Part 39 - Edge Four
Kereta terus bergerak semakin ke timur, menekan dada untuk bergegas meninggalkan kawasan Bleedator. Para orang Bleedator melaju bersama kuda di belakang hutan, gemuruh ranting yang tertabrak memeriahkan hutan gelap. Matthew selalu menoleh ke belakang memeriksa apakah keberadaan kereta masih terendus. Nafasnya berat dan laju, tangannya masih bersisa darah kering Mendilo, bergetar, lalu ia memeriksa Kiana yang pucat.
"Siapa di Edge Four?" Tanyanya.
Kiana mengangkat kepalanya yang sakit. "Errol pernah mengirim surat pada kita di Bleedator, ada peta yang disertakan beserta pesan-pesan wilayah mana yang barus dihindari dan wilayan mana yang baik. Seseorang mungkin dapat menolong kita di Edge Four, seorang mantan dewan Varunnette, hanya itu tempatnya." Jelasnya pelan, lalu matanya melirik supir di depan yang tentu mendengar pembicaraan.
"Ssshh." Matthew menghela nafas, mencoba bersandar di dalam kereta bergoyang.
Pria pengantar mereka membelokan kereta ke kanan, masuk ke area bebatuan yang mulai menanjak menuju sisi tinggi dan bagian itu penuh dengan batu dan tanah basah. Matthew melirik keluar jendela menunduk melihat kereta sedang membuat jejak jelas di tanah. "Jejaknya terlalu jelas, mereka akan tahu kita ke mari." Keluhnya cemas.
Kiana ikut mengeluarkan kepala dari jendela melihat hal yang sama, mulanya semua di sekitar hanya tanah namun semakin jauh ke timur dan semakin menanjak sisi kanan dan kirinya berupa bukit tinggi menjulang berisi pasir dan batu. Dia mengulurkan tangan ke arah tebing di ujung atas, ada banyak pohon yang menancap di tanah. Dengan kekuatannya ia mengendalikan seluruh materi menarik seluruh tanah dan batu turun, menciptakan longsor. Tanah, batu, dan pohon turun ke jalan di belakang, bergerumuh dan menumpuk tinggi menutup rute satu arah. "Tidak ada yang tahu kita." Ia bersandar.
"Di sana," gumam Kiana, sedikit demi sedikit samar-samar rupa sebuah rumah sederhana nampak di ujung tebing di dataran tinggi. Walau malam rumah itu ketahuan berkat sinar api di sana.
"Jalannya berakhir di sini. Tak bisa dibawa ke atas." Lapor pria tua yang mengantarkan mereka, menghentikan kereta kuda.
Matthew membuka pintunya cepat diekori Kiana. "Kita berteleportasi." Sarannya. Ia berjalan ke sebelah pria tua yang sudah menjalankan tugas, ia mencabut belati di ikat pinggang, memegang kepalanya menengadahkan ke atas dan menggorok lehernya dengan cepat dan dalam.
"Matt!" Kiana terkejut.
"U-a-ugh, Aa-" supirnya mengeluarkan suara sekarat, menggelepar, jatuh tertutupi darah.
"Dia akan memberitahu Mendilo," kata Matthew pada Kiana. "Membunuh dia ialah satu-satunya harapanku padanya dalam menutup mulut." Ia tak menyesal.
"Come! Mereka bisa mencium bau darah dari angin ini." Katanya. Ia berpindah tempat dan sampai di atas berlari menuju rumah tersebut untuk meminta pertolongan, dan tentu saja berharap rumah itu masih ditinggali.
Di atas sana angin laut timur sangat tercium, menerpa seluruh tubuh dan membuat beku. Ada api di dalam rumah, obor menyala di sudut-sudut rumah yang artinya ada orang dirumah. Terdengar suara hewan ternak ketika mereka berlari, kuda memekik, domba mengembik.
Matthew dan Kiana menuju pintu layaknya tamu datang dengan damai, mereka mengetuk pintu. Matthew menatap Kiana untuk memastikan ia tidak akan bunuh diri setelah apa yang menimpanya, dia sangat kacau setelah bagaimana dia dilecehkan oleh pria yang berubah status menjadi musuh.
"Tolong," kata Matthew terburu-buru.
Suara tarikan anak panah di tali busur mendecit dari arah sebelah rumah seperti suara tikus membuat Matthew menoleh cepat dan melindungi Kiana. Seorang pria datang dari gelap, mengarahkan anak panah ke Matthew. "Berhenti." Ancamnya.
"Tolong, temanku bekerja Varunnette dia membicarakan ada sebuah rumah di sini, seseorang yang juga bekerja di Varunnette yang bisa menjadi pilihan terbaik." Urai Kiana bergetar di nadanya, mungkin pria yang dimaksud adalah pemuda di balik gelepan tersebut.
"Pilihan terbaik untuk apa?" Pria tinggi dan berambut gelap itu masih menahan anak panahnya. "Orang asing adalah Raja dari kaum pendusta." Urainya.
"Untuk dimintai pertolongan." Kata Kiana yang mencoba membujuk pria yang sangat susah mempercayai.
Pria berumur 40-an tahun yang tinggal di atas sana masih belum yakin, ia melirik tangan Matthew yang nampak bercak darah. "Dengan siapa kau berurusan? Membunuh ialah perbuatan hukum terbesar, jika temanmu memang bekerja Varunnette ia tentu akan memberikan saran bijak sesuai yang berlaku pada hukum." Ia mempertanyakan teman yang bekerja di Varunnette, tidak mempercayai Matthew dan Kiana.
"Aku membunuh orang yang akan mencoba membunuh kita." Urai Matthew menjelaskan, matanya tajam.
"Para penduduk Bleedator mencoba membunuh kita, kita lari dari sana ke sini. Hanya ini satu-satunya tempat yang bisa kami capai, pergi ke tempat yang lain sangat tidak mungkin." Pinta Kiana.
"Bagaimana kalian sampai di atas sini?" Selidiknya. Hanya dialah yang tahu jalan rahasia menuju ke dataran tinggi tempat ia tinggal itu.
"Teleportasi." Sahut Matthew.
"Teleportasi sudah dilarang pemakaiannya di Earthniss demi keselamatan." Sanggah pria itu cerdik.
"Tidak untukku." Gumam Matthew.
Pria itu langsung faham, ia melirik leher Kiana dengan batu Sapphire yang bergelantung dan batu cincin Matthew yang jelas-jelas dikenali sebagai pemilik batu A'din. Pria itu menurunkan anak panah pelan, berjalan ke pintu rumahnya membuka kuncian, menyediakan kesempatan untuk Matthew dan Kiana masuk. Mereka masuk dengan rasa lega diterimanya, ruangan yang lebih hangat ketimbang diluar.
Nafas lega menghembus di kedua insan, mereka mengikuti pria itu masuk ke ruangannya yang tersusun rapi terhadap perabotannya. Ia seperti kolektor, banyak jenis-jenis batu berbentuk yang duduk di atas meja sebagai penghias ruangan. Setiba di dalam ada ruang tamu yang sederhana, banyak meja, kursi dan tungku api, di sebelahnya terdapat ruang makan dengan jendela yang menghadap pemandangan hutan ke barat. Pria itu menunjuk sofa sebagai perizinan, lalu ia pergi meninggalkan mereka di sana.
Matthew mendengarkan patahan kayu di tungku api yang membesar, membagi panas dan cahaya pada mereka, itu belum memasuki subuh sama sekali.
Kiana menunduk, meratapi kakinya yang dingin dan memikirkan betapa kikuk dirinya di sana. Matthew menyentuh rambutnya menenangkan, tidak bisa berkata lebih banyak. Hidup sangat hancur.
Beberapa jam mereka berdiam diri bawah sana suara langkah kaki turun dari arah tangga, mata Matthew yang memejam segera terbuka tak ingin diketahui sedang mengistirahatkan matanya yang lelah. Ia duduk tegap, lalu melihat dua pria turun dari tangga. Satu pria di depan sudah sangat tua, ia turun dengan menghapit tangan pria yang mengantarnya.
"Hello Mr. Tibalt." Sapa pria tua bergetar, rambutnya putih; wajahnya oval dan kerutannya jatuh, tapi ia masih kuat tersenyum.
"Anda mengetahui siapa saya?" Tanya Matthew nanar lebih banyak heran, lalu menengok Kiana yang meringkuk di sofa. "Maafkan dia, dia tertidur, dia begitu kelelahan-"
"Jangan bangunkan dia," sela pria itu masih dalam perjalanan ke sofa. "Dia berhak melupakan segalanya."
Pria di belakangnya menaruhnya dengan hati-hati di sofa dekat Matthew. "Kau mungkin mau membuatkanku minuman hangat agar menemani malamku dengan pembagi cerita." Pintanya pada pria di belakang.
"Baiklah." Pria tadi mundur dan menuju dapur membuatkan teh panas yang lebih baik ketimbang anggur yang menghangatkan dengan efek tidak bagus.
"Itu anakku." Katanya tersenyum datar. "Kau akan tahu dia sangat suka tamu, tidak dalam pertama kali melihatnya seperti bertemu dengan pemilik kandang domba pengamuk yang suka membawa obor." Kekehnya.
"Maafkan, aku tidak seharusnya membuatmu terjaga di malam ini, kau tidak perlu untuk turun untuk menemuiku langsung, harusnya aku yang tahu diri." Ujar Matthew merasa tidak enak.
"Oh tidak ada hari semenarik ini yang pantas dilewatkan. Tinggal di sini sangat sulit mendapatkan tamu, tamuku hanya yang bisa terbang dan tidak mampu berbicara." Ceritanya, ia sanggup berbicara dengan jelas dengan nada sangat pelan. "Tamu yang bisa diajak bercerita adalah favoritku, itulah aku turun. Tidak perlu cerita yang berbasa-basi di sini, cerita paling menarik bisa dimulai sejak besok di meja makan."
"A-aku tak berniat merepotkan kalian, aku bersungguh-sungguh." Kata Matthew lagi masih merasa sungkan.
"Hmm, baiklah. Aku juga tidak memaksa kalian untuk tinggal." Bibir tipisnya tersenyum datar.
"Ayahku akan mengikat kalian di sini, dia sangat putus asa mencari tamu." Sahut seorang pria datang membawa 3 cangkir teh beruap. "Maafkan sikapku memperlakukan kalian tadi, aku Erik ini ayahku Norman Heigh." Ia menjabat tangan Matthew.
"Aku mengerti." Matthew mengangguk, menunggu Erik duduk di samping ayahnya. "Ak-aku terkejut kau mengetahuiku dengan cepat, apakah ciri-ciri seorang Tibalt sangat kental padaku?" Tebaknya.
"Tentu! Leher panjang, rambut gelap, mata biru. Tapi tentu saja aku sangat mengenali rupa batu A'din, terutama pahatan biru galaxy, batu paling terindah, bagiku." Ujar Norman. "Dan dia Isadora," nadanya terdengar pilu di akhir. "Hanya kalian berdua yang disisakan bukan begitu? Ketika lady Isadora lahir ayahnya datang ke Varunnette, saat itu aku akan pensiun, ia merencakan keselamatannya langsung dan proteksi besar. Kami tahu Torin Maxima dalam bahaya besar mengincar kala itu, politik dan pribadi berbaris mengarak masalah. Hidup dengan cara seperti itu pasti punya konsekuensi dan kebencian, jangan tersinggung." Jelasnya.
"Menikahi kaum kami sendiri itu maksudmu? Banyak yang menganggap adat Torin ini 'menjijikkan', mungkin itu yang dirasakan pimpinan pengkhianat itu." Kata Matthew pada Norman.
"Bagiku cara seperti itu tidaklah buruk, selagi dunia semakin modern mempertahankan adat lama dan tidak menghapuskan cara traditional merupakan pengalaman yang wajib dilakukan setiap dunia." Saran Erik. "Kau melihatnya dad, suku-suku dan kaum etnik punah." Ia menatap ayahnya sedih.
"Sangat banyak, perang besar merusak lingkungan dan membunuh prajurit di kota-kota besar, dan kota besar membutuhkan sumber daya manusia untuk memulai pembangunan ulang. Mereka yang berada di pedalaman mencoba peruntungan di kota besar, menjadi pembangun baru, dan menjadi bagian dunianya, lalu mereka lupa pulang karena kemakmuran bagi mereka ada di kota besar." Jelas Norman mengingat pengalaman bekerja 21 tahunnya di Varunnette.
"Kiana menjadi tanggung jawabku selama ia hidup, aku berjanji padanya. Itukan yang harus kulalukan?" Ia menatap Erik dan Norman berseling, dia merasa sangat bingung hingga terselip pertanyaan itu pada Erik dan Norman. Mereka berdua memperhatikan raut kebingungan Matthew dan jelas-jelas ia terlihat depresi.
"Aku bukan pemberi saran yang baik," gumam Erik mencoba menarik pengertian Matthew. "Dad?" Ia menunjuk ayahnya.
"Aku tak tahu," pria tua itu menjadi ikut bimbang. "Hak seseorang bukan bergantung pada pendapat orang lain, tapi hak seseorang bergantung pada kebaikan yang nyata, tidak menyimpang, satu pada apa yang sudah ditetapkan. Apakah kau tahu apa maksud kebaikan yang nyata?" Ia menatap Matthew simpati. Matthew pun menggeleng, mata biru gelapnya mulai berkaca-kaca.
"Kebaikan yang nyata adalah apa yang kedua orang tuamu inginkan." Ujarnya. Mendengar perkataan itu Erik melirik sang ayah terpana. Matthew mengingat ayahnya, selalu ayahnya, 'berjanji' adalah kata sederhana dengan makna yang sangat berat baginya.
"Orang tuaku berjanji juga, untuk melindungi negaraku dan rakyatku. Dia mendapatkan kedamaian dari sana. Tapi janji sangat kurang bagiku." Urai Matthew.
"Sudahkah kau bersumpah?"
Matthew menatap Norman, keningnya berlipat berfikir.
"Berjanji dan bersumpah adalah hal yang berbeda. Seperti hukum, berjanji untuk tidak melanggarnya bukan berarti kau tidak bersalah, dan belum tentu kau dihukum. Tapi sumpah, ketika kau bersumpah dengan tebusan hidup, kau selamanya terikat hukum."
"Sumpah itu," gumam Matthew mengingat.
"Kau mengetahuinya. Sumpah Ten Sea Blood. Sejak 10 orang pertama penemu Torin Maxima, sumpah yang kekal bagi setiap bangsa Torin."
"Aku sudah berjanji padanya, tapi aku masih tidak bisa menjaganya." Ia mengingat peristiwa di Bleedator. "Sumpahku tidak bernilai."
"Bukan berarti gagal, bisa menjadi jangkar baru, bisa menjadi pondasi baru, memotivasimu untuk menekan tujuan itu. Tapi, siapa aku yang berhak memutuskan." Kata Erik. "Ayah, biarkan dia beristirahat. Aku yakin kau ingin melihat batunya besok, fajar akan segera datang." Erik tersenyum geli, mengangkat ayahnya dan membawanya ke tangga lagi. "Aku akan mempersiapkan ruangan untuk kalian berdua." Katanya di tangga.
Ketika pagi menjelang Matthew dan Kiana memiliki masing-masing kamar, banyak ruang kosong yang tak ditempati, ruang mereka berseberangan dan sangat hangat ketika pagi menyinari langsung rumah bertingkat 3 itu. Kiana beranjak dengan kepala yang menyakitkan seperti biasa setelah ale berhenti bekerja di tubuh. Ia membuka pintu, hangat dan kesegaran begitu menenangkan, matahari datang dari ufuk timur di mana rumah mereka berada di ketinggian dan berada dekat sekali dengan laut.
Kiana masih berdiri menenangkan jiwa, melihat ke kanan di mana matahari datang dari sana, di luar ia bisa melihat Matthew dan Erik berbicang dengan santai, berjemur di bawah terik matahari yang mulai meninggi. Bunyi gantungan lonceng di dalam ruangan meriah bersentuh satu sama lain.
Rasanya ada yang kurang, ia pergi ke kiri menuju ruang tamu dan mendapati Norman mencelupkan roti ke minuman favoritnya. "Ah, Your Majesty." Sapanya dengan kepala menunduk.
"Tolong, panggil aku Kiana atau apapun." Katanya lembut.
"Sangat baik sekali, kau mungkin mau secangkir teh dan roti buatan Erik. Ini gandum pertama yang ia tanam, rasanya seperti rumput, tapi ini tetap gandum." Ceritanya sambil memperhatikan roti.
"Terima kasih," ia menerima tawaran. Duduk bersama Norman menghadap arah laut, matahari yang sayang dilewatkan. "Kau mantan dewan Varunnette?" Ujarnya mengisi keheningan.
"Ya, 13 tahun yang lalu." Norman mengunyah pelan.
"Mengapa kau berhenti?" Kiana bertanya-tanya.
"Aku lelah, tua dan aku butuh kerenggangan sebentar. Tidak ada istirahat bekerja di sana, satu-satunya kerenggangan hanya akan didapat ketika keluar dari tempat itu." Katanya.
"Aku fikir semua orang suka bekerja di sana." Pikirnya.
"Ya semua orang bercerita hal sedemikian, betapa gemilaunya bekerja di Varunnette, gaji besar dan kebebasan yang besar. Wins, emas, dan batu berdatangan setiap detik. Tapi mereka tak pernah merasakannya, bukan keenjoyan dan kesenangan bekerja di sana. Tanggung jawab, melayani, dan dedikasi adalah hidupnya." Jelasnya.
"Temanku, Errol dari Kwezanmar, ia sangat cerdas dan seorang Transformers, ia bekerja bersama Varunnette sekarang, dan ia jarang kembali, atau bahkan sulit kembali." Nadanya pelan selagi menunduk mengingat lama hari ia sudah berpisah dengannya.
"Seperti penjara di dalam surga, indah tapi tetap membutuhkan usaha untuk keluar. Varunnette suka orang-orang cedas, temanmu akan berada di sana untuk waktu yang lama. Jangan menjadi cerdas, dan jika kau terlanjur cerdas jangan mendekati Varunnette," ia menyipitkan mata bersenda gurau, ia tertawa diikuti Kiana.
"Sangat indah di sini, bagaimana kau bisa berada di sini?" Kiana melihat arah matahari terbit.
"Menabung. Membutuhkan lebih dari 10 tahun agar mendapatkan klaim tanah ini dari Varunnette dan Krex (Edge Four masih masuk kerajaan Krex) . Aku sangat mengidamkan memiliki tempat tinggal di wilayah timur yang natural dan segar jauh dari utara maupun selatan. Aku punya 7 anak, dan aku punya lusinan cucu, di mana mereka akan tinggal untuk merawatku atau mengunjungiku bila aku tak memiliki tempat? Setidaknya aku mencari tempat yang tidak akan pernah disesali seumur hidup, dan aku memilih Edge Four." Jelasnya.
"Di mana anak-anakmu yang lain? Hanya ada Erik di sini," ia menarik cangkir menuangkan teh hangat, menyeduhnya dengan nyaman, rasa kuman yang berada di dada terbakar.
"Sebagian tinggal di selatan, 2 lainnya berada di Volano Hill, dan Erik merawatku tahun ini." Mata biru dengan iris mulai berubah abu-abunya melirik Erik di luar, tenang dan teduh. "Ia mengalami tahun yang sulit, sebuah perceraian, membuat tempat ini semakin sepi dengan pindahnya istri dan 3 anaknya." Norman menjadi sedih lagi.
"Bagaimana rasanya tinggal hanya berdua tuan Norman?" Perhatiannya tertuju pada pria itu, mencari benih-benih pelajaran lain darinya. Kiana selalu menghormati para orang tua, karena mereka kikuk seperti bayi.
"Membosankan," ia memutar matanya. "Tapi dengan adanya hal lain akan merubah atmosfir. Kami punya banyak ternak, pemandangan indah yang tak pernah membosankan, kita punya lahan, layaknya kita tak akan pernah berhenti bila tinggal hanya berdua." Ia tersenyum pada Kiana. "Bagaimana jadinya bila kalian tinggal berdua? Apa yang akan kalian lakukan ha?" Tanyanya.
"Aku orang yang menjengkelkan bagi semua pria, kurasa tidak ada satupun yang mau tinggal bersamaku plus hanya berdua." Kekehnya sendiri. "Itu kerajaan yang sangat luas untuk dua orang saja." Bayangnya.
"Benar. Haruskah kalian meramaikannya lagi? Mulai dari seorang bayi dari Isadora dan Tibalt?" Ia menyengir puas. Kiana meredam malunya, melirik Matthew di luar masih berbincang, wajahnya seterang permukaan laut ketika terpapar matahari. "Mengapa? Semua gadis seumuranmu telah menikah di luar sana dan memiliki bayi." Ia memancing.
"Tidak pernah terpikirkan untuk memiliki bayi di umurku sekarang, aku mau hidup bebas sedikit lebih lama." Kata Kiana, masih menatap Matthew terlihat tampan dengan semua aura itu. "Dialah orang yang terbaik selama ini, entah apa dia mengharapkan hal yang sama padaku."
"Kalian berdua serasi. Dia bercerita hal yang kurang lebih sama padaku tentang kamu. Dia itu bukan tidak tertarik, dia hanya bingung pada apa yang ia rasakan. Semua yang ingin dia lakukan rasanya terasa salah tapi terlihat benar." Ungkap Norman mulai lelah berbicara. "Aku bukan sebijak dulu namun, jangan putuskan akar Torin Maxima, hanya dia seorang nona muda."
"Masih ada banyak hal di belakang hal itu tuan, apa kau tahu Lenon Baccry?" Ia memincing, mungkin namanya tidak asing bagi mantan dewan Varunnette.
"Ah anak itu," matanya berputar malas. "Apa hubunganmu dengannya? Inikah maksud kalian sampai kemari? Karenanya?" Matanya membesar.
"Dia punya batu Grass yang kita butuhkan. Tapi temanku yang lain Lucas dari Clemanos punya batu Moonstone yang menjadi kompas lokasi Baccry, dia pergi sudah lama. Mungkin bila aku ke timur dan berusaha menyisir seluruh daerah di sini kemungkinan Baccry tidak jauh." Jelasnya diikuti Norman yang mengangguk-angguk paham.
"Aku dengar kampung halamannya adalah pulau Fan Flowing."
"Fan Flowing? Di mana itu?" Akhirnya ada bantuan lainnya.
"Kau bisa melihat pulau itu dari tepian tebing." Katanya. "Aku punya kuda, kalian mungkin mau memeriksa di sana. Berjalan-jalan juga mungkin, kalian tidak pernah sejauh ini bukan mengelana?" Tawarnya sambil tersenyum.
"Terima kasih," ujar Kiana lembut, menarik tangan Norman dan menggenggamnya. "Aku yang cuci piringnya," tawarnya lagi tertawa.
Matahari mulai ditutupi awan tebal yang terlihat dekat bergumpal dan mengerubungi awan lain. Mereka mendapatkan pinjaman kuda dari Erik, hanya ada dua kuda betina dan jantan yang diharapkan Erik akan menciptakan lebih banyak kuda. Kiana membawa kuda hitam dan Matthew yang putih, lahan di sana benar-benar dipenuhi rumput hijau yang segar, makanan sehat untuk ternak dan pandangan indah untuk manusia.
"Berhati-hatilah, jangan membawa kudaku terlalu ketepian." Katanya tertawa.
"Baiklah." Tawa Matthew dan membawa kuda bersama Kiana.
Mereka berkuda menuju ke timur untuk sampai pada ujung tebing yang di maksud, seluruh dataran tinggi itu sangat hijau dan jarang sekali ada pohon. Satu-satunya pohon berada di belakang rumah Erik, pohon karet di dekat sumur yang juga ada di belakang rumah. Desir ombak sudah terdengar jelas, anginnya apalagi. Menuju tepian itu tidak membutuhkan jarak jauh, hanya 3 mil dari rumah. Mereka mulai memperlambat laju kuda ketika sudah melihat tepi tebing, laut sudah sangat terlihat. Jauh berbeda dengan laut Handil (Laut barat) yang airnya berwarna gelap seperti tercampur tumpahan oli, laut Sunna (Laut Timur) berwarna hijau.
Kiana dan Matthew turun dan menancapkan tali kuda ke kayu di tanah agar kuda tidak berlarian. Itu tebing yang luas dan memiliki 4 tepian yang menyebar seperti 4 buah jari. Suara lautnya deras bergejolak karena ada angin. Laut itu menjadi tenang biasanya ketika menjelang sore. Mereka berjalan ke tepian, sangat menyegarkan. Di bawah tebing air mengikis karang, di sisi kiri barulah terdapat pasir pantai.
"Itu pulaunya," tunjuk Kiana, pulaunya memanjang dan bila diukur dari tangan dari tempatnya berada sepanjang satu jengkal. "Norman bilang tetap harus hati-hati ke sana, banyak bekas kapal perang dan banyak kapal baru. Setiap kapal berlabuh biasanya 3 hari sekali." Jelasnya.
"Aku tidak tahu rupanya Kee," kata Matthew murung.
"Aku tahu," sanggahnya. "Norman kenal dia, salah satu temannya. Lenon merupakan orang tersibuk yang sering keluar masuk tower Varunnette, berkontribusi besar cukup lama. Dia punya foto ketika bekerja di sana." Jelasnya menatap mata biru Matthew yang lebih besar. Tapi Matthew selalu diam dengan raut kosong yang mencerminkan kesedihan. "Matty, kurasa bukan saatnya menunggu Lucas. Kita yang harus ke sana berdua, menjelaskan sampai dia mau menyerahkan batunya bagaimanapun itu. Aku beritahu Norman tentang misi kita, dia tahu apa yang akan datang. Memiliki ketiga batunya lebih baik ketimbang dimiliki dahulu oleh para musuh. Dia ingin membantu kita dan melindungi keluarganya juga dari bahaya yang akan datang. Para Lonk sering ia lihat terbang melewati belantara yang mana jarang ia lihat seperti itu." Jelasnya.
"Kau tinggal di sini," kata Matthew.
"Apa?" Kiana bingung.
"Biar aku yang ke sana dan berunding padanya dan tidak perlu ada kamu." Katanya dengan nafas yang mulai tersendat. "Aku- aku tidak tahan lagi melihatmu terluka, percayalah! Kau tidak tahu bagaimana aku merasakannya, bagaimana aku melihatmu terakhir kali-" kalimatnya terputus tidak enak, diikuti kepala Kiana yang menunduk terngiang kejadian memalukan itu. "Maaf," kata Matthew menyesal.
"Aku tahu kau peduli padaku." Gumamnya menghela nafas. "Seolah-olah kau tengah duduk di gunung tapi kau takut gunung itu menimpamu. Kau terlalu khawatir, aku tahu itu." Ia menyentuh pipi Matthew pelan. "Tapi ini dari kita untuk mereka." Ia membelai pipi Matthew.
"Matamu padam," kata Matthew, memperhatikan dalam-dalam mata hazel Kiana. "Aku tidak mau itu mati karena betapa berusahanya kamu." Ia merasakan pipinya semakin hangat.
Kiana melihat bibir Matthew, menatap matanya kembali dan menggeleng. Matthew memeluknya yang kehabisan kata-kata, menyentuh dada dan membelai rambutnya yang acak. "Setelah kita dapat ketiga batunya, bisakah kau tinggal di Torin dan membuat tembok tertinggi mengelilingi?" Bisiknya, menatap laut bersamanya.
"Tulis apa yang kamu inginkan," gumam Kiana. "Beri padaku pada waktunya tiba dan aku akan mengabulkannya sebagai Ratumu." Ia melepaskan pelukannya. "Kapalnya datang besok senja. Kita ke sana besok." Ia menetapkan.
Matthew hanya mengangguk pelan, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolak. Rencananya yang ingin mencari Lucas terundur karena Kiana tidak ingin, ia mau menuju Lenon Baccry yang kemungkinan berada di Fan Flowing.
*****
-Hello hello, terima kasih sudah membaca dan semoga cerita ini ya berbeda dengan cerita-cerita yang lain xoxoxo. And as always jangan lupa vote dan komennya untuk membantu perkembangan IoS :)
-Jalan ceritanya masih jauh dari part epilog, jadi jgn harap mau selesai wkwk. Yang namanya fantasy bukunya tebal, percaya deh :l
Keywords :
1. Ten Sea Blood : Sumpah adat Torin Maxima yang diciptakan sejak 10 orang pertama penemu Torin Maxima.
2. Fan Flowing : Pulau di seberang Edge Four.
29/11/2016
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro