Part 30 - Xavier Dan Matthew
Susunan buku dan lembaran kertas menumpuk di atas meja kayu baru diambilkan oleh Kiana atas permintaan mendadak dari Matthew, setelahnya ia tersadar kalimat pertama yang ia utarakan dengan lemah adalah 'bukuku'. Sejenak Kiana tak mencemaskan, kemudian ia semakin menduga hal-hal telah terjadi dengan Matthew saat ia sekarat. Orang sekarat tidak bisa bermimpi, tapi orang mati rohnya sudah ke mana-mana dan melihat hal tabu yang mengerikan. Mungkin ia mengalami mati suri, semua orang yang mati suri tidak ingin menceritakan apa yang mereka lihat saat mati seperti ada perjanjian dengan malaikat maut. Mungkin Matthew akan menuangkan perasaannya ke bukunya sebagai wadah, merangkai ingatan memorinya yang mengerikan.
"Kau meminta ini ketimbang air dahulu yang artinya buku dan lembaran ini lebih menyegarkan tenggorokanmu. Apa kau menerima semacam penglihatan dan kau harus mencatat?" Tanyanya.
Matthew menggeleng.
"Silahkan, jika kau masih bisa membaca beberapa menit setelah sadar dari sekarat." Kata Kiana menahan tawa.
Pria berambut acak itu menghelakan nafas, menyibak selimut dan mencoba bangun. Lantas Kiana menahan tubuhnya merasa was-was. Kiana mengambilkan segelas air penuh, mensejajarkan di sebelah bibir Matthew dan membantu mengisi dahaga. "Lagi?"
Tidak mengejutkan jika ia mengangguk, tenggorokannya mungkin sekering sumur di belakang rumah. Ia memberikan air hangat lagi, terakhir ia melihat Matthew membulatkan mata saat Lonk membunuhnya dari belakang, rohnya seperti ditarik dengan kuat oleh malaikat dan mengapa mereka mengembalikannya? Matthew selalu melamun seraya menggenggam buku di atas paha, telinganya bergerak kecil saat ada keributan-keributan dari luar, ia kadang memejamkan mata seperti orang mengantuk lalu membuka mata lagi. Ia masih lemah dan butuh tenaga, tapi pasti ia akan tahu apa yang akan ia dengar setelah bangun.
"Apa yang terjadi di luar?" Ia berbicara dengan pelan dan suaranya serak yang gatal.
"Sesuatu yang mendatangi Sonya membuat Sonya mendatangi mereka." Katanya sedang menyembunyikan. "Masalah apapun itu bukan tanggung jawabmu Matt, yang harus kau ketahui itu hanyalah bagaimana tubuhmu yang lunglai seperti ban bekas ini dapat kembali segar." Ia mencoba menutupi banyak hal.
"Sonya selalu punya masalah, Raja membenci keributan dan ingin menuntaskannya di dalam. Setiap masalah memiliki alur yang sama, terangkaikan bagai temali. Semakin banyak tali akan semakin banyak ruang baru." Kata Matthew sakit, ia menengok jendela lagi.
"Dan juga semakin panjang urusannya, jangan lupakan itu."
Matthew yang pucat membuka buku dan membaca ingin meyakinkan dirinya jika ia masih ingat kenangan itu. Dia menulis topik baru yang ia perlihatkan pada Kiana, mengetuk-ngetuk lembar kertas tanpa judul dan hanya beberapa gambar dan tulisan tangannya yang rapi dan besar. Ia menulis tentang Earthniss, menguraikan betapa suka apa yang dilakukan orang-orang jaman dahulu mengobrak-abrik kumpulan peta dan buku, menambah lokasi baru yang belum terjamah dan rahasia-rahasia di tempat baru. Dia menulisnya sudah berbulan-bulan dan belum rampung, jika ada waktu ia pernah ingin berpergian ke kota Jatum yang dihuni banyak tetua yang menceritakan dongeng dan mitos jaman dahulu, teman-temannya tidak pernah memiliki minat menimba pengetahuan garing dan membosankan, mereka suka bersenang-senang di Sonya, bertarung dengan pedang dan bertaruh untuk seorang gadis muda Sonya yang cantik. Sendirian ke sana tentu saja tambah membuat bosan setidaknya ia membawa beberapa teman-teman, Xavier, Ara, Kai putra kolonel, Robert si celana gobor, tukang mabuk Ody, Brown, dan sahabat dekat lainnya. Di Jatum pasti mereka menemukan bar-bar bertema baru tanpa takut terciduk anggota kerajaan, terutama Xavier yang selalu membuat suasana menjadi tidak meriah.
Jika mereka berkumpul hingga tengah malam biasanya lupa waktu, Xavier yang putera mahkota dimanjakan pengawalnya yang menganggap ia seperti bocah dan harus diawasi. Pengawal kerajaan akan datang dan mengambil Xavier, biasanya mengingatkannya dahulu untuk pulang bahkan menunggunya, membuat mereka tidak bebas karena ada yang mengawasi. Akhirnya Xavier pergi agar teman-teman sisanya bisa melanjutkan perbincangan sampai larut malam dan mendengar ayam berkepala merah berkokok. Tidak hanya Xavier, Kai juga berbeda dan ia lebih sulit diajak keluar. Ayahnya yang paling garang tidak perlu mengawasi bahkan mengutus orang-orang untuk mengingatkan Kai tidak terlalu santai di kursi keropos bar, ia akan pulang sendiri jika mengingat ayahnya yang suka mencela jika dia berbuat salah.
Tapi Matthew tidak hanya berteman dengan kalangan di atas yang terkekang jadwal dan sebagainya, ia berteman dengan prajurit-prajurit menganggur dan suka mendengar lelucon mereka di setiap pos tembok Sonya. Kadang Matthew dapar anggur gratis yang berjajar kendi-kendi kayunya, dia diingat orang dan orang lain mengenalnya.
"821 pulau, sebanyak itukah pulau di Earthniss?" Pertanyaan Kiana membuat Matthew sadar dari lamunannya.
"221 yang ditempati." Matthew membalas.
Matanya berkantung hitam, wajahnya semakin tirus seperti terserang penyakit malaria hutan, tatapannya lelah juga gelisah, ia masih penasaran apa yang terjadi di luar dan selalu merasa ia punya tugas saat kembali ke Sonya. Jika ada masalah ia akan menerima tugas dari beberapa komandan, atau dia sendiri yang mencari tugas jika ingin bekerja. Terkadang ada saatnya libur dan bersantai, melepas pekerjaan dan melanjutkan ke bar-bar Sonya yang melimpah ruah.
"Di mana letaknya Danau Tengah itu sebenarnya?" Kiana sudah jauh membaca, ia bisa membaca tulisan Matthew yang cukup rapat dan terkesan malas saat menulis.
"Letaknya sulit ditempuh dari jalan lintas selatan, ada hutan lebat yang memagari dan makhluk hutan yang meneror. Danau berada di puncak gunung Lomo, Danau Tengah dinamai, para tetua dan dewan Varunnette mengesahkan jika danau tepat berada di pusat Earthniss, titik tengah, bintik biru di tengah. Uniknya danau itu ada sebuah gunung di tengahnya, namanya gunung Dyien. Di sana ada satu pohon besar yang keramat, kata mereka jika kau menginginkan sesuatu kau tinggal menggantung batu dan menceritakan keinginan." Pelan-pelan Matthew menjelaskan, tapi masih sangat sakit di pinggangnya dan rasanya kakinya sudah lepas, ia mati rasa dari pinggang ke bawah.
Kiana membuka halaman lain, lembar kertas buku Matthew sangat halus dan masih harum kayu kecuali bagian yang sudah ia isi lecak karena terlalu sering ditindih dan dibalik. Di antara lembaran ia menemukan peta Earthniss mulus terbentang seperti baru dibeli dari pelukis langit-langit aula kerajaan, kertas peta lebih lebar di banding lembar lainnya, ada coretan stabilo membentuk garis merah dan sekedar titik yang tersebar kebanyakan di daerah timur.
"Apa ini kecacatan?" Ia menunjuk warna stabilo.
Jemari Matthew membentuk garis mengikuti bagian di hutan utara. "Ini Jaméka," lalu menunjuk garis lain di utara di sebelah Clemanos. "Ini Savire. Aku membaca tentang hutan Jaméka dan Savire, di buku ke dua yang aku beli di Varunnette saat mengembalikan Joddy, ditulis oleh pengelana terkenal Kardin Osaph di tahunnya, dia adalah orang pertama yang berhasil menginjakkan kakinya ke setiap tempat di Earthniss. Tidak hanya sekedar berkelana namun ia mengamati. Di hutan Jaméka tempat ke 239 yang ia datangi itu memiliki aura spiritual yang berbeda, pertamanya ia berfikir itu hanya ilusi yang disebabkan dekatnya dengan kawasan Darkpross, di sana raganya terasa lebih ringan dibanding angin. Ia selalu menandai tempat ia berdiri dan melanjutkan lagi perjalanan penuh tantangan, tapi saat ia berada di hutan Jaméka ia merasakan hal yang sama lagi, tubuhnya ringan dan merasa tertekan di dada. Ia hanya menandai lagi, setiap singgah bermalam Kardin Osaph akan meneliti kembali perjalanannya jika ada orang lain yang tertarik pada bidang-bidang di dalamnya. Dari titik di Savire ke titik Jaméka ia menarik garis lurus, selalu merasakan itu bukan kebetulan dan ada maknanya."
"Aku ingin menemuinya suatu hari nanti menanyakan lebih jauh mengenai tanda ini. Mungkin dia sudah tahu sesuatu atau tidak. Yang terpenting ialah sesuatu yang belum tentu selesai bukan berarti tak memiliki rahasia lain, dibalik kesukaran ada kerampungan." Lanjutnya dengan pelan, suaranya semakin serak.
"Kau berbicara seolah kau sudah melihat catatan susunan perjalananmu. Kau bahkan belum menyelesaikan yang pertama dan kau sudah meniti perjalanan lain." Kiana mengambilkan air hangat lagi dan kali ini menambahkan perasan jeruk.
"Bukankah itu seperti motivasi? Agar kau berpegang teguh untuk tetap bertahan hidup, jadi aku bisa melanjutkan petualangan yang sudah aku catat. Aku masih muda, rasanya sia-sia bila aku hanya duduk di bar, mabuk-mabukan dan melakukan sebisa yang aku sanggup. Terkadang batas itu bisa kita lampaui, kau melampaui batasmu kau akan bertemu peristiwa lain di banding kejadian sehari-hari." Setiap bernafas rasanya sesak dan kakinya mulai terasa panas, sedikit demi sedikit jari kakinya bisa bergerak di balik selimut tebal yang kainnya kasar. Ia penasaran apa yang sudah ia minim selama tidak sadar? Apakah perawat-perawat itu menjejalkan obat jorok dari perut hewan hingga rahangnya juga ikut sakit?
"Apa batasmu Matthew?"
Berdiri, untuk sekarang. Ia melihat Kiana dengan balutan pakaian berwarna biru dan putih, dia selalu memakai jenis sutra dan menghindari kain yang kasar seperti yang dipakai Matthew dan wanita kebanyakan. Terkadang kulitnya merah jika mengenakan kain selaim sutra, memar seperti ditampar kayu dan lama hilang. Tidak pernah Matthew melihatnya mengenakan gaun, chiffon tipis yang jatuh dan lapisan brokat berpernak-pernik bangsawan yang mahal, aroma daun dan parfum bunga langka dari timur yang menempel di gaunnya, atau jubah satin licin panjang Ratu Torin Maxima yang berwarna lavender yang menjuntai menyapu lantai keramik krem. Ratunya dulu menyukai gaun satin abu-abu yang polos, tubuhnya yang ramping terbentuk sederhana mengikuti jahitan-jahitan teliti dan roknya lebar serta panjang di belakang. Ratu memakai mahkota kecil dari emas putih dan ditanam batu Regone putih, rambut hitamnya yang panjang sepinggang dan lebat selalu dijepit dengan ikat bunga lavender dan memenuhi semua rambut seperti baru saja hijan lavender.
Tapi Kiana berpakaian lelaki dan selalu memakai celana, memang dia sering berpergian dan pastinya gaun akan membuatnya terjatuh ratusan kali. Tapi jika berdiam di rumah rasa kepenasaran terhadap mengenakan gaun tidak pernah terbesit. Olive mengoleksi gaun-gaun bermacam jenis akhir-akhir ini setelah ia bertemu pemuda, dia mengenakan cat kuku berwarna manis dan meminta dayang-dayang mengikat rambutnya agar wajahnya selalu cantik dan tidak bosan dilihat. Bahkan Matthew suka menghamburkan rambut rapi Olive setelah ia keluar kamar, lalu masuk lagi dan menahan dayangnya di dalam. Ia berharap Olive mau mengajak Kiana mengenakan gaunnya, jika muat, dan memolesnya seperti Ratu.
"Tidak sanggup lagi berdiri dan mengambil nafas." Ia hampir tak perlu berfikir untuk menjawabnya, kematian, kematian selalu menakutkan dan menjadi hal tabu tanpa bisa diramalkan.
"Kau sudah melewati batas itu," kata Kiana. "Kau hidup lagi sekarang."
Oh ya, barusan ia hidup dari kematian. "Bukan berarti aku tidak bisa mati lagi."
Kiana menutup bukunya sudah merasa cukup walau ada lanjutan bait yang berlembar-lembar untuk topik tersebut. Menaruhnya di laci dan mendengar para pria dan wanita dari jendela tertawa dan mencela, untuk prajurit atau pedagang kikir, untuk penjahat atau penculik Ratu, yang manapun itu hingga sangat ramai di luar.
"Kau mengetahui banyak tentang daerah-daerah itu, tapi kau hanya tinggal di timur. Kau punya batu A'din Perpindahan Tempat tapi tidak mau mengunjungi setiap arah." Kata Kiana mencuri perhatian Matthew dari jendela di sebelahnya karena dia mulai curiga.
Pertanyaan itu salah, Matthew mulai bergerak gelisah dan merasa lehernya kosong, tidak berat dan tidak gatal karena tali rotan. Dia menyapu lehernya yang dingin, menatap Kiana dengan tatapan pertanyaan. "Batuku?"
Kiana meraba saku celana dan mengeluarkan batu A'din biru gelap yang berat, dingin di tangannya dan memberikannya di ranjang. Dia mau menjelaskan tapi malah diam saat mengingat mayat di bawah tebing batu kapur Marclewood. Haxel yang mengkhianatinya, ia berjalan ke barat, dan menerima pengabdian seorang wanita dari suku Jacamea. Mungkin Matthew akan bangga, mungkin juga ia akan kesal. Dia mengambilnya dengan marah menganggap Kiana mencurinya tanpa izin, dia memang bisa menggunakannya bahkan mulai terbiasa, tapi Matthew selalu benci jika ia mengingat rasanya tidak diberitahu.
"Aku cemas, saat A'din masih kau pakai kau yang tidak sadar tak bisa mengetahui kapan orang melirik batunya dan kapan mereka mencari akal untuk berpura-pura masuk ke sini saat tidak ada aku. Aku membawanya." Jelas Kiana sabar.
"Saat tidak ada aku?" Ia mengutip. "Dan memakainya juga?"
"Ya." Ada hembusan nafas di akhir, dia mulai menguak sedikit demi sedikit. Menutupinya bagaimana? Memikirkan 7 kali jawaban akan lama, ini akan menjadi pertanyaan bercabang. Haruskah keluar dari rumah untuk menghindari?
"Para Peri Vanella?" Ia mulai kembali membalik perjalanan sepanjang ingatannya. Tidak mungkin ia tidak sakit atau luka-luka sedikitpun dalam perjalanan, oh ya dia ingat, dia lari dan berlari, berteriak dan memanah, menghindar dan melihat orang-orang mati tercabik dan terhempas, mendengar jeritan wanita Peri, tangisan anak-anak yang digendong prajurit Vanella dan Sonya. Berhenti saat menemui lereng jurang dan daratan Loral yang tinggi, semuanya turun karena perintahnya, ada kematian yang penting, pemimpin Vanella tua berkorban. Lalu saat semuanya berpindah tempat ia merasa sakit dan semuanya hitam bagaikan kepalanya dimasukkan ke dalam karung, tidak ada suara dan tidak ada apapun. Bangun dengan putus asa, merasa hanya memejamkan mata 2 jam dalam keadaan bunyi-bunyi meraung penduduk, jendela terang di samping ranjang dan tubuh yang seperti dendeng sapi, remuk dan kering.
Sepertinya harus dijelaskan dari awal, menyerah dengan semua kesempatan yang bisa membuka kenyataan baru. Mulai mendekati hal paling menyeramkan yang akan Matthew dengar saat terbangun dari kematian, ya saat dia terbangun dari kematian saudaranya itu terbaring ke kematian. "Varunnette mengedarkan aturan baru, Ort tidak lagi dapat digunakan dimanapun tanpa alasan apapun bertepatan saat kita akan pulang. Bala bantuan Sonya tidak datang, surat komandan tidak terbalas, kami menunggu dengan letih. Tapi ada usulan, perpindahan tempat dalam skala besar seperti yang kau lakukan."
"Kau yang melakukannya." Matthew langsung tahu, dia bisa tahu ada nada kemarahan yang terpendam yang tersamar karena rasa sakit. Matanya masih hitam dan lama berkedip, dia belum bisa beraktifitas dalam beberapa minggu lagi. Matthew yang aktif kini harus berhati-hati, langkahnya harus tepat, tidurpun pelan-pelan, kadang rasanya ingin mual karena perutnya bergetar.
"Aku membawa mereka pulang ke Sonya bersama yang terluka dengan aman."
"Aku ingin Raydon di sini, bisakah kau panggilkan dia?" Ia bangun merapatkan diri ke bantal untuk bersandar, tapi yang empukpun masih bisa membuatnya meringis sakit, lubang-lubang di punggungnya belum sepenuhnya tertutup.
Apa yang harus dikatakan? Raydon pergi membawa rombongan Vanella kembali ke Radella fajar 4 hari kemarin, 1 hari lagi mungkin sampai. Dia memimpin rombongan sendiri, kau tidak akan menemuinya. Oh Raydon? Dia sepertinya sibuk. Raydon? Bagaimana dengan Errol? Tapi tetap saja tidak ada mereka. Lucas akan ia cari, dia pergi, kenapa? Pertengkaran dengan Raydon hingga adu jotos. Sepertinya Matthew akan tahu juga, ia mencari posisi yang baik duduk di sebelah ranjang dan menggenggam seprai halus untuk bersiap menceritakan yang sebenarnya, tidak perlu menyembunyikan untuk Matthew.
"Ini minggu yang sulit. Aku tidak mampu menjadi dirimu yang memimpin dan menjaga kesatuan kita. Mereka pergi, semuanya, mereka berpisah, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat ketiganya mengambil arah yang berbeda." Katanya meremas seprai, ia hanya ingin terlihat bingung dengan menunduk dan bergeming.
"Siapa yang berpisah?"
"Kita." Kiana membuang nafas, jika diingat-ingat ini sangat pilu. Butuh waktu dan usaha keras mempertemukan para pemegang A'din, dan butuh satu tonjokan keras dan satu belokan tajam yang memisahkan mereka.
"Apa yang terjadi?" Matthew tenang, mungkin belum bisa marah dan mengejar semuanya lalu meminta mereka berpelukan dan mandi di kolam hangat bersama-sama.
"Raydon selalu bertekad membawa rombongan Peri ke tempat teraman, Radella. Lalu Lucas tak suka, ia selalu tidak menyukai perjalanan yang terhenti dan mundur, tak pernah sampai ke timur. Ada pertengkaran kecil malam itu antara mereka berdua, lalu membesar, adu jotos, hingga darah dan memar. Mengumpat dan bersumpah serapah, aku bingung tidak bisa melerai keduanya. Jadi itulah yang terjadi." Kiana murung, jika ia melontarkan keduanya waktu itu ke dinding dan memahat keduanya sampai Matthew sadar, mereka masih di sini dan mencela sampai mati.
"Lalu Errol?"
"Dia baik-baik saja sebenarnya, tidak masuk di dalam pertikaian antara dua pria itu. Hanya saja, edaran Varunnette tak hanya mengenai batu Ort, tapi kita menjadi buronan dewan. Mereka tidak susah-susah mencari dan menunggu kita lagi, hanya sebuah edaran mampu menekan kita ke sana. Tidak ada lagi yang menetap untuk pergi ke Varunnette selain Errol, sekarang dia yang menghadapi dewan, pria malang." Kata Kiana.
"Dia pandai tidak hanya menciptakan benda, tapi juga alasan. Aku percaya dia, semoga dia betah di sana dan kembali dengan bantuan." Kata Matthew. Kemudian ada sorakan lantang yang berbarengan, pria, anak-anak dan wanita yang bahagia. Semakin lama Matthew penasaran dan ia menyibak gorden, membuka jendela dan angin Sonya yang berdebu dan beraroma karet menyapu wajahnya yang pucat. Dia di ketinggian dan di bawahnya rumah yang pendek, anak-anak jalan yang bercabang nampak sampai Persimpangan Katel, di kiri arah menuju Kastil sangat jauh dan ia sadar dia berada di Sonya bagian selatan, di belakangnya pasti ada tembok dan kandang kuda prajurit.
Matthew mendangak dan langitnya cerah disiram awan tipis yang lembut, rasanya ia melihat layang-layang berbuntut tersebar, melilit tali nilon layangan satu sama lain hingga putus lalu terjadi kejar-kejaran untuk mengambil layangan yang limbung. Hawanya sudah sore, selalu ada gendang dan petikan senar di mana-mana. Tapi ia melihat bunga-bunga di sudut jalan yang lebih besar, bunga baru yang masih mekar, merah, jingga, hijau lebih banyak, putih dan kuning. Matthew tahu karangan bunga di sudut jalan besar adalah tanda berkabung penduduk, jadi siapa yang pulang? Apakah yang muda? Yang tua? Raja!? Ratu kah? Peringatan kematian komandan Jarke mungkin? Yang mana ini?
"Siapa yang mati?" Tanyanya.
Kiana menjadi sekaku patung dan secemas lidah api yang melihat mendung pekat. Tapi ia berdiri dan rasanya sudah sedih, ia tidak mau menceritakannya. Akhirnya Kiana pergi mengurung Matthew di kamarnya, dia tidak bisa berjalan juga dan tuli dari berita di kastil Sonya.
Sampai malam obor-obor dan Glork jalan Sonya menyala, beberapa dicuri dan jalan menjadi gelap. Kereta-kereta bergerak di jalan di bawah jendela Matthew dan ia bisa mendengar cekikikan wanita dan pria di dalamnya. Ia mendangak dan gelap gulita, bulan belum muncul tapi U'Crix sudah setelah 5 tahun lamanya. Matthew juga percaya akan ada kebangkitan besar setiap U'Crix muncul, karena 5 tahun kemarin ia melihat sendiri batu Giro terbesar yang pernah dicatat diderek dari tambang Air Mata Malaikat keluar dari perut bumi. Batu termahal dan uang jenis padat itu muncul kepermukaan, menyapa dunia, tersenyum dengan kemerlap kemewahan kuning dan pola urat yang menghiasi. Batu Giro itu lebih besar 2 kali lipat ketimbang batu Yun di puncak Menara Kembar Varunnette.
Itu luar biasa megah dan membuat orang menggelengkan kepala, para pelukis dari berbagai daerah berbondong-bondong datang untuk menyalin rupa batu pertama, sisi-sisi yang ramping dan bentuk yang membuat para peneliti batu sakit panas dingin melihatnya. Para saudagar menonton sepanjang garis batas di luar tambang, membuat kemah, berpesta dan bersorak-sorak hingga tambang menjadi destinasi wisata dan kota yang baru dalam 24 jam. Tapi batu terbesar itu milik Varunnette, entah mereka akan memecahnya dan membaginya menjadi jutaan keping kecil Giro yang sediakala, atau tetap membuatnya utuh, membangun museum di Varunnette untuk mengenangnya. Sampai sekarang belum ada kabar tentang batu itu, di tambang Air Mata Malaikat batunya sudah tidak ada dengan ajaib, siapa yang bisa memindahkannya? Batu seberat itu sama saja memindahkan seperempat tanah di selatan ke utara, membuat pembawanya mati saat sampai.
Itulah kebangkitan penemuan batu di Earthniss, menggeser kedudukan batu Yun dan menuliskan nama batu Giro sebagai batu terbesar yang pernah ditemukan. Entah apa yang bisa ditukar dengan batu Giro sebesar bukit itu, satu pulau mungkin? Atau 5 kastil? Menyogok Raja-Raja? Meminang 4 lady? Dia merasa beruntung bisa melihatnya terangkat dari derek, sorakan para penambang, rasa bangga para penemunya, dan air mata bahagia para dewan.
Matthew melihat ke jalan di bawah lagi saat seorang bocah lelaki membawa bunga yang dijahit dan membentuk kalung, dia membawanya dengan pelan sambil membawa lilin, lilin itu selalu akan padam saat ia berjalan jadi ia berhenti dan melindungi api, ia berjalan dengan sabar dan sungguh-sungguh menuju jalan utama, menaruh bunganya juga di sana bersama yang lain. Pasti ia menghormati orang yang meninggal itu, memberinya doa dan kenang-kenangan di kota agar langit di atasnya bisa melihat. Sayangnya untuk di kegelapan dan tempat yang mulai sepi jalanan besar di sana lengah penjagaan, Matthew tertawa saat melihat bunga-bunga itu dicabuti bocah-bocah usil ingusan, pria mabuk yang menabraknya hingga rubuh, wanita mabuk yang mencium bunga dan memetik lalu menyalipkannya di rambut lalu jalan sempoyongan.
Semakin lama menonton Sonya dari jendela itu ia merasa hampa, kesepian, bosan, tidak ada yang menemaninya. Kiana tidur di ruang lain, sudah nyenyak dan bermimpi. Sedangkan Matthew yang hanya bisa tidur 3 jam sebelum pagi itu masih terjaga dan mencoba merasakan kekosongan. Sonya malam itu dingin dan sisa-sisa pohon pendek hidup dan bernyanyi memanggil serangga dan laron, gendang menghilang namun seruling angin menggantikan musik. Melantunkan lagu kesedihan dan menjemput tidur pada semua penduduk, angin itu bersiul sangat muram bahkan Matthew menjadi sedih dan lama kelamaan mengantuk.
Setiap pagi jendelanya sudah terbuka sebelum pengurus kamar membukanya, Matthew terlelap dan bermimpi ia memancing lagi dengan Xavier di Danau Tengah. Danau Tengah tidak ada ikan, hanya hantu air dan kedalaman yang keruh. Tapi dia duduk bersama Xavier menunggu umpan bergoyang dan air beriak, Xavier duduk tanpa berbicara sambil mengenakan sorban hitam di kepalanya agar tidak kepanasan, seragamnya adalah silk serba hitam dan lencana emas anggota kerajaan yang tersusun di tempatnya, kain tipis brokat merah di sekitar jahitan sangat rapi membentuk tubuh yang kekar, di pundaknya, di tepi bawah baju, biasanya seragam itu dia kenakan setelah menjamu tamu-tamu kehormatan di aula, sangat mewah dan bangsawan, aura Handstar menguar pada Xavier dengan mata madunya yang serasi dengan sepatu coklat kulit.
Xavier memancing dan melawak bagi Matthew, seharusnya ia tidak perlu mamakai baju dan bertelanjang sampai kulitnya coklat saat memancing. Matthew duduk di atas batu gunung dan menunggu ikan, ikan besar yang bisa melompatinya, atau ikan kecil yang sedap saat dibakar bersama rempah-rempah. Dia melirik Xavier, matanya kosong mungkin bosan, tapi tubuhnya lemah dan ia mulai jatuh ke dalam danau, ia tenggelam dan menghilang dengan cepat di air yang keruh. Matthew melompat ke batu lain dan takut, ia ingin terjun juga dan hanya dengan satu lompatan menyelamatkan Xavier tapi dia tidak berani, dia selalu takut dengan air yang keruh.
Tidak ada gelembung udara yang naik ke permukaan, tidak ada bayangan Xavier di bawah sana namun gelap mulai naik seperti darah atau seperti bayangan. Matthew mundur cepat-cepat karena mendadak takut, ia ingin menangis saat melihat bayangan datang dari bawah air keruh.
Lalu ia bangun, karena suara gorden terbang di sampingnya.
Siang, tangga di luar sana ricuh karena tamu-tamu orang lain, kamar di sebelahnya penuh dengan orang sedangkan kamarnya sepi. Ia memikirkan mimpi tadi, Matthew punya rasa takut dengan air yang sangat keruh dan dalam, tapi ada Xavier yang masuk ke sana. Ia mengecam mimpi itu, mimpi yang diselipkan dari iblis malam yang makan dari ketakutan orang-orang. Kiana belum ada lagi, terkadang ia datang membawa buah prem manis tapi kemudian pergi dengan banyak alasan-alasan dan menjauh.
Matthew masih menghitung hari dan membaca langit, bukankah dia hanya bersama Kiana di sini? Errol, Lucas dan Raydon masih pergi dan ia ingin menunggu salah satunya. Errol mungkin, setelah kena ocehan 2 hari 2 malam dewan dia pasti depresi dan akan pulang, meminum anggur paling keras dan mandi air dingin. Atau Raydon? Dia sudah mengantar kaumnya selamat, kembali lagi karena butuh seorang teman, atau dia bisa diam di Radella atau pulang ke rumahnya di Lyither dahulu. Lucas tidak bisa diajak berkompromi pastinya, ia bertaruh anak itu akan paling sulit ditemukan.
Beberapa hari terakhir Matthew mendapatkan tamu, teman-temannya yang sebaya dan seburuk Matthew. Mereka berteriak dan menyentuh sengaja tubuh terluka Matthew, tertawa saat mendengar cerita Lonk menancapkan cakar dari belakang seolah lelucon paling bagus yang mereka dengar. Kiana selalu duduk di pojok ruangan mengawasi, mendengar cerita tapi tidak ingin masuk ke dalam percakapannya. Lalu mengantar tamu itu pulang, berbicara di luar yang samar-samar Matthew dengar. Setiap ada tamu lain Kiana juga berbicara dahulu pada mereka sebelum masuk, ada yang mencoba dia tekankan untuk tamu-tamunya saat masuk.
Dia selalu menunggu Xavier menjenguknya atau Olive bersama puluhan pengawal kerajaan yang menemaninya, apakah mereka tahu dia sudah di Sonya? Tapi dia tidak akan melihat mereka berdua ke sini. Lalu dia berfikir ingin berpindah tempat langsung ke kamar Olive, pasti ia tidak akan keberatan ranjang empuknya ditempati lelaki sakit berbau busuk belum mandi.
"Kami mencintaimu pangeran!"
"Pangeran! Pangeran! Pangeran!"
"Hei! Mainkan musik yang sedih, dia ingin menyanyi untuk mengenangnya."
"Lilin! Harus ada 23, 21, berapa sih umur pangeran sebenarnya? Aku tidak tahu. Baiklah 20 saja."
"Kita berjalan hanya di jalan besar sepanjang karangan bunga saja, prajurit tidak akan keberatan. Ada yang punya lukisan pangeran? Aku hanya punya lukisan basah Raja."
Suara-suara itu ricuh dan mengganggu di jalan bawah, Matthew mendengarnya dengan takut untuk pertama kalinya. Sonya hanya punya 2 pangeran saja, apa maksudnya itu semua? Apa yang sebenarnya mereka rayakan? Clark berumur 30-an tahun, Xavier seumurannya. Tidak, kepalanya menyangkal kuat-kuat. Dia melihat lagi jalan di bawah dan barisan pawai aktifis kota, mereka membawa alat musik dan lilin menyala saat siang yang redup karena matahari benar-benar terhalang awan tebal yang lebar, wanita-wanita berpakaian bersih dan kepala-kepala di bawah bergerak menjauh. Mereka berdoa, memanjatkan keinginan sesuai ajaran ibu dan ayah mereka. Bunga-bunga putih dan hijau mengikat leher satu bocah di antara barisan, mereka menuju jalan besar dan memainkan lagu.
Pintu terbuka dan Kiana membawakan makan siang Matthew, meletakkannya segera tapi kini Matthew menahannya dengan tatapan mencolok. "Siapa yang mati!?" Pertanyaan itu lebih garang dan mematikan.
Kiana bergeming dan menatap Matthew takut setelah gagal menyembunyikan, hanya hitungan hari dia tahu. Ia menutup pintu lebih rapat, mendatangi Matthew yang terduduk dengan wajah yang kembali pucat. Dia sudah siap melihat Matthew terluka, menangis, juga kehilangan saudara.
"Xavier," katanya terluka. "Mereka berkabung untuk Xavier." Suaranya parau, kakinya bertekuk ingin memeluk Matthew segera.
Matthew tertawa lirih. "Tidak," tangannya mengibas gorden lagi dan melihat jalan besar kembali dengan penuh karangan bunga. "Mungkin kau salah dengar, komandan Jarke Knanta bukan? Dia tewas menyelamatkan kita kemarin." Ia menutup gorden, rasanya sudah sedih lebih dahulu dan angin itu semakin ia benci karena terlalu ribut, tapi Kiana dia anggap melawak. "Atau salah satu festival bunga, tahun ini bunga mekar dengan berhasil." Ada ketidakinginan mendengar hal lain setelah ini.
Kiana mencoba sabar dan diam saja, tapi Matthew menginginkan jawaban yang tidak ingin ia dengar. "Upacara berkabung komandan Jarke Knanta dilakukan secara kemiliteran di lahan kuburan pahlawan dan kesatria Sonya, mereka berkumpul di sana untuk menurunkan peti dan pedangnya di bawah tanah." Katanya. "Yang ini upacaranya sudah lama dan akan tetap berlanjut, sejak Xavier meninggalkan kita semua."
"Bukan Xavier Handstar." Matthew tersenyum kecut, wajahnya memerah dan tinjunya kuat.
"Dia saudaramu-"
"Bukan Xavier Handstar!" Ia memekik, lalu tertawa lagi.
"Matthew, dia wafat." Kiana melihat tinju Matthew, apakah ia akan berdiri dan berpindah tempat ke kastil? Dia betul-betul terkejut, tidak percaya, sekaligus menyangkal.
"Dan dia kuat! Xavier tak mati saat muda, dia ingin mati saat punya 5 kesatria bersamanya dan tua bersama-sama, mati digulung tsunami saat rentan." Dia ingat saat Xavier mengatakannya sambil meracau ketika mabuk, tertawa lalu tertidur di mejanya.
Kiana ingin menangis untuk Matthew jika dia tidak kuat, dia tidak ingin melihat Matthew menangis untuk Xavier saudaranya sejak kecil dan mereka tumbuh bersama-sama seperti kacang. Bayangkan jika dia mulai menangis, matanya bisa melepuh karena mengingat. "Maafkan aku Matt, maafkanlah dia. Xavier wafat saat berada di Flyanger di dalam regu pemancing Lonk, kecelakaan menghampiri regu dan korban berjatuhan bersama dia. Para Lonk tidak meninggalkan jejaknya, tubuhnya tidak ditemukan tapi pedangnya dan sobekan zirah terakhirnya ditemukan di puing-puing sekitar tempat kejadian perkara, sobekan zirah lainnya ada bersama Lonk di taring, berdarah."
Matthew tersentak, jadi dia menertawakan bunga-bunga Xavier di jalan itu? Apa yang membuatnya jatuh dengan kehampaan begitu besar selama ini? Kekosongan itu benar-benar luas dan dingin, saudara kecilnya mati, si kecil Xavier mati, pemarah Xavier mati, pangeran mati. Ada lubang di jantung dan sangat sakit tapi tidak berdarah, ia sampai lemas, tertunduk dan mengacak seprai, dia ingin membakar sesuatu atau mengamuk hingga ia bisa lupa semuanya. Mencari penyebab Xavier mati, membunuhnya dan menginjak-injak dia sampai tenggorokannya pecah. Tapi dia tidak bisa menangis, dia hanya bergeming sambil menunduk dengan wajah pasrah dan kesedihan. Sayang, rasanya kehilangan orang yang ia sayangi membuatnya patah semangat dan melihat dunia dengan kepala yang miring. Bukankah mereka mati di tempat yang sama dan karena hal yang sama? Flyanger dan Lonk. Tapi kematian menjemput Xavier lebih dahulu ketimbang Matthew, menjilati kulit dingin Xavier yang berlumur darah, mencium matanya yang terbuka, bola mata madunya yang dikerumuni lalat bangkai, ia terbaring tanpa takut menggigil.
Saat itu Kiana takut menjelaskan lagi, jika tiba-tiba Matthew melampiaskan dengan kemurkaan dan kejahatan, balas dendam, dan ambisi untuk Xavier ia tidak bisa menahannya. Dia melihat Matthew sangat hancur, menunduk tanpa dapat bergerak, ia kehilangan temannya yang baik untuk selamanya.
Malam-malam itu Matthew mengganti selimutnya dengan buku harian, dia menulis untuk Xavier dan kenangannya. Malam itu aku memimpikanmu tenggelam dalam keruhnya air yang aku takutkan, bayangan muncul dan memberikanku jawaban mengapa aku merasa hampa. Kau bodoh mati mendahuluiku, tapi kau akan bilang padaku 'harusnya kau senang aku mati, aku punya seluruh rahasiamu'. Hei, kau menjaga rahasiaku menepati janjimu bahkan kau membawanya hingga kepada maut. Aku membayangkan diriku jika menceburkan diri dan menyelamatkanmu, mungkin kamu hidup dan aku yang mati. Maukah kau yang hidup dan aku yang mati, menunggu umpan yang aku lempar dan menjaga semua yang aku cintai?
Kau ingat aku berdiri melihatmu menangis saat usiamu sudah dewasa? Karena ayahmu lagi, kau bayi besar yang penakut. Aku ingat kau mengatakan ingin pergi, apakah ini yang kau inginkan? Sampai air keruh itu jernih dan menjelaskan mengapa kau jatuh aku akan tenggelam mencari tubuhmu, kau akan mengapung dan menarik nafas baru, tapi tariklah aku kembali dari air itu. Kita butuh anggur lagi, anggur pertamamu adalah milik pamanmu, kau minum saat masih 7 tahun dan kau muntah di gelasnya. Aku melihatnya dan lari lebih dahulu Xav, bukankah itu yang kita lakukan sedari dulu? Bersama-sama membuat kerusuhan.
Lantunan angin berlagu menemani Matthew sepanjang malam yang menyedihkan, bintang malam membentuk kerutan murung dan kesedihan di atas kota Sonya. Lagu-lagu itu mengingatkan dia bersama Xavier, ancaman yang diberikan, kerinduan, kesakitan, dan kekosongan. Lalu ia tertidur 2 jam sebelum subuh karena gorden menyentuh pipinya berulang kali, ia ingin bermimpi tentangnya dan Xavier saat muda. Saat mereka bersemangat dan berlari dengan kaki-kaki kuat, membangun kastil raksasa dari impian dan kesabaran hingga jadi. Kastil itu belum rampung, Xavier tidak ada dalam mimpinya untuk berlari bersama membangun kastil, seperti ia tidak ada selamanya sekarang untuk Matthew.
*****
-Hai guys:) terima kasih banyak ya sudah membaca semoga suka!! jangan lupa vote/komen/kritiksaran bila part ini berkesan. Judul partnya mau aku rubah jadi bahasa inggris aja deh, biar beda gitchuuu.
-Pertama nulis sih rencana akhir cerita mau sampe part 30, lah ini cerita belum sampai alur klimaks baru di part segini hahaha, tapi yang namanya fantasy itu ya rata-rata banyak gitu a.k.a bukunya tebal kaya alis kylie jenner.
Keywords :
1.) Batu Glork : Batu glow in the dark, cahayanya seterang lampu dan sehangat lilin.
Example pict :
16/8/2016
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro