Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 26 - Surat Varunnette 1

Fajar pertama setelah hari pembataian menyapa dalam sunyi, hembusan angin tak pernah dirasa lebih deras di wilayah mana pun selain pada bagian Loral, salah satu klan kecil di antara klan lainnya. Tingginya dataran di wilayah Loral tak menghalangi angin laut menerpa semua, hawa menggigil kian menggigit bagai hawa seminggu menjelang musim penghujan.

Suara angin bersiul sepanjang jalan becek di balik tembok, daun telah habis dari pohonnya setelah setiap hari dihabisi oleh angin. Pakaian hangat seperti pakaian musim dingin, mantel panjang menjuntai dengan lapisan dari kulit babi liar.

Di menara itu ruangan semakin dingin dan mencekam, ruangan di lantai tiga tak kosong dan menjadi ruangan Kiana menghabiskan waktunya untuk memantau Matthew. Terlalu banyak jahitan di tubuh Matthew, ada 7 luka robek di punggungnya dan empat luka lebih parah. Ia kekurangan darah terlalu banyak, prajurit Loral butuh memukul mundur Lonk lebih jauh agar mereka bisa mengambil Matthew di bawah sana.

Terkadang Kiana mengumpulkan pertanyaan mengenai keberadaan keluarga besar Tibalt dan juga Isadora setelah kejadian Torin itu. Apa seluruh keluarga memang mati di sana, atau tidak? Apakah seniat itu pengkhianat membasmi Torin hingga tidak ada satupun yang lolos? Pertanyaannya bagaimana dia bisa?

Mata Kiana tak pernah kembali normal dari bengkak karena terus menangis, matanya tak pernah berpaling dari Matthew karena kecemasan akan kondisinya, matanya tak pernah semerah itu karena tak pernah istirahat. Tubuh Matthew seluruhnya diselimuti kain basah beraroma rumput segar menjaga kehangatan tubuhnya. Kiana senantiasa duduk di samping ranjang, memandangnya setiap jam tanpa bosan. Terkadang ia suka jatuh tertidur, lalu ia bangun lagi karena ada rasa takut yang mengikutinya.

Wajah Matthew terlihat pucat dengan banyak luka gores, bulu-bulu kasar diwajahnya mulai tumbuh tak terpangkas memberikan kesan lebih dewasa, biasanya Matthew dan Xavier memanjangkan cambang hingga memenuhi wajahnya agar tidak ada yang mengenali mereka, dan mereka akan membersihkannya kembali saat mulai merasa gatal dan risih. Lengan Kiana meraih wajah pria itu, kasar dan bibirnya pucat dan dingin ketika sentuh, Kiana teringat cakar itu menancap di punggung Matthew membuatnya seolah mayat terangkat di sana.

Pintu di belakang terbuka dan memunculkan Errol mengenakan jaket kulit yang menutupi leher, membuatnya tenggelam di sana. Tanpa kata-kata Errol masuk, menutup rapat pintu lalu menuju ke Kiana yang tidak pernah meninggalkan ruangan itu tadinya.

"Kau belum makan." Errol setelah melihat makanan milik Kiana hari itu belum tersentuh membuatnya khawatir. Wanita kadang pandai melukai dirinya sendiri.

"Nanti saja." Sanggahnya.

Errol membuang nafasnya berdiri di belakang Kiana dan menatap hal yang sama dengan iba. "Bagaimana kabar dia?"

"Nyonya Janny bilang kondisinya terus menurun." Lengan Kiana menjalar ke dada bidang Matthew di balik selimutnya, memeriksa setiap saat detak jantung agar terus berdetak dengan normal.

"Dia bakal baik-baik saja." Errol setengah ingat, rasa ibanya bisa menjadi rasa kemirisan ketika satu-satunya pria yang tersisa dari kaun Torin Maxima harus pergi dan meninggalkan satu-satunya kaum Torin. Bukankah semuanya ingin mereka bersama bahkan hasrat Raja Radella pribadi pun? Errol mulai resah, tidak boleh terjadi apapun dengan mereka berdua jika ingin mengembalikan peradaban tua khas Torin.

"Ketika aku melihat hal itu terjadi, aku pikir aku melihatnya mati, seperti benar-benar mati. Entah mengapa aku bisa berfikiran seperti itu, namun anehnya aku sangat-sangat yakin bila dia mati ketika ia terjatuh dengan mata yang tertutup. Atau itulah terakhir aku melihat mata sebiru laut Handilnya, dan aku ikut mati bersamanya hanya dengan melihatnya mati," katanya. "Sekarang aku marah dengan diriku sendiri karena aku mengecewakan kaumku sendiri. Aku hal yang terburuk yang pernah diciptakan. Aku bahkan tidak mampu membuatnya tersenyum karena apa yang aku lakukan untuknya, aku tak pantas. Hal terkecil bagiku berarti besar untuknya." Wajahnya memerah menahan tangisan.

Kiana merasa tenggorokannya tercekik. "Aku melihatnya seperti aku melihat diriku sendiri. Bagaimana ia menginginkan sesuatu yang tidak bisa diraih. Dia tak mengejar hal lain, hanya satu, hanya satu. Namun satu hal itu sangat berarti untuknya, untuk hidupnya, dia ingin Torin kembali. Dia pernah bercerita padaku ia benar-benar lupa isi Torin, tidak banyak yang ia ingat karena dia masih kecil sama denganku. Dia ingin melihat matahari terbenam dari Pinggir Tebing Torin yang terkanal. Ia ingin mengingat tempat-tempat Torin dan jalanan yang selalu membuatnya terpeleset karena licin. Dia ingin mengingat jejeran kapal yang terparkir, nama setiap kapal, warnanya, dan dia ingin mengingat bagaimana orang-orang Torin bersenang-senang."

"Dia kuat, aku mungkin melihatnya selalu murung tapi dia kuat daripada aku. Aku yakin padanya untuk membawa keadilan di negeri ini, aku yakin ia menjauhkan kita dari kegelapan, aku yakin dialah orangnya. Aku tak pernah melihat seseorang ingin pulang ke rumahnya dan mendedikasikan nyawanya sebegitu besar." Errol ikut murung, Matthew yang ia kenal suka membuat lelucon dengannya, terutama ketika di Marclewood setelah mereka berdua membidik buruan yang sama, masing-masing saling mengira panah yang satunya milik orang asing dan segera waspada, mereka membuat lelucon pada tiap-tiap ekspresi wajah saat itu.

Kiana membasuh air matanya satu per satu. "Aku ingin membalasnya, dengan cinta dan segenap hatiku. Mungkin iblis mengikuti kami karena kami tidak selalu bersyukur, kita melakukan hal buruk yang menodai."

"Banyak cara ketika cinta datang padamu, dia menginginkan bibit seperti bunga. Banyak sekali jenis bibit untuk menumbuhkan bunga, banyak sekali cara untuk menumbuhkan cinta. Dengan banyak membenci terkadang cinta tumbuh. Dengan banyak menolak, cinta akan tubuh. Dengan banyak mendengar namanya disebutkan, akan ada cinta," ungkapnya. "Cintamu akan semakin tumbuh darimu saat kau sering memikirkan kematiannya yang dekat, saat kau sering memeriksa detak jantungnya karena takut itu tak berdetak lagi, saat kau tak pernah melihat matanya membuka lagi."

"Aku tidak mengerti mengapa ada orang yang membenci Torin Maxima begitu besar hingga ia membuat kami menderita. Lalu menyisakan aku dan Matthew untuk tidak dibunuh. Aku pernah ingin melakukannya, mengakhiri hidupku. Tapi aku selalu terbayang senyuman yang diberikan pada pengkhianat itu saat tahu aku meninggalkannya tanpa terluka dan balas dendam."

Errol menggenggam pundak Kiana. "Kalian berdua saat itu di tangan Raja Sonya lalu Radella. Dia tidak bisa membunuh kalian, tapi bukan berarti dia melupaka kalian. Suatu hari ia akan muncul, dan kau akan melihatnya."

"Matthew berhak membunuhnya," pikir Kiana. "Saat kembali sehat dia harus kuat. Errol, dia harus diperiksa di Sonya, dia harus hidup, ada perawatan lebih maksimal di sana." Ia mulai terburu-buru.

"Oke oke." Lengan Errol membelai pundaknya. Mencoba menenangkan Kiana yang panik.

"Aku ingin memindahkannya ke Sonya, dengan batunya." Lanjut Kiana, menoleh ke belakang untuk meminta dukungan di mata Errol.

"Jika kau bisa, mengapa tidak?" Errol selalu mendukungnya tanpa alasan lain.

"Aku tak yakin aku bisa," lalu Kiana sendiri yang ragu. "Aku tidak tahu prinsip Pemindah Tempat."

"Matthew pernah bilang padaku, 'kuncinya hanya kau harus mengetahui tempat yang ingin kau tuju, salah sedikit kau berada di ruang hampa tanpa apapun'," urai Errol mengingat perbincangan di balkon Sonya beberapa saat lalu. "Aku tidak meragukanmu sama sekali, jadi jangan meragukan dirimu sendiri. Cobalah dari hal terkecil, darahmu mengalir bersama batu itu juga, kau keturunan Roma dan Kubra, mereka sama."

"Darah yang sama." Ulang Kiana, dirinya tidak di sana, ia berada di tempat lain.

"Mintalah izin pada komandan Ugrah dia yang memimpin rombongan kita dan Peri di sini. Kau setuju?"

Kiana mengangguk menyetujuinya.

Malam menjadi kian dingin, hari semakin kian cepat. Seorang pria bertubuh besar, memiliki wajah tegas dan jenggot hitam yang lebat dengan kebanggaan yang terletak di pundaknya datang membawa seceret anggur dari gudang penyimpanan. Mantel tebal yang sering ia bawa keluar tak berfungsi bila di dalam ruangan, panas tungku api yang membagi hangat melepaskan dingin yang berkelangsungan.Ia menuangkan anggur dengan senang ke satu cangkir kosong milik seorang pria di meja kayu. "Maaf tentang cuaca kami di sini," katanya. "Kurang terlalu hangat bagi orang-orang seperti kalian." Ia merujuk pada kumpulan Peri.

Beberapa perwakilan Peri yang memanjakan perut dengan hidangan Loral hanya diam tak menggubris terlalu banyak. Mereka kadang melirik ceret anggur yang banyak bergelempangan di atas meja berharap bisa mencicipinya, tapi gengsi terlalu besar dengan alasan 'para Peri tidak boleh meminum minuman keras'.

Komandan Ugrah dan rekannya yang lain masih mengantuk karena anggur milik Loral terlalu lezat untuk tak diminum. Mereka berada di satu rumah yang biasa dipergunakan rakyat Loral untuk berkumpul dan berpesta, namun kedatangan tamu membuat tempat itu menjadi persinggahan para pria dari Peri dan Sonya yang tengah bosan dengan kesederhanaan Loral.

"Kita tak tahu jika kalian akan menuju kemari, jika saja kita tahu, mungkin akan sedikit layak bagi kalian." Kata pria itu lagi duduk di bangku panjang dan meminum anggurnya lagi.

"Para Lonk itu, bagaimana dengan mereka?" Enomyn duduk lebih tinggi dan kurus dibanding pria manapun.

"Argh! Jangan terlalu memikirkan makhluk itu lagi sekarang. Pasukan Loral melakukan penyisiran ulang ke hutan untuk memastikan kebinasaan mereka mencapai 100%, begitupula di daerag lain." Sahut Banner cepat, meneguk kembali anggur untuk menghangatkan tubuh.

"Kita sudah lama terkurung di dalam sana berharap bisa keluar, lalu di sinilah kita kehilangan tuan Azerya." Matanya menerawang udara, pilu dan duka.

Banner merasakan keterpurukan orang-orang Vanella merubah suasana hati dan kegembiraan seisi rumah, ia menatap satu per satu Peri yang bergabung di satu meja bersamanya. "Jadi apa rencana kalian?"

"Kembali lagi ke sana." Saran Enomyn.

"Kalian bercanda?!" Ia mengerut geli, "Vanella tidak menyisakan apa-apa lagi untuk kalian. Yah, aku tahu kastil keramat itu sudah aman dari ancaman Lonk, tapi saranku kalian harus ke pusat kerajaan kalian, Radel-la? Radella, ya." Ia menebak-nebak.

"Sangat jauh sekali, kaumku tak mampu menembus perjalanan begitu jauh. Setengah dari mereka terlalu trauma, prajurit kita hancur tak bersisa." Sanggah Eno.

"Ah! Aku hampir lupa!" Mata Banner menyala besar saat ia benar-benar mengingat sesuatu yang begitu penting, Banner menoleh ke belakang pada meja lainnya dan ia bersiul memanggil. "Pommy! Ambilkan aku surat edaran itu."

Ugrah mulai meluruskan tubuhnya merasa ada yang penting kali ini. Pria bertubuh gemuk datang kembali membawa satu gulungan khas Varunnette.

Banner membuka kertas sedikit kusut. "Edaran ini baru dikirimkan beberapa hari yang lalu. Di sini disebutkan jika anak-anak pemegang batu A'din menjadi buronan mereka, dari berbagai laporan yang datang anak-anak itu membuat 2 kericuhan di Varunnette dan kabur begitu saja," ia tertawa besar. "Mereka diminta untuk ke sana, menghadap dewan Varunnette. Wow, anak-anak itu memang membuat sulit, tapi kupuji mereka mandiri dengan tugas."

Banner membaca lagi. "Dan Varunnette mulai hari ini -tertanggal kiriman surat- memutuskan mengenai batu Ort yang akan dilarang penggunaannya. Produksi batu Ort mulai diberhentikan, dan barang siapa yang ketahuan, terbukti, terlapor, berpindah-pindah tempat menggunakan batu Ort akan diberikan sanksi sesuai ketentuan yang diberlakukan oleh dewan."

"Ini tak pernah terjadi sebelumnya." Keluh Ugrah bertanya-tanya.

"Batu Ort mulai membahayakan. Banyak orang berpindah-pindah tempat dengan seenaknya tanpa mengingat privasi dan peraturan tiap wilayah. Loral sangat asing dengan sihir dan banyak di daerah ini membenci batu-batu berkekuatan seperti itu. Tapi banyak mereka menemui orang-orang muncul dengan Ort, dan hilang meninggalkan bekas. Banyak kerajaan dan wilayah-wilayah lain yang mulai berurusan dengan pengguna 'nakal' batu Ort. Mendapat banyaknya keluhan sepertinya membuat dewan Varunnette mengambil tindakan yang tepat, meski pro dan kontra besar terus menjejali Varunnette." Pimpinan Loral itu berlogika? menggulung ulang kertasnya dan melemparkan ke tengah meja.

"Di pasar, batu Ort ditarik. Varunnette bahkan berani membayar dengan uang bagi mereka yang mengembalikan batu Ort -yang masih disembunyikan rakyat- ke sana," Banner menghela nafasnya cemas. "Disamping kebijakan dan alasan pengguna nakal, kurasa ada keresahan besar yang mengalir di Varunnete dibalik tindakan besar ini."

"Tentu saja. Kapan terakhir kali kau mengingat Varunnette menghentikan produksi batu-batu mereka? Mereka mencemaskan tentang suatu hal dan aku yakin semuanya akan terlihat jelas perlahan-lahan." Imbuh Enomyn dengan suara besarnya.

"Ini artinya peternak kuda akan dilimpahi kekayaan kembali." Sahut satu pria dari Loral lainnya.

"Kau harus memulai bisnis itu eh, peluang sudah muncul." Guyon satu pria lainnya mengisi kekosongan.

"Aku kira aku melihat anak-anak pemegang batu A'din bukan dalam rombongan kalian? Yang mana yang bisa berteleportasi itu? Apa dia pengecualian bagi dewan untuk berpindah?"

"Tak bisa memastikan, mereka buronan Varunnette dan kita menyimpannya." Ugrah menatap bara api. "Jangan berani kalian memberikan mereka pada Varunnette sebagai imbalan uang." Ancamnya.

Banner mendengus. "Mereka anak-anak, cepat atau lambat pasukan Varunnette sendiri yang akan membawa mereka. Dan ngomong-ngomong mengenai anak yang bisa berteleportasi itu, kalian berhasil selamat karenanya kan? Kalau gitu mintalah lagi, memindahkan kalian ke Radella secara cepat."

"Itu anak yang sedang kritis sekarang." Ugrah mengingat Matthew dibawa dengan darah yang menetes di mana-mana, sempat ia berfikir ia tak akan selamat

"Oh." Banner menjadi murung. "Pria di bawah jurang itu, mati karena Lonk bajingan itu. Orang-orangku mendapat kabar tentang Dubhan yang merekrut banyak orang baru. Para pemuja Darkpross, sementara itu banyak orang yang menghilang tanpa sebab." Ingatnya.

"Apa menurutmu semuanya berkaitan dengan Darkpross?" Enomyn ikut di percakapan.

"Darkpross? Sisi busuk itu terus tumbuh di balik pegunungan dan gerbang itu, aku bertaruh kebangkitan mereka akan terlihat dari bagaimana reaksi kita di sini." Banner meneguk anggur terakhir. Angin di luar menerpa atap seperti mengetuk dengan halus, api di tungku menari liar karena angin manjebol sekat.

"Kau mendengar para penyihir Hervodus mulai dikumpulkan oleh Varunnette? Kurasa belum ha?" Pria dari Loral membersut ke percakapan tenang. "Para penyihir akan melakukan sesuatu nantinya. Sesuatu yang mega besar. Sesuatu yang sejarah inginkan." Ia menaruh cangkirnya dan membuat meja bergetar. "Lebih baik kalian sudah mulai membicarakan hal ini pada Raja kalian masing-masing."

Banner berdiri dari mejanya, mengerang untuk melonggarkan pinggangnya. "Dan semakin lama kalian di sini semakin banyak biaya yang kalian keluarkan." Ia melanjutkan, lalu pergi untuk ke kamar mandi.

Eno di seberang Ugrah pun hanya menatap pria tua itu dengan datar, ada harga ada tempat, mereka mendengar moto baru orang-orang Loral tak lama. Tentu mereka orang normal yang tak merelakan tempat mereka menjadi sempit secara sukarela, harga untuk tempat. Ugrah ikut bangkit, merasa mabuk dan mengantuk dan keduanya menjadi buruk untuknya sehingga yang ia lakukan adalah berhenti.

Rumah-rumah kayu hitam yang tersusun di setiap blok perlahan dilewati, kabut malam menyertai angin kencang khas Loral, mantel dingin yang membungkus seluruh tubuhnya semakin erat menyisakan kepala mungilnya.

Ketika malam udara di sana dapat mencapai 10 derajat, jelas saja tak banyak aktivitas di setiap sudut, mereka memilih beraktivitas di dalam rumah masing-masing. Kiana mengikuti jalan berbatu yang menurun bersama satu wanita Loral yang ia kenal, Iva Banner, putri pertama Hangmian Banner pemimpin Loral. Ia mencari satu tempat untuk menemui Yana. Iva berwajah tegas, lebih tinggi dari Kiana 9 centi. Ia berbelok ke rumah bagian kiri, lalu saat masuk rumah udara tidak cukup berubah di dalam sana. Langkahnya pelan, berbunyi senada di lantai kayu, ia mendengar berbagai suara yang banyak di dalam rumah.

"Ini sangat aneh banyak Peri yang ada di sini." Curhatnya berjenaka.

Kiana hanya tersenyum tumpul. "Mereka terkadang mengeluarkan suara sedikit, terkadang bisa menjadi sangat sunyi." Katanya dengan pengalaman yang ia rasakan sendiri.

"Tapi yang ini sangat bersuara." Mata hitamnya menatap guyon Kiana.

Kiana menemukan ruangan utama dengan banyak orang di dalam, tidur di lantai beramparkan selimut tebal pemberian milik Loral. Kiana mulai mencari satu sosok di antara puluhan Peri dan orang-orang lainnya, hingga mata hazelnya menangkap Raydon duduk manis di kursi berada di sebelah dinding kayu, tentu saja dia yang menjaga mereka.

"Hai," sapa Kiana menemui Ray duduk. "Bagaimana kabarmu?"

"Jauh lebih baik." Ray menatap Iva dengan mata hijau menawannya. "Walau punggung sedikit sakit." Sindirnya sengaja.

"Yah, beruntung kalian tidak beralaskan jerami yang diam-diam kita ambil dari kandang kuda." Iva menatap kembali Ray dengan jenaka. "Orang-orang seperti kalian lebih sering beralaskan kasur empuk, jadi jika mau tempat yang lebih baik informasikan pada kita dahulu sebelum ke mari." Tambahnya, namun tidak ada rasa emosi, hanya candaan.

Raydon mengikuti wanita itu senang, menatapnya dari bawah ke atas di duduknya. "Aku yakin kasur terempuk tersembunyi bagi orang-orang spesial, seperti kau, dan aku juga spesial." Ia terdengar menggoda lagi.

"Harga untuk tempat." Iva memincing, ia berjalan pergi berpikir Kiana membutuhkan sedikit privasi.

"Kirimkan aku alamatnya." Gumam Raydon masih menyandarkan punggungnya, Iva melirik ke belakang lagi untuk memberikan tatapan penuh makna ke Ray dan pergi.

Kini ia menatap Kiana, wajahnya kusut dan matanya bengkak. "Jadi, bagaimana Matthew?"

Wajah Kiana berubah layu. "Aku masih menjaganya di sana."

"Anak itu gila, tapi tanpa kegilaannya kita tak akan bisa selamat." Pikir Ray mengingat kemarin.

"Kau berhutang nyawa padanya, ingat itu saat ia membutuhkan bantuanmu." Kata Kiana.

"Oh." Ray akhirnya sadar sendiri. "Aku yakin kau ke sini ingin mengambil batumu, pengobat dari Vanella memberikannya." Ray mulai merogoh sakunya dan ia memberikan pada Kiana.

"Apa ini?" Kiana bingung saat diterimanya batu miliknya itu berubah. Dahulu kalungnya yang perak kini menjadi hitam dengan tali yang lembut, batu A'dinnya pun terikat di dalam lilitan yang mengurung batu di dalam.

"Aku mengganti kalungnya, mungkin dapat mencocokkan warna batu yang baru dan kau tidak bosan dengan batunya." Ray merasa batu Kiana begitu membosankan, sampai-sampai ia ingin menyembunyikannya dan mengembalikannya hingga ia menemui perhiasan yang cocok di pasar atau toko manapun.

Kiana mengangkat kalungnya, menatapnya terpana. "Bagaimana kau memasukkan batunya ke dalam sana? Bahkan celah-celahnya sangat kecil."

"Butuh waktu, tapi kabar baiknya batunya tidak bisa jatuh dari sana kan? Kalung itu dari basi Ganusion, besi terkuat." Ray tersenyum sumringah. Yana yang memberikannya, sebagian Peri yang usaha perhiasan untuk batu-batu sering mengukir kalung, cincin, anting, dan perhiasan yang lain dengan macam-macam bentuk. Pasar batu yang terkenal oleh kaum Peri berada di perbatasan utara dan barat, pasar Ketenelf.

"Ini cantik sekali, terima kasih Ray." Kiana sangat senang.

"Jadi? Apa ada hal yang ingin kau bicarakan kali ini?" Ray merasa kejenuhan Kiana, dia selalu datang dengan tegang dan mata lembab.

"Matthew harus segera diobati di Sonya untuk lebih baik lagi."

"Apakah harus segera?" Ray menegakkan tubuhnya yang kaku.

"Harus, aku berfikir untuk menggunakan batu Matthew memindahkannya." Kiana meracau, tapi ada kepercayaan diri dan kenekatan yang kurang bisa ia pilah.

"Aku juga berfikir untuk membawa pulang para Peri ke Radella. Entahlah, aku harus mengirim pesan ke Raja Salvado mengenai ini atau ayahku. Sonya terlalu jauh, aku tidak mau menambah resiko apapun pada mereka diperjalanan, tugas ini terlalu mencemaskan." Ia memikirkan Yana di dalam hati, sebenarnya hanya adiknya yang ingin ia selamatkan secepat mungkin, membawanya ke persinggahan yang ramah dan hangat menjauhi teror.

"Tugas yang baru datang berdampingan dengan tugas lama, kita belajar mengerjakan semuanya dengan kesabaran. Aku punya tugas lain kau punya tugas lain sama seperti teman-teman kita punya tugas lain, tapi kamu harus memilihnya. Tugas itu seperti kartu, kamu memilihnya lalu menaruhnya setelah selesai, tapi kau harus membuka kartu lainnya sampai semuanya beres." Kiana berdebat, seperti melawan Matthew tapi beda sosok.

"Batu A'din tidak pernah bisa digunakan tangan lain selain yang dikehendaki. Anak Raja Peri pernah menjadi salah satu kandidat untuk memegang batu Tenebrific, 3 bulan lamanya ia masih tidak tahu cara menggunakan kekuatan. Ayah tiri Errol pernah menjadi pemegang batu Transformer setelah ayahnya wafat, ia diserang kutukan batu A'din, tangannya panas seperti melepuh lambat laun, dan ia memberikan pada Errol ketika ia muda. Errol menceritakannya. Apakah batu Matthew bisa kau gunakan?" Ray kadang merasa batu Tenebrific memilihnya dengan kesengajaan, mengapa batu itu memilihnya? Dia tahu bahaya itu ia kenakan setiap saat, Tenebrific adalah kekuatan gelap Darkpross, mengapa batu itu ingin Ray yang menggunakannya?

"Seseorang berasal dari Varunnette yang aku temui di Radella dahulu pernah bercerita, batuku dan batu Matthew adalah batu saudara. Pemilik kekuatan memiliki darah yang sama, tapi dipisahkan dengan niat yang berbeda. Matthew tak ingin menggunakan batuku dia bilang, tapi dia mengizinkanku menggunakan batunya dengan syarat yang begitu banyak." Ingatnya.

"Jadi kau sudah mencobanya? Kita berbicara skala besar, ratusan orang melawan pemakai awam." Ray menekankan lagi, tidak percaya pada Kiana.

"Beberapa kali," katanya. "Tapi aku mampu."

"Kau pernah mencoba memindahkan ratusan orang?" Ray memincing, dia cemas Kiana tidak akan menuntun semua ke Sonya, bisa saja ke tempat kelam yang ia fikirkan.

"Tidak, tapi lihat Matthew kemarin? Ia memindahkan kalian sekaligus tanpa latihan, karena ia bisa." Tekannya, selalu keras kepala dan menunggu persetujuan.

Ray menghela nafas berat, menyerong meja kayu dan melirik Yana jauh di pojok ruangan. Mata adiknya menatap kecil-kecil kakaknya dan Kiana, berhati-hati dan menguping. "Komandan Ugrah memimpin, dia punya kekuasaan demi kebaikan kita. Jika kau memang ingin melakukannya, buat pria itu percaya kau bisa. Dan kau bisa melakukannya."

Kiana menunduk dan merasa hawa panas di kepalanya, ia melirik para wanita Peri di dalam ruangan dengan pandangan buram, dia harus membuang jauh-jauh keraguan itu dan tidak menunjukkan kejenuhan di depan Ugrah, demi keselamatan Matthew. Ia pergi dari rumah itu dan mencari komandan Sonya, malam dingin dan cahaya padam yang menyinari setiap sudut rumah mengingatkannya desa dulu. Terkadang ia harus mampir ke bar, memesan minuman hangat gelas kecil dan pergi lagi selagi tubuh masih hangat karena minuman.

Setelah sesi tanya yang berangsur dan melelahkan mengenai keberadaan tuan Ugrah, Kiana menemuinya di sisi utara Loral yang cukup jauh dari perumahan penduduk. Ia berdiri di pinggir tebing diterpa angin malam menggigil, jubahnya terbang bahkan sekencang apapun tali yang ia ikat. Suara angin membuat bising telinga, jauh di bawah tebing adalah lahan hijau dan dataran tak rata, pohon kering dan berkabut di bawah.

"Tuan Ugrah," suara parau menyapanya. "Maaf aku mengejutkanmu."

Ia berbalik, menangkap wajah pucat dan kedinginan wanita di belakangnya. Bahkan jubahnya tak setebal miliknya dan ia bisa ke sana. Ia hanya bergeming, menatap Kiana sedingin angin, seperti orang yang tidak ingin diganggu.

"Kau mungkin tidak mengenalku, aku Kiana Isadora, saudara Matthew, pemegang A'din." Itu sudah terdengar buruk pikir Kiana, jika Ugrah tak mengenalnya bagaimana bisa ia mengizinkan?

"Aku tahu kau, teman Xavier." Suara Ugrah besar dan serak setelah minuman yang memabukkannya, berkali-kali ia harus mundur agar tak jatuh ke tebing karena angin sialan.

"Ya, Xavier." Kiana melangkah, suaranya harus didengar jelas. "Haruskah kita pulang? Kembali ke Sonya?"

Ugrah terlihat tertarik dengan perbincangan tersebut, wajahnya tak tegang lagi dan ia turun mendekati Kiana. "Aku masih dalam tahapan memikiran ide untuk memindahkan kelompok pengungsi, pemakaian batu Ort sudah mulai dilarang dan membuat permasalahan baru bagi kita. Perjalanan kembali ke Sonya begitu jauh dan tak banyak bekal bahkan orang-orang kita. Tak ada kabar dari Sonya yang begitu aneh, biasanya Sonya menyebarkan banyak pemberitahuan kepada seluruh klan, namun kini nihil." Jelasnya lugas.

"Ort dilarang?" Kiana mengulang, apakah batu Matthew termasuk? Pikirnya.

"Tidak ada batu Ort lagi." Kata Ugrah. Ia sangat ingin lekas kembali untuk memastikan Xavier selamat, atau setidaknya mengetahui kabarnya dari orang lain di sana. Ia cemas, apakah regunya berhasil menemui prajurit yang menunggu di luar Flyanger? Ia percaya, tapi mengapa keadaan sekarang membuat dadanya penat akan sesuatu, sesuatu yang buruk.

"Kondisi Matthew semakin menurun komandan, aku mengajukan diri untuk memindahkan kita dari sini."

Ugrah memincingkan matanya yang sarkatik. "Memindahkan?"

"Untuk memindahkan mereka kau membutuhkan Matthew, tapi dia semakin sakit kesadarannya akan lama. Jika kau keberatan, aku bisa menggantikan Matthew membantu mereka sebisa mungkin untuk kembali ke Sonya semakin cepat." Jelas Kiana, untuk sesaat ia bingung mengapa dadanya berdetak keras.

Ugrah terlihat tersenyum masam dan mendatangi raga Kiana untuk mendengarkan lebih jelas karena angin masih kencang. Ia menimbangi penuh ketidakpercayaan. "Kau tahu akan memindahkan ratusan orang kan?"

"Aku tahu," ia menggeleng cepat membuyarkan pikiran, "tapi kita harus cepat pergi kan? Aku memikirkan memindahkan secara berkala, perlahan-lahan tidak secara masif."

"Bukan banyaknya orang yang dipindahkan dalam beberapa menit lady Isadora. Tapi apakah kau menguasainya? Pindahkan orang ke Sonya dan bagaimana cara memastikan mereka sampai?" Ugrah masih belum yakin. "Aku tidak meremehkanmu, namun tanggung jawab ini cukup besar."

"Aku akan mengirim satu orang ke Sonya dan memesankan padanya di mana pun ia sampai ia harus mengirim surat ke Loral tentang dirinya." Saran Kiana.

Tampak Ugrah menimbangi, ia mulai cepat pasrah karena terlalu banyak yang ia fikirkan terutama Xavier. "Bila surat datang dari Sonya aku percaya padamu, tapi jika tidak, kita menunggu pasukan Sonya yang ke mari menjemput kita kapanpun itu."

"Dan kapan itu?"

"Sampai mereka sadar." Ugrah pamit pergi sebelum ia semakin pusing, terlalu dingin dan tubuhnya akan jatuh.

Kiana tak terlalu lama larut dalam kekecawaan dan kegagalan, ia berusaha setelah mendapatkan jawaban Ugrah. Ia yakin dari yang disampaikan Ugrah dia juga ingin kembali ke Sonya. Setelah ia mencari relawan dengan susah payah bahkan Raydon sendiri tidak mau, Kiana menghadapi satu wajah berani pada akhirnya, pria yang menaruh kepercayaan, Enomyn.

"Saat kau sampai di mana pun itu, kirimkan surat." Ia memberi amanah dan Eno mengangguk memahaminya.

Kiana memakai kalung Matthew, ia merasakan tubuhnya seperti melayang. Kepalan tangannya terbuka mengarah ke tubuh Eno, lalu ia memikirkan Sonya, memikirkan detail Sonya, memikirkan batunya, dan sulur biru muncul dari tanah di bawah kaki Eno, membungkus kakinya dan melilitnya perlahan, hingga semakin naik ia menghilangkan Enomyn.

Jam bergulir menuju hari, hari bergatian dan apa yang ditunggu datang ke tangannya. Kiana berlari menyusuri jalan dengan surat di tangannya, nafasnya terengah-engah dan ketika ia membuka pintu bar yang ia tuju, ia mendapatkan puluhan sorot mata tajam, termasuk Ugrah.

"Surat dari Sonya." Katanya senang. Senang bila ia berhasil dan senang bila ia akan pulang bersama yang lain.

*****

-Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote, komentar, serta kritik dan saran. Alurnya agak cepat ya ....

-Minal aidin walfaidzin ya kawan-kawan. Di hari raya ini marilah menjadi pribadi yang bersih dan suci dengan saling memaafkan dan menjalin silaturahmi. Jangan lupakan sekolah dan kerjaan yang menunggu kamu huaaaaaaahaha #nangiskeras.

6/7/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro