Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11 - 5-T

Kehidupan menjadi setia, pandangan selalu turun menatap iba, laut tetap dalam, cahaya menggendong mereka bersama kehangatan dan mata yang menjaga, apapun dilakukan untuk merawat dan menyelamatkan kelimanya hingga sudah siap waktunya, para A'din selalu selamat setiap cahaya menjaga mereka, anak-anak cahaya.

Raydon bersandar di bawah pohon merasakan nyawanya sudah berada di ujung tanduk, anehnya itu baru ia rasakan setelah kabur dari Varrunnette, tekanan yang ia rasakan mulai tumbuh dan menghapit ruang hidupnya dengan keras, dia merasakan perubahan dalam dirinya. Jemari kakunya menarik batu A'din ungu gelap dari balik kaus, batu Tenebrific yang dipadukan dengan tali kulit berwarna coklat yang menahannya. Mata seterang cahaya Radella itu melihat lebih dalam, merasakan suatu mata mengawasinya dengan tenang dan mengerikan.

Dia mengingat sebuah kisah kembali saat ia masih di Radella, dalam rombongan keluarga kerajaan para Peri mengisahkan cerita suram dari ujung dunia di utara, Negara Darkpross. Tidak ada yang bisa diketahui dari sana, tapi api dan gelap adalah mata air mereka, The Eyes adalah buah yang tumbuh di pepohonan dan mata iblis adalah hantu yang tinggal. Varunnette memiliki perisai terkuat dari batu Yun di atas Tower Kembar Varunnette yang diciptakan untuk menghalau kegelapan, api dan kegelapan dari Darkpross memberikan tanda tanya besar, sebab-akibat apa yang bisa melawan kenyataan itu? Apakah kekuatan batu Yun tidak tidaklah besar dibandingkan kedatangan sosok itu?

Andai Raydon berani melaporkan pada Varunnette hal itu akan menjadi masalah besar bagi para dewan, tapi juga masalah untuk batunya. Selama ia bersama batu A'din Tenebrific tak pernah ia berani menggunakan kekuatan The Eyes di dalamnya, ia hanya sekedar membawa dan menggantungnya setiap ia hidup. Saat ia di Varunnette ia mengeluarkan kekuatan dan sosok itu muncul, apakah batu memiliki ikatan untuk Darkpross?

Ia selalu mengira seharusnya mata iblis itu berada di batunya bukan pada batu Lucas, sihir The Eyes itu membagi dirinya ke masing-masing batu. Kegelapan di batu Tenebrific. Mata iblis di batu Thunder. Kekuatan besar di batu Transformers. Magnet buruk di batu Teleport dan Telekinesis.

Raydon mendengar geraman Errol di dalam tendanya yang kelelahan, kemudian suara ia mengais barang-barang di dalam tendanya mungkin ingin merubah sesuatu. Lalu Lucas keluar dari hutan asal kolam air panas, telapak tangan terluka di kirinya sudah terbalut perban. Tangannya memiliki lubang seperti petir menyambar tangannya sendiri, entah dia ingin mencari tahu apa yang bisa menyebabkan luka itu atau dia memilih melupakannya.

Di pohon lain di belakang tenda Matthew mengobati bocah lelaki bersama Kiana. Pasien duduk di atas kayu tua yang sudah hambruk dan basah sementara Matthew berlutut di bawah mengacak obat yang di dapatnya di sekitar hutan. Bocah lelaki berambut kering duduk gelisah, mata besar yang terpisah jauh itu menutup menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang penuh luka.

"Joddy, kau harus menjadi pria yang kuat. Luka ini seperti energi untukmu, semakin banyak kau terluka semakin kuat tubuhmu nanti." Matthew menenangkan dengan segala tipu dayanya, mengoleskan getah pisang di tangan, siku, betis, dan kakinya yang panjang.

"Ini sakit." Keluhnya yang tak sanggup berpura-pura karena luka.


"Tidak, lelaki tidak akan menangis hanya karena lecet." Matthew mengoleskan getah di betis Joddy yang jauh lebih lebar. Ia mencari perban dan menutup semua lukanya dengan perlahan-lahan. Matthew merogoh saku dan mengambil sebuah batu bulat berwarna gelap dan memberikannya pada Joddy. "Ini, pegang ini. Batu Scrice akan membuat lukamu cepat sembuh." Joddy menggenggamnya.

Batu Scrice dipercaya mempunyai kandungan batu yang dapat menyembuhkan luka luar, perih dan menyakitkan dirasakan ketika permukaan mulus dan licin itu menyentuh luka dan dingin memudarkannya perlahan, seperti menggenggam sebalok es.

"Apakah ini akan sembuh?" Joddy melirik betisnya yang diperban, merasa kurang percaya obat itu bisa menyembuhkannya, selalu ingin luka itu akan hilang setelah ia tidur di malam nanti.

Matthew mendangak pada Joddy tersenyum lugu, kemudian menggulung celananya hingga di bawah lutut. Bekas luka jahitan sepanjang satu jengkalnya muncul di kaki kanan di depan. "Aku sembuh setelah 15 hari tidak bisa berdiri." Mata sebiru laut Handilnya tersenyum. "Sekarang katakan padaku apakah kau bisa berdiri setelah 1 jam terluka?" Matthew berdiri menunggunya.

Joddy merasa bak pahlawan ketika ia mampu berdiri, rasanya getah itu membuat kulit baru untuknya. "Aku bisa!" Ucap Joddy tersenyum senang, ia merasa mengalahkan Matthew.

"Sekarang kau mengalahkanku. Apa cita-citamu Joddy?" Matthew menundukkan kepalanya, Joddy sangat mungil setinggi pinggangnya.

"Kesatria." Joddy tak perlu memikirkan ulang, ia selalu mengagumi kesatria-kesatria dari dongeng dan buku sejarah. Jawaban yang selalu dikatakan setiap anak lelaki tentang apa yang mereka inginkan.

"Yah, Kesatria tidak akan berhenti hanya karena luka." Matthew mengacak rambut gelapnya yang kering hingga membungkukan leher kecilnya. "Beri batu ini pada paman Errol, ceritakan bagaimana kau bisa mengalahkanku." Dia memberikan batu Scrice lainnya dan membiarkan Joddy berjalan ke tenda, bahagia bocah itu kuat dan punya kekuatan.

Matthew berlutut di depan Kiana, mengacak getah pisang lagi. "Luka jahitan itu terlihat belum lama. Apa penyebabnya?" Kiana merasa penasaran dengan kehidupan Sonya untuk Matthew, dia seperti putera tiri Raja Imanuel, tumbuh besar di sana tanpa ibu dan keluarga lainnya.

"Dinding." Singkat Matthew. Mengingat momen lama di Sonya selalu membuatnya bahagia, tapi tidak untuk cerita satu ini.

"Di dalam Sonya atau di luar?" Tangan Kiana digenggam Matthew, melihat telapak tangannya memerah dan lebam. Menyakitkan dan ia ingin menggenggam batu Scrice.

"Di dalam." Matthew mencoba membersihkan luka Kiana dari debu, meniupnya sehangat perairan Handil yang ia rindukan. "Ada sebuah kasus pembunuhan di Sonya, aku ditugaskan untuk menyelidiki dan menangani. Ledakan batu Osmos di dalam kereta kuda membunuh wanita Cardien dan ketiga anaknya dalam perjalanan. Bagiku kasus tidak serumit yang dipikir, semua keluarga itu meninggal dan terdakwa hanya antara suami dan keluarga. Suaminya menangis begitu gila dan mengancam membakar dirinya saat ia tahu semua keluarganya meninggal, tapi bukan berarti dia tidak bersalah. Kasus semakin jelas terlihat keganjilannya ketika pembantu rumah tangga para Cardien menghilang dan aku menantikan pembantu itu muncul dan dia tidak ada."

"Dia kembali ke rumahnya di Sonya bagian utara bersama suami dan puteranya, aku berdiri mengawasi wanita itu tidak pernah keluar rumah, ketakutan ketika melihat orang-orang dan menutup diri. Besoknya aku kembali dan melakukan penangkapan sendiri, tapi suaminya mengancungkan belati besar padaku, istrinya mengatakan padanya bila aku mengawasi rumahnya dan berniat merampok. Kejar-kejaran terjadi ketika ancamannya tidak main-main, dia berlari dariku dan aku mengikutinya, ia melompat dinding dan aku mengikutinya. Di atas dinding aku melempar belati ke kakinya hingga terjatuh di sebelah dinding dan lumpuh. Ketika aku lompat dari dinding aku begitu ceroboh, aku tidak melihat ujung belati tajam pria itu mengarah ke langit dan di bawah kakiku, aku terjun dengan belati yang merobek kulitku hingga terbuka sangat lebar hingga kau bisa melihat saraf dan ew." Kiana merasa kakinya ikut sakit mendengar cerita Matthew.

"Jika aku menggunakan Perpindahan Tempat saja dibandingkan menaiki dinding sialan itu." Pikir Matthew, ia mengingat kisah pembantu yang membuat tugasnya semakin dirasa berat. "Pembantu itu ditangkap, bahkan suami korban mengetahui lebih dulu bila dialah pembunuhnya jauh didalam lubuk hati. Dia menjelaskan para Cardien adalah monster hidup, mereka membuatnya seperti budak, apapun yang dikerjakan tidak pernah memuaskan mereka, dia dipukuli dengan cambuk, memberinya makanan sisa dan selalu mengancam membunuh dia dan keluarganya, hidup seperti binatang. Hingga dia tidak bisa menahannya lagi." Helaan nafas terpukulnya terlepas.

Kiana merasakan beratnya sepak terjang pekerjaan Matthew, bahkan Kiana akan melakukan hal yang sama dengan pembantu itu jika hal yang sama terjadi padanya. "Dan apa yang terjadi selanjutnya?"

"Mereka pantas menerima atas apa yang dikerjakan." Matthew masih mengobati luka Kiana sambil mengulas cerita. "Pembantu itu pantas menerima hukuman penjara seumur hidup karena pembunuhan berencana, para Cardien meninggal karena kesadisan itu tidak pantas berada di dunia bersama mereka, dan aku pantas menerima 35 jahitan karena membantu yang salah."

Telapak tangan kiri yang berdenyut mulai dipegangi Matthew. "Ini akan sangat menyakitkan, tahan."

Kiana menarik nafas dan menahannya, mata hazelnya melihat merah, lebam, dan bergetar di tangannya. Matthew mengambil getah pisang dan mengolesinya perlahan menepuuk-nepuk getah di jarinya pada di semua kulit yang terkoyak, itu membuat Kiana berjengkit dan menggigit bibirnya ingin menangis. Ia ingin menutup lengannya dan tidak membiarkan Matthew melanjutkannya. "Ah, Matt," erangnya. "Cepatlah," desisnya, mendangak menekuk wajah.

"Sebentar lagi," suaranya parau, ia bergegas mengambil perban dan menutupi semua luka sebelum getah mengering, mengikatnya dan menyelipkan ujung perban ke balik kain. Batu Scrice yang lain ia genggam dan menaruhnya di atas telapak tangan, membiarkannya menyerap luka Kiana dan berdoa untuk kesehatannya.

"Sangat jauh lebih menyakitkan," keluh Kiana, menahan dirinya dan menunggu batu Scrice menghilangkan denyut yang menyakitkan. Tapi Matthew tidak berkata apa-apa lagi, berdiri dan membuang daun pisang yang berserakan di hutan belakangnya. Kelakuan itu begitu jarang ditunjukkan Matthew, diam yang memiliki arti penyesalan dan menghindar.

Saat Matthew menggulung perban di bawah tubuh pohon dan berdiri tangan Kiana menggenggamnya dan memintanya berhenti, duduk di hadapannya lagi dan berlutut. "Apa yang mengganggu kepalamu?" Ia bertanya dengan suara bangsawan, sesuatu yang hilang darinya dahulu.

Matthew tidak mampu menghindari pertanyaan Ratunya. "Aku mengingkari janjiku untuk menjagamu. Dan kau terluka karena aku gagal menepati janji, aku tidak cepat dan mataku tidak mengawasimu."

"Matt, mengapa kau selalu mengaitkan segala masalah karena perbuatanmu?" Keluh Kiana, ia menatap rambut panjang gelapnya dan menyembunyikan wajahnya. "Aku selalu ingin penjagaanmu bila aku membutuhkannya, tapi saat itu aku yang ingin, luka ini karena aku dan keinginanku, bukan kamu." Ia tahu beban lainnya yang dipegang Matthew, sebagai Isadora dan ahli waris Torin Maxima yang utama membuat Matthew ekstra ketat dalam melindunginya. Proteksi yang besar selalu tertanam di wajah seorang Tibalt, sejak dahulu seorang Tibalt selalu menjadi sahabat Isadora.

"Walaupun kamu tidak memintanya aku selalu ingin melindungimu, seperti yang ayahku lakukan pada ibumu. Hujan badai dari laut menerjang Torin malam itu, ibumu berada di luar istana tanpa pengawalan, reruntuhan atap berjatuhan di kakinya dan paku besi menancap dalam. Tidak ada yang mendengar jeritan tolongnya di antara deru angin dan topan dahsyat, air laut naik begitu jauh hingga membuat dataran rendah Torin banjir seperti tsunami, ibumu tenggelam hampir melahap seluruh tubuhnya. Dan ayahku datang padanya, menyiksa paru-parunya sendiri untuk menolong ibumu, berdarah karena seng dan benda tajam terbang ke arahnya dalam perjalanan melindungi ibumu ke dataran tinggi, kedinginan seperti tertimbun di es untuk menutup jendala dan pintu yang begitu sulit ditutup agar ibumu tetap hangat. Semuanya adalah keinginan ayahku, walaupun ibumu tidak pernah mengharapkan ayahku lah yang menolongnya, dia tetap melindunginya apapun konsekuensinya." Matthew merasa luka ayahnya sangat sama dengannya, dia begitu merindukan ayahnya dan saran-saran setiap sebelum Matthew tidur bersama adik-adiknya yang lain.

Tangan Kiana menangkap dagu Matthew dan membawanya ke hadapannya, matanya berair seperti Torin Maxima yang digenangi laut Handil. "Kau tidak pernah mengecewakan, kaulah otak Torin, darahmu berada di rahim laut, darahku selalu bersamamu, tanpamu aku sudah mati karena kelemahan dan kehilangan arah. Tapi bersamamu, aku tahu ke mana aku harus menuju dan k au mengalirkan darah padaku agar hidup." Bahkan suasana itu membuatnya terharu, ia bergenang air mata. "Jangan tinggalkan aku."

Mata hazel yang ia lihat setakut ia datang pertama kali meninggalkan Torin, kebahagiaan memudar dan hanya harapan yang mengintip. Mathhew menegakkan tubuh, melihat wajah terakhir Isadora yang khas dalam kenangan mimpi. "Aku berjanji." Ia berkata dengan benar-benar, seperti suara ayahnya yang ia cintai. "Aku akan melindungi darah murni Torin Maxima dan memberi rumahmu kembali." Janji nyata dan kekuatan yang nyata.

Dia menatap mata hangat Kiana, masalah serius itu selalu mengganggu pikirannya, hanya mereka dua kaum Torin terakhir dan memulainya kembali dibutuhkan lebih dari rasa, sesuatu yang mendorong keduanya secara bersamaan dan bukan hanya satu. Matthew tidak menyadari ia sudah mendekatkan kepalanya, mengawasi bibir tipis Kiana dengan lembut dan lembab. Lalu suara Joddy membuatnya berdiri dan menjauhi Kiana. "Kata paman Errol dia baik-baik saja dan menyuruhku memberi batunya pada paman Matthew." Katanya dari balik pepohonan.

Matthew tertawa saat mendatanginya dan Kiana berdiri membuang nafas dingin, ia yang menyimpuni perban-perban lainnya dan membiarkan Matthew bersama Joddy. Matthew menggenggam kepala Joddy dan membawanya kembali ke kemah, berbalik ke belakang melihat Kiana. Kepala Kiana juga berbalik melirik Matthew, mata indah melihatnya dari bahu dan tersenyum semalu kembang. Menawan.

Ketika malam datang dan tak ada hal yang dapat dilakukan selain mengelilingi api unggun, derak kayu terbakar membakar tupai yang didapat Raydon. Aroma menggiurkan datang dari nanas yang dihancurkan, keempukan dagingnya berkat dibungkus daun pisang. Mereka memakannya beramai-ramai begitu lapar, tanpa apapun yang menemai selain air yang sudah didinginkan setelah direbus.

Ray melirik bocah itu dengan pandangan kesenangan, mata lentiknya memincing menembus api untuk melihat Joddy berambut pendek makan begitu lahap. "Dari mana kau berasal Joddy?"

"Aku dari Pearly," kata bocah itu lugu, aksennya kental akan bahasa sana, yaitu pemakaian bahasa yang mendekati huruf 'I' yang berbeda.

"Pearly?" suara Raydon berseru.

Kiana melirik Matthew, ia meminta jawaban. "Masyarakat Pearly kebanyakan bekerja mengirim batu-batu ke wilayah lain dari satu wilayah ke wilayah lain, seperti Phoes. Mungkin keluarga Joddy masih di Varunnette dan belum mengirim batu dari sana," jelas Matthew yang mengetahui.

"Joddy, apa kau tahu kerajaan-kerajaan di Earthniss?" tantang Raydon, mencoba memberikan ilmu-ilmu kecil untuk bocah yang belum menginjakkan kaki ke sekolah.

"Sedikit," ujar Joddy takut. "Varunnette, Pearly, Sandria, Hollacrip, Krex, Clenamos, Sonya." Joddy terhenti.

"Yang benar Clemanos." Lucas memperbaiki dan menggundang kekehan yang lain.

"Oh jadi itu saja?" kata Raydon memancing, kota pusatnya belum tersebutkan selain kerajaan terkemuka dari bidangnya sendiri.

Wajah Joddy berubah menjadi merah padam, bukan karena terpias panasnya api unggun di hadapannya, melainkan rasa malu yang terbentuk ketika hanya itu saja yang pernah ia dengar. Setidaknya bagi Lucas ia cukup senang, Clemanos salah satu kerajaan yang terkemuka dan diingat bahkan oleh seorang bocah.

Semuanya mendadak tersenyum geli. "Bagaimana dengan Radella?" kini Raydon tak sabaran. "Pernah dengar 'kan?"

Kini Joddy bergumam, semakin tegang dengan pertanyaan dari orang-orang dewasa yang bersamanya. "Tidak."

Suara tawa guyonan semakin terdengar ketika ia juga tidak tahu wilayah Peri asal Raydon. Dan kali ini Errol terpancing ikut, "Pernah dengar Taniom?"

"Tentu saja tidak pernah," bisik Raydon di sela-selanya dan suara kekehan mereka kembali terdengar.

"Belum," kata Joddy dan spontan Raydon tertawa, benar saja dugaannya tadi.

"Kwezanmar?" lagi Errol tidak puas, kali ini rumah asalnya.

"Itu lagi," sahut Raydon, berbisik.

"Belum," dan kali ini Raydon semakin tertawa akan jawaban Joddy.

Errol menghela nafas kasar, membuang daun kering ke api melampiaskan kekecawaannya dan juga menerima kenyataan bila kerajaannya tidak termasuk dalam kerajaan yang terkenal di Earthniss.

"Bagaimana dengan Torin Maxima?" Matthew ikut dalam keseruan, mengerjai anak kecil dengan pertanyaan mudah bisa membuat malam mereka menghangat.

Jawaban yang ditunggu-tunggu perlahan menjadi sedikit lama dilontarkan oleh Joddy, tidak seperti sebelumnya yang cepat ia tanggapi, ia mengetahui dan sedikit lupa tentang kerajaan tersebut. Entah pada cerita-cerita baru dari sana yang sering didengarnya, atau cerita lama yang dikatakan ibunya.

"Kerajaan yang memiliki Summon itu bukan?" Joddy melempar pertanyaan lagi, ragu-ragu.

Semua orang yang bukan berasal dari Torin Maxima melirik teratur pada kedua orang yang berasal dari sana, menunggu jawaban yang pas sesuai desas-desus yang berterbangan sepenjuru dunia.

Menurut legenda, Summon merupakan lambang hewan kerajaan, sangat langka sebuah kerajaan memiliki hewan pelindung. Konon Summon merupakan makhluk purba yang menjelajahi Earthniss, lalu berhenti berkeliling saat menemui tempat yang disukai mereka, mencintai tempat itu hingga ia mati. Summon milik Torin Maxima disebut-sebut adalah sebuah ikan pari seperti lambang kerajaan, mitos beredar bila bentang sirip dadanya dapat menutupi Torin Maxima itu sendiri. Walau dalam sejarah tidak pernah Summon itu menampakkan diri di laut Handil dan sekitarnya, entah cerita itu berasal dari bibir pendongeng yang mana.

"Itu hanya mitos," ujar Matthew pelan, tidak ingin mengecewakan Joddy.

"Jadi itu bohong?" ada nada pedih dari Joddy, makhluk yang dikagumi seluruh anak kecil dari kisah dongeng sebelum tidur itu hanyalah isu belaka. "Jadi siapa yang melindungi kerajaan?" kembali sepenggal pertanyaan seorang anak kecil terlontar.

Matthew melirik Joddy dengan senyuman masam. "Kita semua melindungi kerajaan bersama-sama."

"Kalian seperti pahwalan?" kembali Joddy mengulur waktu. "Kalian menolongku dengan kekuatan kalian! Apa kekuatan-kekuatan kalian?" ia antusias.

Errol tersenyum, ia menarik kalungnya dan mengeluarkan batu sehijau hutan. "Milikku bisa merubah barang menjadi apapun yang kau inginkan,yang diujung sana bisa mengeluarkan petir seperti badai,dia punya batu menyerap kekuatan sihir batu lainnya, lalu paman Matthew bisa berpindah tempat seperti batu Ort, dan kakak Kiana bisa mengendalikan apapun!" Errol menunjuk satu per satu pemilik kekuatan.

Mata gelap Joddy seterang kunang-kunang ketika di sekelilingnya merupakan orang-orang yang memiliki kekuatan yang sepertinya ingin ia miliki suatu hari kelak, bak apa yang diinginkan setiap anak-anak.

"Kalian seperti kelompok pahlawan! 5-T!" pekiknya histeris.

Kiana terkekeh geli akan tingkahnya. "5-T?" ulangnya lagi dan mengingat, Joddy pandai merangkum frase panjang. Bila diingat-ingat lagi semua kekuatan memang berawal dengan huruf T.

Raydon mengangguk-angguk setuju, juga diikuti semuanya dengan gelagat geli akan tingkah bocah lelaki itu. Sebutan 5-T tidak sangatlah buruk untuk citra mereka, suatu hari bila alam berkenan kisah cerita dalam perjalanan kelimanya mungkin akan terdengar oleh semua orang, lalu bila mereka menemukan pelajaran dari perjalanan mereka, setidaknya itu membangun semangat yang mendengarkan .



Pagi hari melambaikan tangannya, meniupkan angin dingin yang menggelitik kalbu setiap orang. Cuaca di Marclewood berubah hari ini menjadi dingin yang menusuk, sehingga pakaian yang biasanya tipis kini menjadi berlapis yang tebal. Errol keluar tenda mencari keberadaan suara-suara debat Matthew dan Kiana. Mereka seperti suami dan istri yang mengoceh sebelum mengantarkan anak mereka pergi sekolah, Joddy bersama mereka dan dilapisi mantel besar dan tebal Matthew. Kiana menyelimuti dirinya dengan mantel kulit tebal berlapis wol, menyelimuti lagi diluar dengan selimut yang melilit tubuhnya. Mereka berdebat sambil menggigil, menggosok-gosok tangan agar hangat dan berjalan tanpa tujuan.

"Kalian ingin pergi?" Errol mengintip di pintu tendanya pada mereka, suaranya pecah seperti gendang.

"Hanya aku saja, sudah waktunya Joddy kembali ke rumahnya," sahut Matthew yang mengenakan mantel biru tuanya.

"Bye Joddy." Errol memasang raut ceria yang menatap Joddy, dan anak kecil itu pun melambaikan tangan perpisahan.

Matthew memegang pundak sang bocah berharap ia tidak pingsan sampai di Varunnette yang jauh, hingga mereka menghilang dari balik angin yang berputar yang tercipta karena Matthew. Kiana yang sendirian mendatangi Errol yang termagu di tempat, ada bercak cemas dari raut wanita tersebut saat Matthew pergi pagi itu.

"Sangat dingin sekali pagi ini," kata Kiana sembari berjalan pada Errol.

"Cuaca Marclewood, 3 hari menuju akhir bulan cuaca akan berubah menjadi dingin," jelas Errol.

"Raydon dan Lucas masih tidur?"

Errol memandang dua tenda di belakang. "Hmmm pastinya," ia menggidikkan bahu.

"Ada sesuatu yang lupa aku tanyakan," ia merengut berfikir. "Tentang bagaimana aku menghentikan kereta kemarin."

Errol menaikkan satu alisnya. "Ya?"

"Apa aku yang mengendalikannya?" Kiana merasa was-was.

"Lucas menceritakan detailnya tadi malam ketika kalian sudah tertidur, bagaimana kau menghentikan kereta berkuda tersebut sejenak membuat Lucas bingung. Apakah kau mengendalikan keretanya, atau kau mengendalikan kudanya yang merupakan makhluk hidup. Kita tahu sendiri Telekinesis artinya mengendalikan, namun hanya benda-benda mati saja.Yang Lucas kira adalah kau mengendalikan kudanya untuk berhenti, tapi aku yakin bukan, melainkan kau mengendalikan tuas rem di kereta sehingga membuat kereta terhenti, beserta kuda yang terjerat tali yang membuatnya terhenti sebelum itu meremukkan tubuhmu." Jelas Errol

Kiana melipat kedua tangan di depan dada seraya mendengarkan penjelasan Errol. "Tapi, artinya aku mengeluarkan sihirku?"


"Ya, kuharap itu membuatmu bangga bukan cemas," ada nada senang Errol mengetahui akhirnya wanita itu bisa mengeluarkan kekuatannya juga. Lalu Errol menunduk, memperlihatkan sebuah objek yang tersemat di jemari manisnya. "Ini Quartz, untuk menghilangkan rasa pusing dan stres." Dia menunjuk batu di cincin berwana coklat berkabut dengan pola berwana kuning berbentuk seperti bibir di dalamnya.

"Sangat cantik. Seorang wanita?" selidik Kiana.

"Seorang Putri Raja." Errol mengingat Gazdriel datang memberinya cincin dengan batu Quartz pemberian Zelyana yang terlalu malu padanya. Ia mengingatnya malam-malam terakhir, apakah dia sudah sembuh ataukah masih terluka? Apakah dia mencarinya atau Gazdriel menguraikan alasan lain tentangnya? Ia menginginkan wanita itu sehat seperti orang yang mengasuhnya dan hatinya membuka untuk pria lain.

"Itu mengingatkanku sesuatu," lalu Kiana berfikir. "Kau punya batu Ort?"

"Aku masih punya beberapa." Errol memincing pada Kiana, bibirnya pucat karena dingin.

"Bolehkah aku pinjam?" Ia berbisik, dan Errol tahu ada yang ia sembunyikan dari Matthew.

"Apa? Kau mau pergi sendirian? Ke mana?" Errol memberi deretan pertanyaan.

"Aku ingin kembali ke Sonya menemui Xavier. Aku tidak akan lama di sana, aku akan kembali pertengahan hari," pintanya serius.

Ada rasa ragu sejenak untuk memberikan batu padanya terutama bagaimana ia akan pergi setelah Matthew tidak ada, namun Kiana bisa menggunakan perpindahan tempat dan itu ke Sonya, rumahnya ke dua. Ia menyerah dan kembali ke tenda, merogoh tas dan mencari batu Ort dan keluar membawa bongkahan batu berat sebesar biji kenari. "Ini," ia memberikannya pada Kiana dan menariknya cepat sebelum Kiana mengambilnya dengan ranggas. "Aku tidak mengkhawatirkanmu ke Sonya, aku hanya mengkhawatirkanmu bila kembali ke mari. Kau hafal di mana kita? Kau tahu betapa luasnya hutan ini dan sekali kau salah tempat kau bisa terpisah pada kita selama berbulan-bulan?"

"Gunung dan danau, aku yakin aku hafal bahkan isi tenda kalian," kata Kiana mengambil Ort cepat. "Jika aku belum kembali ketika Matthew sudah datang, bilang saja Xavier menjemputku," kata Kiana menyusun kebohongan.

Belum sempat Errol menanyakan beberapa hal Kiana telah berpindah tempat dan membuat batu Ort yang mati jatuh di depan sepatu Errol. Satu hal yang bakal membuat Matthew tidak percaya adalah, Xavier tidak tahu di mana mereka berada di Marclewood dan bagaimana bisa ia menjemput Kiana?

****

-Hello, terima kasih untuk membacanya ya. Semoga kabar kalian baik-baik saja, dan ceritanya juga baik-baik aja dan sehat selalu.

-Vote dan komentar beserta saran ditunggu, hopely this story work work work work work work.

2/03/2016


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro