Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 40 - Kota Jatum

Jalan pasir membentuk ruang lebih luas setelah bermil-mil berkuda, kuda coklat yang sudah kelelahan membutuhkan sayur dan rumput untuk menyegarkan otaknya yang panas. Untungnya kota itu sudah di depan mata, terbentang di antara sungai besar dengan air coklat keruh yang sedang surut karena cuaca. Ugrah sampai pada kota yang ingin ia kunjungi, Jatum kota para tetua.

Kota itu besar tak kalah terkenal, di kelilingi tanah kosong coklat. Sungai mengalir dari arah dataran tinggi selatan dan lebar. Jatum berisi para pendahulu dan keturunan-keturunan mereka dari zaman perang terutama mereka yang memiliki keakraban kental pada hal-hal sejarah. Dinamamakan kota tetua karena kebanyak dari mereka adalah panutan bagi semua guru, banyak hal yang datang dari mereka dan mengajarkan secara luas mengenai isi dunia.

Dengan kebijakan, saran dan pengetahuan mereka menggulingkan isi kota sebelumnya 2 dekade lalu yang pernah dikuasi oleh seorang Raja penganut aliran sesat, Raja Mengkewa Dayala. Kota yang berhak diganti dan diperbaharui dengan sistem baru, sistem kebijakan para tetua.

Dengan kudanya Ugrah harus melalui jembatan gantung di atas sungai yang deras setelah diguyur hujan malam sebelumnya. Membutuhkan jarak bermil-mil untuk menyeberangi jembatan, selagi Ugrah menonton pemandangan. Penjagaan di sana tidak ketat, hanya segelintir prajurit yang mondar-mandir.

Ia kenal satu tempat di mana semua sejarah dapat diketahui, tempat yang sering dikunjungi tamu atau pendatang Jatum. Ia berkuda beberapa menit untuk mencapai pusat kota dan sampai pada Jatum Center Museum. Ugrah mengikatkan tali kudanya kenudian mencarikan air dan jerami untuk ditinggalkan bersama kuda setelah itu ia masuk. Sebagai tanda terima kasih untuk setia mengantarkan dirinya ke satu tempat ke tempat lain ia membeli sekeranjang apel makanan kesukaan kudanya.

Tak ada penjaga atau pun pekerja yang menjelaskan semua isi, semua tergantung Ugrah. Museum itu bertema kuning dan putih, lantainya bergaris kuning sedangkan dinding dan pilar berwarna putih. Museum tersebut berisi peninggalan sejarah sejak zaman Séma maupun seterusnya.

Ia naik puluhan tangga untuk menuju pintu utama, di depan banyak kursi penunggu yang di isi beberapa wanita dan anaknya yang mengunyah makan siang, sedangkan ada sebuah panggung untuk para penduduk. Mereka terkadang mengiringi hari pengunjung dengan opini mereka terhadap apa yang pernah terjadi dan sedang terjadi. Mereka mengomentari, membeberkan keburukan dan memberi makna-makna pelajaran.

Namun hari yang panas itu membuat panggung kosong beserta museum yang sepi. Ia masuk dan bertemu dengan dua singgasana bersofa merah dan sandaran berukir emas dengan sebuah lambang tubuh buaya yang membentuk huruf J. Dinding di sebelah kanan dan kiri singgsana terdapat 2 wajah pria, mengenakan penutup kepala seperti Qurtah yang sering dikenakan rakyat Jatum sampai sekarang.

Kedua Raja itu adalah Hidda Jatum dan Walkad Jatum, 2 Raja yang berturut-turut memimpin Jatum setelah mengalahkan Mengkewa Dayala, masing-masing satu dekade. Merekalah orang pertama yang menaruh namanya sebagai Raja kota Jatum. Hidda dan Walkad berdarah tentara zaman Sèma, tentu mereka mengetahui semua hal yang terjadi dan bagaimana memperbaiki, serta itulah mengapa semua orang mengenal Jatum sebagai kota para tetua, semua orang berdarah sejarah dan mencintai sejarah Earthniss.

Di dalam ruangan pertama berisi semua yang berhubungan dengan kedua Raja, dari seragam perang dan seragam kerajaan, termasuk senjata-senjata yang mereka bawa ke medan perang. Ada sebuah batu kuning lumut di dalam box kaca di depan lemari senjata, batu yang dikatakan berisi darah seekor Summon dari wilayah utara.

Setelah melihat-lihatnya ia masuk ke ruangan kedua yang jauh lebih luas. Ruangan seperti aula yang terlihat kosong dibanding ruang lain. Di kanannya terdapat banyak intrumen musik yang mulai berdebu; harpa, gendang, gitar, drum, suling yang berumur lebih tua dibanding seorang peri.

Ugrah menuju tangga lebar di depan untuk turun, di tengah ruangan luas di antara 12 pilar hitam terdapat box kaca lagi. Setelah Ugrah lirik di dalamnya hanya ada sebuah replika versi mini kota Jatum dan terdapat penjelasan di kertas di dalam.

Ia berjalan ke lorong di bagian kiri, menuju satu sudut bertema Black Shadow Terror yang mana ketika Ugrah masuk sudah diisi 5 orang yang ikut jalan-jalan. Di dalam ruangan terdapat banyak topeng yang menempel dalam jarak yang renggang pada setiap dinding, topeng yang membentuk wajah makhluk Black Shadow Terror.

Dindingnya berwarna putih tulang sedangkan seluruh topeng selalu berwarna hitam. Ia memperhatikan satu per satu topeng di dalam ruangan; wajah harimau dengan gading seperti gajah, beruang hitam berpola totol-totol seperti macan, gorila menyeramkan seperti makhluk purba; burung hantu yang memiliki rambut seperti kuda; wajah kurus seperti tinggal tulang yang pipih dan berambut putih, matanya besar dan terbuka; tikus dengan rambut hitam yang basah, ia membuka mulut dan lidahnya seperti ular; berwajah seperti katak dan ikan, tapi memiliki gigi yang memenuhi bibirnya. Semuanya berwajah seram, membuat ruangan menjadi ikut padam dan hawa menjadi panas.

Ia berakhir melihat satu kaca di tengah ruangan yang memanjang yang di dalamnya terdapat tulisan tangan di lembaran usang menjelaskan sejarah-sejarah dan cerita tentang Black Shadow Terror, setelah panjang lebar membacanya Ugrah menemukan satu gambar yang sangat familiran baginya.

Ia melihat dengan teliti bagaimana miripnya gambar tersebut dengan simbol yang ia temukan di hutan Flyanger. Salah satunya simbol seperti kepala hewan kadal yang juga ia temui di Flyanger.

"Krokoa," seorang pria datang dari belakang memperhatikan hal yang sama.

"Kau tahu ini?" Tanya Ugrah pada pengunjung pria, ia memakai simbol tombak dan bunga gurun berwarna putih pada seragam. Ia langsung tahu ia adalah warga Spears Bay.

"Kakek buyutku pernah menemukan tanda ini di pantai, aku mendengar juga pernah ditemukan di hutan utara, lalu tidak pernah terdengar lagi kemunculannya." Katanya pada hal yang sama. "Tanda ini sangat membuktikan keakuratan hal-hal mengenai mereka." Ia melirik seluruh topeng.

"Di sini dijelaskan simbol itu mempengaruhi simbol lain, simbol apa?" Tanya Ugrah.

"Well, kau lihat kelima simbol itu?" Ia menunjuk simbol lain yang berada pada sudut tersebar di dalam kaca. "Mereka itu sama-sama menyatukan kelengkapan, kesaturagaman. Seperti mantra rahasia, bila satu simbol bertemu simbol yang lain konon tanah retak dan membuka dunia baru." Katanya.

"Pernah ada bukti?" Kata Ugrah skeptis.

"Tidak, tapi seorang tetua bernama Abandi Jequah mengetahui lebih baik dibanding tetua manapun, ia pernah meneliti kaitan mereka semua." Ujarnya.

"Dan di mana pria yang menjadi sosok paling kuminati itu tinggal?" Ia merasa tujuannya sudah ditentukan.

"Dua blok dari museum," kata pria berambut uban itu. "Aku bisa mengantarmu." Tawarnya.

"Aku sangat menghargainya, terima kasih banyak tuan." Kata Ugrah senang.

Setelah beberapa menit menghabiskan waktu luang di museum ia keluar lagi bersama tuan Ija Edian. Segera meninggalkan museum setelah selesai pemanasan, sejauh itu ia hanya sedikit berasumsi yang tidak jelas. Ugrah berjalan kaki menuju dua blok dari museum.

"Jatum kota yang sangat panas," ujar Ugrah sembari berjalan di blok-blok dan melewati bangunan coklat karena debu.

"Ya, dan jarang sekali ada pohon," kata Ija. "Musim panas lebih lama dan menyengat tahun ini, membuat mereka sedikit mengalami kendala dengan perairan." Ia mendengarkan seksama sekaligus mengeksplorasi pemandangan.

"Mereka bertanam juga di sini?" Ugrah masih bingung kurang sepaham.

"Tanah di sini berbeda dengan tanah lainnya sehingga sulit ditumbuhi rumput maupun tanaman lainnya, hanya pohon khusus yang sesuai dengan tanah jenis ini, dan pohon-pohon ini saja yang meramaikan jalanan Jatum." Ija menunjuk pohon tinggi bergerigi di badannya. "Tanah tandus menghasilkan buah yang manis, buah manis menuai rasa penasaran para tokoh-tokoh lain di sepenjuru kerajaan, alangkah baiknya pohon itu menjadi nasib baik rakyat Jatum, mereka memetik buah sekitar 6 bulan sekali dan menjual ke luar kota. Jadi ini sudah menjadi paket penghasilan rakyat sini."

Mereka masih menelusuri jalanan, sebagai sama-sama pengunjung mereka berbagi cerita. "Aku sering melihat patung buaya putih sekitar blok ini, apa itu?"

Ija melirik satu patung pendek di sebelah bangunan batu. "Dan masih banyak di sudut kota lain. Kota dipenuhi banyak patung-patung bersimbol Jatum yaitu buaya putih, yang mana konon tinggal di sungai Mahakena menjaga kota dari bawah sungai."

"Seperti Summon? Menjaga Jatum?" Ugrah melirik aliran sungai yang mengalir di dalam kota.

"Sebagian berasumsi seperti sedemikian, sebagian percaya itu hanya legenda, dan sebagian bilang itu hanya buaya putih biasa yang memang sudah hidup di sana." Kata Ija, tahu banyak mengenai kota itu.

"Setidaknya kota ini memiliki ciri khas, buaya putih di sungai." Ugrah memikirkan dengan senang. "Pasti banyak yang tertarik dengan hal itu." Katanya.

Ija tertawa. "Ya. Simpang siur juga terdengar bahwa kepala buaya putih itu bisa terlihat hingga Onema (suatu desa yang juga dialiri sungai Mahakena). Jadi, apa itu sebenarnya?" Ija mengernyit sambil tertawa sama seperti Ugrah.

Ija berhenti di depan rumah biasa dan coklat tua. "Ini rumahnya."

"Terima kasih banyak," kata Ugrah bahagia. Dan Ija menunduk membalasnya, pergi menuju blok lain.

Rumah itu seperti tempat tinggal biasa, Ugrah mencoba mengetuk pintu. Selang beberapa lama seorang wanita tua membukanya. "Ya?" Tanyanya.

"Aku Ugrah dari Sonya, apakah ini tempat tinggal tuan Jequah?" Tanyanya sopan.

"Tentu, anda mau masuk dahulu? Ia ada di dalam." Tawar istrinya. Ugrah mengangguk pelan, mencapai rumah orang yang dikenal berurusan banyak dengan kehidupan dimensi lain tersebut.

Ia melihat pria rentan dan tua yang duduk di kursi rendah menghadap tumpukan buku di meja. "Ah, masuk!" Sapanya ketika suara kedatangan Ugrah mencapai telinganya.

"Terima kasih," kata Ugrah tersenyum kecil mendapatkan sambutan.

"Jadi bagaimana harimu nak?" ia berbasa-basi dahulu. "Sonya itu jauh dari sini." Tambahnya, melihat tumpukan buku selalu.

"Kudaku kelelahan, ini tempat untuk peristirahatan yang cukup baik dan bisa sekaligus mencari banyak pengetahuan." Kata Ugrah melihat sekitar rumah perlahan. Banyak kertas dan buku yang berhamburan, lemarinya penuh dengan buku dan berbagai perabotan lain.

"Untuk siapa informasi itu? Bukan maksudku untuk menuduh, tapi sekarang banyak pembohong yang mengatasnamakan Raja mereka yang asli namun nyatanya mereka bekerja untuk Darkpross." Ujarnya murung.

"Ini murni untukku, bukan orang lain," katanya. "Aku ingin mengetahui mengenai simbol-simbol Black Shadow Terror yang juga sebelumnya aku baca di museum pusat." Ia melihat pria itu secara tidak langsung peringai yang santai dan fokus pada hal lain.

"Ah, apakah kau membaca bukuku?" Selidiknya yang merupakan seorang penulis.

"Um, tidak," ujarnya merasa tak enak, rasanya disalahsangkakan olehnya sebagai penggemar buku-buku karangannya.

"Oh, baiklah, ini adalah orang yang pertama kali beringintahu tentang mereka," asumsinya. "Erioda, Comos, Krokoa, Zechana, dan Qwan, masing-masing dilambangkan dengan simbol yang berbeda dan lebih jarang terlihat bentuknya. Ketika aku masih muda, aku mengadakan penelitian tentang dimensi mereka yang mana semua orang mengira hanya legenda dan dongeng belaka. Aku memulainya di hutan Manrest, selatan, daerah itu mendadak ditinggal oleh pemilik masing-masing, dan di sana sangat sepi. Aku mulai curiga, kabar burung mengatakan rasa takut yang tercipta mengalahkan apapun yang terkuat."

"Aku ke sana seorang diri dan menemukan di sana sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang dapat aku mintai keterangan lebih lanjut apa motif pindahnya mereka dari sana. Jawaban sama yang sering aku dapat ialah ketidaknyamanan, dan aku yakin maksudnya ketakutan akan sesuatu yang tak terjelaskan."

"Black Shadow Terror?" Tanya Ugrah.

"Aku kira seperti itu, singkatnya dalam 3 minggu aku mendapatkan sebuah simbol yang tidak pernah aku lihat sebelumnya di hutan dan aku tahu apa itu. Aku pikir itu hanya sebuah simbol dari seorang fanatik penyebar rumor, tapi simbol itu tercipta dengan nyata tanpa sentuhan tangan manusia." Jelasnya.

"Bagaimana kau mengenali simbol ini bukanlah buatan manusia?" Sanggah Ugrah.

"Manusia tidak punya ilmu untuk membentuk bayangan," katanya pelan. "Tapi simbol ini, bila kau beri cahaya dari batu Panema, maka akan musnah." Jelasnya dengan raut tegang.

"Batu Panema?" Kening Ugrah mengerut. "Aku mendengar cerita di balik sejarah batu tersebut, ketika kau menggenggamnya di kegelapan cahaya akan muncul dan menerangi telapak tanganmu, kau bahkan bisa melihat jelas urat-urat dan tulang di dalam telapak tanganmu karena sinar yang hangat dari batu Panema." Kata Ugrah antusiasmenya dapat. "Tapi batu sudah sangat langka." Diakhiri dengan nada ironi.

"Benar!" Ab senang. "Ketika kau memasukannya ke dalam perut ikan maka cahayanya akan menerangi lautan, cahayanya berenang bersama ikan dan memperpanjang umur ikan hingga ratusan tahun. Kau pernah mendengar ikan Braiwin yang besarnya sama seperti kapal? Mereka suka memakan batu Panema," ceritanya.

"Dan apa yang dilakukan batu Panema dengan simbol dimensi itu?" Ugrah kembali pada topik utama.

"Kau menaruh batunya di atas simbol, cahaya akan muncul dan simbol tercipta dari bayangan hitam akan terserap ke batunya, memecah batu bersama simbol di dalamnya, menyerap semua dan meninggalkan kekosongan." Kata Ab dengan nadanya yang berkimestri. "Setelah aku menemukan simbol di hutan tersebut, aku menemukan simbol lainnya tak jauh dari hutan tersebut, 2 mil jauhnya dengan membentuk sebuah garis lurus bila kau kaitkan simbol pertama dengan simbol kedua."

"Garis lurus?" Ugrah kembali bingung tak percaya akan hal-hal tidak wajar tersebut. "Seperti bintang U'crix?" Alis matanya sejajar.

"Seperti sebuah bidang, sebuah persegi lima." Wajah Ab menjadi tegang. "Aku terus meneliti apa cerita dibalik ini, butuh mukjizat untuk mengetahui bila simbol itu suatu dasar untuk menciptakan sebuah gerbang. Masing-masing simbol yang tersebar ada 5 buah, mereka membentuk persegi lima ketika menarik garis lurus dari satu simbol ke simbol lain. Membentuk satu ruang tengah di antara sudut itu, dan itulah gerbangnya." Suaranya samar-samar misterius.

"Sebuah gerbang?" Ugrah mendengus geli. "Gerbang dimensi ke alam Black Shadow Terror?" Nadanya meremahkan.

"Sekali kau menelitinya kau akan percaya, dan kau tak mempercayai orang yang mendalami pengetahuan tentang pelajaran ini?" Tanyanya mengintimidasi.

"Aku percaya," ia sedikit berdusta untuk menyenangkan. "Tapi apakah itu fakta?"

"Bagaimana menurutmu rumor yang bekembang melihat penampakan satu The Beast di Earthniss, bagaimana dia ke sini bila tanpa gerbang?" Urainya berbisik. "Semua sulit mempercayainya tapi aku optimis 100% karena aku pernah melihat mereka sebelum mereka menyiksa mataku dan menjadi buta." Ia menekan setiap kalimatnya.

Ugrah terperangah mengetahui Ab buta, ia sama sekali tidak menyangka mata biasa itu ternyata sudah tak dapat digunakan. "Apa yang kau lihat?" Ia mulai bergidik.

"Salah satu yang ada di museum, yang paling membuatmu terpana pertama kali, yang pertama kali keluar dari dimensinya." Ia memberi waktu Ugrah mengisi jawaban yang sudah pasti dijawab semua orang sama.

"Beruang hitam berpola totol-totol seperti macan, Kuminakh'art." Jawab Ugrah, ia menarik nafasnya. "Aku melihat simbolnya." Akunya.

Ab menegakkan tubuh, wajahnya datar begitu kental akan keterpanaan. "Kau, melihatnya?" Ia tak percaya, mengulang kalimat Ugrah. "Di mana?"

"Hutan Flyanger, aku sedang mencari Lord Xavier Handstar di mana ia tewas dalam pembantaian Lonk di hutan Flyanger, tapi aku tak menemukan tubuhnya juga tanda-tanda lainnya, hanya ada simbol itu tersisa dan aku tidak tahu apa yang baru saja otakku katakan padaku pada saat ini tapi-"

"Berapa banyak simbol yang kau lihat?" Ab mengerut, seperti baru mendapatkan info baru selama ia duduk di dalam.

"Lima," kata Ugrah.

"Lima?!" Ada nada nanar dalam ketenangan pada Ab. "Apakah itu membentuk sudut segilima bila kau tarik garis lurus pada tiap sim-"

"Ya," putus Ugrah cepat. "Luas bidang persegi lima itu tidak lebih besar dari luas telapak tangan seorang pria, artinya ruang tengah tersebut masih kecil layaknya hanya dapat dimasuki oleh seekor tikus tanah." Kata Ugrah, memperhatikan raut pucat yang Ab buat.

"Dia ditelan ke dunianya." Putus Ab, terkejut di dalam ketenangan. "Mungkin sangat mustahil." Tambahnya.

"Gerbang itu terbuka, mungkinkah kita bisa mencarinya ke sana?" Ugrah duduk dengan tegap, menundukkan punggungnya.

"Entah bagaimana mereka bisa keluar masuk melewati gerbang, dan begitupula yang kemungkinan terjadi pada anak itu masuk ke gerbang dimensi lain," ia berfikir dahulu. "Tidak ada yang mencapai batas melewati itu, jawabannya tidak terbatas, diluar batas kemampuanku menerka." Katanya, meremas jari-jarinya yang dingin.

"Apa yang kamu tahu tentang gerbangnya?" Ugrah menunggunya mengingat.

"Gerbang terakhir terbuka ketika The Beast terakhir datang." Ujarnya. "Kita tak tahu apa dan di mana mereka terakhir ke sini, tapi bila ada kemungkinan mungkin ada jawaban yang datang. Bila memang dia seperti yang kita tebak, maka banyak hal yang bisa ditarik kesimpulan. Dan bila semua salah maka anak itu bisa di tempat yang tak pernah kau ketahui." Kepalanya menghadap Ugrah, tapi matanya mulai kosong.

"Aku percaya dia berhasil, bagaimana bentuk dan caranya." Kata Ugrah tabah dan berdiri. "Terima kasih atas waktumu, mungkin aku tak akan mendapatkan jawaban bila tidak ke sini." Ia menunduk hormat.

"Tunggu," panggil tetua itu, menyisir suatu buku di samping sofanya, meraba tekstur buku. "Untuk pengetahuan lebih jauh pada dimensi itu dan Black Shadow Terror, kau mungkin mau membacanya di perjalanan." Ia menyerahkan buku sebagi bingkisan tamu berwarna hitam tebal dengan tulisan berwarna putih, seperti tema mengenai isi, buku yang berjudul Black in Shadow World.

"Aku menghargainya, terima kasih banyak," ia mengambilnya dan pergi setelah mendapatkan jawaban yang masih kurang dipahami.

"Nak," panggil Ab ketika Ugrah masih mencapai pintu. "Jika bayangan mulai menduduki dunia, kita butuh banyak cahaya atau kita butuh pembunuh cahaya." Katanya pelan dan berat. Sepatah kata seolah kalimat yang sebelumnya tak sanggup ia utarakan.

Ugrah masih menatap erat-erat wajah tetua dalam bidang ahlinya itu, merengut dengan nafas habis yang entah pergi bersama apa. Bagaikan pria tua itu benar-benar membeberkan suatu tanda dan ramalan dikemudian hari tentang makhluk luar yang diluar batas kemampuan dan imajinasi, kurang mendapatkan minat dan perhatian semua orang. Ugrah berpaling menutup pintu, menggenggam buku secara erat. Mungkin ia akan mulai belajar mengenai dunia lain dan makhluk kegelapan tersebut, ia tak pernah memikirkan untuk mempercayai lebih dalam hingga akar pada hal tersebut, tapi Xavier menuntunnya pada perjalanan baru.

Hutan Leftrest

Hutan menguning ketika sore menjelang, daun berguguran terkena angin. Dalam perjalanan berhari-hari Raydon berhasil bergerak ke timur dan sampai di hutan Leftrest.

Sebagai pria memiliki kewajiban dan tugas yang bertebaran di sepenjuru Earthniss, Raydon tetap memastikan semua hal yang ia laksanakan berdasarkan perintah sang ayah benar. Memikirkan semua adik-adiknya yang ia sembunyikan identitas dari seluruh dunia, ia dan ayahnya membuat kesepakatan itu bersama. Tidak ada yang tahu, hanya mereka berdua.

Kudanya yang tenang mendadak menjadi gelisah, bergerak tidak seimbang dan mendengus keras. "What's wrong girl?" Raydon membelai kepala kuda. Kudanya berjalan terbata-bata ketika Raydon mengencangkan tali saat mendengarkan suara-suara dari arah jalan utama.

Lalu ia menghentikan kuda ketika gerombolan pria liar datang dari balik hutan dan akar menggantung. Mereka yang melihat Raydon tersenyum licik, tanpa berkata-kata dan hanya tertawa pria berjumlah 10 orang itu mendatangi Raydon di atas kudanya, memegangi pedang, busur dan pisau mereka sebagai ajang memamerkan keangkuhan dan intimidasi.

"Siapa kau!?" Tanya satu pria nampaknya yang menjadi pemimpin kelompok.

"Aku Sebastian Anker." Kata Raydon tenang, memegangi kudanya yang tak ingin diambil kelompok tersebut.

"Siapa yang kau layani?" Matanya tajam dan sipit, rambutnya pirang lurus yang lepeh.

Raydon harus berhati-hati dan cepat menjawabnya, bila ia menjawab Raja yang salah dan ternyata kelompok yang menghampirinya ialah pengikut Darkpross habis sudah dia. Jika dia menjawab Darkpross dan kelompok tersebut anti musuh maka ia juga habis. "Grezhol." Kata Raydon acak.

"Turun dari kudamu!" Titah pria lain bernama Lien. Dia punya rambut hitam, jenggot dan kumisnya tebal menutupi setengah wajah. Wajahnya kotak dan tubuhnya tidak kalah dengan Raydon.

Raydon turun dari kuda dengan tenang tanpa mau dilihat sebagai orang yang mengancam. "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya tak terima saat beberapa pria dari kelompok itu langsung memasukkan tangan ke dalam tas bawaannya di kuda.

Lien menatapnya secara konyol. "Apa yang dilakukan orang yang tak mempercayai omongan pria sepertimu." Katanya mendengus muak.

Sisa pria lainnya masih menatap datar Raydon menyelidik. Tidak mau terlihat jagoan Raydon hanya diam bersabar dan membiarkan barangnya diperiksa, setidaknya mereka tidak menjarahnya.

"Kau mau ke timur? Kau bukan seperti pekerja dengan bawaan seperti ini," kata pria lain bertubuh kurus membawa busur.

"Aku hanya anak tukang petani biasa, aku ingin mendatangi keluargaku." Kata Raydon hati-hati. "Kakekku sakit." Ia berusaha bersabar selama mungkin ketika kelompok itu seenaknya selalu memerika bawaannya.

Pria itu mendengus. "Apa dia sakit atau kecelakaan?"

"Itulah mengapa aku ke sana," kata Raydon. "Jadi aku tahu kabar dia," katanya mulai tegang.

"Tidak dengan mudah," kata Lien. "Sejak kapan anak petani mempunyai seragam perang dan kuda?" Matanya menyipit, memancing keraguan teman-teman lainnya. Keheningam sempat membuat semua diam beberapa saat.

"Aku menabung demi hari ini agar bisa ke sana, kuda ini aku dapat di jalan." Jelas Raydon mulai merasa risih, matanya mulai waspada kepada satu per satu pria yang menatapnya bengis.

"Dan pedang ini!?" Seorang pria di belakang Raydon mencabut pedangnya, membuat suara desingan keras pada sarung pedang. "Hahahaha," ia tertawa cengkok. "Wow! Lihat ini! Pedang ungu!" Ia memekik senang.

Teman-temannya sebagian ikut tersenyum dan sebagaian merasa tidak mendapatkan ketertarikan pada pedang itu. "Apa kau seorang pelukis juga tuan?" Ejek Lien yang wajahnya lebih lucu dibandingkan leluconnya sendiri. "Kau tak punya kanvas dan menggunakan pedang peri ini?!" Ujarnya, ia memainkan pedang membuatnya menari di tangan handalnya lalu menyeret ujung pedang ke leher Raydon. "Jangan fikir aku bodoh untuk tidak menyadari pedang jenis apa ini, tempaan peri, besi Ganusion!" Ia memajukan wajahnya menghadap Raydon.

"Aku membunuh satu kaum peri dalam perjalanan ke sini," ia membuat dirinya nampak menyesal seperti baru saja jujur. "Kuda, pedang adalah milik dia, aku tidak tahu apapun tentang pedang atau jenis kudanya." Raydon mulai tidak sabar, batu A'dinnya ia sembunyikan dengan baik yang bahkan anjing pengendus pun tidak mampu mencarinya.

Pria itu tertawa lagi. "Tidak ada kaum suci itu yang pernah jalan sendirian, mereka selalu jalan bersamaan seperti kawanan anjing liar mencari bangkai." Cemoohnya.

"Tidak untuk pria satu itu," kata Raydon, namun ia kehabisan alasan lainnya.

"Ah sudahlah!" Satu pria berambut ikal menghentikan. "Apa kau dapat poin dari ini semua dengan menanyainya hal-hal yang bahkan tidak kamu kuasai!" Ia geram pada Lien dan pria lain, suaranya berat dan kasar, muncul seperti seorang pemimpin kelompok yang asli.

"Bawa dia," katanya. "Sebagai bukti bagaimana loyalnya dia pada Darkpross." Ungkapnya malas, melanjutkan lagi perjalanan ke utara.

"Kau bekerja bersama kita sekarang nak, kakekmu kurasa bisa melihatmu lagi disurga nanti." Kata Lien menyinggung perasaan Raydon dan tersenyum lebar. "Jalan! Ada tugas menunggu di Umna." Pekik Lien yang paling membuat Raydon geram. Ia hanya diam, sebuah dorongan keras membuatnya berbelok ke utara mengikuti kelompok tersebut, juga pedang ungu yang menjadi satu-satunya penolong kini berada di sarung pedang Lien dan kudanya bersama pria lainnya.

Bila mereka tahu pedang ungu adalah satu-satunya pedang yang ditempa pendahulu Radella dari zaman Séma, ia bisa mati di antara 9 orang tersebut yang mana tidak mampu ia kalahkan walau dengan bantuan batu A'dinnya sekalipun. Terpaksa Raydon memundurkan langkahnya beberapa mil lagi dari timur setelah dihadang kelompok tersebut, pekerjaan yang datang nampaknya akan berat bagi tahanan seperti Raydon.

Jika ia bodoh maka ia akan kabur dan melawan semua orang itu tapi tidak untuk Raydon yang penuh kesabaran dan mengisi kepalanya dengan teknik. Setelah menjadi tahanan mungkin ia akan berubah menjadi buronan, tapi tidak kali itu. Ia mengikuti kelompok pengikut Darkpross menuju Umna, tidak tahu Raydon adalah mata-mata yang memakan harta kelompok tersebut. Harapannya hanya satu, tidak ada satupun orang yang ia kenali di tempat itu nanti, atau baiknya tidak ada nanti orang yang mengenalinya dengan jelas siapa dia dan sebagai apa reputasinya di Earthniss.

*****

-Whats up fam! Udah kaya series yang di HBO HBO gitu kan? Updatenya pun udah tiap minggu haha. Apa pendapat kalian tentang Black Shadow Terror? Let me know :)
-Terima kasih sudah meluangkan waktunya membaca part ini, jangan lupa vote, komen, dan kritik saran agar IoS berkembang. I love you my beloved reader!! ❤❤❤

Keywords :

1. Qurtah : Kain penutup kepala dari Arab atau biasa disebut sorban.

2. Spears Bay : Kota di timur sebagai pelabuhan utama yang digunakan untuk menyeberangi ke benua lain, Earthsia.

3. Besi Ganusion : Besi tertua dan terkuat pertama di dunia dari kaum peri sejak zaman Séma. Yang kedua adalah besi Monsteam, besi yang dipakai Dubhan untuk membangun tembok mereka.

4. Batu Panema : Batu dari benua Earthsia yang memiliki cahaya gaib, terangnya dapat menembus semua objek.

6/12/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro