Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20 - Di Dalam Flyanger

Hilir sungai di hadapan mereka, angin bergemuruh, sungai lebar yang melingkari hutan Flyanger. Jembatan hanya dibangun di bagian selatan hutan dari kawasan Redland, memutar membutuhkan waktu dan komandan Jarke tak menyukai waktu terbuang.

Errol memperhatikan Kiana di dekat hilir sungai, terlihat ingin menyeberangi sungai pertama kali selagi para prajurit masih bersiap-siap. Menyeberangi kuda menerjang sungai yang tidak terlalu dangkal.

"Orang-orang akan mulai berangkat lagi sebelum senja datang. Setidaknya mereka bisa sampai di kawasan Vanella saat waktu untuk tidur." Errol memberi pesan, satu-satunya pria yang berani mendatangi Kiana di saat ia termenung dalam kebiasaannya.

Kiana membuang nafasnya saat fikirannya buyar, kemudian bangkit dari duduknya. "Ini sudah gelap, kenapa tidak di sini?"

"Jika kau mau menetap aku akan-"

"Oh tidak tidak," sela Kiana. "Hanya memberi saran saja, bukan berarti perintah." Senyum palsunya mengembang.

Errol menarik serpihan kotoran di jubah tipis Kiana, membersihkannya. "Kau seperti gelandangan," guyonnya. Dan Kiana terkekeh geli, Errol selalu jujur dan Kiana merasakan hal yang sama. "Siap-siap saja, jangan sampai hanyut." Ia berbalik kembali ke rombongan.

Raydon menatap Matthew yang duduk memperhatikan Errol dan Kiana, menunggu pria itu sampai dan memberinya jawaban yang ia titipkan.

"Masih khawatir dengan hubungan antara mereka?" Matthew berkedip cepat mendengar suara berat Raydon, menatap kudanya sebagai arah lainnya.

Matthew menyemburkan nafasnya. "Berapa lama kita sampai di hutan Flyanger?" Tanyanya mengalihkan topik.

Ray terkekeh. "Dua jam kurang lebih," kata Raydon sembari membenahi kuda dan melilitkan tali agar mampu membawa kudanya menyeberangi sungai. "Berhenti mengganti topik Matt." Ray menggeram.

"Aku tak pernah memikirkan sampai sana. Jika antara mereka ada yang lebih itu pilihan dia, bukan aku."

"Tapi kau tetap patah hati. Patah hati menyebabkan seseorang menjadi orang lain Matt." Ray menggodanya, selalu. "Jika boleh jujur aku tidak bisa membayangkanmu bersama bayi dia jika kau duduk dan hanya bersentuhan. Tapi saat kau hilang bersama Kiana, aku melihat 5 anak-anak Torin yang baru." Ia tertawa.

"Tenang Ray, kau memang peramal." Desah Matthew malas.

"Jika kau terlalu lama untuk mengatakannya atau melakukannya, kau yang akan menyesal di bawah tangisan." Ray pergi membawa kuda ke barisan prajurit Sonya yang sebagian berbaris menuju hilir sungai. Matthew memperhatikan Kiana, memikirkan bayi-bayi yang ia besarkan, apakah miliknya atau pria lain selain pria dari Torin.

Kuda yang biasa dinaiki kini mereka giring berdiri di sebelah masing-masing kuda menuju hilir sungai. Beberapa pria di rombongan sibuk melilit temali, menyimpulnya menjadi kuat agar mampu menyeberangkan semua orang. Otot kaki kuda mampu menahan manusia dari sungai, mata manusia mampi menggiring kuda maju hingga menemui ujung sungai.

Satu dari rombongan haruslah menjadi seseorang yang menyerahkan diri untuk melewati arus sungai, mengikat ujung tali di badan pohon di seberang daratan, tali menjadi pegangan mereka untuk menyeberang. Setiap kelompok rombongan menunggu, menonton seorang pria muda mulai masuk ke dalam sungai, mengernyitkan dahi ketika dinginnya air membekukan jantung.

"Hentikan." Suara Kiana mendadak keluar dengan pelan, nadanya bergetar tak tahan penderitaan yang dirasa pria itu.

Beberapa pria menoleh padanya, Kiana mencoba meraih pemuda di tengah sungai, mengulurkan tangannya. "Keluar dari air," titahnya iba. "Jau bisa tenggelam."

Pria itu takjub dan ia menatap komandannya dahulu dengan makna tanya. Melihat Jarke mengedipkan mata dan anggukan pelan saja pria itu tahu Jarke menerima Kiana, walau dengan rasa sedikit kesal. Pemuda berambut tipis dan ikal itu tidak menyambut tangan Kiana, ia hanya keluar.

Menunggu pria itu keluar Kiana mendekatkan diri dengan hilir sungai, kakinya tenggelam di bawah lutut, ia berjongkok dan merendam tangan di bawah air. Rasa dan kekuatannya sulit di bentuk dalam kata-kata, tapi semakin mudah ia melepaskan kekuatannya. Ia mengambil batu krikil di dalam sungai, mengendalikannya, menggerakkan bebatuan menjadi tanah yang rendah untuk membentuk jalan.

Kiana menatap pria yang tadinya ia hentikan. "Kau bisa menyeberang sekarang." Tuturnya.

Pria itu termagu sejenak, lalu ia segera masuk ke dalam sungai kembali menuju rutenya. Ketika tubuhnya masuk sungai, kakinya tenang menginjak tanah yang dangkal, kuat menahan arus sungai dingin. Setelah sampai dan mengikat tali besar dan membuat tali melayang di atas sungai mereka mulai bergerak.

Akhirnya sungai itu dapat dilewati, mereka basah setengah badan sampai di hutan Flyanger. "Tindakan yang baik my lady dengan mengendalikan batu menumpuk di jalanan kita." Suara Jarke menutur pelan pada Kiana.

"Instingku mengatakan demikian." Sahut Kiana rendah hati, tersenyum kecil.

"Insting seseorang yang memegang kekuatan besar," puji Jarke, dia takjub melihat wanita itu membantunya walau dia tidak meminta, seperti ada kebaikan dan kekuatan versi dirinya. "Selama aku mengelilingi dunia ini, banyak wilayah yang aku pandang, belantara ini luas dengan banyak pelajaran. Di saat ada pelajaran di sana ada kesulitan yang menemani." Lanjut Jarke di atas kudanya, mengarak 50 rombongannya masuk ke jalan hutan lebar.

"Kau punya kehidupan yang yang hebat tuan Knanta." Kata Kiana.

"Bukan maksudku lancang atau bagaimana, aku hanya ingin memberikan op-"

"Tidak apa-apa komandan, aku mengerti, kau boleh menasihatiku, aku harus mendengarkan nasihat." Kiana menghentikan kalimat terbata-bata Jarke, ia tahu pria itu takut melayangkan opininya.

Jarke tersenyum leluasa. "Dengan apa yang barusan aku lihat tadi, bagaimana kau membantu rombonganku, kau dengan cepat mendapatkan ide, dan dengan kekuatan batu A'din itu saling berkaitan. Peran sebagai pemegangnya bukan semata-mata hanya memegang dan melindungi saja, melainkan membuatnya semakin berarti. Membuatnya semakin berarti yang aku maksud adalah memainkan peran batu tersebut di dalam dunia Earthniss. Tidak dalam masalah perang dan politik, melainkan budaya dan sosial. Menurutku, tidak ada batasan dalam pencapaian kekuatan batu itu my lady Isadora, apa yang kau inginkan kau akan dapatkan dengan batu itu."

Kiana terkekeh ketus. "Bagaimana aku melayani dunia dengan batu ini tuan?"

"Kau mendapatkan contoh mudah barusan, membuat jalan untuk menyeberangi sungai yang sukar dilewati," katanya. "Namun sejujurnya, masih banyak hal yang lebih menyulitkan dari jalanan itu. Aku pernah melihat seorang gadis kecil di desa yang aku singgahi dalam perjalanan. Jembatan kayu yang bergantung di atas sungai coklat dan deras itu putus, kayu-kayu jembatan puluhan tahun itu jatuh dan menggantung dan tidak ada satu pun simpatisan yang ada untuk memperbaikinya. Penguasa di daerah sana memiliki pandangan lain, 'ada banyak hal yang harus didanai ketimbang jembatan usang'."

"Manusia rendah." Sela Kiana.

"Dia tak pernah melihatnya, tak pernah memeriksa medannya. Dia tak pernah tahu itu merupakan akses satu-satunya untuk orang-orangnya keluar masuk desa agar menjalani kehidupan. Dia melalaikannya, memilih mengunci uang dan menimbanya dibanding ke jembatan itu. Jembatan gantung untuk menyeberangi sungai itu kini berganti dengan batang pohon kayu, lebarnya sama dengan sungai, tanpa tali untuk berpegangan, dan pijakan yang licin. Gadis kecil itu melewatinya dengan tangguh, bahkan jika aku yang melewatinya aku akan jatuh kalah dalam keseimbangan. Tapi dia bertahan tanpa mempermasalahkan rintangannya." Dia menjelaskan sambil membayangkan sorot mata anak-anak saat itu, kesedihan dan kemirisan.

"Aku harap aku bisa mengelilingi dunia ini sepertimu komandan. Aku harap aku ini seperti sapu yang membersihkan kotoran. Semua yang aku lakukan hanya di sini, diam dalam kebodohan dan ketakutan di saat masih banyak yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang membutakanku tuan? Apa sebenarnya?" Ia melirik mata panjang komandan ketiga Sonya itu, seperti milik kakeknya.

"Kau tidak dibutakan sama sekali Kiana, kau hanya belum menjelajahi dunia ini. Masih ada belahan di daerah lain yang belum kau jamah bukan?" Kata Jarke menenangkannya.

"Aku takut siapa yang membutuhkan bantuanku akan membuatku menjadi lemah." Ungkap Kiana di atas kudanya, tak terasa langit menjadi rindangan daun-daun hijau yang rendah.

"Kau berperan penting dalam bidang sosial lady Isadora," katanya dengan tangguh. "Dengan kekuatanmu kau bisa membantu mereka yang membutuhkan."

Kiana tersenyum masam sedikit demi sedikit mendapati perkataan Jarke. "Dan semoga langkahku tidak berhenti dalam tempo yang singkat."

Artinya kematian. Jarke tahu maksudnya dan ia menolaknya mentah-mentah dengan gelengan dan senyuman menguatkan. Memulai perjalanan adalah hal yang membingungkan Kiana, bahkan setelah keluar dari Radella. Dari mana harus memulai? Dan bagaimana harus memulai? Adalah pertanyaan yang selalu membingungkannya, seolah ia sendiri, tak punya siapapun.

Mereka melanjutkan perjalanannya selagi melewati hutan Flyanger. Hutan kawasan Vanella yang entah mengapa semakin gelap.

"Aku tak tahu hutan Peri tidak selalu indah." Gumam Errol pada Raydon. Tapak kudanya menginjak guguran daun kuning mengering, seperti menginjak tulang belulang.

Raydon hanya bergumam menengadah ke atas, bayangan matahari mengenai daun hingga berwarna jingga ditambah terpaan sinar matahari, udara pengap menyelimuti dan aroma harum hilang, itu seolah hal baru untuk hutan Peri Flyanger. Hutan semakin sempit dan angin semakin sulit menyelip di sela-sela pohon, terpaan itu hanya menyapu bagian atas pohon. Bahkan langit yang mulai menggelap membuat di dalam sana terlalu gelap. Selagi komandan mereka memperhatikan kondisi rute di sana ia mulai melihat kegelisahan kuda satu demi satu, banyak yang menginjak-injak tanah, menyembur nafas dengan keras, dan mata mereka yang membulat besar dan berair.

Kuda Matthew mendadak berhenti saat kuda lainnya masih berjalan. Membuat komandan mereka ikut berhenti. "Matthew, tetap bersama-sama." Campuran nada resah dan perintah bersamaan.

"Tidak apa-apa, aku hanya butuh perhentian sebentar, aku tak bisa menahannya lagi sampai di Vanella." Urainya, dan komandan tahu maksudnya.

"Jika kau berhenti kita juga berhenti," ujar Jarke. "Berhenti semua!" Suaranya besar dan dalam, patut semua rombongan berhenti. Pekikan kuda pun bergilir saat temali kuda tertarik. Matthew tertawa geli dan ia mengambil sebuah lampu minyak dari seorang penunggang kuda lainnya, mengingat hutan Flyanger kini biru gelap. Beberapa orang ikut turun merenggangkan bokong yang sakit menduduki pelana selama berjam-jam, termasuk Kiana dan kawan-kawannya.

Ia tak seperti Matthew, tapi kakinya berjalan ke arah lain hanya mengisi waktu. Beberapa pria dilihatnya buang air sembarangan, memeloroti celana mereka, jahilan konyol pria dan sebagainya, akhirnya dia pergi hanya beberapa meter dari tempat rombongannya berhenti sejenak.

Raydon turun dengan wajah termasam di antara yang lain, tangannya sedingin malam yang menyelimuti selatan, tenggorokannya menegul saliva ketegangan dan keanehan yang hanya ia rasakan, ia sadari hatinya menjelaskan hal lain. Errol punya kebiasaan menyukai tempat saat itu, malas bergerak dan malas melakukan hal lain selain menunggu di kudanya, memainkan rambut hitam dan ikal kuda.

Raydon berjalan di atas daun kering, Vanella tak pernah memiliki daun kering dan bahkan musim kemarau. Masih ada tanah basah sebelum mereka kemari dan artinya ada hujan. Ia mencium udara, aroma kuda dan pesing, lalu ada aroma hutan dan lumpur. Ia menggeser daun kering untuk melihat tanah di bawah, lembek seperti tanah liat dan hitam. Ia bergerak ke satu pohon ke pohon lain, kepalanya bergerak begitu gelisah dan matanya menyorotkan pertanyaan dan kegelisahan.

Kiana tak pernah tahu ia berjalan terlalu cepat, dia memang selalu berjalan dengan cepat dan kaki yang tidak bisa memelankan suara. Selalu menumpi tumit saat berpijak, cepat lelah. Lenteranya menerangi tak jauh, bahkan bayangan pohon ia fikir manusia tinggi besar yang berdiri menunggunya berbalik. Sampai ia sadar ia kehilangan arah. Ia cepat-cepat berbalik, cahaya padam dan kegelisahan mulai membuatnya linglung. Sadar dia bisa tersesar Kiana mengikuti arah awalnya tadi, lenteranya bergerak kanan dan kiri saat ia bergegas. Tapi arah itu salah, ia masih bisa mendengar suara rombongan di balik pepohonan, tapi cahaya lampu mereka tidak terlihat, mencari arah suara bukan favoritnya.

Raydon mulai merasakan aroma lain yang pengap, ia mendengar gemuruh yang ia yakini asing, dia pernah melewati hal ini di utara di Radella sebagai pasukan pengintai. Ia menengadah lagi, melihat dedaunan yang rindang dan terkoyak. Ia mengerut tanya, mencoba menarik dahan terendah dan melihat sobekan di daun dan goresan di dahan. Daun itu hancur setengah, di bagian pohon yang lain di ketinggian yang sama terdapat pula goresan panjang dan dalam, daun rontok dan beberapa tanah terdapat batang patah.

Ia mulai gelisah, mencari pohon lain dan tanah bagian lain hingga berhenti di atas gundukan daun coklat di bawah. Ia menggeser dengan kaki, melihat tanah hitam keras dan mencolok, ada beberapa gundukan tanah kecil lain di daerah sekitarnya.

"Komandan," ia memanggil. "Komandan!" Suaranya mulai keras.

Komandan mereka melihat Raydon, berdiri di tempatnya berada dengan kudanya setelah ia beri minum.

"Mengapa di sini ada kotoran Lonk?" Tanya Raydon, mata hijaunya membulat besar.

Komandan Knanta mulai terlihat gelisah, mendangak dan melihat dengan jeli lagi. Lonk selalu meninggalkan jejak di atas, terbang, melompat ke satu dahang dan merobohkannya, jarang menginjak tanah. "Mungkin hanya beberapa yang lewat." Asumsinya.

"Tidak komandan," Raydon berjalan pelan-pelan, matanya menuju ke pusat yang lain, dan ia menunjuk tempat itu. "Ini sangat banyak."

Di depan Raydon tumpukan kotoran itu semakin bergunduk bagai bukit, satu koloni Lonk selalu membuang kotoran di tempat yang sama hingga membuat gundukan. Dan yang Raydon lihat adalah gundukan besar, ia pernah melihat yang besar di utara sana dan ia bisa tahu jumlah itu banyak.

Kiana terus mengejar suara dan berjalan dengan cepat, namun saat kakinya yang dingin berpijak ke tanah tinggi mendadak ia mengerem kakinya, ia berada di tepi, dengan jurang curam gelap di bawahnya. Tenggorokannya semakin tercekik kala ia tahu hutan Flyanger tidak ada sekedar hutan belaka, melainkan menjadi rumah suatu makhluk. Di bawahnya terbentang lilitan tali yang memanjang abstrak, penuh dengan Lonk menggantungkan kakinya di tali, belum terbangun di jam terjaganya.

Tubuh berwarna hitam terselimuti bentangan sayapnya bagai kepompong. Jumlahnya begitu banyak berkali-kali lipat lebih banyak dari rombongan, ukuran mereka besar seperti yang Kiana temui di hutan Marclewood. Pada jam itu, Lonk mulai beraktifitas kembali, mencium aroma lain di sekitar sarang barunya.

Kiana menahan nafasnya, kakinya perlahan-lahan mundur dan lampunya acap ia sembunyikan di balik punggung agar tidak mengganggu kegelapan Lonk. Sekujur tubuhnya mendingin dan bergerak menjauh, bahkan bernafas rasanya mengganggu mereka. Langkahnya mundur dan mata tak dapat menjangkau keberadaan ranting di kaki Kiana. Dahan tersebut berderak dan patah, di momen itu juga semua menjadi buyar bagi Kiana.

Satu per satu Lonk mendadak melebarkan sayap, mata mereka merah dikegelapan dan menyala, merentangkan sayap dan cakar mereka mencabik tali membuat tubuh terbalik kembali berdiri dan ketika mereka saling bertatapan, keduanya bergerak dengan cepat.

Kiana membanting lampu minyak di tanah secara keras, minyak yang berhambur membakar daun dan kayu secara besar membentuk benteng Kiana. Hingga ia berlari dengan kencang, nafasnya dan jantungnya seperti hilang, itu sekelompok Lonk yang begitu banyak di bawah sana dan ia membangunkannya.

Kibasan sayap besar mengamuk di langit, melesat secepat kembang api di langit mengejar kelajuan maksimal. Mangsanya di depan, terhuyung-huyung berlari mengeluarkan nafas liarnya yang tak terkendali. Kiana mengeluarkan kekuatannya, mengulurkan tangannya berharap pohon yang berada di belakangnya membentuk blokade jalan. Namun tidak ada apapun yang terjadi ketika ia mengayunkan tangannya ke belakang. "Ada apa ini? Apa yang terjadi?!" Pekiknya bingung.

Seorang pria keluar dari semak-semak menebas sayap Lonk sekali iris dengan pedang tebalnya, jatuh dan memancing perhatian Lonk lain karena aroma darah sesama Lonk dan jeritan kesakitan makhluk itu.

Matthew menarik tangan Kiana. "Jangan berhenti." Seolah dia tahu kali ini apa yang mampu terjadi.

"Berpindah tempat Matt!" Pekik Kiana saat berlari ke cahaya yang pudar.

"Sudah kucoba, tidak berfungsi." Jelasnya, sama seperti yang dialami Kiana.

Derak pohon terbang bergemuruh bagaikan guntur di atas kepala, Lonk terbang rendah dan terhenti karena pohon, beberapa memanjat dan melompat ke satu pohon ke pohon lain, sisanya terbang di atas dalam jumlah koloni yang begitu banyak. Hingga tiba-tiba suara panah yang melesat menancap di kepala Lonk, meluncurkan tubuhnya ke tanah dan berguling dalam suara melengking mereka. Dan disusul puluhan anak panah hitam lainnya yang menancap ke tiap-tiap kepala Lonk.

"Ayo ayo ayo!" Seorang pria meneriaki Kiana dan Matthew dari atas kuda, mereka sudah siap berangkat.

Suara tarikan pedang menggasak sarung pedang, suara besi bertemu daging menyeruak saat komandan Jarke menebaskan pedangnya ke satu Lonk. Lalu teriakan mulai bersahutan dari pria lainnya, teriakan untuk melawan bersamaan makhluk mengerikan tersebut.

Tumpahan darah acap berlangsung, onggokan tubuh Lonk terkumpul di tanah, tebasan dan tusukan berkali-kali diterima Lonk. Dan Lonk mempertahankan nyawa dengan melawan balik, mereka membentangkan sayap kuat mereka yang mampu menghempaskan tubuh seorang pria, cakar tajam mereka bagai pedang bermata 5 mampu mengeluarkan seluruh darah di tubuh manusia.

Matthew dan Kiana melompat ke kuda masing-masing. "Jumlah mereka banyak sekali aku bersumpah, masih ada tumpukan yang lain di sarangnya di depan. Kita berada di teritori mereka!" Kata Kiana pada pria bertubuh kekar itu.

Raydon tidak terlihat di antara kumpulan pria, Errol di atas kuda dan bergeming menunduk dan resah dengan suara Lonk dan keributan. Lucas memacu kuda datang dari arah lain, kudanya berlumuran darah gelap dan begitupula pedang dan wajahnya.

"Petirku tidak berfungsi, aku bisa saja membakar mereka di sini." Keluhnya heran.

Komandan mereka terlihat gundah, mencari Raydon yang paling sering berhadapan dengan Lonk. "Raydon! Cepat tuntun ke Vanella!"

"Apa!??" Nafasnya sudah terengah-engah.

"Perintah komandan!" pekik tuan Knanta sembari menaiki kudanya bergegas.

"Tapi kau dan yang lain membutuhkan batuan, kita tak bisa lari, kita harus membantu!" Ada nada penolakan dari Raydon.

"Ray! Kita tak bisa menggunakan kekuatan kita di sini, biarkan mereka yang mengurusi." Suara Lucas menimpali dengan guratan cemasnya.

Raydon menghela nafas berulang kali, berlari ke kudanya, melompat dan menarik tali kudanya. "Hyaa!"

Kuda berlari menembus hutan dengan Raydon memimpin, laju kuda pandai memilah jalan, berzig-zag melalui semak dan batuan hutan, dengan sisa puluhan pasukan lainnya bergerombol di belakang mereka tetap mengikuti jalan.

Derak pohon begitu ricuh dan besar terdengar, patahan daun bergemuruh besar dengan dedaunan yang jatuh di belakang mereka. Kibasan suara sayap terdengar melejit dan semua tahu bila Lonk mengejar. Suara tapak kuda mendadak berubah ketika dipijaknya batu di sebuah jembatan. Hutan berakhir dan mereka menemui sebuah kastil tinggi di sisi seberangnya.

Gerbang masuk terlihat tertutup tidak ada satu pun penjaga atau Peri yang berada di luarnya, kosong tanpa suatu apapun. Di bawah jembatan merupakan jurang dalam, kanan dan kiri adalah hutan lebat di malam gelap.

Mata membelalak kala dilihatnya gerbang tertutup. "Ray!" Pekik suara di belakang panik, bila tidak tertutup mereka akan langsung saja masuk ke kastil Vanella dan menghindari Lonk yang mengejar.

Kala kuda Raydon terhenti di depan gerbang yang tertutup, kuda lain ikut menumpuk di atas jembatan. Menghimpit satu sama lain, berusaha tidak terjun ke jurang di bawah mereka dan menghantupkan semua organ ke bebatuan.

"Ke mana mereka?!" Desis Lucas, menarik pedangnya.

"HEY!! HEY!! BUKA!!" keruhnya suasana membuat Raydon panik, ia dengan linglung memukul gerbang dengan kepalan tangannya berharap penjaga di dalam mendengar kegaduhan di luar.

Raydon menoleh ke belakang buru-buru ketika didengarnya derak pohon semakin bergemuruh. Ia mengambil anak panahnya, menaruhnya di tali busur emasnya, dan membidik di antara kegelapan dari atas kudanya. Derak semakin berat, desingan pedang bersahutan ketika seluruh pasukan mencabut pedang masing-masing. Beberapa yang membawa busur memilih menaruh anak panah di busurnya, menariknya keras.

Hingga ketika sosok Lonk terbang di ujung hutan satu panah melayang, menembus kepala. Makhluk itu oleng dan terbang meluncur ke dalam jurang. Anak panah lainnya terbang bersamaan, membunuh Lonk setiap kali. Jatuh ke jurang dan jatuh ke jembatan, pekikan suara Lonk mengilukan telinga, membuat tangan bergetar setiap kali melihat mereka.

"Ray berapa kali pun kau melontarkan busur dan menebas pedang, Lonk itu akan terus datang. Mereka dalam jumlah banyak, sangat banyak!" Kiana mencoba mengingatkan mereka.

Lonk datang bergerombol mulai mengalahkan pasukan dini, beberapa Lonk telah melukai beberapa pria di barisan terdepan, menggorok leher mereka dengan cakar, menebas mereka dengan sayap, mencabut pria dari kudanya dan melemparnya ke jurang. Dan kali ini pasukan Matthew yang terkikis dan Lonk masih datang banyak, mereka tak bisa mengeluarkan kekuatan di daerah Vanella. Hingga pada satu momen Lonk terlihat lebih banyak berdatangan dalam jumlah yang banyak dengan formasi yang sulit dimusnahkan.

Dan saat mereka keluar dari batas hutan dan masuk ke jembatan Vanella, sinar putih menyinari seluruh hutan dengan begitu terangnya. Hutan seolah menjadi pagi, namun sinar kali ini lebih terang dibandingkan matahari. Erangan kesakitan karena mata bersahutan dari mereka yang terjebak di jembatan, menutup serapat mungkin mata. Namun berbeda dengan kuda mereka, setiap kuda tenang dan tak panik dengan cahaya terang, mereka tetap berdiri membawa orang-orang di atasnya.

Cahaya terang membuat Lonk menjerit kesakitan, cahaya maksimal membuat mereka yang selalu berada di kegelapan maksimal menjadi lemah. Para Lonk kembali terbang ke arah sebaliknya ketika cahaya masih bersinar terang. Dan suara gerbang menggetarkan jembatan, membuka sedikit bagi tamu yang menunggu. Raydon pun menoleh ke balakang, dan tanpa bertalu-talu ia masuk bersama kuda, diekori pasukan lainnya.

Saat semua masuk, gerbang mulai menutup. "Tunggu tunggu! Komandan kami masih di sana!" Jerit Raydon dan dibantu Matthew kepada penjaga gerbang.

"Cahaya akan berhenti sebentar lagi dan Lonk akan kembali, gerbang tak mampu menahan koloni sebanyak itu." Jelas pria peri itu.

"Hentikan, sebentar saja." Matthew merasa kaku, tangannya dingin dan perutnya mulas memikirkan nasib tuan Knanta, pria yang ia kenal baik di Sonya. Komandan kelima yang berjuang untuk Sonya, tidak mungkin ia menutup gerbang jika dia selamat di sana dan dalam perjalanan kemari.

"Matt," suara Kiana membela peri, ia tahu apa yang terbaik untuk mereka yang di dalam. "Gerbangnya harus ditutup."

Matthew mengintip gerbang. "Oh tidak, tidak, tidak." Saat kepalanya memikirkan nasib komandan Knanta matanya mulai berair, dadanya sesak, tidak mungkin ia meninggalkannya bersama ratusan Lonk.

Cahaya padam dan keheningan mulai menjelma dalam beberapa saat. "Tidak ada tanda-tanda mereka." Ray menggerutu gelisah.

Lalu para penjaga gerbang peri melakukan tugas mereka, menutup gerbang saat mendengar kegaduhan di luar mulai muncul kembali. Gerbang terturup rapat dan sedingin besi tersiram es, hitamnya seperti rasa Matthew kala itu. Ia merapatkan tangan ke gerbang, memikirkan nasib komandan Knanta di luar, apakah pria itu berhasil? Tapi seolah hatinya telat punya jawaban sendiri. Dia hancur, sedih, begitupula anak buah komandan Knanta yang selamat di dalam, paling beruntung di antara kawan-kawan mereka.

Raydon terdiam dalam kekesalannya, Lucas dalam kelelahannya, Matthew dalam kedukaan besarnya, Kiana menenangkan Matthew, pasukan Sonya dalam kekecewaannya. Errol melirik ke belakangnya saat langkah kaki-kaki ringan begitu pelan di atas lantai batu. Beberapa kaun Peri itu terlihat, mengenakan seragam bersih dan cerah, tidak dengan mimik wajah mereka.

Suram dengan kerutan samar di tiap insan. Hanya ada satu pria yang tampak menonjol di antara kumpulan Peri, seorang pria berambut sepanjang pinggang berwarna perak, bergelombang dengan mahkota di kepalanya, di kelilingi ajudan pribadinya yang besar dan berwibawa.

Terlihat ia menggendong sebuah batu biru gelap dan besar di depan dada, batu terang itu memiliki sesuatu di dalamnya, berliak-liuk mengamuk dan bergerak bagai lava, hitam bagai tinta dan kental bagai darah. Senantiasa semuanya menerima tamu baru itu, tapi bukan sambutan yang mereka harapkan, namun permintaan pertolongan. Sesuatu tengah melanda kaum Peri Vanella selama ini.

*****


-Thank you for reading, hope all of you love this part. And dont forget click the orange star and comment ;)

-Have a nice day guys - Dinda

31/5/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro