Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5 - Rumah

Radella adalah perhentian lain untuk Errol dan Matthew, seorang gadis yang memegang batu A'din harus ditemukan. Raja mendapatkan penginapan di kota untuk tamunya, kamar elegan khas bangsa Peri yang didominasi warna emas terang. Kamar yang beraroma hutan membuat betah siapa pun yang tinggal, merasa seperti tidur di tengah-tengah hutan.

Matthew berjalan mondar-mandir sejak tadi, bubur hangat dan sari pir makanan kaum Peri yang disajikan penginapan hanya disentuh oleh Errol, sedangkan Matthew melupakan segalanya untuk mengobati penasarannya.

"Ah! Ini membuatku frustasi!" Matthew menggeram gemas, rambutnya menjadi acak setelah berkali-kali ia melampiaskan amukan di sana.

"Apanya?" suara Errol menyahuti dengan mulut yang masih penuh dengan bubur, lebih terdengar seperti kunyahan semata.

"Pria itu! Yang menggunakan pedang ungu. Bagaimana bisa ia berteleportasi sepertiku? Bahkan tidak ada batu Ort di tangannya." Matthew hampir akan menendang furniture meja di kamar, tapi ia tahan, dia bisa menebak meja kayu itu mahal walau hanya dari batang kayu tua yang dipangkas.

"Kalau kutebak, dia memiliki kekuatan yang dapat menyalin kekuatan lawannya, sihir seperti kita. Beruntung, dibandikan kita bertemu orang biasa yang membenci sihir? Dia sudah membiarkan kita dicium panah-panah Peri nanti." Dia menundukkan kepala, mencuil bubur yang mulai habis. "Ya seperti itulah, wow aku tidak tahu bubur itu enak. Terkadang aku membayangkan bubur itu seperti makanan yang diacak tangan bayi, lalu berlendir seperti disiram liur bayi, suara beceknya menggelikan. Tapi bubur para Peri sangat enak, aku bisa merasakan daging ayam, pedas dan, um? Ikan asin." Ocehnya. Dia lapar, benar-benar kelaparan.

"Jika dia bodoh dia tidak akan menarik batuku dan tahu cepat ini batu A'din." Pikir Matthew. Batu A'din yang disita dikembalikan malamnya saat Matthew sudah mendapatkan kamar, dia fikir batu A'dinnya akan disimpan sampai ia sadar bagaimana cara menjaga batu berkekuatan besar di luar.

"Kalau begitu dia pintar. Mungkin keponakan Raja, atau anak kesatria, biasanya berpendidikan tinggi dan belajar cara seperti itu dari yang mahir." Katanya. "Kamu mau buburmu?" Dia menunggu Matthew.

Masih dengan tatapan kekesalan, dia mengangguk. Dia juga lapar dan penasaran dengan rasa bubur, tidak ada anggur, para Peri jarang meminum itu.

"Yah, baiklah, habiskan buburmu itu, nanti akan kuajak kamu berkeliling." Tawarnya.

"Mau berkelana lagi ha? Terburu-buru," kata Matthew, dia duduk menenangkan diri.

"Aku tidak pernah mencapai utara di sini, aku mau meluangkan waktuku mencari banyak cerita daerah ini." Dia ceria pagi itu lalu keluar terlebih dahulu tidak sabaran.

Radella sangat besar, jauh lebih besar dibandingkan Sonya. Kota disentuh warna khas emas, kuning, orange, dan coklat yang hampir sama. Di sana alam sebagai kesehariaan, seluruhnya begitu asri menyatu bersama kota, hutan mereka sangat terang. Kaum Peri yang berlalu-lalang selalu punya senyuman yang sama, tubuh tinggi dan putih itu berkeliaran, hampir tidak mengenali adanya pengemis ataupun yang kesusahan di Radella, sangat mustahil memikirkan seorang Peri meminta berpakaian rombeng dan cabik-cabik.

Radella berada di antara belantara hutan Mageat, hutan diisi batu kuno yang tertanam sejak zaman Séma, batunya menguarkan sihir ilusi disudut-sudut hutan. Tidak dipungkiri hutan menjadi begitu memusingkan pendatang, Radella dikelilingi hutan menjadi pencarian yang tidak pernah ditemukan terkecuali untuk kaum Peri sendiri yang punya jiwa untuk Radella. Regu pengintai sebenarnya ada di setiap pohon, bersembunyi di titik markas di rumah pohon yang tak terlihat jelas, menumbangkan makhluk kegelapan dan manusia-manusia asing yang lewat, mereka seperti berkamuflase dan tidak bersuara, hanya hutan dan angin.

Langit di Radella adalah dedaunan kuning yang gugur, seperti musim gugur abadi tanpa cuaca lain, jarang sekali ada badai berpetir dan panas terik. Dingin dan anginlah mungkin yang membuat umur Peri panjang. Tidak ada tembok seperti kastil-kastil di timur yang melindungi kota, hutan adalah benteng terbaiknya. Radella menghadap ke timur yang tepatnya arah bangsa Darkpross, di belakangnya hutan sejajar dengan tanah mereka sedangkan hutan di bagian depan Radella tinggi sehingga Radella seperti berada di dalam jurang. Tak pernah ada yang menyerang kawasan itu, hidup dalam ketentraman dan membasmi makhluk kegelapan terus mereka kerjakan.

Errol telah kembali dan membawa Matthew berkeliling, hampir semua tanah tertumpuk guguran daun kuning, dia menuju bukit kecil untuk sampai di tepinya dan melihat di dalam jurang. Di belakang rumah-rumah para Peri seperti rumah pohon, hampir semua orang membangun rumah tanpa batu bata, hanya tumpukan kayu yang mempunyai bentuk yang khas, atap miring dan berlantai 3, rumah-rumah itu sudah tua bahkan sudah ditumbuhi batang pohon menembus ke dalam rumah dan menjulang melewati atap, semua punya pohon, bagi bangsa Peri pohon adalah jiwa Radella, satu kau tumbangkan Radella terluka.

Errol yakin dia tidak berkeringat, di sana anginnya segar bukan main, mereka hanya meluangkan waktu dengan menengok kanan dan kiri, melihat para wanita Peri mengangkut peralatan perang, mengasah pisau, memangkas kayu menjadi busur, melukis di atas panah, dan menyapu. Itu wanita-wanita garang, biarpun rambut mereka menjuntai rapi dan seragam gaun yang dikenakan, 70% dari kaum wanita Peri bisa bertarung, itu sudah di darah daging mereka. Mereka suka menjaga, keluarga dan tempat tinggal, sangat mengherankan setiap pendatang baru, tidak jarang banyak wanita yang diangkat menjadi kestaria dibandingkan pria, tapi kebanyakan berakhir sebagai istri bukannya prajurit besar.

Suara riuh mulai lagi terdengar, seperti bisikan ribuan lebah yang mendengung dari jauh muncul di balik bukit. "Itu dia," kata Errol saat mereka berdiri di tepi jurang. "Lapangan Na Tilmas, tempat berlatihnya kaum Peri dan kamp utama prajurit."

Mata Matthew terpaku dengan pemandangan di bawah jurang sana, dari atas mereka melihat seperti koloni semut yang berkumpul dan berdiskusi. Namun itu adalah prajurit Peri dan kamp-kamp tempat tinggal, kamp mengelilingi lapangan bertenda putih. Lapangannya melebar sejauh mata melihat, tanahnya kuning dan terlihat berdebu. Jerit prajurit berlatih menggema, gubrakkan kaki yang menendang tanah menebarkan debu, di bawah sana sudah seperti kota lain dengan seluruh penduduk yang berkumpul, penuh dan sibuk.

"Di sana mereka mengumpulkan rekrutan baru, calon-calon pemuda untuk menjadi prajurit, lalu setelah dari sana disebar ke berbagai sudut hutan Radella, timur, selatan, utara, dan bagian baratnya. Aku dengar di setiap sudut dari Radella itu punya masalah masing-masing, seperti dari utara yang terbilang sangat sering dikunjungi banyak makhluk gelap. Di timur banyak bangsa Darkpross yang berlalu-lalang. Ada lapangan lain sama seperti Na Tilmas dan rekrutan yang sama banyaknya seperti itu, Na Brulla. Itu orang yang banyak, berkali-kali lipat."

"Masih kalah dengan Clemanos," ingat Matthew. Dia yakin Errol lebih tercengang bila melihat kamp utama Clemanos yang terkenal dengan para pencari pekerja untuk menjadi prajurit. Dua kali lipat daripada yang dimiliki Radella.

"Nah, yang kita bicarakan tadi adalah putra sematang wayang perwira utama Radella," jelas Errol masih mengeksplorasi kagum ke bawah jurang.

Matthew memincing aneh. "Bagaimana kau tahu itu?" selidiknya.

Errol tersenyum geli. "Ah, aku tadi berbincang-bincang dengan satu wanita," jelasnya dengan rona merah di wajah.

Matthew memutar bola mata birunya. "Lalu?" selidiknya lagi.

"Entahlah," singkat Errol menggantung. "Kita cuma membahas tentangku sangat banyak, lupa dengan anak itu."

"Ah! Kau ini menggiringku hanya ingin memperlihatkan ini saja?" Dia geram, sepertinya moodnya memang sedang tidak baik.

Errol hanya menunduk tersipu. "Hey ngomong-ngomong, siapa Kiana?" akhirnya ada topik untuk mengganti perbincangan mereka.

"Kiana Isadora, dia putri satu-satunya Rajaku dulu Aries Yardan Isadora. Ayahku teman baik Raja sejak kecil, sehingga aku sudah seperti putra kerajaan di sana. Pria itu baik, tidak memandang pangkat dan title. Aries adalah pemegang batu A'din sebelumnya, bahkan ia memegang dua buah." Jelasnya, dia menonton dan mendengarkan jeritan latihan para Peri di bawah sana.

"Dua? Oh, dia keturunan Kubra dan Roma ya?" lanjut Errol menyadari sebuah cerita.

"Nah iya, Roma Isadora yang masih muda dahulu tidak memiliki keturunan sama sekali dan pohon keluarga dari Roma mati, sehingga keturunan Kubra saja yang memegang kedua batu." Gumam Errol.

Matthew tertunduk pilu tiba-tiba. "Ah, aku masih begitu kecil saat kejadian itu terjadi," desahan panjang memutus penjelasan Errol. Ia menerawang jauh di masa lalu, shock dan penderitaan bagai bilah pisau yang mengiris mengingat bagaimana peristiwa hilangnya kerajaan atau rumahnya tersebut.

"Lalu bagaimana bisa kamu menjadi pemegang batunya? kau bahkan bukan ahli warisnya?" Errol masih saja penasaran dan tak ada habisnya bertanya.

"Sudah kubilang, ayahku dan Raja adalah teman baik, sehingga Raja memberikan tanggung jawab besar pada ayahku dibandingkan keluarganya sendiri. Aku 'kan anak ayahku, jadi setelah ia pergi batu itu aku pegang dan aku tidak punya sanak-saudara untuk kuberikan batunya," urai Matthew santai. "Kau tak tahu cerita besar itu? Yang terjadi dengan Torin Maxima?" Matthew memincing aneh, dia heran cerita hebat tentang rumahnya tak diketahui.

"Tentu saja aku tahu." Errol menahan nada, dia tidak mau mengulang memori buruk Matthew. "Ayo, kita datangi Raja Salvado sudah waktunya." Dia menuju istana.

Saat mereka kembali ke jalan setapak berdaun menuju daerah kastil Raja Salvado, Errol terus menundukkan kepalanya dan mendengarkan suara-suara para Peri, berbicara dengan bahagia sambil bekerja. Itu mengingatkannya dengan paman dan saudaranya di rumah, meninggalkannya selama 4 tahun tidak menghilangkan memori bahagia, betapa seringnya hujan mengguyur Kwezanmar, musim dingin yang menunggu panas dan gugur lewat selama 2 tahun sekali, seberapa seringnya dia dan keponakan di rumah memancing ikan di sungai, dia tidak pernah lupa.

"Apa yang kau dengar mengenai Torin Errol? Kuyakin setiap orang punya cerita sendiri tentang itu yang benar dan yang salah, yang buruk dan yang menyakitkan." Tanya Matthew, selama ia hidup sendiri terlalu banyak cerita buruk tentang keadaan Torin Maxima sebelum dan sesudahnya. Apa yang menyebabkan kerajaan itu tumbang memiliki cerita berbeda dan bervariasi yang merebak, Matthew selalu mencatatnya dalam ingatan.

"Kenapa? Seseorang menyakitimu karena salah satu versi cerita?" Tebak Errol, dia menendang daun dan membersihkan kakinya dari kotoran.

"Aku selalu ingin tahu apa pendapat mereka tentang kerajaan itu sekarang, semenjak aku mendengar mengenai Torin Maxima dihancurkan oleh pengkhianat karena Rajaku keliru mengenai dia, aku yakin ada kebohongan di dalamnya, aku selalu yakin bukan itu penyebabnya." Dia murung, apalagi selalu mengingat cerita versi Xavier tentang Torin yang hilang itu karena dosa yang dimiliki penduduk di sana sangat banyak, dan tuhan menghukum mereka.

"Salah satu temanku menceritakan tentang Torin, darinya lah aku tahu apa yang terjadi. Raja Torin mencoba melindungi seluruh warganya dengan sihir, karena dia tahu dia sudah mengacau. Aku juga mendengar pengkhianat disebutkan dalam cerita Razz, salah satu orang yang dipercaya Rajamu mencintai adik Raja dan terhalang adat di sana, jadi dia melampiaskan amarah," kata Errol.

Matthew tertawa pelan, tertawa untuk langit. "Tidak, bukan masalah cinta yang menghancurkan Torin, itu versi lain yang sering kudengar." Dia mensortir. "Tapi tentang sihir itu benar, Rajaku punya satu batu kuno yang didapat dari utara berisi kemampuan ilusi, itu menghilangkan semua kerajaan, ilusi yang berbeda seperti yang dimiliki Radella, bedanya ilusi itu meratakan semua ke tanah seperti tanah kosong. Imanuel menceritakan padaku bila mereka ingin menggulingkan Torin karena kami tak pantas dengan semua itu."

"Adatmu?" Errol memastikan dengan hati-hati.

"Ya," dia menarik nafas panjang. "Memang sulit, hanya karena itu semua darah Torin Maxima mati, dan aku beserta Kiana harus hidup dengan pil pahit, semua keluarga kita mati dan hanya kami berdua yang tetap tinggal dan mencari pertolongan." Dia kembali merenung.

"Kau akan kembali ke sana." Senyuman Errol menghangat, menepuk-nepuk pundak Matthew. Karena dia yakin seberapa lamanya seseorang meninggalkan rumah mereka akan tetap kembali, sama seperti yang selalu Errol panjatkan dalam hati, dia pasti akan kembali ke Kwezanmar.

Pintu gerbang masuk kastil dari besi yang dipenuhi ukiran Peri kuno setinggi enam meter dijaga dua Peri yang mengenakan seragam zirah emas, mereka membukanya untuk Errol dan Matthew. Dengungan besar dan suara bergesernya membuat Errol dan Matthew saling bertatapan, lalu dengan sama melangkahkan kaki kanan untuk masuk. Raja Salvado tengah berdiri dengan dua pria yang bersamanya, membahas beberapa topik-topik penting yang lebih sering mengenai pasukan. Mata kristalnya melirik kedatangan dua pria yang sepertinya lebih cepat tiba dari jadwal yang telah diatur.

"Ah Matthew dan Errol," panggilnya nyaman dan ia meminta kedua pria pergi setelah memberi instruksi-instruksi selanjutnya. "Jadi bagaimana Radella?" tanya Salvado bisa berbasa-basi.

Errol dan Matthew saling balas-membalas tatapan lagi, berfikir sejenak tentang apa penilaian secara keseluruhan tentang Radella. Salah-salah sedikit mungkin Salvado akan kembali pusing dengan kritik yang datang, merombak ulang lagi kerajaannya.

"Sangat terang," ujar Matthew cepat, yang ia dapat hanya kata itu saja mewakili warna emas yang bertebaran di sepenjuru Radella. Errol hampir saja terkekeh dengan penjelasan Matthew yang aneh, setidaknya bilang saja 'Indah, aku sangat suka dengan daun yang berguguran setiap saat'. "Aku tidak tahu mengapa aku tidak pernah datang ke mari," pikirnya.

Salvado mengukir senyum miring. "Jadi kita harus menemukan Kiana dahulu bukan? Lalu semua pemegang batu A'din terkumpul," tutur Salvado ceria, dia mungkin sudah tua tapi wajah mudanya bagaikan ilusi seperti yang mengelilingi kotanya.

"Sebenarnya kurang tiga," ujar Errol membenarkan.

"Tiga?" alis kanan Salvado terangkat, "Tinggal Kiana dan Lucas bukan?"

Kerutan besar terpampang di masing-masing kening, entah memang Raja Peri ini pikun atau bagaimana, namun jelas-jelas di hadapannya dua pemegang batu A'din, dan mengapa ia menyebutnya tiga? Begitu yang difikirkan Matthew dan Errol.

"Bukankah sudah jelas kita memiliki tiga pemegang batunya? Kau, Errol dan Raydon," kepala Salvado tiba-tiba terangkat dan manik kristalnya melirik ke arah belakang Errol dan Matthew, seperti ia berbicara dengan orang lain.

Matthew dan Errol menoleh ke belakang dengan air muka yang benar-benar terkejut, mereka melihat pria yang ditunjuk Salvado sebagai pemegang batu A'din lainnya.

"Itu adalah Raydon Aldrich Edgrado," kata Salvado memperkenalkan pada pria pemegang pedang ungu.

Entah bagaimana bisa Raydon masuk tanpa tanda-tanda, tanpa suara pintu gerbang yang berdengung besar ketika terbuka. Namun sosoknya sudah di belakang sana, melingkarkan kedua tangannya dan menatap kedua lelaki di depannya dengan datar dan aura ketegasan yang menguar. Keringat dingin membasahi peluh kening dan leher masing-masing, sembari ia mendengarkan langkah kaki pria itu semakin maju mendekati Raja Salvado tanpa ekspresi, hanya kesombongan yang kental atau memang seperti itu wajahnya.

"Ini Raydon, dia pemegang batu Tenebrific. Kalian harus berkenalan terlebih dahulu," sahut Salvado menjadi penengah perkenalan mereka.

Rasa canggung bagaikan rayap yang menggerogoti tubuh Matthew dan Errol, belum diperkenalkan saja mereka mengetahui siapa pria tersebut. Pria itu yang hampir membunuh dan menggorok leher Matthew, yang bahkan gelinya lagi Matthew terdengar seperti mengejar-ngejar untuk mencari tahu siapa pria tersebut.

"Kita sudah berkenalan," ujar Raydon dengan suara bariton yang khas, dan ia melirik geli sosok Matthew dengan rahang yang bergerak.

"Itu bagus!" suara antusias Salvado membuat bulu kuduk semua orang berdiri. "Sekarang tinggal Kiana," tambahnya.

"Bukankah dia kabur?" Ingat Raydon, Kiana memilih tinggal di Radella ketimbang Sonya saat itu, lalu memutuskan kabur.

"Dia sebenarnya tidak kabur Ray, dia hanya pergi untuk waktu yang sangat lama. Dia harus pergi mengingat lukanya tidak akan sembuh bila terus di sini bukan?" Salvado meluruskan, dia tak lebih dari Raja bagi Raydon, mereka cukup dekat dan sering terlihat bersama.

"Jadi, di mana dia?" gubris Raydon, mata lentiknya memincing.

"Dia hanya berpesan untuk pergi tempat terkecil di Earthniss, menyamar menjadi rakyat biasa, dan dia berjanji tidak akan gegabah di luar pengawasan." Katanya tenang, walaupun tak tahu di mana Kiana dan bagaimana kabarnya, ia cukup yakin Kiana mengatakan dengan jujur dan melakukan sesuatu yang diluar batas kemampuannya dia tak sanggup. "Aku akan memberikan kalian pengawal, dia ada di barat dan berangkatlah besok pagi." Tuturnya.

Barat, arah yang begitu jarang Matthew datangi kembali mengingatkannya memori-memori buruk. Cahaya itu, angin yang menerbangkannya jatuh, wajah ayahnya yang berkilau, dan dia yakin melihat air mata ayahnya itu turun sebelum melempar Matthew ke medan teleportasi. Barat sangat menguarkan aura negativ bagi pikirannua, tapi ia hanya ingin menemui Kiana lagi selama bertahun-tahun terpisah.

Semburan air yang keluar dari keran semakin membuat air yang menggenang menjadi tinggi, bak pencucian piring yang tertutup semakin penuh dengan air keran yang sengaja dihidupkan. Selembar kain yang ditaruh di permukaan air menjadi lunak dan tenggelam pelan. Jemari-jemarinya membelai air menggerakkannya, merasakan dinginnya air yang merasuki pori-pori adalah sensasi nyaman yang dipadukan ketenangan di dapur sana sembari ia beristirahat.

Sebuah lonceng bel di pintu kayu yang terbuka berbunyi dan ia acap kembali pada konter toko roti ia bekerja. Pelanggan adalah Raja, turuti semua kemauannya kemudian selesai. Ada dua wanita memakai jaket tenun hitam bersamaan datang dengan bibir pucat karena hujan yang deras di luar. Keduanya menuju konter panjang dengan jejeran roti gandum. Tak butuh waktu lama mereka mengangkut roti-roti untuk anak-anak mereka di rumah. Pilihannya banyak, roti berbagai ukuran dan isi, tapi yang laku keras yang berisi suiran ayam saus ditambahkan rumput laut. Keduanya disayangkan tidak bisa merasakan roti yang terkenal di sana dan berakhir memilih isian selai coklat dan selai nanas.

Kiana yang bekerja membungkus roti dengan plastik bening, merekatkan lem-lem di pinggiran, menarik karet kecil dan mengikat pucuk plastik menjadi rapi, lalu memberikannya pada wanita berambut merah. "Ini dia," ujarnya, dia tersenyum seperti bunga di musim gugur, senyuman yang lemah.

"Terima kasih," balas pelanggan dengan senang. Bunyi bel pintu yang terbuka terdengar lagi dengan pelanggan yang keluar dari toko.

"Ahh aku lapar," desah seorang wanita di belakang Kiana.

"Kau sudah makan dua kali hari ini," kata Kiana membuat wanita itu mendatanginya.

"Aku mau lagi. Roti tidak membuat kenyang, 3 kentang rebus, telur acak, dan potongan dada ayam saus tiram yang mengenyangkan." Dia menaikkan alis tersenyum lebar, mencoba membujuk Kiana agar mau menemaninya setelah bekerja ke bar nyonya Dier lagi.

"Kau membuat dompetku menangis lagi," desahnya tersenyum masam, melirik Rina yang tinggi dan beralis tebal yang rapi.

"Bar itu akan semakin penuh dengan menu special nyonya Dier yang hanya keluar bila hujan mengguyur tidak berhenti." Dia menggoda, menari seperti berada di dalam bar sana. "Dia pasti sudah memotong salah satu babinya sekarang, membaginya dan mengirisnya tipis, mengeringkannya dan mencelupkannya pada gula merah, lalu dia sedang menaruhnya di atas panci panas dan bacon itu mendesis, tak sampai situ saja! Nyonya Dier akan mengolesinya dengan resep rahasianya itu, saus pedas dan aromanya mengundang teman-teman Jidril." Rina menguraikan sepelan dan penghayatan yang luar biasa menggiurkan, bahkan dia sendiri tersiksa membayangkan makanan itu.

"Rina kamu melukaiku, bagaimana bisa aku mendapatkan teman sepertimu." Dia meringis dan tertawa bersamaan, dia sangat tergoda dengan makanan special itu.

"Nah Kee, Nyonya Dier akan punya itu malam ini. Ada Jidril dan teman-temannya datang, kita bisa makan dan berbicang lagi bersama mereka. Aku percaya kalau Jidril akan mengajakmu keluar setelah makan itu, dan jangan menolaknya ya, untuk satu malam saja tidurlah bersama dia." Dia tertawa senang. "Dan aku akan bersama Ferdieza, aku akan menagih janjinya." Mata kirinya mengedip. Ia sangat bersemangat dengan rencana yang sudah matang.

"Aku harap Jidril membayar makananku saja, lalu aku akan tidur." Harap Kiana. "Sendirian," tambahnya sebelum Rina buruk sangka.

"Kee, ayolah! Malam ini! Kalau aku punya uang lebih aku pasti, pasti, pasti akan membelikanmu makanan di sana. Tapi untuk sekarang ya, pakailah uangmu dulu dan temani aku di sana. Toko sangat sepi jika hujan deras seperti ini, dan tuan Ruzel pasti menutup tokonya lebih cepat dibandingkan hari biasa. Kita bisa memesan meja di bar nyonya Dier sebelum sesak." Jelasnya penjang lebar, dia punya wajah sangat tirus dan mata yang terang, beruntung rambutnya gelap dan membuatnya sangat menawan.

Kiana menyandarkan tangan ke atas lemari roti-roti yang dipajang, seandainya dia punya uang pasti akan senang pergi dengan Rina lalu bertemu lagi dengan teman-teman lelaki Rina itu. Hanya bar itu yang cukup aman bagi wanita-wanita muda seperti Rina dan Kiana, dan tidak berakhir digoda berjam-jam seperti di bar lainnya.

Tuan Ruzel pemilik toko itu membuka pintu utama, basah kuyub dan jaket kulitnya dialiri air banyak dan membanjiri lantai. Dia membuka tudung dan rambut merahnya yang tersisir ke belakang sangat rapi karena basah. Dia membuka jaket, menggantungnya di belakang pintu. "Ya ampun deras sekali," keluhnya.

"Dari mana tuan Ruzel? Lama sekali." Rina mengomel dalam hati, lantai yang basah itu pasti nantinya tidak akan ia beresi dan malah menyuruh salah satu dari kedua wanita itu.

"Istriku jatuh dikubangan banjir, ditemukan pingsan karena terbentur dan aku memeriksanya tadi, untunglah dia sudah sadar dan meminta membawakah roti tanpa isi. Ah, hujan ini sialan! Sampai kapan akan terus turun?" Umpatnya, dia punya hari yang buruk.

Kiana merenung, membaca cuaca dari luar dan tingkat hujan itu sendiri. "Hujan ini kecil dan mendungnya merata, mungkin sampai petang lagi. Apa nyonya Abel baik-baik saja?"

"Oh dia akan baik-baik, tenang saja." Kata Ruzel. Sepatu bot hitamnya mendecit karena basah saat berjalan ke arah dapur, baju di dalamnya kering dan hanya pergelangannya yang basah. Tubuh besar dan wajah bulatnya menjadi putih pucat karena dingin.

"Rin-rin, tolong pel lantainya." Titah Ruzel dari dapur.

Rina menoleh ke Kiana dengan wajah menduga, ia mengomel dalam ekspresi dan Kiana mencoba memberikan rasa iba. Dia juga membenci mengepel, itu pekerjaan yang lelah dan terus membungkuk, lalu tau-tau kau sudah mengepel hampir semua lantai. Kiana hanya membungkus roti yang tadinya diinginkan istri tuan Ruzel, saat Rina mulai mengepel lantai yang basah.

"Tutup saja tokonya lebih cepat, tapi tolong cuci piring di dapur saja." Pinta Ruzel pada gadis-gadis yang bekerja padanya. "Aku akan pulang, terima kasih Kee," dia mengambil roti yang sudah dibungkuskan Kiana, memakaikan jaket dan membunyikan bel di pintu, di luar sana dia berlari ditutupkan tudung jaket kulit dan menghilang dibalik gelap hujan.

"Untung meja ini tidak bergerak sama sekali," kata Rina di depan pintu, membungkuk dan penat.

"Ya, siapa yang mau makan roti saat hujan?" Pikir Kiana, dia membersihkan tangan dan mengelap lemari kaca, menuju dapur dan mencuci piring-piring yang sedikit.

Rina mengambil jaket tebalnya yang menggantung di balik pintu, jam tutup toko tiba, malam sudah menggelapkan di luar. Kiana mematikan lampu-lampu yang masih menyala, meniup lilin agar toko kayu itu aman. "Jadi?" Tanya Rina untuk memastikan apakah bar itu menjadi tujuan selanjutnya atau rumah, dia menggenggam jaket tebal Kiana sebelum dikenakan temannya.

Kiana memutar bola matanya. "Oke oke," dia mengambil jaket, menutupkan tudung jaket besar yang harum. Rina tertawa, mengunci toko dan membawa kuncinya menuju bar ke 2 blok selanjutnya.

Malam yang menjelang membuat sepenjuru jalanan sepi, suara asap yang keluar dari sisi setiap atap bagaikan rumah yang bernafas, hujan hari itu mulai hilang dan menyisakan hawa dingin untuk malam. Tapi setibanya di setiap bar, rumah itu ricuh bukan main, tertawa hingga setiap rumah bergetar, lilin-lilin semakin besar dan menghangatkan setiap pengunjung, para pelayan lari terbirit-birit membawa pesanan, dan lagu-lagu yang dibawakan para musisi memecah keriangan.

Kiana dan Rina berada di bar, duduk di kursi bawah tangga bersama para pria muda, Jidril dan Ferdieza menghadapi masing-masing pasangannya san tertawa dengan cerita. Rina jauh lebih tua 6 tahun dibandingkan Kiana, sedangkan Jidril berwajah tua dengan umur yang lebih muda dibandingkan Kiana. Sejak petang tidak ada satupun orang di dalam bar mengangkat bokong dari meja, mereka duduk diam, mengunyah makan malam, dan meminum anggur sampai tengah malam. Itu sangat sepadan dengan kerja sehari-sehari mereka yang berat, nyonya Dier memberi mereka makanan yang banyak dan mengenyangkan, dan orang-orang itu memberikan berlembar-lembar Wins untuk nyonya Dier membentuk kipas darinya, dia akan sangat kaya jika setiap hari hujan dan orang-orang itu tidak pernah punya rasa bosan.

Sebelum jam pulang orang-orang itu berlangsung Kiana memutuskan untuk pulang lebih awal, meninggalkan Rina yang sudah setengah mabuk bersama teman prianya, Jidril pun kecewa dia tidak punya teman seperti yang sahabatnya punya, Kiana merasa sudah mengantuk dan hampir mabuk. Jidril memesankannya minuman sedikit keras untuk Kiana, yah, dia menerimanya karena Jidril yang membayar, tapi dia tak mau lebih mabuk dan berakhir buruk.

Ia berjalan sendiri di atas jalan basah, kedua tangannya ia sembunyikan di dalam jaket di depan dada sembari ia terus berjalan menuju penginapan yang ia tinggali. Suara sepatu boot yang menggema muncul di kala ia sampai di sebuah gang menuju sisi jalan lainnya, tembok di kanan dan kirinya tinggi, tiang lampu jalan menyorot di setiap 5 meter gang, kawanan laron terbang di bawah lampu mencari kehangatan, beberapa lampu mati dan melewatinya harus cepat.

Ada yang aneh ketika ia melewati jalan itu, lampu jalanan sisi kiri yang biasanya menerangi kini telah mati dan gang menjadi gelap, lalu berkedip dan menyala terang. Tidak perduli, Kiana hanya memikirkan ranjang kesayangan dan guling yang menunggu di rumah. Kepalanya mulai pusing dan berputar, minumannya sudah memberikan efek buruk sebelum ia sampai di rumah.

Suara seperti kaki terseret terdengar di belakang Kiana, dan ia menoleh cepat dan menahan nafasnya. Gelap, tidak ada siapa pun atau apapun di belakangnya, namun itu aneh. Kucing atau anjing yang menyeret sampah barang kali.

Dia kembali berjalan dengan pelan, tahu-tahu dia memikirkan berbagai macam jenis kehidupan hingga dia terhanyut dalam pemikiran. Namun suara aneh kembali terdengar dan kini adalah suara kaleng yang tertendang, tidak ada angin kencang yang mampu membuat kaleng tersebut tertendang. Kiana berhenti, menghadap ke belakang dan memperhatikan secara jeli, menunggu bila ada yang muncul dan dia tahu apa yang membuat suara-suara itu.

Rasa haus akan air putih ingin sekali ia teguk untuk membasahi tenggorokan keringnya dan lidah yang kelu menahan rasa cemas malam hari. Angin terasa berbisik dan dingin serasa mencolek bahunya, sangat mengerikan bagi Kiana. Kini gadis berumur 19 tahun itu memutuskan berjalan dengan cepat dan menghindari suara dan keanehan di gang tersebut. Lagi pula belum ada orang-orang yang pulang dan meramaikan jalanan, tidak ada yang bisa dimintai pertolongan.

Dari atasnya turun sebuah makhluk besar dan tinggi menghalanginya jalan. Dia melompat, jatuh dengan kaki bertulang dan sayang yang melebar. Kiana terjatuh, jantungnya tidak berdetak, nafasnya tercekik melihatnya.

Makhluk gelap bermata besar dan bentangan sayap berwarna hitam kental dapat menyelimuti lima orang dewasa sekaligus, dan ketika ia membuka mulut gigi-gigi tajam dan panjang bagaikan ikan barracuda yang siap mengoyak apa pun tanpa pengecualian. Kiana mungkin terlalu takut dan shock sampai-sampai ia tidak bisa berteriak dan linglung, seolah jiwanya terhisap ketika melihat makhluk mengerikan di depannya bagaikan kelelawar raksasa, tapi itu memang kelelawar raksasa. Dia mengacau, dia mabuk dan bertemu kegelapan, dia tidak punya senjata.

Kiana berjalan mundur dengan perasaan yang hancur dia akan berlari, makhluk yang ada di depannya semakin mendekat dan selebihnya Kiana masih tak mengerti bagaimana bisa ia berada di desa itu. Kelelawar raksasa itu berjalan dengan gigi yang ditampilkan sebagai intimidasi, bentangan sayapnya lebar dan suara sayap tipis hitam yang terjuntai di tanah membuat suara seretan.

Suara Kiana hilang dan entah bagaimana rasanya sulit berteriak ketika melihat penampakan yang sangat mengerikan. Gigi kelelawar yang berjejer itu membuka lebih lebar dan mengarah pada Kiana akan memakannya, dia berlari, dan Kiana ikut berlari menjauh.

"Jangan!" Jeritnya kucar-kacir panik.

Sebuah hunusan pedang menancap di dada kelelawar besar tersebut dari belakang, jatuh bersimbah darah perlahan, pedang itu ditarik ke atas dada agar mengoyak lebih panjang. Tubuh besar kelelawar jatuh saat pedang itu ditarik, memunculkan sesosok pria di belakang, pria yang sudah menyelamatkan nyawa diambang kematian.

"Itu tanda lainnya," kata Xavier mengingatkan dirinya sendiri.

Berbagai macam argumen yang dikeluarkan masing-masing insan menyemarakkan malam itu, berbagai bantahan dan ketidaksetujuan terus dilontarkan Kiana agar ia tetap berada di desa itu dan tidak kembali ke Sonya.

"Ini bukan situasi yang aman lagi! Lonk mulai terbang dengan sembrono, mereka dibebaskan dan sampai ke mari," ujar Xavier kesal.

"Aku tak ingin terlibat Xav, aku ingin di sini, di sini aman dan jauh dari mereka," elak Kiana cepat.

"Lonk tadi yang hampir membunuhmu? Kau bilang di sini aman? Bayangkan aku tidak datang tepat waktu." Ucapnya kesal, dia seharusnya bersyukur.

Kiana terdiam dan termenung, ia membanting bokongnya ke kursi kayu dan menggigiti kuku-kukunya. "Tanda yang kau katakan, apa maksudmu?" Pikirnya.

"Pergerakan," singkat Xavier. "Bangsa Darkpross mulai kembali aktif melancarkan kegiatan, rencana-rencana sudah matang dan sebab itu pergerakan terjadi. Beberapa minggu yang lalu, seorang pemuda datang ke Sonya dan menceritakan kejadian dari asalnya karena bangsa Darkpross, mereka mencuri batu Ivriel dari putri Raja, menculiknya dan hampir membawanya ke sana. Tapi mereka sudah sukses dan masih ada pekerjaan lainnya. Aku melihat Lonk di daerah sini dan secara tidak wajar menyerangmu? Itu pergerakan terbaca lainnya." Jelas Xavier, dia duduk tenang sambil memikirkan kilasan kejadian.

"Aku hanya pulang lebih awal dan kebetulan saja sedang sepi." Kiana mengelak, jauh yang dirasakannya itu memang tidak wajar.

Xavier mengerut pada Kiana, mencium aroma tubuhnya. "Kau bau minuman keras," katanya, itu mengingatkannya dengan pria lain yang suka minum-minum.

"Tidak sampai mabuk," elak Kiana lagi.

"Tapi bisa membuatmu linglung," dia menarik pedang dari sarungnya yang masih berbau darah Lonk, desingannya mengkhawatirkan Kiana tetangga di lantai bawah mendengarnya. "Jika Lonk sudah mulai bertebaran mereka sudah mulai sampai ke selatan, diikuti dengan gerakan-gerakan tersembunyi lainnya. Bangsa itu selalu punya keinginan yang besar, sejarah-sejarah mereka menuliskan keinginan dan misi yang jauh lebih bernafsu. Mereka mengincar sebuah kerajaan hilang, dengan 3 batu Kee." Xavier menunggu respon Kiana, karena dia yakin itu memancing kepekaannya tentang sebuah kerajaan hilang.

Kiana membuang nafas keras, menatap Xavier sedingin besi. "Torin?" Tanyanya, nada besar yang memilukan.

"Ayahku percaya itu incaran mereka, rapat terakhirnya yang kudengar mereka membahas sesuatu yang ada di dalam Torin, ikut menghilang." Xavier membersihkan pedang besarnya, duduk di atas sofa dan membaringkan pedang berpegangan hitam dan lambang Sonya di atas paha besarnya.

Kiana menghembuskan nafas lagi. "Apa ayahmu melakukan pergerakan juga menghadapi kejadian belakangan?"

"Tentu, dia sedang menunggu respon Varunnette. Rapat lebih sering dilakukannya, dan mengirim teman-temanmu ke Radella." Katanya. Darah pertemanan Xavier dan Kiana juga seperti kerajaan mereka, Sonya dan Torin Maxima, sangat dekat walaupun sangat jarang bertemu.

"Matthew?" Kiana menahan rasa aneh di dada, orang itu selalu punya kesan membingungkannya.

"Pergi, menunggu pergerakan Raja Salvado di Radella untuk mulai mencarimu. Kau tahu mereka tidak mengetahui di mana kamu tinggal selain aku bukan?" Xavier menepuk cincin mungil berbatu merah muda di jemari kiri Kiana.

"Aku belum siap kembali, aku tak mengerti mengapa menginginkan seseorang sepertiku? Lemah, menyedihkan, miskin, dan mencoba mengasingkan diri." Cercanya pada diri sendiri.

"Koreksi pertama kau tidak miskin, kamu punya harta di Varunnette dan kerajaan. Kedua, kau hanya bersikap negativ pada dirimu. Ketiga, kau memang menyedihkan. Orang-orang yang mengejarmu bukan berarti kamu memiliki sesuatu yang mereka inginkan, mereka mengejarmu karena 'siapa dirimu', siapa dirimu bagi mereka. Itulah alasan Sonya menyandang Torin sebagai sahabat kan?" Dia selalu bersabar menguji Kiana.

"Jangan naif Xav, apa yang mereka inginkan dari gadis lugu sepertiku? Keberanian saja aku tidak punya," desah Kiana. Mata hazelnya menatap Xavier.

"Selalu ada kekuatan di balik kelemahaan Kee. Mungkin kau adalah api untuk besi, mungkin kau dingin untuk salju. Sesuatu yang kuat, kita hanya belum tahu." Xavier mengembalikan pedang ke sarungnya, berdiri dan menuju jendela terutup.

"Aku akan mati." Kiana menyimpulkan.

Xavier yang mendengar kalimat Kiana berpaling. "Jangan membicarakan tentang kematian seolah kau mengetahui kapan kau akan mati. Selagi kau tidak tahu kapan, kau bisa menjelajahi berbagai pelosok dengan pengalaman yang menantimu, dan ketika kau mati ada sebuah kenangan. Kenangan itu ialah teman-teman dan pengalaman, jangan biarkan egomu mengalahkan hatimu yang suci, jangan biarkan kejahatan merenggut semangatmu, tapi biarkanlah semuanya berjalan dengan semestinya." Dia mulai keras seperti ayahnya.

"Aku akan kembali," cetusnya. Rambut gelapnya bergoyang, jari-jari panjangnya mengetuk lutut. "Tapi kau tahu aku tidak seperti mereka."

"Setidaknya kau tahu cara menggunakan kekuatan A'dinmu," balas Xavier. Pria bermata coklat madu itu tidak dilahirkan dengan menggunakan bakat sihir seperti adiknya Olive, dia dikaruniai bakat perang, prajurit, kekerasan, darah, pedang, dan ketangkasan.

Xavier mengawasi langit gelap, menajamkan matanya seperti instingnya, apakah Lonk mulai kembali berkeliaran setiap malam? Dia selalu menunggu pergerakan lainnya, mengaitkan peristiwa dan mulai menyusun rencana seperti yang ayahnya lakukan. "Aku akan mengirimmu langsung ke Radella dan aku tidak bisa ikut denganmu."

"Pagi ini, tinggalah sejenak dan istirahat." Pintanya.

Xavier menutup gorden dengan rapat, mendatangi Kiana dan duduk lebih dekat. Dia selalu punya rahasia gelap dan dalam, tapi selalu bisa mengendalikannya. Kiana memang Dur, dia menawan dan berwajah lemah dan aura yang kuat. Dia berpaling sebelum tangannya ingin merapikan rambut gelap rakyat Torin, dan mengambil pedangnya untuk dirapikan.

Paginya Xavier mempunyai batu kecil licin berwarna hitam, batu Ort. Menatap Kiana dengan makna memastikan apakah dia siap? Hingga tangan Xavier yang menggenggam erat batu Ort membuat tubuhnya menghilang bersama Kiana dan meninggalkan penginapannya, menuju rumah baru yang menunggu. Batu tersebut jatuh dan dalam mode mati menggelundung ke bawah meja makan Kiana.

Hanya Kiana yang sampai di sebuah tanah lembab dengan akar yang muncul menembus tanah, melihat hutannya saja ia sudah tahu di mana ia sekarang. Tidak ada Xavier yang mendampingi karena dia berpindah tempat ke rumahnya. Dedaunan kuning yang tebal harus Kiana singkirkan agar ia dapat melihat jalan setapak dan menuju pusat kota. Beruntung ada penjaga, walau ia acap didatangi dengan senjata yang mengintimidasinya, namun ia memiliki cara untuk menunjukkan siapa dia.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menyambut kerajaan di dalam, Kiana yang berjalan lurus menuju kasril Raja dengan jaket hitam dan celana berwarna senada masih mengeksplorasi sepenjuru tempat, semuanya berwarna keemasan dengan matahari yang hampir tinggi. Membuat sepenjuru Radella bagaikan surga sunset yang siap membuat bulu kuduk berdiri dan mata tak mengedip.

Langkah Kiana pelan-pelan dan berangsur menuju istana kerajaan, nantinya ia akan mengejutkan semua orang.

Desa Bhaspit

Malam hari yang kental akan kegelapan adalah waktu di mana keheningan merajai dunia, kamar Kiana yang ditinggalnya sangat sepi dengan baju-bajunya yang ia tinggal. Gorden biru yang terpasang di jendela berkibar hebat ketika angin deras menerpa, membuat kertas-kertas dan hiasan di kamarnya berhamburan dan jatuh ke lantai tidak seperti biasanya.

Dari arah luar jendela beberapa sosok makhluk kegelapan masuk dengan tenang, cakar-cakar yang tajam menancap dan mengoyak kayu di jendela, satu per satu Lonk masuk ke kamarny. Ada empat Lonk yang masuk dengan aura mengerikan dan aroma goa yang menyengat khas dari makhluk tersebut, mereka mengendus semua bau di dalam sana dan menyelidiki setiap sisi kamar Kiana.

Barang-barang pribadi Kiana terhambur, semua benda dilemparkan ke lantai kayu oleh mereka. Semua barangnya bergelimpangan digeledah banyak Lonk untuk mencari lagi jejaknya dan menemukan Kiana.

Seorang pria datang dari arah jendela mengenakan tudung merah, matanya menyala di balik gelapnya malam. "Dia sudah tidak ada," ia tahu dia telat. Lalu satu Lonk memberikan sebuah batu yang ia dapat di bawah meja makan.

Pria tinggi itu mendecak sinis, wajah di dalam tudung itu muda seperti Kiana, ditumbuhi bulu-bulu kecil memenuhi rahang. "Dia menggunakan batu Ort." Pria yang terus diam dengan aura kecaman membuang batu bekas Ort yang baru saja dipakai Kiana dan Xavier pagi tadi. "Angin berhembus keras dan bulan menghilangkan setengah bagiannya," ia berfikir sejenak. "Kembali ke asal, Radella dan Sonya."

Gumam pria tersebut dan menatap monster kelelawar lebih tinggi darinya. "Beri tahu tuan, mereka sudah mengumpulkan pemegang batu A'din."

Tebakan pria tersebut selalu masuk ke logika, dan ia sangat pandai dalam hal merangkum inti sari masalah yang sudah terjadi. Keempat Lonk di dalam kamar Kiana berlari menuju jendela dan membentangkan sayap, seluruh kelelawar besar melayang di udara dengan kecaman dahsyat pergi menuju utara untuk kembali ke dunia mereka.

Pria yang masih di dalam kamar tersebut berjalan dengan tenang dan tatapan tajam, ia menuju sebuah meja dengan sketsa wajah Kiana yang tersenyum begitu cantik membuat semua pria terpana. Sebuah cengiran kejam mengukir sudut bibir kanan pria tersebut setelah mencabut sketsa foto Kiana, ia terdiam sembari memikirkan berbagai macam jebakan di kepala yang menunggu untuk Kiana, khusus untuknya.

*****

-Hopely you love it! I'll wait for ur Voment ;)

Keyword :

1. Lonk : Makhluk Darkpross, bentuknya kelelawar raksasa. ( Aku mengambilnya dari makhluk lokal sendiri, Kalong, namanya juga gak jauh beda kan? ah ngeri banget deh itu hewan ;pict; )

SELAMAT TAHUN BARU 2016!
TO ME, ITU HANYA ANGKA YANG BERUBAH, THERE IS NOTHING CHANGES.

-Semua boleh mengharapkan sesuatu yang baru di tahun yang baru, namun jangan rubah kepribadian kamu yang sebenarnya. Semoga tahun 2016 adalah masa-masa yang baik bagi kita semua, ada 365 halaman yang harus kita balik dengan pelajaran yang berharga setiap halamannya.

-Berbagai hal bisa terjadi di pertengahan tahun, jadi sudah kaya buku, ikuti aja alur halaman per halaman, karena kamu bisa aja menemukan sensasi tersendiri. Tahun 2015 aku adalah tahun yang cukup membahagiakan terutama aku mendapatkan intimasi dengan menulis yang bener-bener gak pernah aku prediksiin di tahun baru 2015 waktu itu. Dan Tahun 2016 ini akan menjadi ajang peningkatan hobiku ini, all is well hopely :)

1/1/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro