Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15 - Residual

Langit gelap dan berawan dan angin berhenti menghembus, langit di atas berhenti bersama kemunculan langit hitam dibalik awan. Saat angin mulai muncul awan bergerak dan perlahan memunculkan bulan baru, sabit yang masih mungil berusaha bersinar. Sekumpulan kelompok orang tengah menghadap api unggun, tertawa dengan kesenangan, seragam mereka bukan dari kalangan kerajaan dan bukan zirah prajurit, hanya baju biasa yang tipis dan jahitan sendiri.

Di belakang mereka ada bayangan hitam berdiri tegap membaur dengan gelap. Tubuh itu menatap dalam diam, sekujur tubuh mendadak merinding. Dia menggenggam sebuah tombak suku pedalaman setinggi tubuhnya, mengenakan mahkota, bukan yang biasa dikenakan Raja tapi mahkota suku yang memiliki bulu-bulu hewan yang menghias.

"Terbakar di tanah!" Suara sepanas nafas naga menggelegar. "Terbakar di tanah!! Terbakar di tanah!"

Pintu mahoni terbuka, Kiana membuka matanya ketakutan dan wajahnya sudah basah, kepalanya mulai kembali sakit. Ia melihat Xavier datang pelan, melihatnya dengan tenang dan menutup pintunya setengah.

"Xavier?" Kiana bangun dari tidur sorenya. "Matthew belum kembali?" Ketakutan roh mistis di mimpi itu menyurutkan semangatnya hari itu di Sonya.

"Belum kurasa," dia masuk memperhatikan sejenak kamar itu berbeda dengan kamar pribadinya yang jarang tersentuh, dia bahkan tidak tidur di kastil dan memilih menginap di bar, bersembunyi sebelum mengunjungi Kiana. "Bagaimana kabarmu?"

"Sakit kepala masih muncul, aku sakit sekali setelah dari Marclewood." Keluhnya melipat kaki. Ia melihat Xavier menjelajahi ruangan dengan pelan-pelan, melihat perabotan dengan tidak tertarik. Ia berhenti di samping ranjang dan mengambil sebuah pedang pendek, menariknya dengan besi putih cukup menarik dan unik.

"Kau bisa menggunakannya?" Xavier selama ini tidak pernah melihat Kiana menggenggam pedang bahkan mengayunkannya. Ia tahu dulu Kiana sering melihat latihan prajurit di Sonya, tapi perempuan itu tidak ada skill sama sekali dalam pertarungan fisik, ototnya tidak ada dan dia harus mengandalkan pengawal untuk menjaga dalam pertarungan seperti pedang, Matthew bisa menggunakan pedang dan dia selalu bersama Kiana, itu tepat baginya.

"Seseorang memberikannya, aku suka cerita di balik pedang itu. Aku tidak menggunakannya dan berharap tidak mengotorinya dengan darah. Setidaknya ada sesuatu yang tajam di sakuku." Dia mengingat ksatria Sreedam Moonflash sang Malam dan Dingin yang begitu didambakan, ingin ia temui dan lihat bagaimana dia hidup dengan skema kehidupan versinya.

"Kau mencariku hari itu, kenapa?" Xavier meletakkan pedang ringan, berjalan-jalan lagi.

"Sesuatu yang menggangguku, hutan itu membuatku berbeda." Jelas Kiana, batunya seolah tambah berat dan tambah panas di sana.

"Dan kau merasa lain juga?" Tebak Xavier, dia tak pernah tahu apa yang dirasakan pemegang batu A'din itu terutama menimpa teman-teman dekatnya.

"Kau lihat orang-orang itu tewas di pasar Qriket?"

Xavier mengingat 2 pria yang terkubur di balik aspal, juga dua lainnya yang ia cekik. Saat itu ia mematung, mengerikan bagaimana bisa itu terjadi, membayangkan bagaimana tanah terbelah dan jeritan kedua pria. Dan hanya sihir yang bisa melakukan orang-orang itu mati dengan berbeda.

"Aku rasa aku tidak bisa menahan kekuatannya lagi sehingga terlepas begitu saja." Ia melanjutkan saat Xavier terdiam, menatap dengan kecemasan. "Aku takut ini menjadi buruk Xav, sihir The Eye bukan berarti mendiami batu kegelapan saja, tapi telah tersebar ke seluruh batu, mungkin itu efek salah satunya."

"Kau ingin ingin lebih kuat dengan batu itu? Atau terlihat lemah di hadapan mereka? Jangan bilang tidak bisa, aku melawan ayahku dan Clark, ini pilihanku untuk pergi dari Sonya dan bergabung ke regu prajurit perbatasan. Sekarang apa pilihanmu? Pilihanmu menentukan hidupmu, ingat itu Kee." Xavier duduk di kursi sebelah Kiana, ia menyentuh cincin batu yang sama dengannya pelan, mengamati cincin peraknya jeli.

"Cincin ini menyelamatkanku lagi," ungkap Kiana selega ia melihat Matthew datang, mengingat Xavier menghunus Lonk di desa dulu.

"Matthew menyelamatkanmu," dia menyentuh kembali cincin merah muda, menyentuh jemari Kiana yang dingin. "Harusnya aku memberi punyaku untuk Matthew."

"Tidak," tolak Kiana halus, dia tak mau itu terjadi, untuk beberapa alasan. "Pakailah, jika aku hilang lagi kau yang harus menemukanku. Batu Heles And Alice, aku tidak tahu bagaimana kau menemukan batu ini dan mengapa kau memberikannya padaku tahun itu. Alasan itu terlihat sekarang bukan?" Ia tersenyum kikuk, menatap mata madu milik Handstar.

"Aku tidak akan kembali ke Sonya lagi, aku akan ikut prajurit dan berbaris bersama mereka. Pilihanku. Jangan berharap menemukanku di sini lagi, tapi kau tahu bagaimana harus menemukanku kan?" Jelas Xavier, ia menyentuh cincin kembali dan membersihkan cincin Kiana.

"Kau akan pergi?" Ia berusaha tidak merasa terganggu dengan pilihan Xavier, dia sudah dewasa untuk memilih harapannya.

"Sebelum Clark memanggilku." Xavier tersenyum pada Kiana, wanita itu jauh lebih kuat di matanya.

Untuk sesaat ia ingin memeluk Xavier sebagai perpisahan, membuatnya seperti bocah dan akan memalukan, walau mereka jarang bertemu ada hal lain yang menjaga pertemanan itu. "Terima kasih untuk segalanya. Jangan lepaskan Alice itu." Ia melirik cincin Xavier.

Xavier pergi lagi dari Sonya dan menjauhi aroma kebencian di sana. Dan Kiana memikirkan ulang mimpi itu, sosok bayangan pria dari suku yang berdiri di bawah bulan baru.

Malam itu Kiana berada di balkon memperhatikan aliran sungai jauh di luar gunung yang memanjang. Kalung batu ia keluarkan dan menggantung di depan baju licin berwarna biru dongkernya, kemudian jemarinya terulur mengarah ke tanaman di bawah. Berniat mencabutnya dengan menggunakan kekuatannya dan mengurung niatannya. Saat itu ia mengingat seorang wanita tidak begitu menyukai sihir meminta bantuan Kiana kembali ketika di desa, wanita itu tak tahu Kiana salah satu yang hidup dengan kekuatan sihir, kenyataan yang harus ia hadapi untuk menolong orang yang membenci setengah mati dirinya yang asli terkadang menutupi hati nurani. Kekuatan itu adalah kutukan dan hadiah hidupnya.

Angin bertiup cukup keras untuk menimbulkan suara dan awan bergerak dan menampilkan bentuk sabit yang kecil dan sebuah bintang putih yang terang di sebelahnya. Dia harus bermimpi gambaran yang sama tentang malam dan bulan sabit yang baru, tapi indah dan meragukan. Kiana menundukkan kepala saat rasa sakit menyerang kembali, ia menolak sakit dan mencoba menahan, tapi yang selalu ia fikirkan adalah hal yang tidak nyaman.

Di belakang balkon Olive yang kebetulan di lantai tersebut melihat Kiana berdiri di balkon dengan kepala yang tertekuk, ia tidak pernah melihat Kiana sejak lama dan cerita selalu ia dengar dari wanita itu. "Hai." Ia menyapa dengan ceria, melihat Kiana dengan wajah merah dan berkeringat.

"Olive? Hai," ia kembali sadar, sedikit terkejut melihat Olive jauh lebih cantik dan tinggi dibandingkan terakhir ia bertemunya.

"Oh, Matthew belum kembali? Aku sebenarnya mencari dia di sini dan tidak tahu di kamar mana dia tidur." Jelas Olive, berdiri di balkon dan memperhatikan sungai.

"Kami memang baru sampai pagi ini dan dia kembali pergi lagi siangnya, dia jauh sibuk sekarang, jauh lebih tertekan." Kiana terkekeh dan Olive mengangguk. "Beruntung bisa kembali lagi ke sini."

"Yah, dia baik, dengan cara yang berbeda." Jujur saja Olive tidak keberatan Matthew menjahilinya tiap saat, dia tak punya teman sebaya yang menyukai aktifitas lebih tomboi, para pelayan muda dan gadis-gadis yang tinggal di dalam kastil selalu hidup dengan cara seorang lady dan manis. Tapi Matthew cukup meningkatkan tenaga Olive, mengejarnya, membuatnya lelah dan tidak membuatnya bosan.

"Ya? Bagaimana itu?"

"Entahlah apa anak barat itu pernah menceritakannya, tapi dia selalu menggangguku, menjahiliku semenjak dia di sini. Terkadang Xavier mengikuti ajarannya, apalagi ketika aku masih sekitar 5 tahun dan mereka mungkin, 10? Mereka benar-benar jahat denganku." jelas Olive tertawa, tetap terdengar menyukainya.

"Anak barat?" alis Kiana naik tajam penasaran.

"Oh, aku selalu memanggil Matthew dengan anak barat." Mereka berdua tertawa, membuang nafas dan melirik langit berawan yang cerah.

"Hubungan kalian begitu spesial bukan? Dia selalu merasa begitu bahagia di sini, terima kasih atas segalanya. Sonya begitu baik untuk kami berdua, dan kau adalah lady di sini." Dia bergumam dan tersenyum, hanya percakapan sesama wanita yang jarang didapat Kiana.

"Apakah kau dan Xavier memiliki hubungan spesial juga? Lebih?" Olive melirik Kiana dengan tenang, wajahnya muda dan merah, tidak bersalah dan memang terlihat tomboi.

"Excuse me?" Itu membingungkan Kiana.

"Aku sering berkeliaran di kastil, mendengar cerita, menguping cerita, membawa cerita apapun itu. Dan siang ini aku mendengar bibi Lun berbicara dengan teman-teman dapurnya jika kau mencari Xavier dan berbohong dengan Matthew. Dan mereka bilang bermacam-macam hal, dan hebatnya mereka sambil memasak." Jelas Olive, ia selalu menarik-narik gaunnya yang terlalu panjang. Walau dia selalu mengenakan celana di dalam untuk menyamankan dirinya, rok halus yang jatuh itu tetap menghambat pahanya.

"Wow, aku tidak menyadari pecakapan yang hanya didengar dua orang saat itu bisa menjadi tersebar," gerutu Kiana tercengang, lalu memikirkan Errol, apa dia suka membicarakan perjalanan dengan orang lain? Atau mungkin seseorang mendengar pembahasan Errol disuatu tempat. "Xavier dan aku adalah teman dekat. Orang-orang selalu mengganggap pria dan wanita yang sering bersama pasti memiliki ikatan lain, bahkan kakak atau adik yang berjalan bersama. Tapi tidak ada apa-apa lagi selain pertemanan, dia bilang seperti pertemanan Torin dan Sonya."

"Aku tentu saja tidak menyalahkanmu, kau sudah punya pasangan. Dan masalahnya hanya pada Xavier tentu saja." Kata Olive, lagi-lagi mengutarakan langsung yang terbesit di kepalanya.

"Xavier selalu mampu melihat diriku jauh lebih dalam dibanding yang lain, menaruh keyakinan padaku walaupun aku meragukan diriku sendiri. Kita jarang berbicara tapi mengerti cukup banyak satu sama lain, dia seperti saudara bagiku. Aku melihat dia selalu mampu menjadi pilar, dia pergi dan tetap berdiri teguh." Kiana bercerita tentang Xavier, selalu mengingat setiap kebaikan pria itu terhadapnya, menghormatinya.

"Sekarang dia pergi," nada Olive berubah ironi. "Dia datang ke kamarku dan bilang 'hanya kau orang favoritku di sini'. Aku tahu selalu benci ayah, terkadang Clark, terkadang ibu. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dan sebagai adik, keluarga, aku merasa kurang mengenalnya."

"Rasanya seperti warna merah, berada di mana saja dan sulit. Tapi dia tetap kakakmu apapun yang terjadi, jika dia berjalan mundur kau juga harus juga berjalan mundur, jika dia maju kau maju." Olive menarik nafasnya, memuja langit yang sehangat padang rumput. Memikirkan kakaknya yang pergi lagi, merasa itu selamanya dan akan sangat sulit menemuinya.

"Dia memang bocah yang menggemaskan, tahu maksudku kan?" Olive tertawa.

"Ya. Cerita apa lagi yang sering kau dengar tentang kita, kau harus lebih hati-hati mengolahnya, terutama tentangku dan kawan-kawanku, kita adalah rahasia." Kiana terkekeh diikuti Olive.

"Lihat, akarmu semakin tumbuh," suara pria memasuki percakapan, dan datang dari belakang balkon dan memperhatikan Olive.

"Anak barat! Kau sudah sampai?" Olive nampak senang dan percaya itu rasa yang melegakan, sudah lama tidak melihat Matthew.

"Jadi kau mencariku ya?" Matthew melirik Kiana yang tersenyum pada Olive, dan Kiana meliriknya balik. "Oh sayangku, cintaku, belahan hatiku, karpet yang terbentang di hatiku. Aku merindukanmu." Matthew membuat-buat suaranya merayu, menjahilinya kembali dengan hal yang paling Olive jauhi.

"Matthew!" Olive mengernyit geli, nada itu tidak ia sukai, seperti kalimat nyata orang yang tergila-gila dengan cinta, dan menjadi gila karena cinta.

"Berikan aku pelukan sehangat selimutmu, berikan kecupan sebasah bunga pagi hari sayangku Olive." Matthew masih bermain dengan Olive, membuat bibirnya maju ingin menciumnya.

"Cukup! Aku pergi, aku akan muntah dan kalimatmu bakal tidak bisa membuatku tidur." Sergah Olive, dia berbalik dan tertawa bersama Kiana. Ia memang akan pergi, meninggalkan tempat itu karena waktunya mencari cemilan.

"Hei, aku benar-benar merindukanmu anak timur." Matthew tersenyum manis kali ini, tulus, dan Olive membalas senyuman yang sama karena menyadari nada ketulusannya.

"Dia pasti menceritakanku bukan? Bagaimana aku menjahilinya setiap saat." Terka Matthew bergabung di balkon, melihat sungai dan mendengar suara penduduk-penduduk Sonya malam itu, semeriah yang biasa ia dengar.

Kiana terkekeh. "Kau selalu merasa bahagia di sini Matt, mereka itu keluarga kita yang tersisa dan aku bisa menjaga mereka. Lihat dirimu, kau selalu menjadi anak barat mereka."

"Aku mencintai tempat ini lebih dari apapun, tapi masih saja, semuanya berbeda. Orang-orang itu bukan orang-orang Torin, prajurit itu bukan orang-orang Torin, udara ini bukan yang aku ingat di rumah sana. Aku mungkin patah hati mengatakan itu, sebagian dari diriku terus mengatakan keluarga tetap keluarga." Matthew membalik badannya yang begitu lelah, berpindah tempat cukup jauh membawa Ray, Lucas, dan Errol.

"Dan bagaimana tentangku?" Kiana menyentuh pipi dingin Matthew, merapikan helai basah di pipinya.

"Kau lebih berbeda, dan aku tidak bisa mengungkapkannya." Ia menatap Kiana, rambut panjangnya terbang bersama angin dan lembut.

Kiana berbalik menghadap sungai, memikirkan bulan baru di atasnya yang muncul dari balik awan dan tertutup lagi, cuaca di timur memang yang terbaik. "Jadi bagaimana? Aku tidak melihat batu Grass padamu."

"Rumah itu hanya ada satu di bukit bukan dua, kita memeriksa rumah pertama dan tidak menemukan apapun, itu bukan Lenon Baccry. Errol menemukan yang menarik, Lucas membantu lebih baik. Lucas bilang ada rumah kedua, hanya saja menghilang seperti Torin. Lucas tidak mampu melihat lebih jauh tapi dia merasakan dan mendapatkan penglihatan ada rumah kedua yang kemungkinan rumah Baccry. Errol tahu siapa yang bisa membantu, seorang lady dari Taniom dia punya kemampuan melihat yang tidak bisa dilihat." Jelasnya.

"Jadi kita ke sana?"

Matthew menggeleng sabar. "Tidak, Taniom di selatan dan begitu jauh, kita tak mau menyisihkan waktu ke sana. Alih-alih kita mengirim surat pada wanita itu Zelyana dan meminta sarannya. Errol bilang dia tidak bisa keluar dari sana semenjak penyerangan Dubhan dahulu."

"Kurasa ini penantian lainnya." Kata Kiana ketus, membuang nafas dan merasakan dadanya cukup tenang, kepalanya belum sakit.

"Selagi kau menyembuhkan diri, kita beristirahat. Bagaimana kondisimu?" Ia berbalik ke arah Kiana, menopang tubuhnya di pagar balkon.

"Cuku baik untuk sekarang." Balas Kiana membuang nafasnya. Ia melihat kembali bulan sabit, mengapa ia bermimpi tentang itu? Dan bintang bersinar itu mulai menunjukkan perubahan lain, muncul satu bintang lain yang berada sejajar.

Pagi itu Matthew menulis rangkaian kalimatnya di buku harian, tanpa Xavier dan berita dia memilih tugas berbahaya dibandingkan di dalam Sonya membuatnya lebih khawatir. Bila difikir ulang, Xavier memilih pilihan yang baik dibandingkan memakan sakit hati lebih dari ayahnya setiap hari, dia mendukung apapun pilihan saudaranya itu. Ketukan pintunya menggema, Ray memunculkan diri di ambang pintu. "Matt, suratnya datang."

"Oh, aku harap beritanya bagus." Gumam Matthew menutup bukunya, hampir seminggu ia menunggus surat datang sambil terus menjaga Kiana. "Dia tetap masih sakit, kepala yang sakit dan terkadang kudapati dirinya seperti mengigau, ketakutan dalam mimpi." Keluh Matthew pada Ray selagi mereka turun.

"Setelah kita menemukannya di Qriket dia sudah mulai sakit bukan? Seminggu waktu yang lama Matt untuk sebuah penyakit biasa. Pria itu, yang diceritakan Kiana, kau yakin dia tidak tahu siapa Kiana? Pertanyaan bagaimana bisa dia sampai ke bagian hutan yang salah? Aku mulai mencemaskannya juga, tetap jaga dia Matt." Ray memberi peluang Matthew memikirkan betapa berbahayanya pasangannya itu sekarang, setelah seminggu tetap Kiana mengeluh sakit di kepala, wajahnya memucat dan matanya sakit.

Mereka menuju kamar Errol di penghujung lantai, membukanya dan melihat dia membaca sendiri dengan nyaman. Kamarnya cerah, menyalakan lebih besar lilin dan api yang besar. Aroma panas dan lilin terbakar membungkus ruangannya, dia selalu bekerja dengan ruangan yang sama. "Apa yang dia tulis?" Tanya Ray.

"Sesuatu tentang keahliannya dan aku bukan salah satu orang yang memahami kemampuan ini. Membuka tabir membutuhkan mediator, melihat yang lampau itu tidak seperti melihat jelas dengan mata telanjang, sekelebatan gambar muncul, dan akan merasakan emosi yang sama dengan yang di masa lampau." Kutip Errol pertama, ia jelas tahu itu bukan tulisan Zelyana. Mungkin Gazdriel atau pelayan istana.

"Sial aku tidak sepandai yang kukira," gerutu Ray tidak mengerti sedikit pun yang dituangkan di dalam surat.

"Di mana Lucas? Dia punya kemampuan juga seperti wanita ini, memang kurang bagus kurasa. Aku yakin dia mengerti," gugus Matthew mengetuk-ngetuk gelisah.

Pintu terbuka kembali dan Lucas muncul. "Kufikir kamarmu di lantai 3, salah lantai, salah kamar." Katanya memberi alasan mengapa ia terlambat. "Jadi ada apa?" Rambut pirang kecoklatannya terikat kecil, menarik rambut dengan ketat dan memperjelas wajah berbentuknya.

"Apa itu residual?" Tanya Errol dahulu, mendangak di kursinya mencari Lucas.

"Potongan peristiwa yang telah terjadi, seperti mengintip kecil ke masa lalu. Setiap perasaan baik fisik maupun batin dapat tertangkap oleh sang penjelajah. Kau seperti berada di sana, menjadi orang itu, menjadi orang yang disakiti, merasakan perih perasaan mereka. Itu siksaan versi lain dari dunia, memerangkap ke dunia supranatural." Jelas Lucas, menarik kertas dan membacanya sendiri.

"Jadi seperti berpindah tempat ke masa lalu?" Terka Matthew.

"Dengan indra keenam, mata batin." Tambah Lucas, sejauh itu ia memahami. "Aku rasa aku bisa."

"Kau bisa? Kau yakin?" Errol berdiri memincing, membersut saat tatapan Lucas sangat mengganggunya. "Oke baiklah baiklah." Ia menarik perkatannya.

Matthew membawa mereka berpindah tempat dan kembali ke hadapan rumah di Qriket. Ia berjalan dengan pelan pada Lucas, sesuatu mengganggunya dan Kiana membuatnya resah. "Apa kamu bisa melihat masa lalu yang terjadi pada seseorang? Dengan residual itu."

"Terhadap orang? Tidak, itu memori. Ada apa?"

"Sesuatu membuatku curiga saat Kiana tersesat dengan seorang pria. Kiana tidak terlalu spesifik bila dengan seseorang, dan itu 2 hari yang cukup lama bagi seseorang untuk melakukan sesuatu padanya. Kini dia sakit dan belum sembuh." Urai Matthew cemas, saat itu ia mendengar Kiana bergumam ketakutan, terbakar di tanah dalam kurun waktu yang lama dan ia terbangun sendiri.

"Itu bukan sebuah penyakit Matt, itu sesuatu yang buruk yang bersamanya. Entah apa itu tapi dia tidak membawa hal buruk itu ke manapun." Lucas mencemaskan hal yang sama. Ia berdiri di tanah kosong tempat rumah itu hilang.

Momen itu angin berderak kencang dan semilir daun membisikkan kesegaran tanaman, bulan sabit masih terlihat di pagi hari di bawah langit biru yang bersih. Lucas memejamkan matanya dan menyentuh tanah, melihat jauh ke belakang dan mendadak merasa sakit di pinggangnya seperti pisau yang menikam.

Ia memfokuskan ke penglihatan di kepalanya, residual yang berkelebatan begitu kuat sampai-sampai ia terbawa masuk ke peristiwanya.

"Aku melihat sebuah keluarga," jelasnya menangkap residual pertama dari rumah yang hilang. "Hidup dengan rahasia yang disembunyikan, ada kekuatan besar di dalam. Sore itu makhluk gelap datang bertubuh tinggi dan besar, hitam mendominasi, rasa haus, gelap, turun dari langit. Jumlahnya banyak terbang dari arah utara, dan 2 pria juga datang dengan amarah. Rumah ini seperti terkepung dengan bala musuh." Lucas terdiam setelah melihat gambaran pilu di kepalanya.

Potongan klip di kepalanya kali ini bergeser menjadi begitu memerihkan ke uluh hati. Suaranya menjadi terisak, kala pernafasannya tersendat terluka, rasa tikaman di pinggangnya semakin kuat. Kepalanya bergeleng meminta menghentikan rasa sakit dari residual yang didapat.

"Mereka melawan, kalah banding dan kalah kekuatan." Nafasnya tersingkal, rasanya mendadak sedih dan mengerikan. Ia mendapatkan gambaran, darah yang mengalir dari leher dua orang anak kecil. Tangisan gaduh bercampur, memilukan dan menyedihkan. Tangisan sang cucu, teriakan ketika belati itu menggasak leher, dan tangisan pedih nenek dan kakek yang dipaksa melihat cucunya dibunuh.

"Lucas?" Matthew menyentuhnya, dia merasa Lucas terhanyut cukup dalam dan kesulitan di sana.

"Anak itu meninggal dibunuh sebagai bahan pertimbangan. Pertimbangan untuk memberikan batu Grass yang dimiliki atau nyawa sang cucu." Saat Lucas menjelaskan inti menyakitkan barulah semua ikut dialiri rasa pahit yang terbayang digambaran. Bagaimana seorang kakek dan nenek menyaksikan cucu yang masih begitu kecil dijadikan sebagai kelinci percobaan tentang perasaan atau kewajiban.

Errol mendadak maju dan memegang pundak Lucas, menenangkannya, memutus aliran kontak residual Lucas. Ia kemudian membawa Lucas berdiri, merasakan tubuh pria itu bergetar dan wajahnya setakut melihat kejadian itu.

"Aku melihat penggunaan batu Ort untuk kabur, dan pancaran kekuatannya membuat rumah menghilang," tindasnya memberikan kesimpulan akhir.

Lenon Baccry pastinya sudah pergi lagi membawa batu Grass semakin jauh. Lalu ke mana dia berteleportasi? Pertanyaan semakin membesar dengan jawaban yang membingungkan. Siapa yang tahu ke mana pria itu pergi? Atau bagaimana cara mendeteksi kepergian pria itu? Keberuntungan itu seolah berlari lagi mencari pihak lain, ia seakan bosan membantu satu orang dan keberuntungan terlalu jahat untuk diam memberikan dirinya untuk satu orang. Keberuntungan ingin dirinya digilir, semua harus merasakan keberuntungan.

Lenon Baccry beruntung karena dia lolos dengan batu Grass.

*****

-Selamat malam (karena uploadnya pas malam) hai sahabat #jieeh bagaimana kabar kalian? Semoga sehat-sehat aja ya, baik2 dengan sekolah dan pekerjaan.

-Selagi jenuh dengan keluh kesah, membaca bisa merilekskan kepala dengan merangkai imajinasi dari sebuah tulisan. Lebih berwarna dan abstrak, tapi kalau tambah pusing mending minum obat dulu deh hahaha.

-Sampai sini ada yang ingin bertanya mengenai alur dan sebagainya? Tidak ada? Tidak? Anda? Tidak? Hmmm yasudah lah, berarti anda terhanyut dan masuk dalam cerita sampai-sampai tak kuat merespon hahaha. Tapi kalau tekan vote kuat kan? Dibantu ya dibantu biar IoS meluas di dunia orange. Have a nice day - Dinda

18/5/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro