Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17 - Pertarungan Bersih

Perpustakaan membentangkan jajaran lemari kayu berbau cengkeh, tempat yang begitu sepi tanpa kehidupan terasa seperti sebuah lubang kosong di mana tidak ada satu makhluk yang datang dan merayap sendiri di dalamnya. Semua menjauh dari perpustakaan, entah menjauh karena tempat itu tidak memiliki rating kesenangan atau karena semuanya kini anti dengan wujud berbentuk buku.

Perpustakaan Sonya hanya memiliki dua lantai, besarnya kurang lebih ukuran satu rumah penduduk. Penjaganya seorang wanita tua yang selalu duduk di kursinya dan membalik lembaran buku dengan lamban. Jendela bertebaran di dinding, saat cuaca terang perpustakaan ikut terang. Lemari berjajar tinggi berwarna coklat tua, kayunya lama, juga buku-bukunya ditulis oleh tetua di Sonya dan dibeli dari Jatum.

Errol, Kiana, dan Matthew bergulat di dalam perpustakaan. Menarik buku dengan judul yang mungkin berhubungan dengan Ort, mencari ringkasan-ringkasan. Terkadang Errol mengantuk di meja membacanya, dulu meja kerjanya hanya untuk benda yang ingin ditelitinya tapi kini untuk dibacanya. Sedangkan Matthew seperti tertelan di dalam sana, tidak ada tanda-tandanya di antara lemari. Kiana duduk di lantai pada bagian lemari buku yang panjang dan sempit, rasanya malas tapi apa boleh buat dia harus mencari semua ilmu itu.

Di buku yang ia baca tertera judul 'Bagaimana melihat 'mereka'' cukup tebal dan banyak lekukan, mungkin tangan-tangan orang tua yang membuat lembarannya sudah kusut. Buku itu menjelaskan banyak hal mengenai hal yang tidak dapat ditangkap mata, namun siapa pun yang memiliki kemampuan dan ketahanan dapat melihat mereka. Menyadari akhir-akhir ini Kiana tengah didatangi mimpi aneh, ia memilih bukunya.

Makhluk di dalam mimpinya itu menjadi perkara terselip dari tugasnya, ia belum berani menyimpulkan keberadaan sosok tersebut ke umum dan menceritakan pada Matthew, ia ingin mempelajarinya dahulu. Dia membacanya.

'Semua yang hilang bukan berarti tidak ada, mereka hanya bersembunyi dari balik batas mata. Untuk melihatnya, alangkah baiknya batas itu dibalik, melihat dengan sisi lain. Banyak langkah yang harus dilakukan, tidak mudah dilakukan. Rumit, namun jika berhasil ia akan menggentayangimu untuk diteliti kembali.

Ada beberapa cara untuk melihat mereka :

1. Menggunakan orang lain.

Tidak semua orang memiliki kemampuan melihat yang tidak kasat mata, dan bagi mereka yang melihat akan merasakan hal gaib kuat yang jauh dari bayangan semesta, aku contohnya.

Orang itu dapat menunjukkan caranya untuk kita, dengan kemampuan dan cara mereka. Kebanyakan adalah mereka melakukan koneksi sendiri, melalui mereka kita dapat mengetahui.

Hal yang seperti, 'aku melihat srigala berekor buaya di sebelah gubuk tua' adalah contoh dari mereka yang dapat melihatnya.

Biasanya mereka dapat menggambar, atau biasa disebut 'pelukis gaib', mereka melukis di atas kanvas untuk menceritakan pada semua orang tentang apa yang ada di sekitar.

Komunikasi. Terkadang makhluk supranatural dapat diajak berkomunikasi bila mereka enggan, namun efeknya menyakitkan, karena mereka dapat terserang energi negativ dari makhluk yang diajak berkomunikasi. Lalu saat medan energi berbenturan, mereka dapat pingsan.

2. Membagikan kekuatan.

Mentransferkan energi supranural ke orang lain juga bisa, namun masalah ini lebih condong pada pihak kedua. Merasakan energi dan alam lain tidaklah menyenangkan, ketakutan itu pasti, dan itu akan menjadi udara yang tiap hari kau hirup.

3. Batu Ivriel.

Batu ini adalah inti dari segala batu penjelas. Berasal dari selatan, Raja ke-3 Taniom menemukan sebuah batu mulia di tambang Javana, di mana batu itu salah satu batu campuran antara batu dan kristal, kemudian kekuatan Raja Awaki yang diletakkan di dalam semakin bertambah kuat. Yang kemudian diketahui batu itu adalah pemberian makhluk gaib dari sana, batu itu sengaja diberikan sebagai hadiah, sebagai sebuah tanda keterikatan antara dunia Earthniss dengan dunia lain.

4. Mimpi.

Mimpi bukan sekedar bunga tidur, terkadang mereka memberikan tanda melalui mimpi. Mereka masuk melalui pori-pori, nadi, mengalir di liukan darah. Apa yang sebenarnya kita lihat di mimpi tentang makhluk-makhluk mengerikan atau benda-benda asing yang berbau mistis bukan kebetulan, itu merupakan mereka sendiri yang memberikan kita penglihatan. Mimpi itu diciptakan, dari dua komponen berbeda.'

Kiana mengernyitkan keningnya pada bagian tersebut, satu fakta atau kemungkinan bayangan semata bila mimpinya itu mungkin seperti yang diceritakan Geleza Gioz dari Jatum pada bukunya. Apakah mimpinya itu adalah sebuah tanda? Apakah sosok di mimpinya sebenarnya memang ada? Dan dari mimpi, terlihat jelas bulan yang sama mulai keluar malam ini, dan bintang mulai berjajar rapi.

"Errol, apa kau pernah mendengar batu Hunush?" Matthew berjalan di belakang Errol yang sudah seperti tertidur

"Hunush? Sepertinya tidak," sahut Errol menunggu raga Matthew sampai di sisinya. "Ada apa?"

Matthew menaruh buku mengenai batu Ort di atas meja Errol, menumpuk buku yang tengah Errol baca. "Lihat ini," ada gambar batu begitu kecil di buku, biru dan hitam karena tinta. "Di sini dijelaskan bila batu Hunush dapat mendeteksi sesuatu yang tak kasat mata berfungsi bagai magnet."

"Dia akan menempel pada medan negatif," gumam Errol berfikir, "biar aku lihat."

Errol merapikan posisi buku, membaca ulang lagi alinea yang ditunjukkan Matthew. Matthew yang rambutnya basah menoleh ke belakang, mencari Kiana hilang. "Matt, ini seperti pasangan batu yang belum bersama, seperti ... harus ada yang lain," kata Errol agak ragu dan kepala Matthew acap menoleh.

"Pasangan? Maksudmu seperti patahannya atau terpecah begitu?" kening Matthew mengerut dan menatap gambar batu tersebut.

"Bukan!" Kata Errol gemas dan dilanjuti dengan kebisuannya yang lama. Matanya terus memincing sembari memikirkan kaitan batu Hunush dengan bagaimana mengetahui ke mana Lenon Baccry pergi. "Ini mungkin salah satu kepingan jawaban Matt. Tapi batu ini terlalu kecil untuk memecahkan kasus besar itu, aku rasa ada penyempurna yang lainnya." Lanjut Errol dan ia bangkit, mendorong kursi kayu ke belakang.

"Harus ada pendukung yang lain, belum dapat disimpulkan," ungkapnya pada Matthew pelan agar tak menyurutkan semangat Matthew lagi. "Kiana. Dapat sesuatu?" Panggilnya.

Kepala Kiana muncul di antara lemari. "Belum."

"Dan di mana Lucas dan Ray? Jadi begini seharusnya mereka bersantai dan kita yang bekerja?" Keluh Errol.

"Ray bilang dia pergi dengan Lucas." Matthew menjelaskan.

"Peri dan Clemanos, hmmm, aku penasaran. Bagaimana mereka berdua merencanakan pertemuan itu? Aku tak pernah melihat mereka bersama-sama." Errol antusias, sepanjang perjalanan dia tak pernah melihat Raydon ataupun Lucas lebih dekat, biasanya ia mendengar beberapa cerita antara mereka dan sisanya tak banyak.

"Telapati mungkin." Matthew mengangkat buku di meja Errol, memberinya pada wanita tua penjaga perpustakaan agar disimpankan. Membaca bersama orang lain baginya sangat mengganggu, tidak konsentrasi, tapi saat membawanya ke kamar sebelum tidur sangat membantunya sekali.

Mereka menuju sisi timur dari kastil Sonya seakan-akan ada pertarungan sengit, entah sudah ditonton puluhan orang atau belum tapi Errol bakal menyukai antara apa yang terjadi dengan keduanya. Raydon terlalu dipenuhi otot dan tinggi, melawan Lucas yang sangat pendiam tapi baginya diamnya itu memiliki kimestri dan ketangkasan yang besar. Walaupun Lucas tampak tidak sebanding tubuhnya dengan Raydon, cara dia bertarung dulu sangat mengagumkan, cara Clemanos yang terkenal membuat orang biasa menjadi prajurit tangkas.

Di sisi timur dari kastil Sonya di luar tembok terdapat sebuah hamparan padang rumput yang sedikit, banyak batu karang yang tertanam dan udara sangat hangat. Mereka membawa kuda dan perlahan mendengar suara erangan kesakitan setelah suara tubuh yang terjatuh. Lalu saat mereka sampai di puncak bukit dan melihat padang rumput, saat itulah mereka melihat tubuh Lucas terlentang di atas hamparan rumput hijau dengan batuan yang tersebar, mengerang kesakitan dan berusaha bangkit seraya Raydon memiringkan sudut bibirnya menatap pria di bawah.

"Dan itu mereka." Kata Kiana memiringkan kepalanya selagi menatap keberadaan dua insan yang tengah bertarung. Ray nampak berdebu pakaian kremnya, Lucas bercucuran keringat dan rambut pirang panjangnya basah.

Lucas meludah di sisi kirinya, bangkit dengan kuat selagi menatap Raydon yang menyengir bangga. "Ayo Lucas, lagi." Tantang Ray dengan nada sindiran yang kental.

"Aku yakin kau bisa lebih baik dari itu." Sahut Lucas senang.

Errol sangat menyukainya, dia tertawa sejenak mendengar lontaran kalimat bersemangat mereka. Dengan gesit melompat dari kuda, mungkin dia membawa camilan di tas kudanya lalu duduk menonton dan memanggil penduduk yang lain.

"Oh benarkah?" Mata Raydon memincing tajam, sama dengan senyumannya, hingga ia berlari ke arah Lucas lagi dan menjerit besar.

Lucas menunduk otomatis, saat Raydon tengah melewati sedikit raganya Lucas mulai mengambil sisi perut kekar Raydon, mengangkat satu kaki kanannya dan menumbuknya berulang kali dengan keras. Ia beralih ke kepala Raydon yang ia kunci, kemudian akan ia pelintir. Raydon yang waspada menghantupkan kepalanya ke atas, sehingga menghantam dagu Lucas, saat kunciannya lepas, kaki Raydon terangkat menuju perut Lucas hingga tendangan keras membuat Lucas termundur lagi.

Lucas yang terseret mundur penuh kesakitan berhenti di sebelah bekas perapian lama dan Raydon yang berkeringat datang padanya dengan begitu cepat. Lucas lekas mengulur tangan kanannya ke bawah, menaruhnya di abu perapian hingga ia menyapunya dengan keras membuat abu kasar terbang ke arah wajah Raydon yang ia tidak siap.

"Ahh!" Raydon terbatuk, wajahnya hitam begitu pula dengan pandangannya. Hingga saat itu Lucas berlari dan menendang perutnya, lalu menyiku punggung Raydon hingga terjatuh tengkurap.

"Ugh! Itu pasti sangat sakit," erang Errol yang melihat ekspresi yang tertera di wajah keduanya, kuat menyerang dan sakit merasakan. "Jadi ini perkelahian fisik? Atau brutal? Aku pernah liat yang lebih lincah seperti belalang melawan belawang. Kalau ini seperti babi dan dengan babi, hanya menyeruduk dan menumbuk." Komennya.

Suara Lucas menjadi semakin berat dan memekik, mengatur nafasnya yang habis selagi mendengar erangan berat Raydon. "Lima banding empat. Siapa yang dapat membuat lawan terjatuh akan mendapatkan poin." Dia seperti memberitakan peraturan permainan mereka kepada ketiga penonton.

Raydon membalikkan tubuhnya dengan memeluk perut, hingga selang beberapa detik untuk menyesuaikan matanya yang perih akibat abu, matanya menangkap tiga orang yang sudah menontonnya dengan senang. "Oh, kita mendapatkan suporter sepertinya." Suaranya sangat sulit dan kesakitan.

"Apa kalian yakin melakukan itu?" Kiana angkat suara, dia melihat dengan tegang tapi menyukainya. Kekerasan yang bakal berakhir tanpa kematian selalu membuatnya lebih tenang, lagipula dia tak pernah mengetahui banyak mengenai anak Clemanos dan kini ia mendalami kekuatannya.

"Harus." Ungkap Raydon tegas sembari berdiri. Mereka berhenti sejenak demi memperlancar aliran udara ke paru-paru sembari menjawab beberapa sodoran pertanyaan dari mereka yang menonton.

"Sampai mati?" Kiana tertawa kaku.

"Sampai ada terdengar tulang yang patah," Ray melirik Lucas sengit. "Atau menyerah saja tidak apa-apa," koreksi Raydon kembali, tidak mungkin ia tega melukai kawannya sendiri, kecuali ia lupa.

"Bukankah itu brutal?"

"Brutal?" Raydon tertawa dan mendengus, kemudian ia berjalan pelan menuju sebuah kayu yang tertancap di tanah di dekat sebuah batu. "Tidak ada yang namanya brutal dalam permainan ini," ia menarik keluar tongkat kayunya. "Hanya ada ketangkasan." Raydon kemudian mengerang besar sembari berlari ke sisi Lucas, pria itu cukup terkejut dengan serangan mendadak, namun jeritan Raydon mungkin membantunya selama dua detik untuk memposisikan kuda-kudanya secara baik, hingga saat kayu Raydon akan menebas kepalanya, Lucas menghindar membuat kayu membelah angin di bagian sisi kirinya.

Lucas menendang kayu Raydon yang ujungnya menghantam tanah membuat pegangannya oleng, dan saat itu Lucas menendang satu kaki Raydon dan tubuh besarnya jatuh, ia menatap kaki Lucas datang di atasnya akan menginjaknya bagaikan kecoa, dan ia cepat-cepat berguling ke kiri. Nafas mereka mulai tersenggal-senggal dan luka belum sepenuhnya mengeluarkan darah segar.

"Sulit mengetahui apa mereka sudah luka-luka atau belum dari sini." Kata Errol, rambutnya terbang dan mengganggunya menonton.

"Kalau mereka terluka, kau tak akan tahu." Tukas Matthew, untuknya hal itu selalu membuatnya tertawa dan mengangguk-angguk selama berlangsung, dia seperti belajar dari melihat dan mengetahui bagaimana mereka bertarung tanpa pedang dan sihir. Kadang dia seperti memegang tali dan mengendalikan keduanya bagai boneka, dia tahu apa yang akan dilakukan masing-masing. Hidup di Sonya sudah mengasah jalan pemikiran bertarungnya seperti pedang yang tajam.

"Mereka seperti baru mulai, tidak ada luka, tidak ada yang pincang." Tutur Errol berdiri bersama Matthew dan Kiana.

"Mereka hilang sudah lama, sudah berkelahi cukup lama." Gugus Kiana.

Walau Raydon memiliki tongkat sedangkan Lucas nihil mereka tetap menyusun rencana sematang dan secepat mungkin, karena ketika pertarungan nyata terjadi, tak ada waktu untuk memikirkan siasat apa lagi yang musti dilancarkan.Raydon yang berguling mengambil tongkat kayunya dan Lucas yang berdiri menjadi incaran empuk. Raydon memutar tongkatnya di tangan, dan menyentakkan kayu begitu kuat di kaki kiri Lucas, membuatnya menggeram sakit dan kakinya melemas hingga ia terjatuh berlutut.

Raydon berdiri dan memutar kayunya kembali, menghantamnya di wajah Lucas membuatnya hambruk ke sisi kanan di dekat batu. Kini Raydon lupa peraturan 'jangan sampai membunuh', ia mengangkat tongkatnya akan menancapkannya pada wajah Lucas. Itu pemandangan yang menegangkan serta spot jantung bagi Matthew, Errol, serta Kiana. Melihat seperti perkelahian nyata, walau itu hanya latihan.

Raydon menjerit dan tongkatnya mengayun ke arah Lucas yang terbaring di atas batu. Lucas menggerakkan saja kepalanya, dan tongkat tersebut melewati sisinya hingga hancur berserakan, piasannya terbang ke wajahnya. Melihat tongkatnya patah Raydon membulatkan matanya besar, hanya tersisa setengah panjang dari tongkat aslinya. Dan saat dilihatnya tubuh Lucas masih melemah, ia akan menusuk atau mungkin hanya menghantamkan ujung tongkat ke dada Lucas.

Tongkatnya bergerak ganas menuju dada Lucas dan dengan segala rasa takut Lucas menangkap langsung dengan kedua tangan, mengimbangi kekuatan dorong dari Raydon di atasnya. Erangan sahut-menyahut, keringat adalah air terjun bagi mereka berdua, dan luka lebam dan lainnya belum terasa. "Ayyyolah Lucaaaas, biarkan akuuu m-mmelakukan iniii. Sssssssss." Ray berusaha mendorong kayu.

Lucas tak mau kalah, dia menahan kayu begitu kuat. Pakaiannya coklat gelapnya basah, dia nampak bakal kalah di batu itu dengan Raydon yang memojokkannya. Ujung tongkat yang tajam begitu berbahaya bagi Lucas, mungkin memang Raydon berniat meninggalkan luka untuk Lucas agar mudah dikenang tentang pertarungan mereka hari itu dan Lucas hampir pasrah. Namun sekelabat ide muncul, hingga begitu lama ia tunggu ujung tongkat lainnya berada di dekat hidung Raydon, dan saat itulah Lucas mulai mengeluarkan kekuatan besarnya. Ia mendorong balik begitu keras tongkat yang ia genggam, menghantam keras hidung mancung Raydon.

"ARGH!!" Jerit Raydon terhuyung-huyung ke belakang. Lucas bangkit, menendang dan memukul bertubi-tubi Raydon yang pusing.

Serangan bertahan diberikan oleh Raydon, tak mau kalah dengan pertarungan melawan anak dari Clemanos, kerajaan pemasok tentara berkualitas tinggi. Mereka butuh berulang-ulang kali berguling, bangkit, menghantam satu sama lain, melemparkan tubuh masing-masing ke batu, hingga semuanya begitu menyiksa mereka yang menonton. Saat wajah mulai dialiri darah kental, saat itulah pertarungan menjadi senggang, tenaga semakin terkuras, dan saat tenaga terkuras ada pihak yang tak sanggup melanjutkan.

Lucas menjadi pihak yang terjatuh untuk terakhir kali, matanya membengkak dan bibirnya mengeluarkan darah banyak, goresan luka menyebar di seluruh wajah dan tubuhnya. Nafasnya terpingkal-pingkal dan sudah habis, ia bahkan sulit membuka matanya untuk melihat Raydon yang masihlah kuat untuk sekedar mengangkat kakinya.

Hingga kemudian tangan Lucas terulur mengarah ke wajah Raydon saat ia merasa Raydon akan menghabisinya untuk terakhir kali. "Ey!!" Raydon memekik ketakutan saat dilihatnya Lucas menjadi hilang aturan. "Tidak ada pemakaian kekuatan." Ingatanya lagi tegas, membuat suaranya semakin habis juga oksigen di paru-parunya.

Lucas masih mengulurkan tangannya yang tengah dirasanya aliran listrik mulai mendenyut di ujung jemari, namun ia tahan dan pasrah, ia harus dipukul satu kali hingga nilainya menjadi 12:10, dan Raydon pemenangnya.

Raydon yang mulai bersiap menggasak wajah Lucas mulai berjalan mengarah pada tubuh terkulai Lucas, dan bahkan Lucas memejamkan mata bersiap untuk pingsan. Debaran jantung mulai terpompa dari Errol, Matthew, dan Kiana akan menyaksiksan tragedi itu. Hingga saat kepalan tangan Raydon mengulur ke wajah Lucas, ia berhenti, merubahnya menjadi tepukan iba di pipi Lucas.

"Ck, ayo bangun," ujarnya dengan suata bariton yang hampir putus, mengampuninya. "Bangun!"

Lucas membuka matanya, menatap Raydon nanar. "Kita belum selesai di sini."

Raydon mendengus geli. "Kau sudah mau mengeluarkan kekuatanmu tadi, yang artinya kau sudah putus asa dengan pertarungan 'bersih' ini."

Lucas membuang nafas dan menelan salivanya, benar adanya dengan apa yang dirasa di dadanya, ada niatan putus asa dan membuatnya hampir curang untuk melukai Raydon dengan sambaran petir. Raydon menatap Matthew dan Errol, melirik Lucas sebagai makna 'kau bisa menggotongnya, karena aku sudah tidak kuat'. Matthew dan Errol turun bersamaan, menatap Raydon dengan santai.

"Ini adalah pertarungan terlarang, jika Raja tahu kita akan dihakimi karena melanggar aturan tentang kekerasan." Errol beranggapan sembari meluncur menuju raga Lucas. Di Sonya turnamen pertarungan sudah dilarang dan yang didapati bakal dipenjara. Tapi di wilayah lain turnamen pertarungan masih berlanjut dan semakin meriah, membumbungkan nama-nama pemenang yang menjadi terkenal dan diketahui semua orang.

"Ini bukan turnamen, ini latihan." Sargah Raydon dia membawa jaketnya di batu, melirik Lucas yang nampak sangat kalah.

"Turnamen atau bukan kau selalu tidak menunjukkan belas kasihan." Errol berjalan pelan dengan Matthew.

"Belas kasihan? Ketika kau dihadapkan dua pilihan dirimu atau orang lain kau akan tahu makna belas kasihan bagi mereka. Aku tidak mengenal belas kasihan untuk orang-orang yang manantang dan menggangguku Errol, aku menghabisi mereka." Jelasnya dingin.

Lucas meludah darah. "Prinsip untuk penjagaan." Katanya.

Ray meliriknya dengan hati-hati, kini rasanya ada perasaan yang lain di antara keduanya, aura marah dan perselisihan yang selalu kental. Prinsip untuk penjagaan, dia harus berhati-hati dengan Lucas atau hanya perasaannya saja.

"Ayo," Matthew mengangkat Lucas dengan Errol. "Bagus, tapi jangan lupa kau ada tugas yang lain, ini menyenangkan untuk yang menonton dan menghambat untuk yang terluka. Bawa bokongmu ke kursi dan baca buku, cari semuanya." Katanya pada Raydon dan ia membawa Lucas berpindah tempat agar ditangani dengan cepat.

Kiana menatap Raydon yang sendirian. "Kau harus mengerti ini, laki-laki dan kekerasan harus selalu berjalan bersama." Raydon berjalan menuju kuda.

"Bagaimana bila laki-laki dan kehormatan harus berjalan bersama?"

Ray terkekeh. "Tahu apa kamu gadis muda."

"Yang ku tahu hilangnya kehormatan teman ayahku membuat ayah dan semua dinasti Torin mati. Pengkhianat adalah manusia tanpa kehormatan, ditambah hidup pula." Kiana merasa dadanya keras dan kepalanya mulai sakit, lonceng-lonceng berdentang berat di kepalanya, momen di Torin Maxima saat diserang membuatnya ingat lagi siapa yang berjalan hari itu sebagai pemimpin pengkhianatan kaumnya.

"Yang menentukan nasib kita adalah para pengkhianat, jadi siapa yang menentukan nasib pengkhianat itu?" Pikir Raydon, dia merapikan rambut kuda hitam mudanya.

"Korban mereka." Mengatakannya seperti membuat nasib bagi mereka. Tidak sabar rasanya Kiana melihat pria itu lagi, memberikan rasa yang sama pada pengkhianat Torin Maxima sesuai apa yang dia lakukan selama ini.

Malam menjelang kembali, mengakhiri masa matahari menyinari kehidupan. Kiana berjalan di koridor ruangan setelahnya ia mandi, rambutnya basah dan belum ia keringkan. Ia telah makan malam, dan ia membawa nampan alumunium kembali ke meja luar yang terletak di sudut ruangan koridor agar pekerja istana mengambilnya. Saat ia melewati jajaran pintu kamar yang dilewatinya terdapat satu-satunya nampan yang belum tersentuh, ditaruh di atas karpet beludru depan pintu pemilik ruangan. Kiana melirik sejenak nampan milik Lucas, dan ia semakin cemas pria itu tidak menyentuh makannya dan tenaganya tidak kembali pulih setelah Raydon mengurasnya secara brutal.

Kiana berbalik, mengambil nampannya di bawah kemudian membuka pintu kayunya. Ia tak melihat siapa pun di dalam, dan ruangan serba coklat itu hanya diterangi sinar lampu yang dibiarkan menyala terang.

"Lucas." Panggil Kiana sembari membawa nampannya. Tapi tidak ada suaranya.

"Lucas, makananmu jadi dingin bila tidak kau ambil, dan Ratu akan begitu marah bila makanan terbuang sia-sia." Kiana meletakkannya di meja Lucas.

"Oke, aku akan memakannya sebentar lagi, terima kasih," kata Lucas dan ada samar-samar suara erangan dari Lucas. "Eeghhhss."

"Lucas? Kau tampak kesulitan dan kesakitan." Kening Kiana mengerut cemas dan meletakkan nampan di meja kecil samping ranjang kecilnya.

Kiana berjalan ke arah kamar mandi di pojok ruangan sama seperti ruangan miliknya, barulah ia sadar kesulitan pria itu tengah terjadi. Punggung Lucas mengeluarkan darah yang tembus melalui kaus kuningnya dan Lucas dengan susah payah mencoba meraih punggungnya, letak luka yang berada di posisi bagian tengah tidak dapat dijangkau dengan tangan kanan maupun kiri dengan cara apapun itu, semakin membuat usahanya dua kali maksimal.

"Kamu mengeluarkan darah Lucas."

"Aku tahu." Kata Lucas pasrah.

"Pergi ke ranjangmu, biar aku bantu." Lucas duduk di atas ranjangnya dan Kiana tengah mengambil berbagai alat untuk menutupi luka Lucas.

"Kau terlalu banyak bergerak, hingga lukanya terbuka lagi dan mengeluarkan banyak darah dari sana. Aku harus menjahitnya, mungkin 4 sampai 7 jahitan, tidak seperti menjahit baju." Jelas Kiana. Ia membawa jarum bengkok bersih dengan benang, mencelupkannya di alkohol gelas Lucas agar bersih.

Pria berambut pirang itu membuka bajunya, menarik ke atas dan menyisakan tubuh putih dengan bintik-bintik coklat yang sedikit bertebaran. Kiana mengerjap dan menalan salivanya ia mungkin baru sadar mengenai permintaanya tanpa dicerna dahulu. Sudah terlambat untuk berkata 'pakai saja lagi bajumu, tidak jadi,' dan kini ia harus menghadapi pahatan itu. Ia melihat tonjolan otot di lengan atas, perutnya mungkin tidak sekotak Raydon, namun tetaplah kencang. Dan otot punggung atasnya lebih mencolok di banding yang lain.

Ia membuka perban yang tadinya sudah diobati perawat, dan ketika ia buka darah kembali menetes. Lucas tangguh untuk tak mengerang, namun melemah saat kulit dingin Kiana menyentuhnya. Punggungnya sama seperti pria manapun, punya luka dan bercak tanda lahir. Namun yang mencolok bagi Lucas adalah bekas cakaran srigalanya dari pundak ke depan dada, terlihat jelas itu 4 cakar yang hampir membuat urat dan ototnya putus. Lebam di sebagian kulit terlihat masih cerah bekas Raydon dan ia terjatuh-jatuh. Kiana memberanikan diri, ia mulai memasukkan jarum bengkok ke kulitnya yang biru dan menutup lagi lukanya.

"Sakit? Jarumnya nampak tajam jadinya mungkin tidak buruk ya." Kata Kiana.

"Dari mana kau belajar menjahit luka?" Tanya Lucas penasaran.

"Di desaku dulu, tahun pertamaku pergi cukup berat, aku bukan siapa-siapa dan memilih mengikuti nona Zada sang perawat, menjadi asistennya dan melihatnya merawat pasien membuatku jenuh, sampai pada suatu saat dia mengajariku cara menjahit kalau-kalau dia kedatangan banyak prajurit yang terluka di daerah itu. Kaumku sudah hidup dengan darah sejak 10 Orang Pertama jadi aku biasa dengan hal itu, tapi berhadapan dengan kematian yang membuatku gelisah. Entah jika aku salah-salah menjahit orang itu bakal infeksi dan mati, atau tiba-tiba saja dia mati setelah kurawat, itu akan menghantuiku." Jelasnya masih menjahit.

"Dan kau berhenti?"

"Berhenti? Ya. Karena aku bosan, bukan karena aku takut," ia menyelesaikan jahitan terakhirnya. "Oke selesai. Mengapa kau melawan Raydon? Kau tahu dia selalu kejam dan tidak mengenal ampun, Matthew ditawan olehnya pertama kali mereka berpapasan dan dia sangat otoriter."

"Aku hanya senang. Lagi pula ini semakin lama semakin menjerumus ke persoalan pribadi. Clemanos menyaingi bangsa Peri hampir beberapa dekade terakhir, mungkin aku bisa melakukan uji coba penelitian langsung. Menguji kebenaran akan teknik pertarungan yang berbeda-beda, bagaimana versi Peri dan bagaimana versi Clemanos," jelas Lucas, nadanya berat dan basah seperti pria berumur 30 tahun.

Kiana membuka salep dan aroma mint menyengat menusuk hidungnya. "Jadi apa kau dapat hasilnya?"

"Mereka sering menggunakan tangan dan Clemanos memprioritaskan menggunakan kaki."

Kiana mengangkat bahunya. "Memang berbeda, tapi aku harap kau dan Raydon tidak akan membawa-bawa masalah pribadi ke arena pertarungan lagi."

"Aku tidak jamin, sepertinya dia mulai berfikir lain setelah pertarungan ini." Lucas berbalik sepelan mungkin, rasanya jarum masih menempel dikulitnya.

"Kenapa begitu?" Kiana merapikan peralatan keselematan, tersenyum karena Lucas selalu sering menjawab bukannya yang bertanya.

"Karena aku juga demikian." Lucas menatap wajah Kiana hati-hati. Lembut dan kuat.

"Dia selalu harus diingatkan dan diperingati anak itu. Matthew sudah memberinya perintah untuk mencari jalan keluar lain, dan kini dia bergulat dengan waktu dan kepeningan mencari jawaban." Kiana menggenggam kotak hijau itu, menangkap mata Lucas yang sipit.

"Aku mendapatkan sesuatu ketika aku kembali, buku yang dibiarkan di rumah memiliki suatu judul menarik mengenai batu Ort dan ada kaitannya. Namanya batu Jal, banyak orang menggunakannya sebagai pemanas di dalam bak mandi karena asap yang keluar membuat hangat." Jelasnya.

"Lalu kaitannya dengan cara mengetahui ke mana pria itu pergi?"

"Di buku itu tertulis kaitannya dengan batu Ort, 'asap batu Jal dapat meliuk ke suatu medan yang berlawanan dengannya'. Batu Jal itu memiliki energi panas, dan arti dari 'medan yang berlawanan' maksudnya energi dingin. Sesuatu yang tak kasat mata selalu menguarkan aura negatif yang dingin, sehingga bila aku sangkut pautkan, batu Jal mampu mengepulkan asap putihnya ke sesuatu yang hilang." Lucas menjelaskan dengan tenang.

"Jika kita menaruhnya di dekat rumah menghilang Baccry, asapnya akan mengitarinya?" Kiana berasumsi. "Tapi bukan untuk mengetahui ke mana ia pergi. Tapi, tunggu dulu. Batu Hunush dapat mendeteksi sesuatu yang tak kasat mata, seperti magnet, ada kaitan yang sama antara kedua batu. Benar kata Errol, harus ada pelengkapnya, penyempurnanya, tapi apa?" gumam Kiana menatap Lucas di hadapannya.

"Aku rasa aku juga dapat sesuatu Kiana. Kau benar! Ini hampir selesai," pekik Lucas antusias. "Tenang, aku akan mencari tahu sendiri, aku tahu sesuatu yang kemungkinan membantu."

"Yah, ini membantu! Kerja sama, mengetajui masing-masing perkiraan dan terakhir menyambungkannya." Kiana menyimpulkan senyum sumringah dan matanya menuju dada bidang Lucas, menatap sebuah mata yang menggantung di kalung lehernya. Batu merah dengan sebuah mata yang mengayun, menjadi penghipnotis sendiri. Namun saat matanya menatap itu, seakan ia terhisap dan terkadang dihempaskan. Merah menggantung bagai darah, dan mata menatap bagai pengincar, kombinasinya mengerikan, 'mengincar darah secara perlahan', menghanyutkan kekuatan, menularkan ketakutan.

Lucas yang menatap Kiana sedari tadi diam mengamati guratan kosong di wajah cantiknya. Lucas tahu ia sedang menjelajahi alam lain, sama seperti orang lain yang terlalu lama menatap batu itu, seakan kekuatan The Eyes masih kuat. Lucas menggenggam batunya cepat. "Jangan terlalu lama kau lihat," gumamnya serak. "Ini dapat menghipnotismu."

Kiana meneguk salivanya dan matanya berair, bibirnya mulai pucat dan kulitnya mulai membiru, panas dirasa saat aliran darah mulai mengalir kembali.

"Kau masih ingat dengan Brute yang selalu mendekatimu?" Akhirnya ia melontarkan pertanyaan. "Brute memiliki kemampuan untuk merasakan kecemasan berlebihan serta ketakutan yang mendalam, saat ia melihatmu untuk pertama kali ia sudah merasakan aliran itu. Sehingga ia mulai mendekatimu, bahkan jinak denganmu. Gunanya ia terus bergeliat di dekatmu agar bulu-bulunya dapat meresap ketakutanmu dan menenangkanmu."

Kiana mengangguk. "Aku tak pernah tahu cerita bagaimana Torin dan Clemanos menjadi Tripartit Kingdom." Pikir Kiana mulai mencolek salep yang dingin.

"Yang jelas jauh lebih dulu dibandingkan ayahku. Mungkin kakekku. Jika aku punya kesempatan menanyakannya kepada ayahku, aku akan menceritakannya. Kalau kau mau." Lucas selalu membiarkan Kiana menatap tubuhnya, terkdang wajahnya tanpa takut dan mempertanyakannya.

Kiana mencari lagi bekas-bekas luka, memberinya selep dingin ke seluruh lukanya. Ia menahan tangannya yang sedingin salep. "Sudah."

Kiana termagu di tempat, tidak bisa menahannya. Dilihatnya wajah Lucas dan kalungnya menggantun di atas kulit bersihnya. Lucas mulai memajukan wajahnya dengan pelan, menatap bibir Kiana yang mulai mengeluarkan nafas di sana. Lengannya terangkat, meraup lehernya dengan pelan, bahkan silih berganti menatap bibir dan mata Kiana yang terjerat dan jantungnya berhenti.

Dan saat wajah Lucas di hadapannya, ia melenceng ke arah telinga Kiana, membisikkan sesuatu. "Terima kasih, ini sudah malam dan kau harus kembali." Bisiknya parau, menyemburkan nafas panas yang ia ciptakan ke telinga wanita itu.

Kiana menelan salivanya saat wajah Lucas menjauh, bangkit dari ranjang dan masih terbelenggu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, hilang kendali karena rasanya memang seperti itu. Berhadapan dengan Lucas selalu membuatnya hilang ingatan, tegang, dan dingin. Ia tersenyum kecil, menatap nampan Lucas. "Makan." Katanya dan ia menuju pintu.

"Baiklah Kiana." Gumam Lucas menunggu Kiana sampai di pintu.

Pintu yang tertutup oleh Kiana menjadi jarum yang memutar kembali di jam, seakan jam baru saja berhenti tadi. Ia genggam batunya yang cukup berbahaya, kemudian menatap seluruh lukanya. Lucas mengetahui sesuatu, dan mencari tahu malam ini bukan waktu yang pas.

*****

-Terima kasih sudah membaca, whehehehehe maapkan ya under 17 tahun, maapkan otak aku yang lagi heng-heng.

-Jangan lupa votenya, dan kalau ada perkara yang tidak dimengerti boleh di tanyakan. Kalau gak ada, berarti udah jelas semua dong? Yeeeeessss!!!!! Wkwkwk semoga kalian suka :)

Keyword :

1. Batu Hunush dapat mendeteksi sesuatu yang tak kasat mata, seperti magnet.

2. Batu Jal : Asap batu Jal dapat meliuk ke suatu medan tak kasat mata.

2/5/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro