Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2: Superman Without His Clothes

Andra

”Thank you for today! Hari ini lancar jaya.” Beberapa kru tersenyum, ada juga yang mengacungkan jempolnya ke arah gue. “Makasih atas partisipasi dan bantuannya di hari pertama saya kerja.”

“Thanks, Pak. Saya lebih betah sama Bapak ketimbang Pak Radit,” cengiran Ardi terlihat, dan Dina langsung memukul pelan punggungnya.

“Sayang dong lo nggak ada yang ngemarahin lagi.”

“Padahal Ardi sama Pak Radit kayak best friend forever banget kan, ya?” Jason menambahkan. Gue hanya bisa geleng-geleng kepala. Dari semua kru yang gue kenal hari ini, mereka bertigalah yang paling cerewet.

Karena tidak ada lagi yang ingin gue sampaikan, gue pamit untuk keluar ruangan. Pekerjaan para kru dan staf mungkin sudah selesia. Tapi tidak untuk gue. Masih ada yang harus gue lakukan lagi.
Laporan, sebelum penggantian jadwal kerja dengan bagian drama dan beberapa kru divisi news yang dapat giliran tayang malam. Syukurnya sih ya, supervisor di sini bukan hanya gue. Salah satunya Alexis, dan dia hanya megang satu acara yang jadwalnya malam ini. Paling tidak gue tidak perlu menjaga full sampai malam. Gila kali gue memantau kru dari matahari terbit sampai matahari terbit lagi.

Cukup jadi Andra aja, nggak perlu jadi Bang Toyib.

Belum sampai ke kantor pimred, ponsel di saku gue bergetar. Gue merogoh saku dan menemukan Mama menelpon.

“Halo, Ma.”

“Gimana, Mas, hari ini? Aman?” Gue mengernyitkan kening karena suaranya justru bukan suara Mama. Suaranya terlalu cempreng untuk jadi suara Mama.

“Lah kamu ngapain nelpon Mas pake nomornya Mama?” gue balik bertanya. Ini bukan Mama, tapi Ayu, adik gue.

“Pulsa sama kuotaku habis, Mas. Ini juga nelpon kan minta diisiin.”

“Nggak mau. Isi sendiri.”

“Mas, sekolah itu ngeluarin duit bukan dapat duit.” Ayu langsung protes, bisa gue bayangkan kalau dia di sofa rumah sekarang, kakinya sudah menendang-nendang sofa, umur 17 tahun tapi kelakuan persis anak 7 tahun. Ini kenapa kedewasaan itu tidak terpatok pada umur, wahai manusia sekalian.

Gue geleng-geleng kepala sendiri. “Jadi kenapa nelpon?” tanya gue.

Terdengar Ayu bergumam pelan di ujung sana sebelum menjawab, “Mau nanya aja. Hari ini Mas jadi kerja di tempatnya Papa, kan?”

“Tapi nggak di kantor Papa. Aku di redaksinya.”

“Nah apapun itu lah,” balas Ayu tak acuh. “Jadi gimana hari pertama kerjanya?”

“Baik sih. Di sini asik juga. Yang di sini pada masih muda, jadi lebih fleksibel aja gitu rasanya. Beda sama...”

“Beda sama ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak tolong Andra, Andra yang sedang malu sama...”

“Nggak lucu,” potong gue cepat. Heran, adeknya siapa sih yang begini?

Adek gue sih. Tapi isi otaknya yang begitu bukan menurun dari gue maupun orang tua gue. Jangan tanya, gue juga nggak tahu.

Ayu tertawa puas di ujung sana, seakan mengganggu gue merupakan hiburan paling membahagiakan di dunia—iya, dunianya dia. “Yah tapi benar, kan? Nggak ada yang nanyain status Mas Andra di sana?”

“Kalau mereka nanya juga nggak bakal aku jawab. Apa hak mereka menanyakan hal itu?”

Lagi-lagi Ayu terkekeh. “Eh tapi, Mas, nemu yang cantik nggak?”

“Nggak ada,” balas gue cepat sambil melanjutkan langkah kaki ke kantor pimred.

Ayu membalas lagi, tapi sayangnya gue kurang menyimak ucapannya. Karena begitu sampai di kantor pimred, fokus gue langsung tertuju pada sosok yang ada di meja, Adira. Pintu terbuka kecil, dan dia meletakkan kepala di meja, berbantalkan kedua tangannya yang menyilang. Gue sempat mengetuk pintu, tapi tidak ada balasan.

Adira tertidur.

Seharusnya gue masuk dan membangunkan Adira. Gue harus memberikan laporan soal kegiatan liputan dari pagi sampai malam ini baru bisa pulang. Teknisnya begitu. Tapi rasanya tidak tega jika harus membangunkan Adira. Dengkuran halus terdengar, dan gue yakin dia kecapekan. Pada akhirnya gue menutup pintu tanpa menyerahkan laporan.

“Pak Andra, Bu Adira ada di...”

“Stt.” Gue langsung mendesis dan menoleh ke belakang, mendapati Ardi di belakang gue yang langsung berhenti melangkah.

“Nggak usah masuk dulu. Adira lagi sibuk. Biarin aja.” Melihat Ardi yang memegang sesuatu di tangannya, gue langsung menyodorkan tangan. “Itu mau dikasih ke Bu Adira? Sama saya aja sekalian sini. Kamu pulang aja duluan.”

“Lah, terus Bapak?”

“Saya mau ngurusin yang lain, sekalian keliling.” Alasan doang. Sebenarnya gue juga pengen pulang dan makan. Tapi rasanya gue harus menunggu sekarang.
Ardi kemudian menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang dia bawa ke gue kemudian pergi setelah berkata, “Makasih, Pak.”

Gue hanya bisa mengangguk, berlagak santai dan melambaikan tangann sebelum menyandarkan punggung ke tembok.

Jadi pemimpin itu memang tidak mudah. Tapi pandangan sok tahu gue selama sehari kerja, rasanya Adira terlalu sibuk dengan tanggung jawabnya.

Dia bahkan kayaknya nggak makan siang, sibuk bolak-balik dan bicara dengan beberapa orang yang datang ke redaksi. Para kru juga justru bilang, “Udah biasa, Pak. Bu Adira memang begitu.”

Gue nggak tahu seberapa sibuknya tugas pimred itu. Tapi yang gue tahu, seorang pemimpin juga manusia yang butuh istirahat, sementara wanita itu butuh waktu tenang.

And Adira is a leader and a woman.

Istirahat aja, Adira. Karena Superman juga punya waktu untuk melepas jubahnya. Sejam cukup, kan?

🔓🔑

Adira

Sebut saja malam ini aku khilaf.

Atau, kira-kira ada tidak sebutan tersendiri untuk seseorang yang ketiduran padahal seharusnya masih bertugas? Kalau ada, bisa beritahu aku sekarang. Karena aku hanya tahu khilaf.

Terakhir kali aku melihat jam dinding, jarum pendeknya masih menunjuk di angka 7, dan sekarang tahu-tahu sudah bergeser ke angka 9. Ini sih namanya bukan khilaf lagi, tapi keasikan tidur. Selama 2 jam pikiranku asik liburan ke Dufan. Dan setelah 2 jam itu aku baru sadar, aku tidak sedang di Dufan, tapi di kantor. Setelahnya baru aku sadar. It takes time to be sane, ya?

Untungnya, pintu kantorku tertutup. Tapi masa iya tidak ada yang masuk?

Aku menghela napas dan meluruskan punggung, membenarkan rambut yang agak berantakan. Kuperiksa make-up yang untungnya tidak luntur sama sekali. Baru saja mau berdiri, sudah ada ketukan di pintu.

“Masuk aja,” kataku, dan kemudian pintu terdorong, dan Andra muncul dari sana. Aku langsung mengerutkan kening. “Lho, belum pulang? Bukannya acara jam segini dipegang sama supervising producer yang lain?”

Andra mengangguk selagi melangkah mendekat kemudian meletakkan beberapa tumpuk kertas. Great, another paper to do.

“Saya kan harus laporan, Bu,” kata Andra. Dia tersenyum kecil kemudian, “Karena Ibu baru bangun, jadi saya juga baru bisa melapor sekarang.”

Jadi dia tahu aku tidur? Yang tahu orang baru lagi. Benar-benar keberuntungan. Buru-buru aku menundukkan kepala kecil. “Maaf. Saya yang salah. Seharusnya saya nggak tidur waktu lagi kerja.”

“Salah itu manusiawi kok, Bu.”

“Tapi serius, saya minta maaf.” Aku segera mengambil kertas-kertas yang diletakkan Andra di mejaku dan membacanya cepat. Beberapa script dan laporan mengenai acara-acara yang dia pegang hari ini. “Ada kesulitan nggak?”

Dia menggeleng. “Nggak kok. They did they job well. Di situ juga ada rundown untuk acara besok dari Ardi.”

“Oke. Thank you. Ardi juga sudah sempat nanya-nanya ke saya sama Pak Dodi, yang megang acara ini. Sisanya biar saya yang urusin. Sekali lagi maaf karena keteledoran saya tadi.”

Biasanya setelah aku mengucapkan kata-kata itu kepada orang lain, mereka sudah mengerti dan langsung pamit. Tapi Andra tidak. Mungkin karena dia orang baru. Aku menatapnya sesaat dan memberi isyarat bahwa dia sudah boleh pulang, sayangnya Andra tidak beranjak. Dia justru balik menatapku tanpa bersuara hingga suara lain yang terdengar.

Coba tebak? Perutku.

Seakan belum cukup memalukan terciduk dan dibiarkan tidur saat kerja, sekarang perutku berulah. Mau pura-pura tidak tahu pun percuma, karena Andra pasti mendengarnya juga. Dia bahkan sudah menatapku dengan kening yang mengerut.

“Maaf nggak sopan, saya...”

“You haven’t eat yet, right?” potong Andra tiba-tiba. Entah memang aku yang tidak sadar atau ini seperti tipikal pesulap—yang kedua memang pemikiran yang konyol—tapi Andra tiba-tiba meletakkan plastik dan kotak makan berlogo Gokana. “Saya tahu jadi pemimpin itu sibuk, tapi pemimpin juga bukan hanya ngurusin bawahan, tapi diri sendiri juga.”

Aku hanya bisa diam. Itu tadi Andra mau menyindir atau apa? Tapi jujur, aku merasa tersindir. Well, mungkin tertampar akan lebih tepat. Namun Andra tetap dengan wajah santainya, tangan bergerak menyugar rambut abu-abunya itu—ternyata bukan uban, ya?—kemudian pamit.

Aku berdiri, mencoba memanggil Andra. Tapi sebelum sempat membuka mulut, Andra sudah membalikkan tubuhnya. “Nggak beracun kok, Bu. Itu delivery langsung dari Gokana, baru beberapa menit lalu. Dimakan, Bu.”

Dan tanpa sempat membalas, Andra sudah kembali melangkahkan kaki dan keluar dari kantorku.

Aku bahkan belum sempat berterima kasih. Tapi ketimbang berterima kasih, sebenarnya aku ingin mengembalikan itu atau paling tidak membayarnya. Karena aku tidak suka berhutang budi.

Terutama jika berhutang budi pada pria. []

🔐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro