longsor tanah besar dan membuat retakan yang besar pada tahun-tahun penambangan besar-besaran 1 tahun sebelum dirubahnya orde lama menjadi yang baru.
"Sebelum gempa." Ulang Ugrah.
"Siapa yang tahu kan? Aku hanya harus bersiap-siap. Kau ikut?"
Ada keraguan dimata komandan, tersenyum bimbang. "Aku di sini membaca berulang kali sampai rasanya mataku susah berkedip. Tanganku tidak pernah digunakan, ototku mati." Dia mengendorkan kain di lengan yang ketat dan menggoyang-goyangkan, kainnya jatuh dan membentuk bidang pundaknya yang lebar, masih kekar dilihat, tidak kalah mengagumkan.
"Ikutlah denganku ke utara, akan kutunjukkan obor Darkpross yang tinggi dan pucuk api merahnya." Godanya, Raydon tahu Ugrah bimbang dan harus diiming-imingi.
"Aku tetap di Lyither." Dia membuat keputusan, pasti berfikir tentang misi pertamanya menemukan Xavier.
"Baiklah, kau punya keputusan bulat."
"Jaga dirimu di sana nak, kau terlihat hebat." Dia berpamitan.
"Terima kasih pak."
Raydon berpamitan lagi dengan komandan Ugrah, bertemu paman dan berbincang sebentar. Pamannya sudah melompat ke kuda coklat berambutnya, pasukan berbaris menuju utara dengan zirah lambang Lyither, panji Lyither yang dibawa pembawa panji muda di antara rombongan. Ugrah sudah tidak ada lagi dijalan tadi, masuk untuk membaca ulang.
Lalu satu pria muda berlari dari kastil, membawa gulungan kertas dan terbirit-birit mencari kuda paman. "Tuan-tuan! Ada pesan ini penting sekali!"
"Apa?" Paman mengambil kertas kecil itu dengan cepat di atas kuda. Melihat wajahnya seperti bukanlah berita yang baik. Dia mengumpat sendiri, membuang nafas besar dan kasar dan berwajah resah.
"Kita terlambat beberapa jam dari yang seharusnya. Ray, naik! Kita harus ke utara cepat." Dia mulai terburu-buru, pasti hal genting.
"Kenapa?"
"Pasukan Dubhan mengarak pasukan ke Legacy dan Helly, mengambil alih kedua kota." Jelasnya.
Ray melompat ke kuda, mencari tali kuda dan menginjak pelana dengan kuat. Paman berkuda cepat menyusul pasukan di depan, dia berteriak dan memberi kabar pada pimpinan rombongan tentang apa yang terjadi. Rombongan yang tenang mulai semakin cepat, tidak berlari dan tetap terjaga barisannya. Raydon mengikuti paman dan kudanya yang ke sana ke sini, melewati sungai perak yang kini kosong. Tidak ada penghuni Hervodus lagi di pinggir sungainya, mereka sudah meninggalkan tempat dan sudah menuju titik terakhir mereka berdiri.
Kalau rombongannya terpecah bukan masalah, yang bermasalah bila rombongannya tidak diberitahu tentang apa yang terjadi. Raydon diam-diam berada di antara menyelinap tanpa terlihat meragukan, mula-mula dia basa-basi menanyakan kabar dan kondisi beberapa orang disekitar, dia berhasil membawa mereka ke percakapan ringan, lalu cerita-cerita mengisi perjalanan, kemudian dia mencoba mengaitkan dengan musuh. Dia memberitahukan tetang Pejalan Batu, mereka semua sudah percaya dengan rumor makhluk itu sejak hari Raydon membawakan Pejalan Batu ke Lyither, gosip dan obrolan yang menyebar tidak perlu dikhawatirkan.
Raydon ingin menjadi pemimpin yang dominan, mengangkat namanya sekaligus nama ayah, jika dia melihat salah satu rombongan sedikit kacau atau lelah dia memberhentikan pria itu dan menyuruhnya beristirahat, kalau sudah tidak lelah mereka bisa menyusul. Banyak yang turun dan sekedar menghangatkan tubuh dan minum. Dia pernah merasakannya, lelah berjalan saat mengikuti rombongan kecil Faron Black, tidak diberikan minuman, dilupakan, bahkan kuda saja bisa lelah, harus minum dan setidaknya dibiarkan kaki mereka berhenti.
Perjalanan berjam-jam yang berarti mulai dilalui dan belum sampai pada pertengahan hari. Raydon dan rombongannya mulai memasuki daerah perbatasan Daylight. Mulanya itu hanya dataran kosong dengan pohon di sana-sini, di sisi kiri ada tumbuhan-tumbuhan setebal hutan, di kanan sana berkabut dan wilayah lain. Semakin lama perbatasan itu mulai dilihat, meluas dan panjang dan diisi dan ribuan Hervodus dan prajurit Peri dari berbagai wilayah. Setiap 1 mil sepanjang Daylight ada 3 bendera yang ditancap, bendera kebangsaan Peri, bangsa Hervodus, dan Varunnette. Bendera kebangsaan peri yanga utama sejak dulu adalah Tangan di atas Air. Bendera Varunnette tentu saja emas dan lambang V khasnya. Sedangkan Hervodus sangat lembut, warna kelabu terang beserta lambang bulan mereka.
Raydon bisa melihat dari kejauhan bintik-bintik kecil mereka semua menyebar, bendera berkibar, orang-orang seperti semut, memang terlihat seperti perang yang sangat besar. Beberapa pasukan melihat rombongan Lyither yang datang dan mereka menoleh. Paman Shaga memanggil Raydon dan berkuda bersama.
"Ayahmu dan semua petinggi sedang berkumpul di pusat pertemuan, membahas penyerangan yang ada di Legacy dan Helly. Kalau ayahmu butuh aku kau yang awasi rombongan."
"Di situ?" Raydon menunjuk satu tenda putih sangat besar dan dikelilingi penjagaan ketat dari satuan militer milik Radella, pangkat itu yang tertinggi dan dikenali banyak Peri.
"Ayo, aku belum tahu di mana Lyither di tempatkan. Tapi aku lihat hanya Lyither, Gankha, setengah Radella dan Varunnette di bagian sini. Amanor pasti di sana." Paman menujuk arah kanan yang berkabut. "Radella dan Varunnette menguasi sepanjang perbatasan Daylight. Sebagian prajurit adalah relawan, bayaran, dan paksaan."
Raydon menoleh ke belakang, melirik pemuda-pemudi berjubah abu-abu itu berkumpul, bendera sepanjang garis Daylight yang menyayat. "Mereka sudah siap."
"Tinggal menunggu bahan bakar mereka yang dalam perjalanan." Kata paman dia juga melihat dengan takut-takut.
"Bahan bakar?"
"Hervodus bilang mereka butuh pembantu, singkatnya dua kali kematian." Jelas paman.
"Demi tuhanku, aku tidak tahu tentang itu."
"Dia membelah daratan, seberapa dalam tanah ini? Siapa tahu kita melihat bintang di bawah sana, atau lebih banyak lahar, air, entahlah. Bijaklah Ray, jangan terlalu dekat dengan retakan dan Hervodusnya." Saran paman Shaga.
Dua prajurit Radella mendatangi paman dan memintanya turun, dia melompat dan berpijak, berbicara dengan keduanya sambil mengangguk-angguk. Pasti dia diundang ke dalam sana, atau dipanggil ayah untuk mencairkan isi kepalanya yang keras di dalam sana. Paman mengangguk-angguk, kudanya dibawakan prajurit. "Hey, jaga rombongan ya."
"Aku tunggu di luar." Katanya. Menunggu paman masuk Raydon berkuda ke sebelah beberapa pimpinan rombongan, mereka suka ikut penasaran tapi dengan sopan. Agar mereka ada pekerjaan Raydon memerintahkan mereka menurunkan semua pasukan dan menempatkannya ke berbagai titik yang terdekat. Hitung-hitung tidak membuat sesak daerah itu. Mereka bergerak, ke kanan dan ke kiri sana.
Para Hervodus itu bermata dingin dan kosong, tudungnya seolah menyembunyikan kepala bertanduk, kepala menunduk, kepala penuh fikiran. Mereka diam dan kelabu, sangat menakutkan jika tahu Hervodus yang dilihat akan mati. Kalau ada Hervodus yang membalas tatapan dia segera berpaling dan berkuda, rasanya tidak enak.
Pertemuan itu besar dan lama mendiskusikan dan pengambilan keputusan. Ayah keluar dan semua petinggi lainnya menuju ke arah berbeda, ayah ke kanan dan disusul paman Shaga, Raydon mencoba mengekori dan mendengar percakapan. Biasanya dia mendengarkan, biasanya dia jarang mengikuti rapat, sekarang semuanya ingin diketahui. Ayah masuk ke tendanya, paman mengibas kain, Raydon tetap mengikuti sambil mencuri pendengaran.
"Rasanya bisa menang." Mulai paman pada ayah.
"Bisa jadi." Ayah meminum jus apel kentalnya dan meminum air banyak-banyak kelaparan. Duduk dan melipat setengah lengan baju, menguap kelelahan. "Nhaura ada benarnya juga."
"Kalaupun salah satu niat busuknya, apa yang bisa terjadi kalau semuanya langsung masuk menyerbu?"
"Aku tetap mau setengah pasukan Lyither di perbatasan dan tidak maju." Ungkap ayah sedang mebuat keputusan bulat, lalu dia melihat Raydon yang duduk menatapnya di ujung ruangan.
"Kenapa orang-orang Legacy dan Helly tidak mengungsi sebelum harinya?" Pancing Raydon.
"Masih punya masalah dengan Varunnette tentang hak tempat tinggal, makanya mereka masih menunggu. Tipikal orang-orang menunggu bukit emas di bawah lautan, fikirnya Varunnette akan memberikan hadiah besar saat waktu mendesak. Sekarang keduanya harus diselamatkan sebelum diselamatkan sisi yang salah." Jelas ayah sambil minum jus apelnya.
"Apa rencananya sekarang?"
Saat pertanyaan itu terlontar ayah berpaling dan duduk bersandar, membalas-balasan tatapan paman dan sangat tidak lucu. "Semua orang maju ke sana secara serempak, mengait Legacy dan Helly secara cepat, mundur tanpa menakutkan serangan apapun." Paman yang menjelaskan.
"Daratannya?"
"Mereka memutusnya saat semua sudah kembali, entah besok atau lusa. Dewan Varunnette menyerahkan kekuasaan pada Raja Salvado dan beberapa orang yang dia percaya yang sudah dia sebar. Ingat? Jangan dekat-dekat dengan retakan dan Hervodus." Kata paman Shaga, dia membalik gelap dan memilih cangkir yang mana, dia memilih anggur putih perasan jahe, menyerngit dan mengecap lidahnya. "Apa penduduknya sudah diungsikan semua?" Paman bertanya pada ayah.
"Belum sama sekali."
"Bagusnya," gerutu paman kesal. "Jadinya aku harus berlari sambil menggendong ibu-ibu itu kembali?"
"Paman maju bersama ayah?" Usik Raydon.
"Aku saja, aku minta ayahmu di sini. Dia salah satu orang kepercayaan Salvado."
"Itu ide yang masih abu-abu." Suara pahit membuat paman menoleh, tahu keponakannya meresahkan sesuatu.
"Legacy dan Helly hanya 4 mil dari perbatasan Daylight, 3 jam? Mungkin 2 jam semuanya sudah beres." Dia bertatapan dengan ayah lagi. "Dengan catatan tanpa gangguan serangan Dubhan. Tapi itu sebabnya Raja Salvado mengutus semua langsung maju ke sana, kalau ada serangan bisa sejentik jari selesai."
"Keselamatan semua orang, berapa persen?" Usiknya lagi, rasanya penasaran dan belum mendapatkan jawabannya. Tapi ayah sudah melotot, melirik dengak wajah dinginnya itu.
"Ray, kamu tidak usah ikut maju." Kata ayah, dia sudah tahu apa yang difikirkan Raydon sejak tadi. Menimbangi memutuskan ikut paman atau tidak.
"Katanya cepat? Aku bisa menggendong 3 anak-anak sekaligus." Ujarnya berguyon.
"Kau bisa menyesalinya." Ayah menekan dengan pelan, untung tidak ada Bob dia pasti membisiki dengan jeratan-jeratan kekangan lainnya.
"Atau aku bisa menolong." Ray tetap bersikukuh, dia mau menemani paman dan pasukan. Seorang pemimpin bukan tinggal di dalam kastil dan bersembunyi setiap saat, dia harus turun.
"Anakmu keras kepala sepertimu kak, biar dia ikut aku dan jadi penasihatku ya." Paman meminta izin sendiri pada ayah, tersenyum sembunyi-sembunyi pada Ray lalu menoleh pada ayah lagi.
"Bekali dia dengan banyak hal yang belum dia ketahui. Ganti zirahmu, pakai helm dan jangan pergi jauh-jauh dari pamanmu." Titahnya pada puteranya, dia peduli.
"Lihat kan? Ayo, sekarang kita berangkat." Paman bersemangat entah bagaimana, mungkin dia tidak sabar menggendong ibu-ibu yang tadi dia bilang, atau tidak sabar melihat obor Darkpross?
"Apa?" Raydon melotot. "Sekarang? Kukira 4 jam lagi mungkin."
"Sebelum senja semua sudah selesai. Dan kapanpun bisa terjadi, kau bisa lari besok atau lusa, kau bisa menangis hari ini atau nanti, atau kau bisa bahagia seminggu nanti atau tidak selamanya. Ganti zirahmu." Titah paman Shaga dan dia pergi.
Saat keluar Ray sudah melihat 3 kali lipat pasukan maju beberapa mil dari perbatasan Daylight. Mereka sangat banyak dan mengelilingi, dibagian ini saja pasukan maju dari perbatasan Daylight. Saat merapikan gelang zirah di lengan kanan suara tapak kuda berjalan di belakang, kaki mendarat dan zirah berguncang yang terdengar. Paman sudah siap, turun lagi dari kudanya.
"Kau mau melawan siapa?" Tanyanya, tapi itu bukan suara paman. Raydon menoleh cepat ketika suara itu baru saja menutup salam perpisahan hari itu juga.
"Komandan Ugrah!"
"Melawanku?" Dia ikut kaget.
"Komandan!" Ray masih tidak percaya dia di sini. Komandan Ugrah datang tiba-tiba dengan kudanya dan perlengkapan perang semua badan ke perbatasan Daylight. "Apa yang- kau bilang akan tinggal?"
"Dengan rasa hormat dan senang hati aku mau membantu Raydon dan pasukan Peri."
Tapi Raydon merasa tidak nyaman hati karena Ugrah tidak berhak untuk berada di pertarungan yang bukan haknya, maksudnya dalam artian Ugrah layak tinggal di Lyither dan menjauhi kekacauan. "Komandan, kehadiranmu sudah buat hatiku mencair dan hangat."
"Seperti mentega."
"Kau berperang." Raydon memastikan lagi.
"Aku berperang dengan teki-teki." Dia pasti berbicara tentang pencarian Xavier.
Raydon terpukau dengan semangatnya. "Yang mana yang paling berbahaya?"
"Berperang untuk wanita." Dia tertawa, diikuti kekehan Raydon.
"Kau tidak bisa di sini komandan, ah, kenapa aku sekarang merasa bersalah." Raydon menunduk, gelisah sambil memurungkan wajah. Senang bisa dibilang, tapi tidak terlalu senang.
"Aku tidak butuh izin tuan Breyon, dari anaknya sendiripun ku rasa bisa. Kau punya wajah ayahmu, dalam artian posturmu. Wajah? Mungkin hanya rambut." Dia menyerngit, memperhatikan rambut Raydon seksama. Apa itu coklat atau pirang? Raydon menatapnya sangat lama, layu dan duka yang nampak. Kalau komandan Ugrah berhasil membuatnya tersentuh, hanyut di dalam kecemburuan dan ingin menangis karenanya. "Ada apa?" Tanya dia heran.
"Kau punya hati yang baik tuan, hati yang baiklah yang membuatmu kuat. Bagaimana kau memutuskan semuanya?" Dia sangat cemburu, Ray tahu Ugrah akan selamanya mencaritahu tentang Xavier dan tidak pernah berpaling. Tapi salah nyatanya, Ugrah di sini dengan keputusan yang baru.
Ugrah tersenyum sangat lembut dan jatuh di bibirnya yang tipis. "Bagaimanapun misteri akan selalu kalah, mereka akan selalu dipecahkan." Katanya. "Aku percaya misteri Xavier akan terpecahkan olehku atau bukan olehku. Seseorang pasti akan menginjak rune menuju suatu misteri, secara tidak sengaja atau sengaja lalu membiarkan mereka menemukan penghujung terakhir." Dia mendangak pada Raydon. "Kutipan Grousa Flipboard. Buku terakhir yang aku baca."
"Butuh keberanian."
"Xavier akan selalu menjadi anakku, dan saat dia mendengarnya dia akan tersenyum." Bayangnya, bersuara serak dan lembut.
"Pasti." Raydon memasang helm, menggosok alas sepatu yang berlumpur di kayu sampai tidak berat. "Dan butuh keberanian untukku agar menggunakan pedang ini lagi." Dia menarik pedang ungu, menggasak sarung dan berdesing, pedang mengkilat dan gagang pedang yang hanya dimiliki pedang Raydon. "Terakhir kali ini tidak ada artinya."
"Kamu mau pergi ya?" Tanya komandan Ugrah, setiap zirahnya berbunyi rasanya tidak sadar. Dia punya pengalaman berpuluhan tahun di medan perang, bagaimana melihatnya nanti di peperangan utara? Memikirkan itu Raydon sudah tidak sabar.
"Maju ke depan sana, menggendong 3 anak." Dia terkekeh.
"Kalau begitu aku bantu gendong 3 anak juga." Ugrah memasang helm yang dia bawa dari Lyither, dia juga ikut bersamanya.
Raydon tertawa, mengangguk menerima Ugrah di sisinya.
Ribuan pasukan yang terdiri dari pasukan Peri dan Varunnette maju secara bersamaan menuju Legacy dan Helly. Raydon berkuda bersama Komandan Sonya, Pamannya di depan bergoyang di atas kuda. Semakin mendekati wilayah Darkpross, semakin menjauhi perbatasan Daylight.
****
-Hampir tembus sebulan ya mangkirnya XD
Terima kasih sudah mampir, semoga suka dan masih inget-inget terus sama jalan ceritanya xoxo
-Jangan lupa adab Wattpad ;) Have a nice day!
2/10/2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro