Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 44 - Trauma

Udara cukup tipis pada malam ketiga setelah kedatangan Raydon di tanah Whitebone, semilir angin bergemuruh memunculkan suara layaknya suling yang dimainkan dari bibir mungil wanita manis. Aroma daging ayam asap yang dimasak para penduduk Whitebone dibawah naik, aroma bawang dan rempah-rempah mengalahkan angin memijat tulang hidung naik hingga istana Whitebone dan menempel di tiap gorden berkibar.

Dari balkon pucuk kastil Whitebone, semua hamparan di bawahnya nampak, orang-orang berjalan di antara bangunan kayu seperti lego mainan layaknya semut berbaris menggendong gula, kumpulan prajurit berdiri dan beristirahat dijumpai mengelilingi Whitebone. Suara burung lebih dekat dan nyaring seperti berteriak bukan mengobrol, angin menyibak keras di atas situ. Tembok mengitari, dari atas tembok itu setinggi setengah kastil utama, mungkin berada di lantai delapannya, dari atas tembok itu seperti sususan tahu putih yang panjang. Dari balkon yang dingin itu ia hanya mampu melihat seperempat bagian tembok pelindung Whitebone, dan sisanya hilang terhalang dinding batu kastil. Warna itu putih mendekati warna silver tembok batunya, dan tanah basah di luar tembok terlihat sangat jelas. Taruh seorang pemanah tingkat 1 di atas sana, tak ada yang bisa menggapainya selagi ia memanah kepala musuh-musuh di luar tembok dari atas. Semuanya jelas, apapun yang dikerjakan dan apapun yang bergerak.

Raydon berdiri pagi itu di ujung pagar batu putih setinggi dadanya, menekan dada ke pagar sembari matanya memandang ke bawah dengan nafas menarik udara banyak. Ia hampir pulih tenaganya semenjak perawatan dan makanan Whitebone membantu sekali memulihkan yang semula sebelum masuk ke Umna dan kengeriannya. Tapi wajahnya masih menampilkan babak belur yang belum kempis, mata kirinya masih sedikit bengkak dan ia terus mengolesinya dengan salep berbau seperti tanah dan kotoran cacing untuk mengobatinya. Juga tiap rahang tajamnya itu bergerak saat berbicara maupun makan pun masih dirasa nyeri yang ujung-ujungnya dia diam, yang artinya lukanya masih ada. Tapi Raydon tidak akan mempermasalahkan tentang wajah, yang terpenting hanya kaki yang siap dibawa berjalan-jalan ketimbang tidur di ruangannya.

Di luar tembok satu per satu bintik-bintik hitam bagaikan lebah mulai muncul bergerak melewati tembok menuju luas hamparan di luar tembok, bergerombol dengan kuda perang masing-masing, tiada yang tak punya kuda, mereka semua memiliki harta dalam berpergian dari Lyither. Rombongan di bawah sana bergerak lebih cepat lagi, debu terbang, gemuruh bagaikan guntur dijarak jauh muncul, mereka mengejar cahaya matahari dan mengharapkan sampai ke Varunnette sebelum malam besoknya. Kepergian ayahnya dan pasukan mencapai 40 orang dan staf-staf pentingnya berada di antara rombongan itu menuju ke sisi timur, ada hutan berjarak 2 mil dari batas tembok, sehingga bila ada lalu-lalang akan jelas di tanah kuning.

Raydon sendirian dan melepaskan sebagian tugas di Varunnette pada ayahnya yang ia anggap sangat beruntung, tak pernah ayahnya mengurusi kehidupan yang bersifat pribadi, bahkan menanyakan dengan siapa ia dekat atau bagaimana harinya. Namun semenjak Raydon pergi ke Radella dan fokus menekuni menjadi salah satu pimpinan prajurit serta melakukan tanggung jawab sebagai pemegang batu A'din selanjutnya pikiran itu merubah sedikit demi sedikit Breyon pada Raydon. Rasa yang perlahan pudar dan membingungkan otak, lupa menafsirkannya sebagai apa karena rasa itu mengotori dan merubah rasa yang sebelumnya. Breyon mulai menganggap Raydon sebagai umpan, bukan ancaman lagi. Breyon menganggap puteranya layak diperjuangkan, ia melihat peluang, baik itu yang buruk maupun yang bagus. Ia mulai memikirkan ulang untuk tetap melindungi anaknya, dan menepati janji almarhum istrinya tepat sebelum ia wafat karena penyakit.

"Lindungi mereka," kata ibu Raydon dengan tangisan tegar kala itu. "Anak-anak kita, aku tidak sanggup," ia melanjutkan dengan tangisan dengan nafas yang terpingkal menutupi rasa sakit, matanya menatap anak bungsu yang masih belum bisa membuka mata, lalu menatap Breyon dengan pilu tapi masih ada kecantikan yang tiada tara di mata hijau gelapnya.

Raydon menyaksikan kepergian ayahnya dan rombongan untuk menuju utara dan mengarah ke Varunnette dengan mata kosong dan kepala penuh, jari-jarinya berlomba mengetuk pagar karena kegelisahan. Terutama ayahnya tidak ada di Lyither dan ia akan menggantikannya dengan segudang pekerjaan, mungkin tidak segudang, ada wakil-wakil dan orang terdekat ayahnya di sana yang setara pengetahuannya dengan ayahnya, siap membantu, siap memusingkannya pula.

Breyon sudah menyisakan setengah pasukan untuk menemani Raydon pulang ke Lyither, kembali ke sana tidak lagi cepat seperti menggunakan batu Ort, berminggu-minggu dapat ditempuh sesuai kondisi cuaca. Selagi rombongan ayahnya belum mencapai garis hutan ia berbalik merasa cukup menjaga dari jauh, menitipkan doa dan harapan pada ayah dan rombongannya untuk selamat sampai ditujuan, juga tidak mempersulitkan mereka di perjalanan maupun saat di Varunnette.

Tangga itu berada dipojok dan memutari pilar ditengah yang begitu tinggi berawal dari lantai dasar. Terkadang ketika melihat ke bawah lantai di paling dasar itu tidak nampak, seperti ada awan yang melapisi. Raydon menikmati waktunya turun anak tangga demi anak tangga sambil mengingat lagi kejadian di Umna. Ayahnya pernah memberinya saran untuk tidak memikirkan lagi apa yang ia alami di Umna, tapi tanah itu terlalu mengelabuinya sehingga kalah dengan masukan ayahnya sendiri.

Raydon masih mengikis jarak dengan kamar yang ingin cepat ia datangi dan mengemas barang-barang ayahnya, setelah itu ia akan mencari salah satu pimpinan pengawalnya yang disisakan dan memberi arahan-arahan sebelum meninggalkan Whitebone, mungkin mencarikan 3 babi liar sebagai hadiah atas keramahtamahan, santapan makan malam untuk penghuni kastil, jika itu yang mereka makan.

"Raydon." Ada suara halus berat memanggil sebelum ia menginjak anak tangga selanjutnya. Penguasa Whitebone rupanya berdiri di lantai yang akan dilewati Raydon, dia menemui Alken dengan tata krama, membungkuk, menatap mata dengan halus.

"Bagaimana kondisimu nak? Aku dengar ada masalah di bagian tangan kanan. Apakah sendi? Atau otot?" Wajahnya tentram dan khawatir, ia sangat pandai mencuri perhatian.

Raydon memutar-mutar tangan kanan, suara tulang yang kaku berderetak bagai ranting patah. "Mungkin otot terkilir, aku tidak mau tahu banyak tentang sakitnya, lebih baik merasakannya dan menunggunya hilang ketimbang mengetahuinya dan menjadi beban fikiran." Akunya.

"Bijak," kata Alken kagum, tersenyum langsung. "Mungkin teh panas akan meringankan fikiranmu." Itu tawaran paling tinggi oleh tuan rumah, tak mungkin Raydon menolak walaupun rasanya pinggangnya retak dan ingin tidur, mencari alasan lain, tapi ia tetap tersenyum paksa dan mengikuti ke daun pintu coklat tua lantai itu. Alken sendiri yang membukanya, tapi itu bukan kamar atau dapur, itu seperti tempat bersantai yang sangat elegan dan tenang. Kamar yang cukup luas dan kaca cembung mengitari semua sudut, menggantikan dinding, seperti setengan lingkaran ruangannya. Dibalik kaca gorden krem keemasan melindungi, bergerak dari angin yang masuk melalui ventilasi di atas kaca cembung, seperti gaun silk yang dibawa dansa berputar gadis bangsawan ceria. "Sangat menenangkan di sini ya." Suguh Raydon mulai tidak menyesal berada di sana.

"Ya. Jika aku pusing aku kemari, angin dan pemandangan melelehkan baja di kepalaku." Sahut Alken, ia meracik sendiri teh. Daun serbuk teh yang kering ia taburkan di cangkir besar, menuangkan air panas dan membiarkan larut dan merubah air berwarna gelap dan harum, lalu menyaring melepaskan ampas dan air, ia menakar gula dengan perhitungan ke dua gelas, menuangkan air teh panas dan mengaduknya bergantian. Sudah lama ia tidak membuatkan orang teh sendiri, rasanya berlalu dan menimbulkan kesan lagi. Ia membawa dua gelas. "Jauhi minuman keras dulu ya, dekati yang herbal." Katanya sedikit bercanda tapi serius, lalu memberikan gelasnya.

"Terima kasih banyak tuan," balas Raydon, sedikit tidak enak merepotkan pemimpin kota itu. Uapnya naik ke hidung, sangat membersihkan tenggorokan dan mengendurkan kepala tegang.

"Ah, ayahmu belum cerita ya?" Tanyanya, tapi langsung melanjutkan, "dia teman dekatku, tingkahnya sangat kaku setiap di dekatku semenjak aku ada jabatannya, sering kuingakan dia untuk berlaga normal seperti saat kita masih kanak-kanak dan melupakan siapa aku, masih saja ia ragu. Artinya kau sudah seperti keponakanku sendiri Ray, jangan tegang dengan pamanmu ya." Ia tersenyum sendiri, menyeruput air lewat cangkir terbakar dengan pelan.

Raydon lega ditinggalkan catatan dari Alken dan dia tidak ragu-ragu lagi. "Bagaimana kalian bertemu? Ayahku tidak pernah menyinggung masa-masa kalian."

Alken berjalan menuju kaca, memandang pemandangan rumahnya. "Oh, dia itu pemuda paling brengsek saat itu." Ia tertawa sendiri hanya dengan mengingat kejadian yang bakal ia ceritakan. "Kita bukan teman pertama kali aku mengenalnya, dia saingan, kami bersaing, dan tidak ada yang saling menyukai satu sama lain. Dia keturunan peri asli, sedangkan aku dan sebagian anggota penjaga utara Radella lainnya setengah peri. Ada dua kubu yang kental pada masa itu, mereka yang setengah keturunan peri dan asli peri dan saling bermusuhan dan bersaing. Penjaga utara Radella kamu tahu kan apa tugas mereka?" Tanyanya dahulu, ia dengar Raydon menjadi penjaga selatan Radella.

"Yang paling menegangkan," ingatnya, geli sendiri. "Lonk, Darkpross, penjelajah liar, makhluk lain," urainya, belum berani meminum teh mendidih di tangan.

"Kita masih belasan tahun, ayahku mengirimku untuk belajar di Radella dan aku masuk ke bagian utara yang sangat tidak aku idamkan. Ada pondok di utara saat itu, pos penjaga dengan 3 menara pengawas kayu hitam, lapangan utama yang berada di pertengahan rumah-rumah penginapan, hutan hujan, dan medan berat di balik rimba. Semua anak asuh dibagi dua kubu, anak asuh komandan Polus Sher dan komandan Henda Noth, kau tahu kan akhir bagi kita berdua?" Alis lancipnya naik, lalu melihat ekspresi berubah dari anak sahabatnya.

"Ya." Tawa Raydon diakhir, ia bahkan sudah berfirasat ini akan menjadi cerita lucu sebelum melanjutkan. Tentu saja Alken dan Breyon saingan yang sempurna ditambah di kubu yang berbeda.

"Kita dilatih di lapangan utama menggunakan pedang tumpul yang rasanya seperti kayu, bilahnya seperti dibuat memukul kayu sehingga menjadi rata. Minggu pertama sangat menyenangkan, minggu kedua membosankan, minggu ketiga menjadi sangat berat, minggu-minggu selanjutnya kita hampir kabur dari sana karena tidak sanggup. Mungkin 2 bulan masa pelatihan individu sampai pada hari pelatihan duel, kita ditemukan di lapangan utama, kubu Sher dan Noth. Kami dipasangkan, aku dengan bocah 15 tahun pendiam, dan ayahmu dengan pria 26 tahun sangat bugar. Pertamanya hanya sebatas teknik menyerang dan menghindar yang loyo, kemudian semakin lama semakin memanas, siapapun yang merebahkan lawan akan menang. Ternyata yang menang akan mendapatkan pedang tempaan peri, pedang sangat berharga dan mahal waktu itu, akupun tak sanggup membelinya, jadilah sebuah kompetisi diserbu beberapa anak." Jelasnya.

"Ini akan seru," tebak Raydon girang, kepala mengangguk-angguk.

"Aku tidak memperhatikan ayahmu saat itu, dia kurus seperti bocah peternak ayam, kelopaknya hitam seperti tukang tidur, pemalasan, dan dia berada di situ seperti berkat hukuman karena mencuri apel, dia tidak menarik. Jadi aku fokus pada sainganku, bocah yang lebih kurus daripada ayahmu, aku sangat mudah melumpuhkannya, dia bahkan tidak kuat mengangkat pedang, aku menang dan menunggu pemenang lainnya. Pemenang akan dihadapkan dengan pemenang lain seperti itu seterusnya, sampai-sampai aku sadar ayahmu yang tidak menarik itu menjadi menarik perhatianku, sebab komandan lain memperhatikannya melumpuhkan lawannya dengan gerakan lihai dengan pedangnya, dia menjatuhkan lawan hingga membuat semua orang menertawakan ejek yang kalah, dia mematahkan tulang tangan lawannya dan mendapatkan tepuk tangan, padahal lawannya selalu lebih baik dari yang aku lawan." Ceritanya. Raydon tidak bosan, wajah Alken berseri-seri sangat senang menceritakan masa lalu pada putera Breyon. "Dia menjadi begitu sombong aku bisa membaca gerak-geriknya, tersenyum tajam dengan gigi kuningnya, mengangkat pedang setiap berhasil menjatuhkan lawan, meminta sorakan, berputar-putar tidak jelas, hingga semuanya sepakat Breyon itu pemenang dan Breyon sendiri meyakinkan semua orang dirinya lah yang tiada banding. Hingga dia bertatap denganku, pemenang terakhir, dan duel terakhir. Aku sudah sangat kelelehan saat itu, bahkan wajahku yang mengantuk sangat terlihat dari kejauhan, dan semua menertawakanku sebelum aku memulai, mereka bilang Breyon yang pasti menang, jika mereka berani bertaruh mereka pasti tidak takut. Dan di situlah kami berada, di tengah lapangan berdiri menggenggam pedang tumpul, saling menyerang lewat tatapan, menganggap masing-masing musuh dari kegelapan, aku menyerang dahulu, dia menghindar lincah, semua gerakannya seimbang dan pandai meletakkan posisi pedang dan kaki yang sesuai dengan gerakan musuh. Aku sumpah masih mengingat wajah brengseknya saat dia berhasil memukul wajahku dengan keningnya dan membuatku jatuh dan dipermalukan lagi. Tapi akan kubiarkan dia menang di awal, kelelahan, tenggelam dalam kesombongan, hingga akhirnya dia terlalu lelah mengangkat pedang dan fikirannya dikacaukan dengan keangkuhan, aku melumpuhkannya, meninju hidungnya hingga berdarah dan menancapkan sikuku di dadanya hingga ia sulit bernafas, dan saat itulah dia pingsan, tiba-tiba saja."

Raydon tertawa geli hanya dengan membayangkan tiba-tiba ayahnya pingsan, lalu kerumunan yang mendadak berhenti tertawa dengan wajah linglung dan dungu masing-masing, menganga, menggaruk-garuk tengkuk leher, dan ekspresi ayahnya yang babak belur dengan keangkuhan yang melingkupi. "Oh astaga, itu sangat memalukan." Ia tak sadar air matanya muncul.

Alken tertawa terbahak-bahak, menunggu tawanya berakhir, menyeka air mata. "Setelah dia sadar ia menyendiri, duduk di depan jerami di bawah langit mendung tanpa angin, yang kalah akan melakukan apapun dan menyaksikan pemenang menerima pedang dari komandan masing-masing. Jadi di sanalah dia, orang yang merasa hebat itu duduk sebagai pecundang dan menyaksikan pemenang rendah hati menerima hadiah. Matanya bergejolak marah, aku bisa melihatnya emosi karena dipermalukan dan karena kalah. Tinggal satu lagi, aku meminta semua orang -yang kalah- merangkak ke sungai lumpur hitam di hutan, aku tahu sungai lumpur itu sangat panjang dan berakhir di hutan belakang menara kayu yang lain. Aku ingat merasa sangat puas, melihat mereka merangkak seperti ikan lele bergeliat di lumpur hitam, wajah mereka seperti disiram lendir paus, tersedak lumpur dan batuk-batuk, lalu ayahmu selalu tenggelam dan sangat susah bergerak seperti anjing terjebak lumpur, ia merasa mau terhisap, lalu semua orang menertawakannya. Di saat itulah ia tetap mengingatku untuk waktu yang lama dan menunggu pembalasan dendam. Tapi anehnya kita malah berteman setelah 22 tahun selanjutnya bertemu di bar, aneh memang rasanya." Gumamnya, terheran sendiri. Lalu wajah Raydon ia lihat sangat berseri-seri, sangat suka ayahnya yang garang dan dingin itu ternyata punya hal konyol dulu.

"Sepertinya ada diriku di dirinya ketika muda," kata Raydon setelah berfikir. Untuk sesaat ia lupa rasanya dirundung sedih, melupakan kemurungan ketika ayahnya dan rombongan berpergian. Seolah ada tembok yang memagari otaknya dari pikiran-pikiran negativ, hanya ada dia dan Alken dengan cerita ayahnya.

"Aku tahu itu," kata Alken, menatap lurus meyakinkan. "Kau tahu? Kau itu sebenarnya akan dijodohkan dengan puteriku, mau yang kedua atau yang keempat," akunya, mendapat respon tenang Raydon, sedikit kikuk karena Alken menyinggung masalah pribadi ketimbang Breyon sendiri. "Untuk sekutu, semenjak ia menginginkan 'rumah' sendiri ia tahu cara bagaimana mengembangkan kekuatan yang tidak berkaitan dengan kemiliteran, ia melihatku, punya wilayah, punya anak lajang, dan ya, pernikahan. Tapi bagi kita berdua menjalin kerja sama dan sekutu tidak selalu harus dengan pernikahan, melainkan kenangan dan persahabatan. Itu cukup besar dan langka kali ini selagi musuh terus bertambah dan kejujuran sulit didapat. Aku beruntung mematahkan hidungnya dan menyuruhnya berenang melewati lumpur saat itu." Ia tergelak tawa lagi, tawanya singkat tapi awalnya selalu terbahak-bahak dan cangkirnya hampir jatuh dari pegangan.

Raydon ikut tertawa tapi dalam keadaan sopan dan hanya matanya yang menyipit ketika tertawa. "Aku punya banyak teman, tapi bukan sahabat." Katanya pilu, cemburu pada Alken. "Teman-teman terdekatku seperti menganggapku bukan tipe mereka, menatapku seperti terlalu tua dan sombong, dan sekarang mereka berpencar seperti gunung meletus yang menyemburkan batu-batu vulkanik ke berbagai arah. Alhasil mereka hilang, tidak tahu kabar, tidak ada berita, tidak membicarakanku." Keluhnya mengangkat bahu tinggi, ia tersenyum makna tegar, ia mengakui merindukan teman-temannya, kecuali anak Clemanos itu.

"Orang-orang menertawakan hal tersebut dan membawa topik itu hingga larut malam menjadikan bahan olokan. Tidak sadar dan tidak ingin menyadari pertemanan itu besar dan tajam seperti pedang, semakin erat kau memegangnya semakin jauh kamu dari sakit dan semakin mendorong mundur musuh." Sahut Alken, tenggorokannya kering dan tehnya tidak disadari sudah habis, ia pergi lagi mengambil teh karena tenggorokan sudah penuh dahak karena tertawa.

"Kau sangat ahli dalam strategi tuan," singgungnya. "Apakah ada rahasia?" Rasa penasarannya sebesar rasa laparnya kali ini.

Alken tertawa, menaruh gelas di meja belakang dan menuang air teh hangat. "Strategi dulu atau berdiskusi dulu?" Ia mencoba tingkat pemahaman Raydon, mengasah otak perangnya.

"Orang-orang selalu berdiskusi dulu dengan sekitarnya sebelum mengerjakan sesuatu, sebelum menyerang, sebelum bercerita, dan belum langsung menyusun strategi." Ia takut salah, gugup menjawab, tapi bila ia tidak salah maka tidak ada makna pagi itu.

"Nah, begini, aku tahu itu yang benar tapi aku ingin merasa salah saat itu, jadi aku menyusun strategi setiap aku ingin mengerjakan sesuatu, entah itu berhasil atau tidak, sesuai atau melenceng, tapi strategi membuat mata musuh berkedip cepat tanpa tahu apapun. Berdiskusi membuat banyak pertanyaan, akhirnya muncul keraguan dan semakin mengulur perbuatan final. Aku benci itu, aku ingin tepat dan akurat, lalu beraksi, paw! Aku menyusun strategi layaknya waktunya sudah begitu dekat, dengan begitu yang akan didiskusikan hanyalah hal-hal fatal yang bisa terjadi di strategi dan cara penanganannya."

"Kedengarannya seperti ingin benar sendiri," singgung Raydon. Tanpa ia pahami kalimatnya menyinggung Alken, lalu pundaknya ditepuk pria berumur 50an tahun yang sedikit bungkuk.

"Orang benar dan orang merasa benar itu berbeda. Orang benar menyadari kesalahan, orang merasa benar tidak perlu mengaku kesalahannya. Orang benar mengintropeksi diri, rendah diri, orang merasa benar tidak memerlukannya, tinggi hati di rasanya. Strategi tidak selalu benar, dan aku tidak pernah merasa strateginya selalu benar." Jelasnya pelan, ia membaca dirinya sendiri terkadang ia luput dari kesalahannya.

"Kau pernah gagal?" Raydon menaruh gelasnya, tangannya sudah berkeringat dan angin sudah berhenti yang artinya mulai menuju siang yang terik.

"Tentu saja selalu gagal. Tapi bukankah aku berada di sini karena ketepatan?" Ia menyipit bahagia. "Dengan gagal dan pengalaman aku menaikkan dan memperbaiki strategiku, hingga banyak yang menginginkan masukan dariku." Tambahnya.

"Aku akan menjaga rahasia ini tuan Alken." Dirasa Raydon cukup, ia menaruh gelasnya.

"Itu untukmu Ray, sebagai hadiah." Tatapannya tidak canggung dan sangat dalam. Untuk beberapa saat ia melihat sosok seorang ayah yang perhatian pada puteranya, mungkin itu cinta sahabat yang berbeda dan diberikan kepada anak dari sahabatnya. Pasti ada hal yang merubah hidup Alken dari Breyon, hingga ia sangat peduli sedalam itu.

Raydon tersenyum manis, semanis tuan puteri. "Terima kasih atas tehnya, cerita, dan ruangan ini tuan Alken. Aku pamit dulu." Ia beranjak dan mendapat salam hangat dari Alken. Dengan pelan ia menuju pintu dan di belakang Alken merapikan cangkir-cangkirnya.

Sehari sebelum keberangkatannya menuju Lyither ia selalu didatangi tuan Garak Daner, salah satu orang pilihan Breyon untuk mengawal Raydon pulang. Ia selalu meminta perintah, catatan, titipan apapun dari Raydon sebelum keberangkatan. Ia anggap semuanya mulus dan tidak ada kekurangan, itu hanya pulang, hanya barang-batang kotor saja yang diingat, dia sudah pernah membawa rombongan Vanella kembali ke Radella dengan selamat, jadi beres.

Garak Daner sekali lagi menunggu Raydon di dekat perkemahan di lapangan sebelah timur, tempatnya luas dan kurang pohon, banyak anjing berkeliaran, tapi pas untuk tamu membawa kuda yang banyak, mereka membiarkan kuda berlarian dan merilekskan diri sebelum kelelahan. Ia mendengar girang suara kuda, melompat ketika kuda lain berlari di depan, bermain seperti kumpulan anak kucing, dan sangat damai, tapi Raydon menjadi mual, ia mengingat kudanya lagi. Kembali ia menghilangkan, bukan momennya untuk mengingat keburukan Umna, seperti membuat trauma dirinya lagi. "Kau tak apa tuan?" Suara itu seperti yang ketiga kalinya dilontarkan, dua sebelumnya hilang karena momok ngeri.

Raydon berkeringat, ia meneguk ludah keras, mengulum bibirnya yang kering, dan hanya mengangguk pada Garak. "Apa kudanya cukup untuk semua orang?" Ia memastikan selayaknya, turun ke lapangan.

"19 kuda untuk 19 orang, satu diberi tuan Alken untukmu." Lapornya, yang satu itu baru saja datang.

"Bolehkah aku naik rumah kereta saja?" Pintanya ragu-ragu, matanya merosot jatuh dan sayup, ia takut bermain dengan kuda, belum saatnya, belum sembuh dari trauma.

"T-tentu saja tuan, akan aku carikan." Kata Garak terbata-bata, tapi dia tahu kondisi Raydon kurang prima dan mengira dia belum mampu di atas kuda. Pria bertubuh ramping dan pendek 5 centi dari Raydon pamit undur untuk mengabulkan permintaan. Selagi itu Raydon menyusuri tenda-tenda di siang bolong, banyak yang menyapanya dengan hormat dan Raydon suka itu, dan ternyata banyak kenalannya yang berada di sana tapi Raydon tetap berjalan, kadang ia berhenti bertanya-tanya seputar keadaan medan nanti, kadang keluar topik, berharap kenangan di Umna memudar.

Gelombang panas di barat semakin tinggi, panas terik membuat daratan kering dan tandus, tanaman tidak segar tapi mati karena derajat berlebihan. Whitebone bila di cuaca panas dari kejauhan seperti berlian cincin, bercahaya terang dari kejauhan. Siang itu sangat panas, kuda-kuda tidak lagi suka keluar dan memilih mendekati air untuk minum dan menyegarkan diri, para pria mencari es leci dan jeruk, para wanita mencari aliran sungai dan mandi. Tapi Raydon mencari pekerjaan lain sebelum pagi besok berangkat, ia bingung, mengunjungi Alken dan meminta cerita tidaklah sopan, mengunjungi tenda-tenda rombongannya sudah dilakukan berkali-kali, jalan-jalan melihat Whitebone melelahkan, jadi barangkali dia ingin menuju pasar, pusat pemeras uang tamu.

Seperti pasar kebanyakan ramainya mulai surut di siang hari, tapi lain dari suara-suara ternak yang dijual, parang menebas daging, pisau mengupas sisik ikan, kata-kata dan omelan penjual pembeli, kucing dan anjing liar, lalat yang mendengung di telinga, itu sangat ramai. Raydon tidak berniat menjadi bapak rumah tangga dan mencoba berbelok alur mencoba memasak telur dicampur bawang, dia menuju satu tempat yang menjual bermacam-macam batu. Ia kadang suka mengoleksi, ada total 5 box besar di rumahnya dengan batu dan cincin yang beragam tertera cantik, setiap batunya berasal dari daerah yang berbeda dan memiliki kimestri yang memikatnya.

Di bagian pasar menjual koleksi beragam batu pastinya didominasi para laki-laki, di sini jauh lebih tenang dan bahkan hanya tawa dan aroma lelaki yang bercampur. Tidak ada seserakan, di bagian menjual batu pasti lebih memikat. Lapak demi lapak berjajar beratapkan kain yang rendah, warna gelap yang mengisi membuat batu warna-warni yang dijual semakin terpancarkan aura. Setiap penjual batu di Whitebone sangat bersemangat, mereka tua, manula dan muda, setiap ada pria yang lewat di depan lapak salah satu penjualnya yang bagian promosi tidak segan mendatangi dan memamerkan cincin-cincin, kalung-kalung, gantungan, bersama batunya yang mereka bawa. Lalu meneriaki mereka, "ayo lihatlah! Batunya bagus! Murah! Ini dari negeri seberang!" Jeritnya, jujur atau bohong.

Kadang rasanya ingin menampar wajah mereka setiap muncul tiba-tiba tanpa tahu tata krama. "Hai! Mencari batu?" Suara mereka keras dan bau mulut yang bikin mual. "Lapakku lebih lengkap, kembali ke sini kalau tidak ada pilihan ya." Kata mereka bila seseorang sudah menghindari lapaknya, memamerkan gigi, sangat menghipnotis dan meyakinkan jika lapaknyalah yang terbaik.

"Datang ke lapakku... aku beri kamu diskon," umbar mereka, suaranya berbisik seperti mencoba menarik, rasanya ingin menampar lebih keras.

Setiap lapak punya tukang promosi masing-masing, mereka berdiri di depan lapak masing-masing, suka memakai cincin batu memenuhi jari-jari coklat terbakar mereka, kadang kalung yang menumpuk, tapi hanya ada satu yang memikat, yaitu batu-batu indahnya.

Pasar selalu memamerkan jenis-jenis batu dari yang namanya familiar di telinga, yang langka, yang mahal, yang menggiurkan dan yang unik. Selalu tersusun dan selalu berhambur tergantung penjual. Mereka pasti menjual batunya saja, sedangkan perhiasan tambahan dijual terpisah. Ada batu yang sudah diasah dari pedagang itu sendiri, pasti permukaanya licin seperti kepala botak dan sangat mulus, mengkilat seperti kaca, bersih bagaikan paha wanita dibar. Mereka berbentuk bulat, oval, bulat tebal, bulat tipis, oval panjang oval pendek, segitiga, persegi panjang, love, kubus, jajar genjang, dan beragam bentuk yang tidak membosankan. Para pria suka mengganti mata cincin mereka dengan batu yang lain, jadi batu itu mereka koleksi sebagai pengganti bosan. Sedangkan para wanita suka perhiasan, mencari batu berwarna cerah menyesuaikan dengan warna kulit, mata, bentuk wajah, warna rambut, keserasian di jemari, dan lebih terperinci dibandingkan lelaki. Ada pula batu yang masih utuh, belum diasah dan masih berupa gumpalan jelek dipandang, dan harganya jauh lebih turun dibandingkan yang sudah diasah. Ukurannya pun beragam, dari yang sekecil batu ginjal sampai sebesar batu nisan.

Raydon masih mencari dan terus mencari, tanpa disadari orang-orang itu sebenarnya menjual batu yang sama saja dan harga yang berbeda. Tapi Raydon tidak mau mengganggu kehidupan berniaga, ia mau sesuatu yang lain. Matanya lihai memilih, instingnya tajam mengasah batu yang wajib dilirik. Dan baru seperempat perjalanan ia belum mendapatkan batu yang bagus. Ia berbelok ke kiri karena ingin melihat-lihat saja, terutama ada susunan batu berwarna ungu seperti batu A'dinnya. Tapi lebih mungil dan lucu, mereka berbaris dengan 4 biji batu kecil bulat yang diameternya tidak sama.

"Apa ini?" Ia mencuri perhatian penjualnya yang sedang melayani pria lain.

"Ini Tears -Air Mata-, dari tanah Zary -di selatan-. Orang-orang bilang bila warnanya ungu membawa zat penenang, seperti anggur!" Ia memekik, mata bulatnya bersemangat, tentu saja ia ingin membuat pembeli lebih penasaran, pembeli yang penasaran akan semakin ingin tahu, dan semakin ingin memiliki.

"Jadi kamu menelannya?" Raydon mengangkat alisnya, bergurau dengan sarkasme.

Penjual tua itu malah tertawa. "Tidak nak, kau celupkan saja di cangkir susumu dan mereka bilang batunya merubah air." Jelasnya. Ia mengambil batu ungu kedua, mengambil gelas bening berisi air lalu mencelupkannya, ia memberikannya pada Raydon. "Nah, cobalah." Ia memaksa Raydon menggenggam gelas.

Mata Raydon berkedut ragu, ragu tentang airnya yang mungkin air parit, ragu gelasnya tidak dicuci, dan ragu batunya punya sihir mengosongkan fikiran. Tapi dia memanfaatkan waktu, ia meneguk air lalu menatap polos penjual. "Aku merasa bersemangat," responnya.

"See?! Tentu saja! Dan mujurnya batu ini tidak punya tenggang kadaluarsanya." Ia girang dan tertawa sedang.

"Ya, aku bersemangat mencari pondok lain." Gerutunya menggapit gigi. Lalu berbelok dan meninggalkan lapak menuju sisi yang lain. Penjual itu murung lalu mengumpat, kemudian beralih. Sadar batu itu tidak menarik ia mencari lagi. Matanya mulai melirik kanan dan kiri, kepalanya tertarik untuk melihat lebih dalam. Dan ada satu pondok tapi matanya sangat ingin melihat batu apa yang dikenakan penjual pria itu.

"Batu apa yang kau kenakan itu?" Sambar Raydon, tidak ada yang mampir dilapak pria bekumis hitam kasar seperti perahu itu. Pria itu mendatangi Raydon, melirik kalung perak dengan batu menggantung. Pinggir batunya berwarna putih dengan biru keabu-abuan di pusat. Ada pola seperti ikan teri bermata bulat hitam seperti telur kodok.

"Mereka bilang ini batu Endlife, sebagian mengenalnya Tarut, dan ada nama lainnya juga Drown. Masing-masing namanya punya kisah sendiri berdasarkan pandangan orang pada polanya, kau pasti tertarik dengan polanya bukan?" Tebaknya mengasal.

"Itu ikan, seperti ikan asli yang membeku di batu." Kata Raydon, menunjuk kalungnya.

"Ini tidak asli, pola dari alamlah yang membentuknya. Kau tahu, ada binatang lain selain ikan yang sering muncul dipola batu. Terkadang seperti kuda laut, kera, anjing bertelinga panjang, ulat bulu, dan sayap kupu-kupu. Orang menyebut batunya Endlife karena mengira setiap pola hewan yang terukir batu itu adalah jiwa hewan yang berakhir di sana." Matanya berputar, yakin sekali itu omong kosong. "Mereka menyebut batu Drown karena sepertinya hewan-hewan didalam batu seperti tenggelam di perairan beku abadi. Tapi aku lebih memilih yang masuk akal, Tarut itu nama seorang penjelajah bersejarah di daerah batu Tarut pertama kali ditemukan, Angonda Tarut. Aku mengoleksi Tarut, aku punya tiga buah, ikan, kadal, dan kuda." Senyum besar pria itu mengoles wajah, setiap kalimatnya membuat nafasnya sukar.

Raydon mulai lagi termakan kegundahan setelah kuda lagi yang teringat. Lalu ia mulai tersenyum masam pada penjual dan mengakhiri jumpa itu, ia menjadi terluntang-lantung berjalan sampai titik pasar batu habis dan tidak menemukan apapun untuk dibawa pulang. Dipenghujung pasar pondok beratap kain sudah hilang, hanya jalanan luas kosong menuju belokan ke blok perumahan yang jauh dari kastil. Tapi Raydon tetap melangkah pantang, dia ingin sekali mengikuti alur jalanan itu dan mengetahui di mana akhir jalannya. Biasanya jalanan itu tak ada putusnya, hanya saling terhubung menuju sudut tempat lain, jadi Raydon pikir kemanapun jalan berbelok tidak akan jauh-jauh dari kastil tempat dia tinggal. Dia masih terus berjalan menuju belokan ke kiri di balik rumah kayu lebar beratap keramik batu di depan, dan muncul suara gesekan berulang, seperti karet dan pasir yang digosok, dan di hadapannya tepat di belokan seorang bocah kelihatan berlari muncul dari jalan di belakang rumah.

Mulanya Raydon pikir anak gadis itu hanya anak-anak yang lebih suka berlari ke mana-mana, tapi dari raut wajahnya yang mengernyit, bibirnya merengut dan nafasnya terpingkal-pingkal, ia tahu ada masalah yang mengejar anak itu. Arahnya berlari menuju pasar batu dan tentu saja akan melewati Raydon. Ia mulai cemas, dan semakin lama kasihan dia berlari, akhirnya Raydon mengambil langkah ke kanan menuju tengah jalan tepat di hadapan gadis itu. Lalu tangannya menggapai pundaknya. "Ada apa? Kenapa lari?" Tanyanya penasaran.

"Ada anjing!" Dia memekik, terpingkal-pingkal, kakinya bergerak-gerak gelisah seperti lari ditempat. Mata gelap coklatnya ada keinginan meminta tolong. "Aku dikejar!" Tapi dia sangat berani, tidak menangis.

Selang beberapa detik muncul anjing putih kurus berbintik-bintik hitam, telinganya naik dan tinggi belum dapat buruannya, kakinya melangkah lebar, bintik-bintik lebih banyak di bagian bokongnya, dia sangat laju dan sudah berada di depan Raydon. Anak itu berangsur ingin lari sambil membawa seperti botol minum, tapi tangan Raydon seperti menyangkut dan membawa anak itu di belakangnya. Raydon maju dengan tubuh tegap, wajah garang, lalu dia menghentakkan kaki sangat keras dan mengeluarkan suara mengusir yang lantang. Anjing itu mendadak mengerem, bingung, telinganya mundur dan menjadi ragu-ragu, apa harus menyerang atau harus menunggu, instingnya bilang. Raydon tetap menghentakkan kaki keras, maju perlahan dan mengusir-usir anjingnya, lalu ia menggapai batu pasir di bawah dan menarik puluhan batu sekaligus, dia melemparnya dan menantang anjing lagi. Anjing itu merasakan batu-batu seperti hujan yang dibencinya, tapi lebih sakit mengenai kulit kurusnya, ia masih bingung, dan Raydon mengambil kayu lalu memukuli tanah hingga anjingnya lari kembali dengan gesit, anjing itu sering mendapatkan pukulan kayu dari orang-orang pasar karena suka menggigiti dagangan diam-diam, akhirnya dia mengenali yang ia takutkan dan kalah.

Raydon mengamati wajah bocah itu setelah berbalik, dan sudah berubah menjadi tenang. Anak perempuan itu masih berdiri mematung mendangak tinggi melihat Raydon sangatlah raksasa di hadapannya. Dia jongkok, menyengir. "Sudah kan? Anjingnya takut kayu, kalau ada dia lagi pukul saja tanah dengan kayu supaya dia tidak berani lagi." Sarannya, memberi kayu seperti senjata mengerikan. "Lalu bilang apa?" Raydon menyengir lagi.

"Terima kasih!" Dia riang, suasananya bahagia tahu anjing itu nantinya tidak akan berani lagi karena ada kayu. Untuk sejenak Raydon melihat gadis itu seperti lelaki, hanya saja rambut coklat basahnya sebahu dan dikelabang, wajahnya begitu kental seperti anak tomboi, mungkin ibunya mengidam anak laki-laki seumur hidup tapi yang keluar malah gadis. Dan ia sangat ingat adik perempuannya yang lain dikampung halaman sana, sudah 5 tahun besarnya seperti gadis di depan. Tenata Edgrado, atau adik paling bungsu yang tidak sempat mengenali wajah ibunya sendiri.

"Sama-sama!" Raydon menyengir terus. "Kenapa anjingnya mengejarmu? Kamu mengintipnya buang air ya?" Gurau Raydon. Anak itu tersenyum kikuk.

"Aku... aku cuma lewat saja!" Sebutnya tidak setuju di nadanya. Wajahnya mungil dan bulat, ada bercak hitam di sekitar rahangnya, mungkin habis makan sesuatu. Raydon mengacak rambut coklat kasar anak itu, tersenyum gemas. "Tadi...tadi aku dari rumah, makan, minum susu kedelai dari Shasa, dan mau sama ayah!" Jelasnya. Suaranya sangat tinggi dan melengking, tapi setiap berbicara liurnya selalu muncrat.

Raydon mengangguk-angguk terus sambil tersenyum. "Oh jadi begitu, adik kecil, saatnya kamu menemui ayahmu, lalu ceritakan bagaimana kamu mengusir musuh." Ujarnya.

"Tapi bukan aku yang menghajar anjingnya," anak itu bingung. Lalu Raydon segera menaruh telunjuk di depan bibir dan berdesis. "Ssssssttttttt." Ia menyipit mengajak berpura-pura, dan anak perempuan kurus berbaju gobor coklat itu tahu maksudnya.

Raydon berdiri, mencubit pipinya yang berisi. Tapi tangan anak itu terulur ke atas menunjukkan botol minum miliknya. "Mau?" Kepolosan anak kecil yang ragu-ragu membuat Raydon mencair, ingin menculiknya dan membawanya ke Lyither.

"Apa ini?" Raydon mengambil botol itu, tapi segera sadar itu bukan botol plastik melainkan dari batu yang terpahat seperti botol. Dia membuka tutupnya dan aroma samar misk mencuat.

"Tempat parfum." Jawab anak itu, dia belum mampu menjelaskan seperti anak 12 tahun. Raydon menyelidiki, batu itu bertekstur kasar dan tajam, warnanya biru mendekati hitam pekat, dan berat. "Mau?" Tanyanya ulang.

Dia bimbang, apakah jika ia ambil gadis itu akan mencarinya lalu menangis 7 hari 7 malam jika tidak ada dirumahnya? Atau jika dia menolak akan mengecewakannya? Batu oleh-oleh dari Whitebone yang belum dia dapatkan mungkin di depannya itu yang menentukan, memang tidak ada kasiat dan kimestrinya, tapi kejadian itu bermakna dalam bagi Raydon karena berasal Whitebone, sehingga setiap melihat batunya akan teringat kejadian kali ini.

"Aku mau sekali!" Ucap Raydon riang, dia mengambil botol parfum pelan-pelan, dan mata bulat anak perempuan itu lebih besar seperti ingin sesuatu, tapi itu hanya tatapan anak gadis. Lalu Raydon memeluknya, mengangkatnya ke udara dan mendekap di depan dada luasnya, ia menggelitiknya dan berjalan kembali menggendongnya dengan satu tangan diiringi tawa masing-masing. "Ayo kuantar kamu ke ayahmu. Kamu pernah merasakan permen jambu? Rasanya lebih manis ketimbang buahnya. Apa warna buah jambu? Haha ya! Merah, pintar."

Saat itu Raydon merasakan tengah menggendong Taneta yang sudah lama tidak ia jumpai, adik-adiknya tumbuh besar tanpa sentuhan banyak dari keluarga. Tapi itu yang Raydon dan ayahnya lakukan demi keselamatan mereka, keluarga itu dikelilingi masalah dan musuh, tidak ada toleransi apapun ketika keduanya geram pada Raydon atau Breyon, seseorang bisa melukai Raydon dan Breyon dan para orang licik selalu menggunakan hal lain untuk melukai mereka berdua, salah satunya keluarga. Lebih baik waspada daripada terluka lebih dalam, menyembunyikan identitas keluarganya adalah pilihan.

*****

-Kita flashback lagi dengan dunia batu akik di Earthniss hehehe. Kalian punya batu akik apa dirumah? Kalau aku salah satunya batu merah delima dan batu akik aceh yang kata umiku harganya bisa dp motor wkwk.

-Thank you for reading! Ada yang bingung? Tanya aja ya, untuk apa wattpad menyediakan kolom komentar jika tidak ada yang berani bertanya hehehe. Semoga suka part ini. Have a nice day!

31/1/2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro