3: Shitty Day With A Helper
Adira
“Jadi setelahnya cowok itu ngomong apa ke kamu, Ra?”
Aku mendesis kecil karena Mama yang justru tertawa. Begitu pulang ke rumah, aku cerita pada Mama tentang Andra. Lebih tepatnya, apa yang membuatku malu di depan Andra.
Seperti biasa Mama menjadi pendengar yang baik, menyimak ceritaku. Hanya saja begitu aku cerita soal perut yang keroncongan, Mama langsung terbahak. Aku malah jadi lebih malu.
Tapi aku tetap menjawab pertanyaan Mama. “Dia malah ngasih makanan yang dia bawa ke aku. Katanya baru delivery. Kayaknya itu tadinya mau dia makan deh.”
“Enak dong makanan gratis.” Mama tertawa kemudian menyodorkanku kotak brownies, yang tentu saja langsung kuterima. Tidak ada penolakan untuk segala sesuatu yang berbau cokelat.
“Malunya yang nggak enak,” aku protes, “lagian kalau makan kan aku nggak perlu dikasih. Makan di rumah juga bisa, wong ada Mama.”
Mama kemudian duduk di sofa yang sama dengnanku. Kami jadi berbagi brownies sambil menonton siaran televisi tetangga. “Bersyukur aja, Ra. Kan pemberian seseorang itu harus disyukuri. Udah gitu dia ngasih solusi lho ke kamu, ngasih makanan, bukannya ngejek.”
“Tapi dia nggak perlu ngelakuin itu. Cukup ngingatin aja.” Sebenarnya aku juga ingin bilang apa yang Andra katakan. Tapi kalau Mama mendengarnya, aku rasa Mama akan menyetujui hal itu, karena aku pun setuju.
Kalimat Andra itu benar, dan itu yang membuatku kurang nyaman. Karena aku salah. I don’t like being wrong.
Aku hanya bisa memakan brownies potong demi potong karena tidak bisa bicara lagi. Kepalaku masih menghadap ke televisi ketika tangan Mama bergerak untuk mengelus rambutku yang tergerai. Mama tersenyum ke arahku. “Hanya karena ada cowok yang bantuin kita, bukan berarti kita itu lemah, Adira. Saling membantu itu sudah kodratnya manusia.”
“Tapi aku bisa sendiri kok. Lagian hanya urusan makanan doang.”
“Membantu itu kan nggak harus mulai dari hal besar.”
Mama benar. Selalu benar. Dan aku sama sekali tidak bisa membantah ucapannya. Pada akhirnya, semua kekesalan ini ada karena memang aku tidak menyukainya, bukan karena Andra melakukan kesalahan.
Aku tahu itu, dan aku tetap kesal. Katanya hal yang begini naluriah bagi wanita, kan?
“Oh, ya, Ra,” Mama tiba-tiba bersuara lagi. kepalaku menoleh dan Mama melanjutkan, “Besok libur, kan?”
Aku diam sejenak untuk mengingat. Iya juga, ya. Dari beberapa minggu yang lalu Mama sudah mengingatkanku untuk mengosongkan jadwal—kata lainnya, minta libur. Aku sudah sempat bilang pada Azra, wakil pimred, untuk mengurus semuanya selama satu hari, dan syukurnya dia mengiyakan. Kurasa aku harus mengonfirmasi sekali lagi untuk mengingatkan Azra, barangkali dia lupa.
Melihat Mama yang masih menunggu jawaban, aku mengangguk. “Besok aku libur kok, Ma. Kenapa? Jangan bilang suruh temenin arisan, males aku.”
“Udah tahu kok Mama, kalau kamu diajak arisan mana mau,” Mama memberengut lebih dulu, “nggak kok, Ra. Mau ke pernikahan adeknya Papa.”
“Om Reza?” tanyaku, dan Mama mengangguk. Aku tahu Om Reza. Well, actually aku memanggilnya Eja. Dia hanya beda tiga tahun, dan dari kecil kami sudah jadi teman main sih. Dan sejujurnya, ada hal lain yang mencuri perhatianku. Bukan Reza yang jadi masalahnya. Aku menatap Mama lamat, menyerongkan tubuh. “Dia bakal di sana?”
“Dia siapa?”
“Ya dia.”
Jawabanku memang membingungkan. Aku tahu. Tapi ini Mama, dan aku yakin dengan penekanan itu Mama pasti sudah tahu, tatapannya memberitahuku. Mama kelihatan menghela napas sesaat namun tetap mengangguk. “Tante Rima bakal di sana.”
“Males deh kalau gitu,” balasku cuek. Sungguh, aku tidak suka. Aku tidak akan jadi orang munafik dan datang ke pesta kemudian bersalam-salaman dan bertukar senyum dengan orang yang paling ingin kulemparkan ke Antartika. Pretending just isn’t my style.
“Ra, ayo dong. Kan kamu dulu juga teman mainnya Om Reza.”
“Tapi, Ma...”
“Buat kali ini aja deh. Oke?” pinta Mama. Sungguh, aku paling lemah kalau Mama sudah memohon begini. Menemani Mama ke pernikahan Reza sebenarnya bukan masalah, it would be my pleasure. Tapi...
“Ayo dong, Ra. Temanin Mama, ya? Ya?”
Pada akhirnya aku hanya bisa mengalah, mengangguk. Toh aku juga memang sudah berjanji. Dan janji itu sudah seharusnya ditepati. Jangan melakukan sesuatu yang tidak ingin kamu alami, begitu prinsipnya. “Tapi aku nggak mau lama-lama ya, Ma. Kalau bisa resepsi kita salaman aja terus udah.”
“Emang bisa ke nikahan orang kayak gitu?” tanya Mama sambil terkekeh.
“Ya nggak gitu juga sih. Tapi maksud aku jangan lama-lama gitu. Males.”
“Iya deh. Tapi kamu jadi nemenin Mama, kan?”
Kembali lagi aku mengangguk. “Terms and condition apply tapi, Ma.”
Mama hanya tertawa begitu mendengarku. Mungkin aku terdengar melankolis, tapi aku meminta hal itu bukan karena aku egois.
Well, it’s okay though if you call me selfish. Tapi aku tidak ingin membuat Mama mengobrol santai padahal aku tahu Mama juga hancur, bahkan lebih hancur dariku. Dan kami berdua tahu berpura-pura itu hal yang menyakitkan.
Dan inilah tangguhnya seorang perempuan seperti Mama. Meski sudah tahu bagaimana sakitnya, tapi tetap dijalani. Sayangnya aku tidak sekuat Mama.
🔓🔑
Aku tidak akan bilang bahwa aku anti sosial. Itu pernyataan yang terlalu ekstrim. Dan menurutku, kebanyakan orang zaman sekarang hanya sekadar mengaku sebagai golongan anti sosial tanpa benar-benar tahu apa yang dimaksud.
Pekerjaan menuntutku untuk terus bersosialiasi. Tapi tolong ditandai, ya. Bersosialisasi dan cari muka itu berbeda.
Meski harus kuakui hanya setengah hatiku yang ingin datang ke sini—itu juga karena aku sudah berjanji pada Mama—tapi acara ini cukup mengesankan. Karena kecenderungan untuk menaruh ekspektasi pada orang lain, aku pun melakukan hal yang sama pada pernikahan Reza, memasang ekspektasi yang nyatanya lebih mengesankan dari ekspektasiku. Reza memang tipikal laki-laki yang begitu sih, mengesankan orang itu jalan hidupnya. Itu bagus sih. Hanya saja menjalani hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain itu melelahkan.
Setelah upacara pernikahan dan tiba waktunya untuk bersalaman dan sesi foto, Mama langsung menyeretku untuk ikut maju dan memberi selamat pada mempelai pengantin.
Reza yang biasanya kelihatan dengan batik kini kelihatan berbeda dengan setelan jas, dan kehadiran Izza, istrinya, semakin membuatnya kelihatan keren.
Begitu tiba giliranku untuk bersalaman, Reza langsung cekikikan sendiri. Senyum sombongnya mendadak terlihat ketika aku menjabat tangannya. “Selamat, Ja.”
“I did it, coy. Benar kan kata gue, pasti Izza gue dapatin,” balasnya dengan nada penuh kebanggaan. Izza menoleh ke arahku dan tersenyum sementara tangannya menyikut pelan pinggang Reza.
Aku tertawa, melangkahkan kaki untuk memberi selamat pada Izza. “Yang langgeng ya. Tahan-tahan sama kelakuan Eja, suka nggak benar.”
Reza langsung protes sementara kini giliran Izza yang tertawa. “Insya Allah aku siap lahir batin.”
You’re a lucky one, Eja. I can tell you that.
Karena sadar antrian masih panjang, dan aku juga memang hanya ingin memberi selamat, aku langsung melangkahkan kaki untuk turun untuk mengurangi antrian. Mama juga sudah berada di bawah tangga dan menungguku.
Sejujurnya, aku senang melihat orang lain bahagia. Dan kebahagiaan menjadi suatu esensi penting dalam pernikahan. Setiap kali hadir dan menyalami pempelai, selalu ada satu pertanyaan batin yang muncul dalam benakku.
Saat dulu, apa Mama kelihatan sebahagia ini?
Apa orang itu kelihatan sebahagia Reza?
Kira-kira bagaimana perasaan Mama saat dulu mendengarkan janji suci yang diucapkan di atas altar?
Di detik ini, pertanyaan ini mengambang lagi ke dalam otakku, namun sama seperti di waktu sebelumnya, tidak ada jawaban yang aku temukan. Aku pun tidak berharap untuk mendapatkan jawaban.
Karena apapun jawabannya, sebahagia apapun masa lalu, kenyataan di detik ini tidak pernah berubah. Masa lalu yang bahagia tidak pernah bisa menggambarkan kebahagiaan yang sama di masa depan.
“Udah nih, Ma?” tanyaku begitu aku turun, dan Mama langsung menggandeng tanganku. Awalnya, Mama mengangguk, dan nampaknya ada yang ingin Mama katakan. Sayangnya suara lain lebih dulu terdengar, membuat aku dan Mama menoleh.
“Duh, Jeng Sarah datang?”
Dua orang wanita seumuran Mama datang mendekat, dan ritual cipika-cipiki ala ibu-ibu pun mulai. Aku hanya bisa tersenyum, karena sebenarnya, oke, aku tidak ingin ikut masuk ke dalam ritual itu. Mama kelihatan tersenyum, dan mereka mengobrol pelan.
“Datang sama Adira, ya?” tanya Tante Hana, salah satu teman Mama.
“Iya nih. Biar nggak sendirian,” balas Mama tertawa.
“Nah Adira-nya masih sendirian nggak tuh?” Kali ini Tante Djenar yang menyeletuk. Aku tentu saja mendengarnya, mereka bahkan bicara tepat di depanku.
Bisa kuramalkan ke mana obrolan ini akan berlanjut. Sudah biasa. Dari pertanyaan sesederhana itu, komentar-komentar yang tidak penting kemudian diimbuhkan, dan setelahnya mereka akan mulai ikut campur bahkan repot-repot menawari pria-pria kenalan mereka yang katanya cocok untukku.
Cocok itu kan soal proses, bukan hanya sekadar penilaian mata saja. Kalau prinsipnya begitu, aku tak akan heran jika kantor pengadilan agama kebanjiran permintaan cerai.
Aku melangkah mundur, bermaksud untuk menjauh karena tidak ingin ikut masuk ke dalam obrolan. Sayangnya baru dua langkah yang kuambil, punggungku terbentur sesuatu. Buru-buru aku berbalik.
“Duh, maaf. Saya nggak sengaja.”
“Nggak papa ko... eh, Bu Adira?”
Kepalaku seketika mendongak cepat begitu mendengar namaku disebutkan. Alisku seketika terangkat. “Lho, Pak Andra?”
Andra kelihatan sama kagetnya denganku, namun tak berselang lama dia tersenyum kecil. “Diundang juga, Bu?”
Aku mengangguk pelan. “Mempelai laki-lakinya saudara saya.”
“Oh, Reza saudara Ibu toh.”
“Kamu kenal sama Reza?”
“Adik kelas saya dulu. Pas kuliah dia masuk organisasi yang sama kayak saya.”
Ah, iya juga. Aku baru ingat Andra memang lebih tua dari Reza, yang berarti lebih tua dariku juga. “Pak Andra ambil libur?”
“Yep. Padahal baru hari pertama kerja udah ngambil libur aja ya?” dia tertawa pelan, “anyway, karena lagi di luar kerja, mungkin kita nggak usah terlalu formal. Boleh, kan?”
Sebenarnya agak canggung juga sih, tapi Andra benar. Jadi aku mengangguk mengiakan. “Boleh kok. Ini juga bukan urusan kantor.”
“Jadi nggak papa kan saya panggil kamu Adira aja?”
“Nggak papa.”
“Good then. Kamu juga bisa manggil saya pake nama aja. Aneh rasanya kalau atasan sendiri manggil pake embel-embel ‘Pak’ gitu.”
“Nggak sopan dong. Gimana juga kan, kamu lebih tua dari...”
“Nggak usah bawa-bawa umur. Santai saja,” Andra langsung memotong ucapanku sementara matanya mengedip. Aku hanya bisa tersenyum kikuk karena, yah, people don’t usually wink at me. Tapi aku tidak mau berpikiran negatif terlebih dahulu. “Anyway, nggak makan, Ra?”
Awalnya aku sudah siap untuk menggelengkan kepala, tapi suara Mama lebih dulu terdengar, membuat kepalaku menoleh ke belakang.
“Ra, kayaknya Mama bakal agak lama. Ada bos Mama juga datang tuh, jadi...” Mama tidak melanjutkan kalimatnya. Pandangannya berpindah ke arah Andra lebih dulu kemudian menunduk. “Kamu bareng temen kamu?”
Tanpa diminta pun Andra sudah maju, menyodorkan tangan dan menyalam Mama. “Halo, Bu. Saya Andra, teman sekantornya Adira.”
Mama tersenyum, menjabat tangan Andra dan membalas, “Halo, terima kasih sudah membantu anak Tante. Santai aja.” Mama kemudian mengalihkan kepalanya padaku, kemudian, “Mama kayaknya bakal agak lama, Ra. Tungguin, ya? Atau kamu sama teman kamu aja dulu gitu, nggak akan lama kok.”
“Kalau gitu aku nunggu di parkiran aja deh, Ma. Lagian Andra juga kan paling sama temannya,” kataku, mengalihkan tatapan ke Andra. Namun Andra justru tersenyum dan menggeleng pelan.
“Nggak kok. Saya ke sini sendiri aja,” ujarnya, “kalau mau bareng boleh. Saya juga nggak ada teman.”
Jawaban Andra nampaknya membuat Mama puas dan tersenyum lebar. “Bagus kalau gitu. Mama tinggal dulu ya, Ra? Nanti mama telepon kalau sudah selesai.”
Dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena Mama sudah melangkah pergi setelah berpamitan kilat dan menghilang di balik kerumunan orang di sekitar sini. Aku hanya bisa menghela napas, yang ternyata didengar Andra.
“Nggak suka pesta ya?” Entah kenapa, tapi pertanyaan itulah yang Andra ajukan padaku begitu Mama pergi. Dia tersenyum kecil seolah mengatakan bahwa dia mengetahui hal itu.
“Bukan nggak suka sih, hanya kurang suka kumpulan begini,” jawabku mencoba menjelaskan. Aku tidak ingin ada salah paham dan dikira anti sosial. Tahu kan, pikiran orang Indonesia itu terlalu menggemaskan dan telalu cepat mengambil kesimpulan. Hanya karena tidak suka pesta, orang sering dikira pendiam dan penyendiri. “Niatnya juga hanya mau ngelihat pernikahan aja terus udah. Hanya mau ngucapin.”
“Lebih suka kerja?” tanyanya lagi, hanya saja kali ini ada nada janggal yang terdengar. Satu sudut bibirnya kini lebih tinggi ketimbang yang lain. “You sure are workaholic, aren’t you?”
“Actually, menurut saya workaholic itu nggak ada.”
“Why?”
“Ya, karena bekerja itu kebutuhan. Dan cara seseorang bekerja itu tergantung sama seberapa besar kebutuhan yang ingin mereka penuhi dan seberapa sadarkah mereka kalau bekerja keras itu dibutuhkan,” jelasku lagi. Karena banyaknya orang yang lewat, aku memilih untuk menepi agak jauh dari panggung tempat mempelai berdiri, dan Andra pun melakukan hal yang sama.
Begitu sampai di dekat dinding, dia kemudian bertanya lagi. “Dan itu berarti kebutuhan kamu banyak?”
“Saya kerja karena saya tahu itu yang harus saya lakukan buat tetap hidup.”
“Nggak pernah ngerasa terlalu overwork?”
Aku menggeleng. “Itu tanggung jawab. Sederhananya, itu yang harus saya lakuin untuk dapatin apa yang saya mau.”
“Dan kamu berpikir begini terus sampai seterusnya?”
“Maksud kamu?”
“Maksud saya begini, Ra,” kata Andra memulai, “kan kamu berpikiran kayak gini dengan situasi dan kondisi kamu kayak begini. Gimana kalau posisinya nanti, di saat kamu udah punya orang lan—suami misalnya, dan kamu jadi tanggung jawab dia, terus kapibilitas kamu di saat umur bertambah kan nggak pasti bakal tetap begini, apa kamu tetap bakal kerja sekeras ini?”
Sesaat aku diam, mencoba mencerna. Bukannya tidak mengerti, malah aku justru sangat mengerti. Ini dia stereotipe banyak orang. “Dengan ada atau tidaknya suami, wanita itu harus tetap berusaha. Justru harus lebih kerja keras kan, karena di situ pemenuhan kebutuhan bukan hanya untuk diri sendiri?
“Sosok suami itu ada bukan untuk membuat seorang wanita jadi lemah, tapi lebih kuat karena dilengkapi. Dan meskipun ada sosok suami, bukan berarti kaum wanita bisa percaya dan menggantungkan hidupnya begitu saja. Karena bergantung sama manusia itu fana, dan percaya pada manusia itu berarti kita sudah siap untuk dikecewakan.”
Kening Andra mengerut sedikit, dan kini tatapannya seakan benar-benar tertuju padaku. “Apa ini cuma perasaan saya aja atau kamu memang kayak yang nggak suka cowok?”
“Maksudnya saya menyimpang?”
“No, no.” Kepala Andra menggeleng cepat. “Maksud saya bukan itu, hanya saja kelihatan kayak figur suami itu bukan sesuatu yang kamu butuhkan, it’s like...”
Meski nada bicara Andra terdengar menggantung, tapi aku mengerti maksudnya. “Well, iya sih. Selagi saya bisa sendiri, saya rasa suami bisa jadi nomor ke sekian.”
“Dan menurut kamu sekarang...”
“Yah, gitu. Saya masih bisa lakuin semuanya sendiri sekarang tanpa cowok. Sama Mama juga udah cukup.”
“Wow.”
Mungkin bukan jawaban ini yang Andra inginkan, ada sesuatu yang kulihat dari ekspresinya, hanya aku tidak akan membuat asumsi lebih dulu. Andra menggangguk pelan, sementara kini tangannya menyilang di depan dada.
Dia nampaknya ingin mengatakan sesuatu, hanya saja seorang pramusaji lebih dulu mendekati kami dengan nampan berisi minuman. Andra langsung mengambilnya dan menawarkan padaku, namun aku menggeleng cepat. “I’m not into alcohol.”
“Oh, Bu, ini cocktail non-alcohol kok,” balas pramusajinya sambil tersenyum, “atau Ibu lebih suka cendol? Ada di bagian kuliner daerah di sana, bisa saya ambilkan kalau mau.”
“Nggak usah, saya ambil sendiri saja. Terima kasih,” aku menyahut pelan dan menunduk, menolak tawaran dengan halus.
Jujur saja, aku jadi agak tergoda dengan cendol.
Tapi mengantri makanan di acara resepsi tidak jauh beda dengan mengantri sembako—yah walaupun aku juga belum pernah mengantri sembako sih, hanya tahu kerusuhan dari beritanya. But trust me, mengantri makanan di pesta pernikahan itu ganas.
Si pramusaji tersenyum kemudian pamit, hanya saja begitu dia menunduk, gelas-gelas yang dibawanya ikut melayang juga. Spontan aku mencoba untuk menangkap, yang sialnya aku justru ikut sial. Gelas-gelas itu seketika jatuh, sementara airnya sudah lebih dulu membanjiri gaunku.
Bunyi pecahan gelas terdengar membarengi musik yang sedang beralun, dan beberapa pasang mata sudah tertuju padaku. Aku menggigit bibir, menundukkan kepala untuk memandangi gaun yang sudah basah, kulitku bahkan bisa merasakannya.
“Astaga, Bu. Maaf banget, nggak sengaja. Duh, duh.”
Aku panik, jujur saja. Tapi panik dalam sebuah masalah itu bukan hal yang elit, dan itu justru membuat kepanikanku bertumbuh. Aku masih berpikir apa yang sebaiknya aku lakukan ketika tiba-tiba sesuatu tersampir di pundakku; jas Andra.
Dia sudah berada di belakangku dan menutupi bagian gaun depanku yang basah dengan jasnya. “Nggak papa, mending beresin aja itu pecahan gelasnya,” kata Andra.
Tangannya menarikku perlahan untuk mundur hingga aku nyaris menempel di dinding. Andra kemudian beranjak ke depanku, mengeluarkan sapu tangannya. Tangannya tiba-tiba berhenti kemudian dia menatapku. “Takut nggak sopan.”
“A-ah, thank you. Tapi nggak perlu kok,” tolakku.
“Sapu tangannya kecil sih, tapi paling nggak lebih mending daripada nodanya merembes ke mana-mana.”
“Tapi saya—aw!”
Kurasa ini benar-benar hari sialku. Hanya dengan satu gerakan saja, tubuhku sudah nyaris jatuh karena sebelah high heels yang kupakai patah. Hari ini kenapa sih?
Dan lagi-lagi, Andra menyelamatkanku. Tangannya sudah lebih dulu menahanku dengan memegang kedua lenganku, mencegahku untuk tidak ikut jatuh.
Rasanya ingin mengumpat, tapi masa iya mengumpat di depan muka Andra begini? Nah!
Aku berusaha untuk menggerakan kakiku, namun rasanya terlalu sakit. Sekarang aku keseleo. What a great day, wow. Rahangku mengeras, berusaha untuk tidak merintih atau melakukan hal memalukan lainnya.
“Saya nggak bakal nanya, karena saya tahu kaki kamu sakit,” kata Andra tiba-tiba, membuatku menaikkan kepalanya. “Biar saya bawa ke belakang, mungkin mereka ada kotak P3K atau apa gitu.”
“Wait. Kaki saya sakit.”
“Saya gendong. Tenang.”
Spontan aku melotot kaget. Katanya apa tadi?
Seakan ekspresiku tidak berpengaruh sama sekali, Andra justru melanjutkan ucapannya dengan bertanya, “Kamu ke sini naik apa?”
“Mobil.” Kenapa aku malah jawab bukannya tanya balik, ya?
“Kamu yang nyetir?”
“Yap, soalnya bareng Mama jadi nggak enak kalau pakai online driver.”
“Kalau gitu biar saya aja yang nyetir nanti. Nggak mungkin kamu nyetir kaki begini.”
Wait. Wait. Wait. Andra ini kenapa sih?
Aku baru saja mau protes, hanya saja tanpa aba-aba, dia langsung mendekat, mengangkat tubuhku hingga perutku bertumpu pada pundaknya. Tentu saja, aku kaget. Sangat, malah. “Andra! Kamu ngapan?”
“Ya bantuin kamu. Kan kamu yang bilang nggak bisa jalan karena kaki,” balasnya santai. Kali ini lagi-lagi beberapa pasang mata kembali tertuju ke arahku-atau Andra, atau mungkin kamu berdua, entahlah.
Dan ini memalukan. Sungguh. Hari ini aku habis dosa apa sih sampai sebegininya? Ya ampun.
“You don’t really have to help me,” kataku. “Turunin saya, Dra. Kayak gini jadi diperhatiin orang.
“But you need a help,” balas Andra cepat. “Nggak usah pikirin mereka. Kamu mau berdiri juga susah.”
Baikla. Andra memang benar. Tapi kan tetap saja, yang begini itu buat canggung setengah mati. “But why you?” tanyaku. “Padahal kamu bisa tinggal panggil orang aja. Toh ada Mama saya juga.”
“Tapi Mama kamu nggak mungkin gendong kamu begini kan?” Andra geleng-geleng kepala. “You know what? Yang begini nih tugas cowok. Ini salah satu alasan kenapa cowok itu dibutuhkan dalam hidup.”
Suara Andra terdengar begitu tegas, dan sialnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya aku hanya bisa menyembunyikan wajah di ceruk lehernya sementara dia membawaku seolah aku ini karung beras yang dipikul kuli.
Memalukan sih, tapi harus kuakui yang Andra lakukan memang membantuku. Jadi sekarang aku berhutang dua kali pada Andra? []
🔐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro