Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 29 - Suatu Simbol

Kuda berkulit coklat gelap terhenti saat dihadapkan arus sungai, penunggangnya menghentikan gerak tangan di tali kekang. Iris biru pucatnya menyisir sungai, ragu membayangi benaknya untuk menembus sungai. Diingatnya lagi, beberapa minggu yang lalu ia melewati sisi rendah sungai yang mampu diterjang oleh kuda, tapak kuda sampai ke tanah bebatuan di dasar sungai. Ia menengok ke kiri ke tempat yang dimaksud dan membawa kudanya ke tempat tersebut.

Ugrah sampai pada titik di mana ia berusaha untuk mencari jawaban, teka-teki menyusun sendiri perisitiwa perihal kematian anak sang Raja, Xavier Handstar. Hutan Flyanger terbentang luas di hadapannya, tak ada lagi pasukan yang berkeliaran di sana setelah kolonel Goffer memerintahkan untuk menarik pasukan penyisir pencari anak Raja dan membawa pulang jenazah prajurit di hutan beberapa hari yang lalu. Tanpa ada yang tahu hanya Ugrah yang masih bertahan mencarinya, berharap suatu keajaiban muncul dari tanah di hutan Flyanger dan memberikan petunjuk baru.

Sungai telah ia lewati, dirinya yang setengah basah berjalan di samping kuda sambil mencari tempat berlindung dari sengat matahari. Ia menepuk kepala kuda dan kemudian badannya yang berisi. "Hai. Kau tak apa?" Ia memeriksa kaki kuda, biasanya batu sungai menyangkut tapak dan menyakiti kaki kuda saat mulai berjalan. "Tetap bersamaku ya."

Komandan 3 Sonya yang masih kuat itu mengincar lokasi utama keberadaan Xavier yang ia yakini pusatnya hilang. Ia tak memiliki peta hutan, tak tahu arah yang benar. Ia hanya mengikuti bekas perjalanan regu Xavier setelah membagi grup. Ugrah merelakan jabatan komandan yang penting itu, menyerahkan nyawanya yang pasti terancam karena mengabaikan tugas dan menghilang tanpa sebab. Goffer biasanya yang kewalahan jika Raja tidak memberi dukungan banyak, dan Goffer bakal menarik jabatan Ugrah dan mencari komandan 3 Sonya yang baru.

Kudanya berjalan ringan dan tetap lurus, ia kadang mendengus marah. Ugrah mencium aroma lain yang tidak asing, bau yang pernah ia cium selagi ia hidup. Ia mendatanginya tanpa mau menimbangi lagi sendirian di hutan di bawah derasnya ranting besar yang menggantung di atas kepala. Tanah lembek yang dipijak menjadi ruang luas yang membentuk pandangan baru, ia menemukan sarang Lonk, jurang dalam yang berisi ratusan bangkai Lonk yang hangus terbakar. Beberapa klan yang bekerja sama dalam pembantaian Flyanger dahulu membersihkan hutan dari bangkai Lonk yang bertebaran di sepenjuru hutan. Mereka menimbunnya di sarang Lonk itu sendiri, membakarnya hingga menjadi abu hitam dan menghilang jika hujan turun. Tidak ada yang lolos, Lonk yang mati di luar hutan diseret ke sarangnya dan ditimbun hingga hangus terbakar api besar.

Gunung abu Lonk itu masih melepaskan asap bau mereka, bau yang mendekati aroma babi bakar yang harum, hanya ditambahkan bawang. Merasa terhanyut melihat panorama itu, Ugrah mulai memeriksa sekitar dan mulai mencari. Tubuh pendek gempalnya itu tunduk memperhatikan tanah hitam di bawah kakinya erat-erat, mencari sesuatu yang belum terlihat oleh pasukan pencari sebelumnya. Namun ke manapun ia mencari tanah itu hanya berisi ranting kecil dan bau amis darah. Terkadang ia bingung dan buntu karena tidak menemukan apapun, sepatunya menendang beberapa ranting yang jatuh berharap memperlihatkan sesuatu, namun tak ada.

Ia kemudian ke lokasi baru dan mencari lagi sambil membaca pergerakan yang biasanya ia hafal, sebagai komandan ia berpengalaman dengan kepanikan dan cara orang-orang bergerak lari saat panik. Mereka akan menjauhi bahaya, mencari tempat perlindungan dan kemudian berlari menjauh. Di atasnya dahan patah dan jelas Lonk berasal dari atas, mereka berlari berlindung ke belakang pohon-pohon yang besar dan Ugrah menyelidik setiap pohon. Tanah berbau amis dan bercak darah di pohon ia temukan, tanah di kakinya ia periksa dan hampir seksama.

Tapi tetap saja sama, Ugrah semakin membuka tanah lembek mengambil kayu besar panjang dan menusuk-nusukan ke tanah bila saja kayunya merasakan hal lain tertimbun. Tapi tetap saja, tak ada apapun di lahan luas itu. Ia tak tahu di mana Xavier berdiri terakhir kali, semuanya sudah sesuai seperti yang ia baca, pergerakan dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Bingung kembali, ia mulai lelah dan setan mulai membisikkan kata menyerah di telinga. Pasukan mungkin juga melakukan hal yang sama dengannya, dan mereka sama-sama tak menemukan apapun selain jenazah pasukan yang lain. Hal terburuk yang dibisikkan semakin menghancurkan hati, bagaimana bisa menemukan tubuh Xavier bila ternyata tubuhnya hilang dihancurkan oleh Lonk saat menyerangnya? Potongan demi potongan masuk ke perut Lonk yang berbeda, dan berakhir di tumpukan abu.

Dia menoleh ke belakang ke arah lubang sarang Lonk patah semangat, menjadi marah dengan dirinya karena sudah memikirkan hal tadi, harapannya datang ke sini untuk mencari Xavier sungguh-sungguh, kini menjadi kesedihan seolah Xavier memang seperti yang difikirannya. Lalu, ketika Ugrah masih menggeluti perkiraan fikiran dengan Xavier suara patahan dahan terdengar dari belakang. Ugrah mendadak menoleh cepat ke belakang merasa itu adalah penguntitnya dan penguntit yang tak sengaja mematahkan dahan itu acap mengangkat kedua tangannya spontan berharap pria yang ia temui itu tidak bersikap anarkis.

Ia waspada pada orang di belakangnya yang masih mengangkat tangan sebagai bukti ketidakinginan akan hal yang buruk. Menatapnya hati-hati. "Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan di sini nona?"

Wanita itu menurunkan tangannya hati-hati, tak menganggap pria tua itu adalah jenis yang lemah. "Sedang mengikuti pergerakan." Jawabnya sesuai dengan apa yang ia lakukan.

"Mengikuti orang asing dari belakang itu tanda keikutsertaan dan keingintahuan yang besar." Ugrah masih belum mau menurunkan gagang pedang yang setengah tercabut dari sarung biru.

"Tidak jika aku sedang bekerja," elak wanita itu. "Aku mengelilingi Flyanger untuk memastikan perbatasan wilayahku tidak diganggu gugat dan sekaligus memantau pergerakan di sini." Ia memiringkan kepalanya ketika menjelaskan dengan irama.

Ugrah kemudian membulatkan matanya, ia ingat wanita itu. "Lady Banner?! Maafkan aku." Katanya ingat wajah tegas dan rambut gelap tipis itu. "Di sini berbahaya, kau sendirian masuk ke hutan tanpa penjaga." Ungkap Ugrah kini menjadi peringai yang lembut.

"Tuan, di Loral anak dari pemimpin tidak seperti di kerajaan formal yang merenung ditutupi gaun dan mahkota dengan batu permata mereka, lalu duduk bersama kuda pony dan mengepang rambut panjangnya. Kukira kalian mengetahui kisah dari Iva Banner, anak sulung dari pimpinan Loral. Apa yang kau lakukan di sini komandan? Pasukan Sonya sudah ditarik mundur dari hutan sepengetahuanku." Iva penasaran. "Apa mengenai putra Raja?"

Perlahan Ugrah mengangguk tak dapat menyembunyikan lagi. "Sudah lama saat itu terjadi, mereka tidak menemukannya, mereka tidak mengetahui di mana raganya terbaring. Suatu tempat di sekitar sini, dia berbaring dengan pertanyaan yang menyembunyikannya."

"Tuan." Suara Iva mengalun simpati, ia melangkah mendekatinya. "Biar aku membantumu. Sebagai tanda terima kasih secara pribadi atas bantuan kalian memusnahkan Lonk dari daerah ini." Seolah ia yakin Xavier juga berada di dalam dan tersembunyi.

Ugrah tersentuh, kepasrahannya musnah dan kembali menjadi harapan yang baru dengan bantuan Iva yang berkeliaran sangat jauh dari rumahnya. Dia menerimanya, dan bersama Iva ia mencari. Wanita bertubuh tinggi itu melakukan hal yang sama dengan Ugrah, mencari sesuatu yang belum terjamah oleh pasukan sebelumnya. Kali ini Iva mencari lebih jauh dari tempat Ugrah menyisir lokasi, ia membuang ranting dan menyapu dedaunan yang gugur, kayu yang ia bawa ia tusuk ke setiap tanah merasakan apa yang disembunyikan tanah lembek.

Saat ia merasa sesuatu yang lain dari kayunya, ia mencabut hal itu dari dalam tanah lembek, namun hanya benda biasa seperti bebatuan. Ugrah mencoba melirik ke bawah sarang Lonk, menajamkan penglihatannya di antara timbunan abu Lonk bila ia melihat sesuatu yang tidak biasa. Matahari meninggi dan tidak ada awan yang tersebar hari itu, sengat panas mengeringkan tenggorokan selama pencarian berjam-jam penuh usaha.

Ugrah masih mencari semakin jauh dari sisi Iva, selagi wanita itu masih mengatur nafasnya dan membasuh keringat ia mengisi ketegangan. "Apa Rajamu sedih atau frustasi?"

"Tidak keduanya." Ugrah jauh dan masih terdengar Iva. "Jika ia cemas ia akan melakukan apa yang aku lakukan." Sindirnya.

Iva melirik kanan dan kiri mengacak pinggangnya yang pegal. "Hmmm, kau sepertinya lebih cocok menjadi ayah pemuda itu dibandingkan ayah aslinya." Ia lelah dan mencari pohon rindang di sekitar tanpa diketahui Ugrah.

"Tidak juga. Rasa simpati dan sayangnya pada Xavier sudah dimakan usia, salah rasanya jika membela dia atas apa yang diperbuat kepada anaknya satu itu." Ungkap Ugrah memendam geram.

Iva duduk di bawah pohon besar yang tinggi menjulang, badan pohonnya begitu halus dan tebal dengan pola lingkaran pohonnya menyebar. "Dia terkenal dengan sebutan itu." Kata Iva.

"Sebutan apa?" Ugrah masih suka menyahut, ia memilih percakapan untuk menghilangkan sedikit rasa kegundahannya mencari berjam-jam.

"Pria sudah tua tapi memiliki 3 anak yang masih muda." Iva tak takut mengomentari. Rambutnya basah terkena keringat, ia mencoba mencari daun terlebar untuk dijadikan kipas di antara kaki.

"Ada peraturan di Sonya mengenai sindiran terhadap Raja, 2 tahun penjara." Ujar Ugrah mengingatkan Iva, berjaga-jaga bila sikapnya tak semanis wajahnya. "Tapi memang dia seperti itu. Dia sangat telat untuk memiliki anak." Ia juga tak takut bila difikir-fikir memang kenyataan seperti itu.

"Bagaimana ia bertemu Ratu saat itu? Kukira ia akan mencari istri muda, namun sepertinya Ratu seumuran dengannya."

"Ratu Flanitta adalah cinta pertama Raja Imanuel saat ia berumur 18. Mereka bertemu di kota kecil Fhasa, saat itu Raja mengikuti rombongan pamannya untuk kembali ke Sonya. Ratu ialah anak kedua dari sepupu sahabat Raja, mereka harus terpisah lagi karena dia harus selalu mengikuti pasukan dan pertemuan singkat itu menjadi memilukan. Mereka bertemu lagi, berpisah lagi, bertemu lagi, berpisah lagi dalam tempo yang lama, hingga pada akhirnya Raja memusnahkan perpisahan mereka dengan menikahinya. Ia tak mau memiliki anak dahulu karena alasan tertentu yang tak kuketahui, sampai pada akhirnya di ujung usia ia memiliki 3 anak." Jelas Ugrah.

Iva menikmati cerita dari kerajaan besar tersebut selagi ia masih menyisir di sekitar kakinya mencari benda untuk dijadikan kipas, hingga di depannya satu meter cukup jauh ada selembar daun lebih besar dari pada telapaknya. Ia mengangkat daun berjari lebar dan ia malah menemui tanda di tanah kering di sana. Ia mengernyit memperhatikan, ganjil dan tidak biasa. Ia mendekati simbol itu dengan cepat, menyingkirkan ranting kecil dan daun yang menutupinya, lalu lebih jelas tanda itu terlihat. Simbol itu terdapat 5 bagian yang terpisah dan membentuk lingkaran, setiap tanda merupakan ukiran berbeda yang tidak pernah Iva ketahui sebelumnya dan besarnya jarak simbol sebesar lubang hewan pemakan semut. Salah satu simbol terdapat gambar kepala seperti kadal besar, keempat yang lainnya adalah bentuk yang tidak ada artinya.

"Tuan Ugrah, kurasa kau mau melihat ini!" Jeeit Iva masih menjaga keaslian simbol tersebut. Ugrah mendengarnya tak ambil fikir, ia terbirit-birit mencari Iva.

Ia sampai di belakang Iva dan jongkok mendekati, Iva yang penasaran memainkan jemarinya di sekitar simbol. "Kau tahu ini?"

Ugrah merasa berdebar, mengerutkan keningnya tidak pasti. "Tidak."

"Tidak pernah melihat seperti ini sebelumnya selama aku hidup. Apa kerajaan Vanella memiliki simbol ini?" Iva tidak berani menyentuh simbol, takut jika ada sihir masih hidup.

"Vanella lambangnya hanya burung cendrawasih. Aku pernah melihat yang satu ini." Ia menunjuk satu simbol dengan ukiran kepala kadal.

"Apa buruk?"

"Perasaanku bilang iya, namun kebenaran sesungguhnya belum pasti." Ia melirik Iva yang ikut meliriknya. Mencoba memahami makna setelah melihat simbol yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya. "Hanya ada satu tempat untuk memastikan mengenai kelima simbol ini."

Iva bangkit, menatap mata Ugrah tajam. "Ke mana kau pergi selanjutnya?"

"Jatum. Kota para tetua." Ugrah yakin.

"Sepertinya ini pertemuan singkat." Iva mengangguk, menghela nafasnya pelan dan menatap wajah keriput Ugrah.

"Ini pertemuan paling indah," ia membalas tersenyum kecil. "Terima kasih Lady Banner atas bantuanmu. Tuhan mengirimmu ke dunia ini untuk tujuan yang baik dan aku bersyukur kau di sini. Kau mungkin orang terpilih untuk menemukan ini, tanpamu aku tersesat dan hanya berputar di dalam sini tanpa bisa menemukan simbol itu."

"Kita dipilih untuk menguak sesuatu bukan? Aku hanya beruntung kurasa, kurasa cerita Xavier mempunyai kisah menarik. Aku harap kau menemuka jawabanmu komandan." Katanya.

"Jadi, selamat tinggal my Lady." Ugrah tunduk dengan hormat, lalu meninggalkan Iva menuju kuda. Iva sendiri merasa takjub dengan pria tersebut, penilaiannya sangat tinggi dengan loyalitas seorang komandan kerajaan demi menemukan salah satu anggota kerajaan, di saat yang lain menyerah yang satu itu tak mengenal menyerah, ia hanya mengenal harapan.

Ugrah berkuda lagi menuju timur dari Flyanger untuk keluar dari hutan, Jatum yang ia tahu berada di timur tidak begitu jauh, ia hanya mengikuti anak sungai. Ia yakin para tetua tidak asing dengan simbol-simbol tersebut, kini ia mengembara bersama waktu dan setiap waktu memberinya kesempatan baru.


Di hutan belantara lain Kiana berjalan seorang diri mencari jalan setapak yang pernah ia lalui, saat itu ia pernah tersesat dan menemukan jalan di bawah bukit dan menuntunnya ke rumah yang rusak, ia memulai pencarian dari sana.

Jalan setapak itu ia temukan dan juga beserta rumah gelap, dari kejauhan ia memperhatikan, merubah pandangannya ke arah sudut pandang Haxel. Menurutnya Haxel yang tiba-tiba datang itu tidaklah meyakinkan, dari kesempatan yang ada di antara luasnya hutan tersebut kecil kemungkinan seorang pria berada di tempat yang sama dengannya.

Kiana memperhatikan rumah itu, lalu ia mulai berimprovisasi, kepalanya begitu segar dan menuntunnya untuk memeriksa setiap badan pohon yang tersebar yang berada sebelum rumah itu. Ia memperhatikan tanda-tanda di pohon, namun tidak ada. Lalu ia mendekati rumah dan berhenti ketika satu pohon terlihat memiliki bercak gelap yang mengering. Ia dekati tubuh pohon, merasakan bercak itu di tangan, mengendus dan mengingat.

Darah.

Kiana yakin itu darah dan logikanya mulai bermain. Kemungkinan Haxel yang berlagak baik itu membasuh pisaunya yang telah berlumuran darah ke pohon sebelum membunuh Lonk. Satu bukti dan Kiana masih tak puas. Ia berjalan lagi sesuai memorinya dahulu, setelah itu Haxel mencoba membujuk Kiana untuk beristirahat di tendanya. Kiana ingat suatu batu berbentuk segitiga menjadi petunjuk arah dan ia mulai mencari dengan giat. Ketika batu segitiga itu dengan mudah ditemukan ia mengambil sisi kiri dan mencari tempat terakhir.

Derak daun terseret saat Kiana melangkah, menelusuri jalan kecil di antara pahon tanpa buah. Lalu ia melihat sebuah tenda yang masih kokoh. Kiana bingung, tenda itu tak tersentuh sama sekali setelah mereka berdua meninggalkannya membuat Kiana tambah mencurigai. Tenda putih itu ia datangi, bekas bakaran api unggun sudah layu dan lembab karena dingin, jelas-jelas Haxel tidak kembali ke tendanya. Tenda itu dingin, di dalam masih kering dan tas-tas yang berdiri di sudut masih ada, Haxel tidak mengambil miliknya, mengapa?

Ia keluar tenda mencari sudut pandang dari luar tenda dan menuju belakang, bebatuan kecil tersebar dan ada batu besar di sebelah tenda. Lalu ketika ia menapakkan kakinya di atas salah satu batu, ia melihat bercak kering sama seperti di pohon sebelumnya. Ia berjongkok, memperhatikan dengan jeli bekas tetesan darah, kemudian darah itu menggiringnya ke batu yang lain di belakang dan ia yakin sesuatu terjadi di sana.

Bebatuan kapur yang memiliki bercak kering itu semakin membawanya jauh ke belakang, walau tak ada batu lagi, ia tetap mengikuti arah lurus hingga menemukan petunjuk lain. Saat Kiana berdiri mematung ia terhenti di tepian tanah, jurang tinggi menyapanya. Kiana melihat ke bawah jurang, jurang itu penuh bebatuan dan tumbuh bagaikan lumut. Semilir angin bersiul di bawah sana, ia tak mengira di Marclewood memiliki jurang batu tinggi, merasa melayang berada di atas sana dan kakinya mulai bergetar. Namun dia melihat sesuatu di bawah sana, seonggok mayat yang sudah lama di antara batu kapur yang menghapit.

Kiana mundur dengan takut, lalu ia mulai panik dan mulai menemukan petunjuk baru karena itu. Ia kini tahu tenda yang Haxel bilang miliknya ternyata milik orang lain dan orang itu terbunuh di jurang depannya. Darah di pohon, ia yakin darah itu milik mayat di bawah. Itu rangkaian peristiwa yang disengaja.

Kiana berlari ke dalam tenda, lalu memeriksa lantai. Di bagian sudut di dekat pintu kain tenda kotor dengan cap sepatu yang samar. Dan seingatnya Haxel pernah masuk dan terpergoki oleh Kiana sendiri tengah menggenggam batu A'dinnya lalu mengaku sedang memeriksa karena batu itu terlihat salah. Kiana bangun dan keluar masih sedikit lagi jawaban yang ia butuhkan untuk memastikan salah satu tersangka. Ia menuju suatu gua tempat ia pernah bersembunyi lagi bersama Haxel, gua itu masih memasok cahaya, Kiana mencari tempat terakhir ia memposisikan tubuhnya berisitirahat. Ia berdiri di atas lokasinya, lalu menatap dinding di seberangnya di mana itu tempat Haxel menunggu.

Kembali lagi mencari petunjuk, ia mengamati tanah berpasir. Benar saja, jejak sepatu tersusun dari arah Haxel dan berakhir satu langkah dari tempat Kiana beristirahat kali itu. Rupanya Haxel mendekatinya juga di gua itu dan mengapa?

Ia dibantu kembali dengan mengingat penglihatannya ketika ia berada di Vanella saat tengah melakukan penetralan batu A'dinnya bersama Sayana. Ia melihat batunya tengah digenggam seseorang ketika ia tertidur. Kini ia tahu mengapa. Haxel memasukkan mantra gelap ke kalung Kiana di tenda dan di gua saat ia terlelap. Pemuda itu membuat batu Kiana menjadi liar dan mau wanita itu menderita karena kekuatan yang tak mampu ia kendalikan. Ia merencanakan semuanya agar Kiana tetap mengikutinya, sampai pada akhirnya dia menghilang tanpa kabar. Dialah salah satu pengikut Darkpross, informan kaum utara yang bekerja sangat baik. Kabar buruk untuk pria itu ialah Kiana mengetahui akal busuknya.

Ia tak pernah berfikir pergi ke Marclewood untuk sampai ke situasi ia bersama Haxel, untungnya setelah pergi dari Sonya memberikan penerangan untuk kembali dan mengingat. Jawaban ia dapatkan, tapi bukan tujuan mencari penyebab ia sakit saat di Marclewood ia pergi, ia ingin mengintip Torin Maxima.

Marclewood menuju barat ia merasa takut dan lemah karena sudah merasa hawa dingin, Marclewood adalah hutan hangat yang bisa menjadi tropis. Sisi Marclewood wilayah Torin Maxima itu kini menjadi sedingin selatan saat musim dingin datang, daun-daun mulai berwarna pucat, pohon gundul dan tanah menjadi keras. Burung hantu bersiul dan bernyanyi dengan muram, mereka menyanyi saat melihat Kiana berjalan pelan di balik mantel hitam tebal yang menutupi. Ia makin dekat hampir keluar hutan, udara dingin tidak sehangat barat yang ia ingat. Matahari dan angin laut Handil yang hangat tersebar luas di wilayah kekuasan Torin, suara ombaknya seperti terdengar di langit yang biru dan penuh gumpalan awan putih. Tapi Kini dingin dan putih, suram dan sedih seperti reruntuhan kuno di dekat wilayah Dubhan.

Kemudian Kiana melihat lahan luas dan hutan yang habis, ia berada di tanah Torin Maxima yang biasanya dipenuhi rumput dan kereta penuh makanan laut yang dibawa ke timur dan utara. Tapi ia menginjak salju tipis, memori indah berubah tidak menyesuaikan kenyataan. Ia meratap kosong dan memberanikan diri mengambil 5 langkah pertama di salju bagian barat, hanya barat wilayah Torin Maxima saja salju turun karena Zonela yang dilepaskan kekuatannya oleh ayah. Ia tidak berani lagi melangkah dan takut melihat gua itu, gua ia dibawa ibunya untuk disembunyikan dan dipindahkan ke Sonya saat penyerangan.

Walau sejatinya Torin Maxima dan Marclewood masih bermil-mil jauhnya tapi rasanya ia sudah sangat dekat, hamparan salju putih tanpa angin itu semakin banyak dan menyedihkan. Apa kekuatan yang dimaksud setelah melihat kekosongan barat ini? Kiana berjongkok menyentuh tanah dingin yang seharusnya rumput hijau yang basah, ia mengingat semua isi Torin Maxima dan kenangan manis yang sempat menghiasi tahun-tahun terakhirnya. Lalu ia terjatuh dan menahan tangisan, dingin dan putih adalah kematian bagi hidupnya.

Ia tidak sanggup dan takut, kakinya tidak ia inginkan maju selangkah lagi. Tiba-tiba suara elang menyebar di langit, melesat dan berputar di atas Kiana seperti mengincar. Lalu ia melesat ke arah Kiana dan menyerang, mencakarnya dan terbang melawan seperti mengintai musang.

"Elang sialan!" Kiana marah, menampar sayap elang.

"Dat!" Suara berteriak disusul siulan berlagu, elang itu terbang menjauhi Kiana dan menuju lengan seseorang yang berada di balik hutan.

Kiana berbalik dan mengintip pemilik elang yang terlatih. Tanpa ragu ia keluar mendatangi Kiana, elangnya bertengger di tangannya setelah ia memanggil. Wanita itu tinggi dan bertubuh besar, matanya sipit dan kuning tidak bersih, bibirnya hitam dan wajahnya lonjong kurus. Dan cat merah diwajahnya yang khas itu mengingatkan Kiana suatu suku mengerikan yang tinggal di antara hutan Marclewood. Dia punya pakaian tipis dan menutupi rambut hitam gimbalnya, matanya seperti hantu yang menatap setiap orang dengan kosong.

"Kau dari suku Jacamea?" Kiana melontarkan pertanyaan, suku Jacamea adalah pengikut Torin Maxima dan mereka tidak dibantai seperti kaum Torin.

"Elang adalah sahabat kami." Katanya. "Maafkan aku mengenai elang ini, dia elang ketigaku yang aku lepas. Kita sedang berburu dan biasanya di salju di luar terdapat musang lewat, Dat pasti mengira kau musang sehingga ia menangkapmu."

Suku Jacamea memang terkenal dengan berburu bersama elang, mereka sudah melakukan tradisi itu sejak 5000 tahun yang lalu dan tetap menjadikan elang sebagai mata pemburu. Biasanya mereka melepaskan elang raksasa itu ke hutan dan menunggunya membawa hewan-hewan untuk dimakan bersama kepala suku dan lainnya. Saat itu ayahnya pernah diberikan 10 buruan elang dari kepala suku Jacamea sebagai tanda ikatan yang masih berjalan, sebagai balasan ayah memberikan mereka hasil setengah hutan Marclewood yang masih menjadi wilayah Torin. Elang-elang mereka dipelihara dari bayi, menculiknya dari induk dan dilatih hingga berbulan-bulan sampai terlatih. Setiap elang hanya memiliki satu tuan, tapi tuan bisa memiliki lebih dari satu elang. Kadang mereka bisa mencari bayi elang hingga di belahan daerah yang lain, menaiki gunung tinggi yang curam untuk mencari sarang elang emas.

"Tentu saja, aku terlalu mungil di salju ini." Kata Kiana. Ia melihat elang wanita itu sudah sangat besar, bulu-bulunya coklat emas yang cantik, paruhnya tajam dan kuning, lehernya panjang dan indah juga ia suka berkedip dengan cepat.

"Apa yang kau lakukan di sini nona?"

"Aku mencari jalan." Sebenarnya ia ingin pulang, ia tidak tahan dengan udara karena batu Zonela.

"Jalan? Kau tersesat?" Sebagai wanita suku ia baik dan logatnya pada bahasa umum masih sulit difahami.

"Aku menemukan jalanku." Kiana memikirkan arti lain, ia melihat ke belakang lagi arah kasil Torin Maxima dan gua ibunya meninggal.

"Seorang wanita yang menuju barat," katanya bernada. "Melihat kembali asal mulanya. Jangan fikir aku tidak tahu siapa kau, Ratuku Isadora kau kembali."

Kiana terkejut ia sudah mengenalnya bahkan ia tidak memberikan nama dan terkesan menutup diri. "Bagaimana kau tahu aku?"

"Aku mengingat wajah itu, wajah ibu anda yang sangat kuat. Jiwanya masih bersama kami dan menjaga kami semua, dan matamu adalah mata Raja yang indah dan sayu. Saat penyerangan terjadi pihak kerajaanmu tidak menginginkan kami membantu karena alasan kami bisa dibantai besar-besaran. Kepala sukuku menuruti yang diperintahkan, kami mundur dan tidak akan lagi terlihat tapi kami selalu menunggu perlawanan balik. Kau masih ada dan kami percaya padamu. Aku Anon Jakalhra dari suku Jacamea, putri Miung Jakalhra bersumpah mengikutimu Ratuku." Ia tiba-tiba bertekuk lutut di salju bersama elangnya.

Ini terlalu cepat mendapatkan orang yang bersumpah pada Kiana setelah Tamara di Clemanos. Tapi ia punya 2 pengikut yang setia, bisa diandalkan suatu saat ketika dibutuhkan. "Kau bisa bangun Anon."

"Kau akan bersama sukumu dan kita akan kembali mengembalikan Torin Maxima. Aku bersumpah akan membawa semuanya ke semula dan memberikan perbedaan." Ia mengatakan dengan mantap, melihat Anon berdiri dari pengabdiannya yang benar dan membungkuk sopan.

"Kita menunggumu, selalu."

Siang itu Kiana memberikan cinderamata pada Anon berupa gantungan Ikan Pari hitam dari besi. Mengingatkan sukunya jika penerus Torin Maxima masih hidup, ia selalu merasa ada banyak suku lain yang masih setia dan menunggu panggilan. Ia mengakhiri perjalanan di barat dan berpindah tempat, angin berputar dan gelap melumpuhkan penglihatannya kemudian suara mulai terdengar dan diikuti dengan gambaran ia berada di Sonya. Saat ia datang dengan kepala yang begitu sakit akibat perpindahan tempat yang sangat jauh tiba-tiba satu pedang menyapa lehernya ketika ia berada di Sonya, riuh suara dan langkah kaki menggebu di sekitar. Lalu lalang prajurit berseragam zirah kemerahan mengarah keluar dari Sonya.

"Ah? Lady Isadora." Prajurit itu menurunkan pedang menyadari kemunculan efek teleportasi bukanlah musuh. "Maafkan aku."

"Apa yang terjadi?" Ia merasa ada sesuatu yang terjadi hingga membuat prajurit-prajurit Sonya berhamburan.

"Kau harus segera masuk." Tak mau berucap banyak dan memprioritaskan tugas pria itu langsung berlari mengikuti derak suara, beruntung wajahnya mulai diingat dan dihafal sehingga namanya bukan lagi hal asing untuk Sonya.

Saat mencari jawaban dengan masyarakat yang berhamburan ia mendapatkan jawaban dari seorang pria. "Ratu kabur ketika ia mendengar kabar simpang siur mengenai Xavier yang berada di Roof Town, dia kira itu benar bila Xavier di sana. Prajurit sudah menyisir kota itu tapi tidak ada Xavier, tapi Ratu tak percaya itu. Ratu terlalu berani untuk pergi ke sana sendian dengan batu Ort yang ia miliki. Dia terlalu merindukan tuan Xavier dan ini pertama kalinya kabar Xavier tiba-tiba muncul. Dia pergi malam tadi, lalu salah satu penduduk di sana datang memberi kabar bilang Ratu sudah menjadi tahanan orang-orang liar karena telah membunuh salah satu putra pemimpin mereka saat perjalanan. Berita itu baru saja datang dan Ratu masih di tangan mereka di sana, prajurit ke sana untuk mengambil Ratu. Itulah yang terjadi nona."

Ia kembali ke rumah perawatan membuka pintunya pelan, dan ranjang di depan jendela itu memperlihatkan raga seorang pria memiringkan kepalanya untuk melihat ke arah luar dari balik gorden putih, lalu perlahan kepalanya bergerak mengarah ke sisi berlawanan, melihat Kiana berdiri mematung di depan pintu dengan mata sayu dan pucatnya memandang.

Matthew tak bisa berbicara, ia hanya berbicara dengan mata birunya, menatap lurus dengan lemah ke arah Kiana, tatapan bahagia melihat wanita itu, ia sadar ia baru menang dari masa-masa sekaratnya, ia tahu ia sudah mati dan rasanya ia hidup kembali.

*****

-Holaaaa, terima kasih banyak sudah membacanya kawan, jangan lupa bahagia ;D

-Ciee idup si Matty #plak jangan lupa votenya, kalau mau tanya juga boleh ;) jangan dipendam loh kan kasian #eak

8/8/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro