Part 12 - Tersesat Di Marclewood
"Tuan Kozzak?" suara Kiana mencari, tubuhnya masih menghapit daun pintu kubah Sonya yang selalu tertutup. Perlahan ia masuk dan menutup pintu, ia selalu bertanya-tanya mengapa kubah begitu sepi tanpa ada kunjungan, hanya Kozzak yang selalu berada di sana dan meninggalkan kubah ketika ada panggilan dari Rajanya.
Xavier bersama seorang staff kerajaan menceritakan mengenai kubah pada Kiana saat ia masih 14 tahun. Kubah itu merupakan bangunan yang paling tua dan melebihi kastil Sonya sendiri, mata yang menyaksikan setiap bangunan berdiri dan kejadian sejarah. Kubah Sonya merupakan balai kota Colonya (nama Sonya sebelum merdeka) yang dibangun pada zaman Sema sebelum batu sihir pertama terbentuk (A'din). Awalnya balai itu digunakan untuk ruang kerja, ruang pengadilan, kantor, hingga penjara di bawah tanahnya.
Balai itu dahulu pernah dibongkar ulang karena selama masa perang yang berkecamuk tidak ada habisnya membuat balai rusak, sebagai gantinya kubah mendapatkan renovasi berkala dan menambah dua lantai. Di akhir zaman Sema balai itu diresmikan dan menjadi pusat kegiatan Colonya hingga ketika merdeka dan Sonya muncul, balai akhirnya tidak digunakan banyak, ditetapkan sebagai museum dan aset Sonya. Tidak ada yang berubah semenjak hari ditetapkannya kubah itu, semuanya masih sama dan kayu jati tidak menandakan kerapuhan karena tua.
Kubah Sonya memiliki tiga lantai dengan cat silver yang basah, kusen pintu dan jendela terbuat dari kayu jati berwarna coklat muda. Atap kubah di lantai pertama rendah, plafon menggambarkan penunjuk arah mata angin yang besar, ada batu tanah cukup tebal di pojok ruangan di samping kiri, terkadang batu itu membuatnya ketakutan karena seperti kuburan lama sama seperti kubah ini.
Lantai-lantai kubah masih terbuat dari kayu jati yang sama, aroma di dalam kubah seperti kulit pohon tua yang kering. Tidak ada pilar dalam yang memangku bangunan, hawa pengap selalu terasa karena jendela dan pintu selalu ditutup. Hanya meja kerja Kozzak di panggung ujung ruangan dan kosong, lilin yang mati dan buku-buku tebal yang membosankan di atas meja, sebuah tas coklat yang terbuka menampilkan kain kasar yang jelas.
Ia berjalan pelan seperti bayangan, lampu-lampu dari api di dingin kayu terang karena besar dan aroma bakar lilin yang harum memberi sentuhan masa kini di dalam kubah tua itu. Ia berdiri di samping meja, pintu di bagian kiri dari meja tertutup oleh gorden abu-abu tebal dan pintu di bagian kanan yang menuju tangga remang seperti jalan menuju kuburan, ia membaca judul buku yang tertumpuk dan membukanya tanpa ada niatan mendalami. Membuka tasnya dengan percaya diri, itu hanya sebuah tas jelek tanpa apapun yang berharga. Tapi ia melihat sesuatu di dalam, hanya sebuah batu yang muat digenggam jemari telunjuk dan ibu jari, batu itu belum diasah dan masih berupa bongkahan tidak menarik yang berwarna coklat kemerahan, ada pola yang membentuk di dalam batu dan terlihat seperti permukaan kulit trenggiling yang bersisik keras.
"Kiana?!" Kozzak muncul dengan tatapan terkejut dari pintu arah tangga. "Apa yang kau lakukan di sini? Aku tidak tahu kau ke mari, kupikir kau di barat sana." Seperti sebuah kejutan, dia tidak mengharapkan Kiana berada di dalam kubah hari itu juga.
Kiana menaruh batunya kembali, melihat wajah Kozzak berminyak seperti berkeringat, kulit keriput di sebelah matanya semakin besar dan rambut hitamnya semakin ikal. "Aku memang dari barat, aku berencana ingin menemui Xavier tapi entahlah tapi aku malah ingin ke kubah." Urainya, rambutnya yang sepanjang dada terurai dan rapi, bergelobang sedikit di bawahnya.
"Kau menemuiku, itu bagus." Ujar Kozzak, wajahnya merah padam dan ia berjalan ke meja, matanya berkedip terlalu cepat seperti sesuatu mengganggu fikirannya. Bongkahan batu itu ia ambil dan ia masukkan kembali, membungkusnya dan membawanya ke laci meja.
"Aku suka pola trenggiling di dalamnya, batu apa itu?" Kiana melirik kembali tas itu namun Kozzak terlalu cepat menyimpannya di dalam laci dan merapikan mejanya seperti tamu penting yang mengadakan sidak ruang kerjanya.
"Ini batu Guliga, batu ini berasal dari dalam tubuh binatang. Pola yang yang menggambarkan batunya itu adalah asal hewannya. Ini memang dari perut trenggiling, aku juga suka pola unik di dalam." Urai Kozzak masih menata mejanya, merapikan lilin-lilin ke pojok meja dan membuang kertas acak-acakannya. "Kapan kalian datang?" Tanyanya agar Kiana mendapatkan pekerjaan lain selain melihatnya sibuk.
"Aku sendiri ke mari. Yah dan aku hampir dapat masalah besar karena muncul dari teleportasi ke dalam Sonya, para prajurit menodongkan tombaknya pada kepalaku dan menjerit meminta berhenti, menggeledah semua pakaianku dan membawa ke suatu rumah untuk ditanya." Kiana merasa ada ketertiban baru di Sonya, sebelumnya prajurit itu tidak pernah setegang itu dalam bekerja.
Kozzak memberikan senyuman lebarnya. "Raja memberikan peraturan baru kepada para pendatang dan kepada penduduk di dalam sendiri semenjak penyerangan Dubhan terjadi. Ia memberi ketegasan dan memperketat kota untuk para pendatang, dan mulai mencemaskan pemakai teleportasi. Ia ingin membeli batu Anti Teleportasi dari Varunnette karena kegelisahannya pada biang onar itu, jadi kau salah memakainya dan muncul di dalam."
"Untuk kota besar seperti Sonya memang seharusnya sudah punya batu Anti Teleportasi, pendatang membawa masalah, seperti kata Raja saat itu," ungkap Kiana, ia berdiri mematung dan memandang lagi sekitar ruangan yang kosong.
Kozzak masih merapikan mejanya seperti belum puas, wajahnya bercucuran keringat setelah ia dari lari. Kozzak berwajah muda dengan umur sudah 41 tahun dan masih bugar walau ia terlihat berjalan lambat, lilin dan api seperti membuat wajahnya lentur dan tidak berubah dari hari ke hari. "Kau mencari Xavier? Kurasa sia-sia, karena dia sudah tidak lagi di sini." Mulainya.
"Dia tidak di Sonya? Apa ayahnya mengirim dia bertugas?" Kiana merasa batu Ort itu sia-sia, dan ia benar-benar ingin menemui Xavier dalam suasana hati yang tidak yakin.
"Anak itu yang pergi karena kemauannya sendiri, dia bersama regu lain ke balik pegunungan dan menjaga perbatasan di Mountleg (markas prajurit Sonya di wilayah paling ujung perbatasan). Dia terlihat begitu niat untuk bergabung, aku mendengar cekcoknya pada sang kakak demi bisa pergi, dan permintaanya dikabulkan dengan sang ayah." Ujar Kozzak, kumis kasar yang menutupi semua kulitnya ikut basah.
"Sudah berapa lama dia pergi?"
"Seminggu mungkin," bahu Kozzak terangkat, dan ia duduk dengan lega mengistirahatkan semua tubuh yang lelah. "Jadi apa perkembangan kalian? Adakah suatu proses yang menggemparkan?"
Banyak dan mulai meresahkan, sosok di Varunnette, mimpi Raydon, kekuatan yang mulai kembali. Mengingatnya membuatnya lupa, ia memilih satu. "Dilema tentang batu Grass, Lenon Baccry di pasar Qriket memilikinya, dan kita masih belum bisa bergerak ke sana."
Bola mata gelap sebulat cerinya melirik Kiana, dahinya berkerut ketika mendengar nama yang ia kenal. "Aku tahu dia, Lenon Baccry, seorang penjudi batu yang menginvestasikan semua batu mahalnya di pasar Qriket. Dia punya segudang batu yang menggiurkan dan terlangka lainnya, namun batu yang ia anggap bernilai besar tidak akan ia lepaskan dan berakhir menjadi koleksi pribadi."
"Bagaimana kau mengenalnya?" tangan kirinya kembali berdenyut, seperti kaki-kaki ulat seribu melangkah kasar di permukaan. Terkadang menjadi begitu panas dan bisa menjadi mati rasa seperti ia tidak punya tangan.
"Aku ikut pertemuan dengan para tokoh di berbagai belahan mengenai batu-batu mulia yang tersebar. Yang aku ingat, pria itu sangat kuat pendirian dan tidak mau mendengar orang lain. Sehingga sebagian besar perdebatan selalu ia menangkan dan semua yang ia inginkan terkabul." Kozzak menatap Kiana dengan hati-hati, wajahnya punya bercak-bercak yang kasat mata.
"Pasti ada sesuatu yang meluluhkannya bukan?" Kiana mencari cara lain.
"Apa? Anggap saja dia adalah Dewa, tak ada yang bisa mengalahkannya," kata Kozzak skeptis. "Jika memang faktanya Baccry memiliki batu itu, artinya kau berurusan dengannya."
"Bagaimana? Dari ceritamu aku sudah tahu dia menyebalkan," tukas Kiana dan mengundang tawa berat Kozzak.
"Kalian punya banyak cara," ia berbisik memberi kekuatan, butuh diberikan motivasi untuk mendongkrak kekuatan tersembunyi itu, saatnya anak-anak bangsawa itu belajar bagaimana memulai nasib di jalan luas.
Kiana menatap pintu utama dan menghembuskan nafas, semenjak pergi dari desanya dan memutuskan masuk dalam dunia perjalanan hebat ia menemukan kekuatan yang hilang, temannya menjadi saudara sehidup semati, batu A'din merantai ikatan mereka dengan kuat, setiap cerita tercoreng baru setiap melakukan pekerjaan baru. Ia tidak percaya ini terjadi atau apa yang terjadi bila ia menolak permintaan Xavier, apakah ia masih punya harapan yang sama?
Dia mendengar langkah kaki sehalus permukaan bantal, seorang wanita muncul dari balik pintu di kanan dengan langkah setenang karnivora. Tangannya selalu tergenggam di depan kaki, rambutnya luar biasa merah seperti api tungku besi, matanya selalu berkedip dengan pelan dan mati. Tapi tatapannya sekeras besi, tak berekspresi seperti abu. Kemunculannya itu membuat Kiana begitu ketakutan hingga termundur, dia datang seperti sosok arwah dari kuburan di pojok ruangan.
Kozzak berdiri dengan tegang, ia menggenggam pundak Kiana yang kaku. "Mari kuperkenalkan, dia Lea Gonameer, putri asuhku. Sepertinya kita menyukai memiliki anak asuh untuk membantu kita," ia terkekeh sendirian, memastikan Kiana bila wanita itu tidak membuatnya cemas sama sekali.
Tanpa menjelaskan lebih jauh Kiana tahu siapa wanita itu setelah mendengar nama Gonameer. Mereka punya cerita terkenal layaknya Kiana dan Matthew, dan Lea bersama saudara kembarnya Sia mengenai rumahnya di perbatasan kawan Darkpross, Sanmar. Banyak rakyat Sanmar sering keluar masuk dalam penjara mana pun dengan tuduhan yang hampir serupa, pengkhianatan. Namun tidak semuanya terjerat dalam kelabu ajaran gelap bangsa tersebut, sebagian tetap berakal sehat dan bertekat besar untuk membela kebenaran dan memerangi mereka. Lalu kisah Lea dan Sia menjadi perbincangan hangat pada masanya, skandal besar terjadi ketika salah satu dari mereka mengikuti bangsa kegelapan dan mengabdi besar untuk Darkpross, sedangkan kembaran lainnya tidak ingin mengikuti sang saudara dan memilih pergi.
Ia meninggalkan kembarannya dengan segenap perasaan campur aduk, darah daging yang hilang itu seperti diseret oleh anjing hitam yang mencari bangkai, ia dibawa ke bangsa kegelapaan dan menjadi penduduk berdosa di sana, dia adalah Sia. Sia kembaran dari Lea sudah hilang semenjak kabar itu berlangsung dan meninggalkan Lea sendirian terbengkalai di kediamannya bersama ibu yang sakit-sakitan. Sanmar adalah kota sepi dan kelabu, para penduduk di sana selalu menancapkan pilihannya di antara garis perbatasan itu, maju untuk Darkpross dan mundur untuk bergabung dengan Varunnette dan jajaran kerajaan besar lain.
Namun orang-orang selalu memilih maju dibandingkan mundur bahkan hanya sedikit, mereka meninggalkan Sanmar dan masuk melewati gerbang Dubhan, hidup di dalam sana dengan kegelapan yang suram. Sisanya hidup dalam keasingan dan keterpurukan, cahaya dan kebahagiaan tidak terjangkau hingga sana. Tahun itu Dubhan berencana menginvasi Sanmar, memperluas seperempat daerah kekuasan Darkpross. Tiga kelompok kerajaan besar bergabung dalam menghalau invasi tersebut, Peri, Varrunnette, Sandair sukses memukul mundur Dubhan yang kalah dalam prajurit.
Ketiga kubu membawa penduduk Sanmar yang ingin menjauhi tempat tersebut, namun segelintir penduduk sudah berlari sebelum kedua musuh datang dan memporak porandakan tempat mereka. Lea tidak bisa merasakan keberuntungan pertolongan itu, ia hilang karena kabur sebelum peperangan itu, tenggelam dengan kisahnya dan tak bisa ditemukan.
Kisah di utara itu menjadi lebih kian besar ketika empat tahun selanjutnya Sia terlihat di antara rakyat di timur, dan investigasi besar yang berhasil menyimpulkan bila Sia sebenarnya adalah Lea yang hilang. Sia dan Lea kembar identik yang tak bisa ditemukan perbedaan di wajah mereka, satu-satunya yang bisa membedakan mereka berdua hanya dari apa yang mereka kenakan dan cara mereka menata gaya rambut merah pekatnya. Namun Sia lebih ditakuti dari pada Lea, karena wanita itu pengikut besar Darkpross yang kesetiannya mendarah daging.
Hal yang sama kini terngiang di benak Kiana, apakah di depannya ini benar-benar Lea? Wajahnya benar-benar menakutkan, kering seperti terlalu sering terpapar asap hitam. Keriput seperti menua sebelum saatnya, 34 tahun umurnya dan berwajah yang membuat merinding.
Kiana mengamati semua pelosok Sonya yang masih dalam kerusakan sambil turun di tangga kubah. Rumah-rumah kayu dan bata dalam masa pembangunan kembali, hantaman kayu dan paku berdentang di segala penjuru, para pekerja membawa kayu-kayu baru yang datang. Wajah-wajah muram pekerja selalu ia lihat, rumah lama mereka dan segala halnya ikut terbakar dan hancur menjadi puing-puing yang berserakan. Terkadang ia memikirkan apakah dia mampu membangun rumah dengan kekuatan? Apakah kekuatan itu sebanding dengan waktu dan kekuatan orang-orang yang bekerja di luar? Batu A'din dibuat dengan hasrat besar setiap pemilik sihir, namun miliknya adalah nafsu tamak yang membunuh Raja dan Pangeran.
Matahari yang malu bersembunyi di balik tebalnya gumpalan kapas putih di lautan biru, terbang dan berlomba sejauh mungkin saat angin. Sonya lebih hangat ketimbang di Marclewood yang sedingin ruang penyimpanan daging, ia ingin berlama-lama di sana. Kastil utama Sonya berdiri dengan redup, diujung kastil sana ia seperti melihat bayangan berdiri dan membalasnya dengan tatapan datar. Ia ingin mengunjungi kastil, tapi siapa yang ingin ia temui di sana selain Xavier? Semua orang begitu asing untuknya, kembali ke sana seperti kembali ke negeri orang asing. Namun berada di Marclewood begitu merasakan aura Torin, sebagian hutan di sana masuk dalam kawasan Torin. Untuk kembali ke sana ia masih begitu takut, seperti para pengkhianat sudah menunggunya di atas tanah. Kiana memutuskan tidak ke kastil, ia mencari batu Ort untuk kembali ke Marclewood.
Batu Ort yang ia genggam menguatkan niatnya kembali ke Marclewood dan bergabung lagi pada keempat kawannya yang kemungkinan sudah menunggu dengan cemas. Ia berkonsentrasi menuju tujuannya, batu Ort tersebut mengirimnya ke dimensi lain, dan warna hijau menyerbak, ia sampai pada hutan tersebut dengan limbung. Kakinya terhuyung-huyung dan akhirnya menabrak tanah, ia mengacak daun agar kepalanya lepas dari perasan yang menyakitkan.
Firasat menangkap keanehan, dia buru-buru berdiri dengan wajah sekecut lemon, matanya sepanik kucing, matanya mengawasi sekitarnya dengan ketakutan. Dia mulai berlari dan menembus hutan-hutan pengap, gelap dan basah. Nafasnya menderu dan begitu cepat. "Tidak! Tidak! Jangan!" Dia berlari menjauhi hutan.
"Tidak! Tidak! Tidak!" Pekiknya begitu panik, dia sadar tidak berada di hutan sekitar perkemahan teman-temannya.
"Sial! Sial," umpatnya, keringatnya mulai mendidih dan turun. Ia menelusuri hutan seperti mengejar buruan, berharap ada tempat yang ia hafal di dekat sana. Tapi gunung dan danau tidak ada di sekitar sana, ia begitu ketakutan. "Tidak, jangan! Aku harus sampai di perkemahan," ia cemas. Perkataan Errol membayangi kepala, Marclewood hutan terluas dan memakan waktu berbulan-bulan bila tersesat di dalamnya.
Matanya berkeringat, ia meghabiskan menit-menitnya menembus hutan untuk mencari gunung ataupun mata air. Tapi ia selalu dihadapkan semak belukar dan pohon yang tidak bisa dilewati, saat ia kembali ia malah mengambil arah lain dan semakin hilang arah. Langit begitu jauh dan tertutup pepohonan, ia terjatuh karena tersandung dan mendengar suara asing.
Satu-satunya yang ia inginkan hanya Matthew. "Matthew!" jeritnya menggelegar, suaranya menggema lalu hilang di ujung hutan. Tempat tersebut semakin dirasanya memiliki aura yang aneh mendekati negative.
"ERROL!" kembali Kiana menjerit setiap area yang ia datangi. "LUCAS! RAYDON!" ia membasuh wajahnya dengan panik.
"Bagaimana aku bisa pulang," ia mulai mencari tahu. Bayangan tua di dalam hutan membuatnya takut, ia hanya mengharapkan menemui mata air dan mengikutinya. Walau membutuhkan berhari-hari ia yakin mata air akan membawanya keluar hutan, mungkin.
Dia duduk di sana mencari tahu apa yang harus dilakukannya, tidak ada kawan-kawannya yang selalu mendapatkan berbagai cara untuk pergi. Daun kering menemaninya, ia harap dia hanya sendiri dibandingkan makhluk berbagai golongan bersamanya dan mengintip dari balik semak-semak dan pepohonan. Ia melihat bayangan hitam di balik pohon besar di kanan, suara desiran dan langkah yang membuat jantungnya seperti dipukuli Matthew yang mengamuk. Bayangan hitam itu berbentuk, dan Kiana memalingkan pandangan rasa ingin berteriak. Ia harap bayangan hitam itu tidak bergerak, tidak berubah wujudnya, atau tidak memiliki mata.
Tapi bayangan di balik pohon membuatnya terus menoleh dan membalas mengawasi, mempelajarinya sebenar. Apakah harus dilempar batu agar mengetahui bayangan apa itu? Bayangan hitam yang tidak bergerak dan berdiri di balik pohon membuatnya ketakutan setengah mati, seperti dia ikut mengawasi Kiana. Bulu kuduknya berdiri dengan tegang, ia menelan ludah lebih cepat dibandingkan bernafas. Saatnya mencari tahu.
Ia berdiri tanpa memalingkan pengawasan dari bayangan hitam, jantungnya bersuara lebih keras dibandingkan suara langkahnya mengoyak daun kering, tangannya mulai meraih daun di depan bayangan, tenggorokannya sesakit menelan gumpalan daging, ia menyentak daun dan melihat bayangan. Hanya bayangan pohon di depan ditambah bercak hitam pohon, semakin membuat hitam yang lebih pekat.
Udara dingin semakin menjadi-jadi sembari waktu bergulir cepat, menyerangnya dari ujung kaki hingga leher, menyiramnya dengan dingin yang menggigit kulit. Kegelapan yang semakin mendekat tak ingin membuat Kiana hanya diam tanpa berushaa, tidak ada waktu banyak sebelum matahari benar-benar menghilang. Dia merasa namanya ikut diteriakkan oleh Matthew dan kawan-kawan, mungkin Matthew ke Sonya dan mencarinya di sana. Dia pasti kembali ke kastil mengiranya Kiana sempat di sana, namun Kiana menarik pilihan ke sana saat itu. Mereka akan panik karena tidak sesuai perkiraan, Matthew bisa mengamuk dan hutan menjadi ricuh karena mereka. Andai teriakan mereka bisa didengar, namun tidak ada bunyi apapun selain burung hantu yang mulai terbangun dan bertengger di balik dahan.
Hutan di depan begitulah dingin, asap putih mulai mengepul dari bibir tipisnya sembari ia mulai memanaskan kakinya. Sebuah timbunan dahan ia terobos, ia patahkan dahannya hingga remuk agar jalannya terbuka, dia belum menyerah. Bukit terjal di bawahnya menuntunnya turun, tidak ada pilihan lain selain menuju jalanan setapak di bawah sana yang kemungkinan menjadi jalan terbaik.
Saat Kiana mulai menyusuri jalanan tersebut di arah sisi kirinya ia mendapati sesuatu yang lain dari biasanya, membuat dadanya tiba-tiba menggebu dalam suatu niatan. Ia melihat sebuah rumah di tengah-tengah hutan, atapnya roboh dan puing-puing daun mengotori rumah, tidak terawat karena tidak ada orang.
Rumah yang mendominasi warna hitam arang itu memanjang ke belakang, teras rumah tertutup dahan-dahan pepohonan lebat dari sisi rumah. Sunyinya hutan ditambah suara hewan-hewan malam di sana membuat tempat tersebut terlihat cukup menyeramkan dibuai ilusi hutan, tapi tidak ada yang lebih menyeramkan baginya dibangingkan Torin Maxima yang menghilang.
Di pintu kayu yang telah rapuk ia bisa melihat dari celah pintu yang terbuka, decitan kayu melengking, lantai kayu berderak setiap sepatu bootnya mengambil langkah baru. Gelap di dalam sana sedikit hilang dengan bantuan sinar matahari kelabu yang masuk dari jendela berbagai arah, di dalam begitu berantakan dengan peralatan lawas yang terhambur. Aroma bangkai tercium dan ada tulang-tulang lama yang diseret di pojok ruangan, para hewan.
Kiana menoleh ke belakang ketika bahunya merasakan tiupan dingin yang lain seperti burung yang melesat di belakang. lalu kembali lagi pada kondisi menelaah di sana ketika tidak ada apa-apa. Kiana sampai di daerah dapur, pisau dapur berkarat dan dan botol-botol bumbu yang berserakan mengotori rumah. Ia mulai tidak bisa melihat sekitarnya. Kepenasaranan berlanjut tanpa arti yang jelas, ia mengais lemari kecil di bagian bawah, melempari plastik beraroma debu yang pekat dan menusuk hidung.
Decitan kecil membuat pintu lemari saling membuka, Kiana melengking kaget ketika beberapa makhluk keluar dari sana, tikus-tikus kurus yang mendiami tempat tersebut menabrak kakinya dan mencincing keluar. Kemudian bahunya kembali merasakan gelenyar dingin seperti angin yang mengangkat bulu kuduk. Saat berbalik makhluk lebih besar berdiri di depan pintu, bermata nyala seperti makhluk malam, hitam dan berlari saat Kiana melihatnya.
Kiana menjerit saat makhluk itu mulai berlari, ia hampir mati hanya melihatnya. Makhluk itu menampilkan gigi-gigi tajamnya, sayap tipis sehitam malamnya membentang dan menabrak dinding, kuku-kuku panjangnya mengoyak lantai, kepalanya bulat dan berbulu. Jantungnya berdebar ketakutan, lututnya bergetar saat melihat Lonk sebesar raksasa masuk dan membuka mulutnya, ia mencari pisau berkarat dan terduduk.
Lonk berlari ke dapur dan Kiana mencincing ke bawah lemari, memasukkan diri ke dalam dan menghindari kejaran. Sayap keras dan gigi tajam yang menjadi bayangan kematian utama dari makhluk itu mulai keluar, sayapnya berkibas keras dan menghantam jejeran botol kaca dan jatuh mengarah pada Kiana yang berlindung. Pecahan kaca masuk di sana dan membuat kulit mulusnya tergores pecahan beling, Kiana tak mau diam dan ia mulai menyusuri lemari menjijikkan di dalam sana ke arah yang lain.
Ketika ia sampai di ujung lemari ia mulai membuka lebar pintu lemari dan berlari dari Lonk, namun makhluk itu mendapati Kiana berlari bagai tikus rumah yang takut diracuni.
Lonk mengejar Kiana, kuku-kuku setajam pisaunya mengoyak dan menggaruk lantai, rumah bergetar ketika ia berlari, sayap-sayapnya menyapu dinding, makhluk itu menarik tubuh Kiana hingga ia terlentang, menerjangnya dengan mulut kering busuk yang terbuka, punggung Kiana terbanting dan dia beringsut pergi saat kematian ingin menelannya bulat-bulat.
Kiana menarik-narik lantai mencari pisau berkaratnya yang jatuh, terlalu jauh dari jangkauan tapi dirinya terlalu dekat dengan Lonk. Ia merangkak begitu cepat dan berat seperti di atas salju, Lonk sudah bangun dan menarik kaki Kiana. Dua buah cakarnya menancap dalam seperti paku, Kiana menjerit. Pisau telah ia raih dan menusuk begitu kuat ke Lonk, sayapnya robek dan cakarnya tercabut membuat lebih sakit. Dia melihat botol kaca berkarat di balik sebelah laci dinding, ia ambil dan memecahkannya di kepala Lonk, dan benda itu belum bisa membuat Lonk berhenti.
Yang ia inginkan adalah berlari dan menjauhi kawasan itu, dengan kaki sepincang nenek tua dan tenaga habis. Ia kehabisan nafas, kakinya lemah dan seluruh tubuhnya bergetar luar biasa seperti kurang makan, wajahnya pucat dan seluruh jiwanya shock. Ia menuju pintu keluar, mendengar suara langkah besar mengejarnya di belakang.
Cahaya menerjangnya, saat matanya mulai berkunang-kunang dan dehidrasi mulai merambat pijakannya lepas dan terjatuh di bawah tangga. Lonk di pintu menancapkan kuku-kuku di pinggir kayu, tapi pedang putih tertancap di kepalanya hingga menembus leher, tercabut dan membuat Lonk menggelepar bersimbah darah hitam dan nanah.
Kiana melihat Lonk dengan kunang-kunang yang mengerubungi, ia tidak ingin pingsan, dia kuat. Tapi wajah yang menyelamatkannya kabur seperti ditutupi kabut, dia mengenakan seragam serba hitam dan melompat dari pagar setelah menyerang Lonk, membersihkan pedang pendek putih yang berlumur darah pekat di bulu-bulu Lonk dengan berani.
Ia mengetahui Kiana seorang wanita dan mulai menuruni tangga, membersihkan tangannya dan memeriksa kondisi Kiana. Ia melihat buih darah, bibir pucat dan keadaan belum tenang. Tapi Kiana yakin melihat seorang pria, menyelamatkannya.
****
-Dorong saya di rawa-rawa kawan, maafkan lama selalu updatenya, tugas mulai datang bertubi-tubi.
-Semoga part ini pay back karena aku lelet updatenya, and dont forget for vote and comment.
-Mau menjelaskan lebih detail sedikit tentang "rasa ketakutan ketika ada Black Shadow Terror". Rasa ketakutan itu bukan kaya ketakutan yang kaya biasanya, ada sebuah elemen gaib supranatural dan hitam yang membuat rasa takut itu jadi beribu-ribu kali lipat menakutkan. Pokoknya ketakutannya sangat berbeda, rasanya tulang orang yg merasa itu lemas, sama semua anggota tubuh lainnya. Itulah kenapa sampai sekarang semua kalangan takut sekali dengan makhluk itu.
22/03/2015
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro