Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16 - Jalan Buntu

Terduduk di tangga kayu rapuk dan menatap matahari terbit adalah hal mengagumkan, langit begitu indah dilihatnya, embun masih bergentayangan di lantai teras rumah penduduk, pada hamparan sawah juga pepohonan. Dingin yang menyegarkan, aroma daun hidup, suara kokok ayam, lonceng-lonceng para penduduk yang selalu dibunyikan ketika membuka jendela.

Matthew hanya bisa tertidur hingga 2 jam dan matanya terus mengeras hingga subuh mulai datant, selalu kesulitan tidur saat terlalu banyak fikiran. Dia berjalan-jalan pagi yang gelap itu menuju danau kecil di sebelah timur kastil, duduk di tangga rumah seorang petani yang masih tertidur dan menunggu matahari terbit. Danau begitu tenang, pendar warna putih kekuningan matahari membaur dengan permukaan danau, terkadang gelombang ikan memunculkan gelombang dan gambar pepohonan di permukaan bagai kaca hilang.

Dia punya kesamaan dengan Kiana mengenai matahari di awal dan penghujung hari, terbit dan terbenamnya matahari yang mewakili semangat orang-orang Torin. Rumah mereka di barat begitu indah ketika sore menjelang, matahari turun menyinari punggung kastil dan melukis dengan awan. Bermacam-macam bentuk, warna dan jenis matahari terbenam tidak pernah membosankan. Torin Maxima berdiri di dataran yang lebih tinggi dan di setiap pinggir sisi adalah tempat berkumpulnya warga atau tamu untuk melihat matahari terbenam. Setiap hari pinggir sisi tebing selalu dipenuhi banyak penonton, kapal-kapal berlabuh dan berderet sepanjang laut, tali-tali mengikat kapal di sepanjang karang dan dermaga besar yang tersebar dipenuhi banyak pedagang. Memori yang menyenangkan, lalu hilang karena momen saat ini.

Ia bingung sama dengan yang lain. Akhir babak seperti menyurutkan semangat, Matthew hilang ide. Mencari keberadaan Lenon Baccry yang sudah berpindah tempat sangat merumitkan, mereka tidak tahu ke mana dia, dan dunia terlalu luas bagi satu orang yang belum memiliki semangat besar. Lucas memilih pulang ke Clemanos dan mencari sendiri bagaimana caranya, entah di perpustakaan Clemanos yang entah berantah di mana tempatnya maupun orang-orang Clemanos.

Setelah berjam-jam hilang dia kembali ke pekarangan kerajaan, melewati hamburan penduduk yang mulai berangkat bekerja, mondar-mandir dengan kuda dan dagangan dipikulan. Ia melihat Raydon yang sudah keluar dari pekarangan kerajaan, duduk di bangku taman di jajaran pohon yang disebut rakyat Sonya sebagai Pohon Cinta, pohon bertubuh tinggi dan bercabang di pucuk memenuhi warna hijau, berjajar di pinggir kanan dan kiri jalan.

Pria keturunan Peri yang dahulu menangkap Matthew itu tengah menghisap sebatang cerutu dengan nyaman, dia selalu menyukai cerutu dan menghisap jauh dari kerajaan. Mata hijau gelapnya melihat wanita muda di Sonya sangat cepat dan menyenangkan, para wanita itu cenderung imut dan bertubuh kecil seperti gadis berumur 16 tahun, dibandingkan dengan wanita bangsa Peri, mereka tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari ukuran pria normalnya, kuat dan tidak kalah seperti pria.

Dua wanita berambut coklat dan pirang akan melewati Raydon, menatap pria gagah itu dengan malu-malu sambil menunduk terkekeh bersamaan. Sedangkan Raydon menguarkan kekuatan menggodanya, ia cukup mengangkat kedua alisnya dan ia mampu membuat kedua wanita itu tertawa lebih malu bersamaan. Mata Raydon mengikuti keduanya, memperhatikan dengan rasa puas dan senang yang bergejolak. Ia melirik lagi ke kanan dan ke kiri, bila saja perempuan lainnya akan melewatinya.

"Kau tidak pernah berhenti menggoda orang ya?" Ada tawa di nada Matthew.

Raydon menoleh ke arah datangnya suara, melihat Matthew menyeret kakinya yang berat. "Perempuan-perempuan itu, apa selalu menertawakan pria yang duduk sendiri?" Ia membiarkan Matthew duduk bersamanya, bersantai, gemas dengan wanita di timur.

"Awalnya aneh, tapi kau harus melihat sisi mereka dari senja hingga malam. Mereka berubah saat itu, pakaian, sikap, wajah, dan dia tidak lagi menertawakanmu percayalah, dia menggodamu." Matthew memperhatikan kedua wanita yang berjalan dan menengok kembali ke arah Raydon dan Matthew yang tertangkap basah memperhatikan dari sisi belakang, lalu tertawa lagi.

"Apa mereka di bar?" Raydon cukup penasaran, Sonya kota dan kerajaan yang besar dan terkenal. Pasti bukan hanya reputasi politik yang membuat nama Sonya melambung, di dalam Sonya pasti lebih hebat dibandingkan politiknya. Yah, Raydon punya sela-sela waktu selain bekerja dan mencari cara menemukan Lenon, mungkin bergerak malam ini setelah dia mendengar cerita Matthew.

"Mereka di mana-mana Ray, berkumpul dan bebas." Matthew tertawa.

"Apa kau sudah bercinta dengan beberapa dari mereka?" Ray tertawa dan membuang asap yang membentuk bulat kemudian hancur.

"Hei! Aku masih ingat siapa aku dan tidak melupakan dari mana asalku." Ingat Matthew pelan. Ia memikirkan darah di tangannya dahulu, mengerikan.

"Yah, kufikir kota dan permasalahan yang terjadi di Torin bisa membuatmu lupa dengan jati dirimu. Jadi, apa kau sudah melakukannya dengan dia?" Ray tidak pernah bersalah bertanya hal pribadi itu, antara Kiana dan Matthew. Dia selalu berniat membantu keduanya seperti Rajanya dahulu harapkan pada kedua insan.

"Dia?" Matthew mengulang dengan ketus.

"Kiana, kau bercinta dengannya?" Ray melirik Matthew, sejenak dia teringat seperti mengenal pria yang memiliki wajah hampir seperti Matthew, hanya berbeda warna rambut.

"Kau bodoh Ray." Matthew menggeleng-geleng dan tertawa malu, meminta cerutu Ray dan mencoba menghisap beberapa kali.

"Apa? Belum? Kau memang bukan petarung terbaik dalam masalah itu kawan. Aku rasa pekerjaan dan rahasia yang menghalanginya. Menciumnya?" Ray masih merasa belum puas.

Rahasia fikir Matthew, lebih besar dari rahasia. "Menyentuhnya saja." Kata Matthew memberi bocoran, ia terkekeh bersama.

"Matt, apa kau jenis yang kasar atau yang lembut? Apa Kiana menyukai yang kasar atau yang lembut?" Ia merangkul Matthew, lehernya panjang dan rambutnya lembut seperti Kiana.

"Apa yang kau bicarakan Ray!?" Matthew merasa aneh dengan pertanyaan terakhir. Dia membayangkan hal aneh, tidak menyenangkan saat orang lain membahas mengenai Kiana.

"Maksudku caranya, Kiana punya tubuh bagus dan menarik walaupun sedikit berisi dan tidak memiliki otot. Kurasa dia suka sisi yang lembut." Pikir Raydon, mencium asap cerutu dan membuangnya lagi.

"Ray, kau membahas terlalu spesifik." Matthew melirik sekitarnya, semenjak dia kecil dan dibesarkan keluarga Sonya dia selalu ingin menemui wajah-wajah yang akan mengingatkannya dengan keluarganya di Torin, ibunya, ayahnya, 2 adik lelakinya, sepupu seumurannya. Hanya ada satu pria yang memilili wajah yang mengingatkan Matthew dengan pelayan kastil Torin, dia punya cambang dan mata panjang terutama bibir yang sama percis.

"Rakyat Torin Maxima, dan mengapa kau harus mengkhawatirkannya? Dia tahu dengan siapa harus bercinta dan melanjutkan hidup baru kan?"

Matthew tertawa tidak enak. "Bukan aku yang memutuskan."

"Dia. Apa kau tahu dia pernah bercinta dengan siapa? Rasanya tidak normal dengan usianya yang sudah segitu dan tak pernah bercinta. Entah di Sonya atau di desa yang ia tinggali 4 tahun lamanya itu. Bagaimana denganmu? Dengan usiamu sudah? 20, kau harus setidaknya sudah mencium atau bercinta dengannya sekali." Pikir Raydon, tertawa dan menelan asapnya.

"Aku rasa kau ahlinya Ray," mereka tertawa bersama. "Tapi waktu tetaplah waktu. Hati tetaplah hati, seperti laut yang pasang dan surut." Dia mendengar desir ombak di kepalanya, lonceng kapal Torin Maxima yang khas, senja yang indah setiap saat.

"Waktu tetaplah waktu," ulang Raydon. "Kau mengingatkanku lagi saat pertama bertemu, hampir membunuh satu sama lain." Dia terkekeh lagi bersama.

"Kiana masih sakit, aku takut itu bukan penyakit." Matthew menginjak-injak batu yang dirasakan alas sepatunya. Seorang perawat di kastil terus membawakan Kiana makanan dan minuman yang baik, obat yang terkenal menyembuhkan demam penyakit lain. Tapi dia tetap seperti itu, menyembunyikan sakit yang diderita, mengeluh di dalam kamarnya sendiri betapa sakitnya kepala, dan mendengar dia bergumam dalam mimpi.

Ray menghadap Matthew, berfikir sesuatu yang mungkin ia kenali. "Jika boleh. Mungkin satu atau dia malam jika boleh aku melihatnya, memeriksa bagaimana dia bermimpi seperti katamu, mungkin aku tahu apa penyebabnya dan aku bisa memanggil perawat Peri di Radella atau di manapun." Tawarnya.

"Tentu." Ia menepuk paha Ray dan berdiri. "Di simpang depan ada bar bernama Crossline, aku merekomendasikan tempat itu. Malam ini lebih banyak yang datang karena besok hari libur." Kabarnya bila saja Ray tertarik dengan hal semacam itu dan mereka tertawa.

Matthew kembali ke kastil dan matanya mulai merasa berat, jam tidurnya yang selalu membalik keadaannya. Dia akan tidur sejak siang hingga malam, kebiasan yang diturunkan dari seorang Tibalt dan beberapa kaum Torin yang lain. Dia melihat Olive mencabuti tanaman dalam pot yang menghias di lantai kedua, mematahkan di bagian tengahnya dalam gelagat yang mengendap-endap. Matthew mennyengir jahil, dia berpindah tempat ke sebalah Olive dan menjerit mengejutkannya. Oliver memekik, tanaman yang ia petik jatuh dan jantungnya berdentum karena Matthew. "Sialan kau anak barat! Aku bersumpah suaramu semakin keras." Ia bersumpah serapah begitu marah.

"Jika ibumu dan pengasuhmu tahu kau berkata seperti itu mereka akan mengurungmu di kamar lagi dan tidak memarahimu. Kau tahu peraturannya bukan? Jangan melanggar peraturan, kau beruntung tomboi yang wajar. Jika tomboimu yang bermain pedang dan mengendap-endap keluar dan bermain pukul-pukulan dengan bocah lelaki entah apakah ayah dan ibumu bakal menyesal melahirkanmu atau tidak." Goda Matthew, ia selalu menyukai cemberut kesal yang Olive berikan.

"Aku juga heran mengapa aku tidak seperti teman-temanku yang lain? Mereka belajar berdansa, memasak, merawat kucing-kucing, mencuci keranjang buah dan tertawa melihat lelaki." Keluh Olive, pada awalnya teman-teman di dalam kastilnya selalu mengeluh karena Olive yang suka jahil, menganggu dan bercerita pada topik yang tidak mereka sukai hingga salah satu bibi pengasuh mengajarinya tata krama sebelum melaporkan pada ibunya. Sebagai seorang puteri Raja dia tidak bisa menjauh dari perasaan dikucilkan, merasa lain dari yang lain. Tapi semenjak kedekatannya dengan Matthew ia sadar tidak ada yang perlu dicemaskan tentang dirinya, dia menyukai apa yang disukai Matthew, kepercayadiriannya.

"Kau sudah dengar cerita versi tentangmu? Ayahmu selalu menginginkan anak-anak lelaki dan berharap semua anaknya kelak berjenis kelamin laki-laki. Kemudian lahirlah Olive Handstar dan ibumu tidak bisa lagi mengandung anak lainnya. Kau anak terakhir yang menentukan nasib kedua kakakmu di tangan ayahmu. Dan karena idaman ayahmu yang terlalu besar menginginkan lelaki itu mungkin yang membawa sikapmu seperti ini. Bukan berarti kau tidak diinginkan, artinya kau adalah pertanda baik untuk semua orang." Jelas Matthew senang.

"Aku tetap berusaha menjadi seorang lady, bibi Sept bilang aku sudah pandai tata krama meja makan dan memperbolehkanku makan bersama tamu kerajaan." Dia melejit histeris, itu hal baru yang mungkin disukai Matthew.

"Bagus!" Lalu Matthew mengambil satu batang tanaman yang dipatahkan Olive. "Dan apa yang kau lakukan dengan tanaman ini sambil mengendap-endap? Kau mencoba melanggar peraturan bukan? Karena setiap kamu bersembunyi artinya kau mencoba melawan." Matthew memperhatikan jenis tanaman yang dibawa Olive.

"Kiana menyuruhku."

"Kiana?" Matthew mulai kebingungan.

"Dia memintaku mengambilkan tanaman di lantai ini, dia tahu jenis tanaman apa ini dan mungkin dia ingin menguji coba ini." Jelas Olive gugup.

"Kemarikan, biar aku yang membawakan untuknya." Pinta Matthew berkedip, berlaga dia meminta privasi berdua bersama Kiana.

Matthew membuka pintu mahoni Kiana dan melihat langsung di dalam kamarnya yang remang, dia menutup gorden merah dan menyalakan lilin dan lampu hanya di sudut ruangan, tungku apinya mati dan Kiana sedang tertidur di lantai. Ia meringkuk seperti kucing, memeluk tangannya dan rambutnya rapi dengan jepitan rambut.

"Kiana apa yang kau lakukan?" tanya Matthew memincing tanya dengan semburat cemas. Dia berjalan cepat dan melihat wajah Kiana semakin berbeda setiap harinya.

"Aku tidur Matt, kau fikir sedang apa aku?" Keluhnya heran, dia selalu tampak normal dihadapan orang tapi Matthew yakin ada yang ia sembunyikan, sakit yang dideritanya termasuk.

"Bangun," ia menangkap pundak Kiana dan membiarkan ia duduk di ranjang. "Dan mengenai tanaman ini?" Matthew menunjukkan setangkai tanaman berdaun kecil dan harum.

Kiana mengambil tanaman dari tangan Matthew dengan wajah setenang malam. "Kau tidak tahu tanaman ini? Ini lavender, tanaman kesukaan ibuku," ia tersenyum masam. "Dulu saat dia masih muda seumuran kita dia mempunyai kebun lavender bersama keluarganya, ia menyediakan bunga indah itu untuk dijual kembali ke berbagai daerah sebagai tanaman rumah-rumah dan cinderamata. Kebunnya sangat lebat dan setiap kali ia keluar dari sana rambutnya yang gelap selalu dipenuhi dengan bunga-bunga lavender, hingga dia dikenal dengan putri lavender. Mungkin tanaman ini salah satu dari kebunnya di sana Matt, aku bisa merasakan senyumannya setiap melihat warna lavender yang indah dan mekar setiap pagi."

Matthew memeluk Kiana dengan rasa iba, merasa kembali merindukan dan marah dengan kejadian yang menimpa semua keluarganya. Menyisakan dirinya dan Matthew sendirian seperti sampah. Matthew memetika sedikit bunga lavender yang masih tersisa dan menaburkannya ke rambut Kiana. "Sekarang kau seperti ibumu."

"Dia tidak pernah muncul di mimpiku Matt, tidak pernah. Tapi ayahku selalu muncul dalam kesedihan, tidak pernah terlihat bahagia. Apa mereka kecewa denganku?" Kiana mulai meremas dirinya, hancur memikirkan bila itu memang kenyataan yang dirasakan ayah dan ibunya.

"Kamu yang selalu begini akan membuat mereka kecewa. Kamu kuat, menjalani semua ini sendirian di sana. Aku sudah berjanji padamu, tidak hanya melindungimu bahkan harus membuatmu percaya. Kau adalah ibumu, apapun yang dia lakukan adalah cerminan untukmu. Imanuel pernah bilang padaku, hidup seperti berkaca. Kau melihat cerminan hidup dari dirimu sendiri, kau bergerak untuk mencari sudut terbaik untuk hidup, kau tersenyum untuk menyempurnakan hidup itu." Matthew menggenggam tangan Kiana yang sedingin hujan, bergetar dan cemas.

"Berjanji untuk menjadi cerminku?"

"Aku berjanji." Ulang Matthew.

Kiana membuang nafasnya yang penat, menunduk merasa hening di kepalanya. "Aku tidak mengikuti kalian sekarang, bagaimana perkembanganmu?" Kiana menatap mata biru Matthew, tenggelam dan merasa kebingungan dengannya. Mengapa dia begitu mirip dengan ayahnya setelah selesai menghapuskan kesedihan?

"Lucas dan Errol masih berusaha. Tapi kurasa aku harus memulai dengan sesuatu yang mahir aku kuasai. Buku." Ujar Matthew, hanya berani menyentuh Kiana di pergelangan tangannya saja.

"Buku?"

"Ilmu berasal dari buku, bahkan ilmu dari buku belum tentu diketahui orang paling pandai di Earthniss sekali pun," gagas Matthew. "Jadi jawabannya mungkin ada di buku, walau tidak tahu judul spesifiknya yang seperti apa." Matthew jelas mengharapkan lebih dari sekedar jawaban.

"Banyak buku di dunia ini, kau memulai dari mana?" Kiana menatap keruh mata biru Matthew yang menampilkan piasan dirinya sendiri, tenggelam di matanya.

"Entahlah, tentang baru Ort mungkin."

"Aku bisa membantumu, di perpustakaan." Tawar Kiana, dia tidak bisa diam di kamar dan jungkir balik dengan rasa sakit yang masih mengikat hari-harinya.

"Besok pagi." Matthew membelai lagi pipi Kiana, hanya bisa menyentuhnya saja. Mungkin nanti, saat mereka berdua merasakan hal yang sama dan kesempatan untuk keduanya.

*****

-Hai guys aku nyempetin publish pas di kampus nih, pas habis uts!! HABIS UTS!! Keren kah? Keren dong, sa ae gue maksa.

-So so far? Berat gak ceritaku? Rada beda sama fantasy- fantasy lain? Hehehe iya, ini kaya lebih mendekati ke cerita fantasy versi The Lord of The Rings eaaa muehehe. Kenapa judulnya hard fantasy? Karena terdapat elemen-elemen dan power di dalam cerita, begiccchuuuuuu.

-Okay kawan, semoga suka dengan alur ini, jangan lupa apresiasinya berupa vote atau komen :)

26/4/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro