Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1: The Liberty-Be-Like Woman

Adira

Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Tiap manusia dilahirkan dengan perasaan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai. Dan sebenarnya, sejak lahir semua itu sudah terpenuhi.

Pernah kan dengar ucapan soal cinta pertama seorang anak perempuan itu pasti ayahnya? Aku juga pernah dengar. Tapi biar aku katakan pendapatku. I don’t believe such thing.

Bagi sebagian orang, mungkin saja memang begitu. Tapi tidak bagiku. Orang lain mungkin merasakan bagaimana sosok ayah penuh kasih sayang yang membesarkan mereka. Tapi nyatanya, tidak semua ayah membesarkan anak mereka dengan kasih sayang. Atau mungkin, kasih sayang mereka tidak bertahan lama.

Jika memang semua ayah menyayangi anak mereka dengan “penuh cinta”, kurasa tidak akan ada berita di mana banyak anak-anak terlantar. Tidak akan ada kasus bayi yang dibuang atau seorang wanita terpaksa menggugurkan kandungannya karena permintaan seorang laki-laki.

Dan jika memang begitu, kurasa aku akan jadi pengangguran sekarang.

Mungkin ini kedengaran kejam. Aku bekerja sebagai orang yang mengatur penyampaian berita yang mana mayoritasnya berupa kejahatan. Kasarnya, aku penyebar kejahatan.

But hold yourself, people.

Bagiku ini pekerjaan yang tidak munafik. Karena pada dasarnya, tidak ada bersih tanpa kotor. Tidak akan ada aturan tanpa pelanggaran. Dan pekerjaanku ini membuat orang-orang di luar sana lebih aware dengan keadaan.

Nyatanya, dunia tidak seperti gambar saat kita SD, dengan rerumputan sawah yang hijau dan dua gunung menghimpit matahari.

Jika harus dikatakan secara gamblang, sebenarnya berita mungkin bisa tayang 24 jam perhari jika ingin meliput setiap kejahatan yang terjadi. And, no, that is not even enough. Because evil is everywhere. Di detik ini bisa saja seseorang terbunuh di luar sana, ada yang kecopetan, ada yang menggugurkan kandungan, menelantar anak, and the list goes.

Biar aku luruskan, ya. Kejahatan itu bukan hanya soal penggunaan alat-alat tajam dan penyiksaan. Sekarang hal itu tidak diperlukan lagi. Yang orang butuhkan sekarang hanyalah lidah. Bahkan sebelum alat tajam beraksi, lidah sudah lebih dulu bergerak. Lidah bisa lebih menyayat hati ketimbang pisau bedah.

“Adek-adek kamu aja udah nikah, Ra. Kamu nggak mau nyusul?”

“Sibuk kerja terus sih.”

“Nggak enak dilihat masih sendiri di umur yang segini.”

“Mau emang jadi perawan tua? Malu kali.”

Kalimat yang terdengar biasa tapi bisa menyakiti hati. Iya, sesederhana itu seseorang bisa jadi penjahat dan menyakiti orang lain. Hanya dengan kata-kata. But, it’s okay. I’m getting used of it.

Terkadang suka heran juga sih. Aku yang mau nikah kenapa jadi orang lain yang ikutan rempong?

Kurasa sekarang sudah cukup dengan segala pembahasan orang jahat ini. Sekarang aku harus benar-benar mencari orang jahat betulan. Maksudku, beritanya. Aku membuka pintu kantor dan masuk, meletakkan kopi yang kubawa di atas meja sebelum membuka jas yang kukenakan dan menyampirkannya di kursi.

Seseorang sudah mengetuk pintu kantorku. “Permisi, Bu.”

“Oh, Dina. Masuk aja. Itu script yang saya minta kemarin?”

Dia mengangguk pelan kemudian melangkah masuk. “Iya, Bu. Kemarin sudah sempat saya revisi, sudah dikasih ke Pak Dion juga. Tapi siapa tahu ada yang kurang. Ada beberapa pertanyaan yang dipangkas juga karena narasumber nggak mau.”

Sebenarnya aku sudah menduga ini. Sebagai pimpinan redaksi, aku ingin memberikan informasi yang dicari penonton. Membuat narasumber hadir hanya untuk menyampaikan hal yang sudah dia sampaikan pada masyarakat sebelumnya sama sekali bukan targetku.

Aku mencari sesuatu yang baru. Tapi yah, setiap manusia itu ingin aman. Dan politisi juga manusia kan?

Kuterima kertas-kertas yang Dina sodorkan padaku dan membacanya dengan cepat. Kurogoh saku untuk mengambil line marker biru—ini senjata pribadiku, jadi aku bisa mengoreksi kapan saja—dan menandai beberapa kalimat.

“Beliau benar-benar nolak ditanya seputar usaha barunya?” tanyaku, dan Dina mengangguk.

“Gitu deh, Bu.”

“Okay, fine. Tapi kalau dia yang bicara itu sendiri, bisa kan?”

“Bicarain sendiri?”

“Fishing, Din. Fishing. Kadang narasumber itu butuh dikasih umpan.” Setelah menandai beberapa halaman, aku kembali menyodorkannya pada Dina. “Akalin aja. Saya tandain sedikit tuh buat jadi bahan. Tapi kita tetap jaga kode etiknya. If we can’t give the information to the audience, just let them catch the code.”

Jahat, ya? Ya, tidak juga sih. Pola pikirnya sebenarnya sederhana. Jika memang hal itu baik, kenapa harus disembunyikan? Kalau memang tidak ada hal buruk yang disembunyikan, aku yakin dia akan memaparkan semuanya sendiri, atau mungkin memakan umpan dengan tenang.

Mencari uang di ranah yang menjunjung tinggi kebenaran itu mirip berjalan di tanah yang penuh ranjau. Dunia berita dan jurnalistik tidak semudah kelihatannya.

Aku meraih kopi di meja dan menenguknya. Tepat ketika aku tengah meminum kopi, satu sosok melewati pintu kantorku yang terbuka. Hanya sekilas, namun rasanya agak asing. Aku hafal betul siapa-siapa saja pekerja dalam redaksi, dari produser sampai cleaning service sekalipun.

Tapi wajah yang tadi... siapa? Dia bahkan memakai kemeja panjang biru dongker khas di sini, seragam redaksi.

Dan lagi, rambutnya itu warna abu-abu. Mencolok sekali. Uban tuh? Tapi masa warnanya begitu?

Keningku mengernyit meski aku tetap di tempat, sementara sosok itu sudah menghilang. “Emang di redaksi ada orang baru gitu, Din?”

“Orang baru?” Dina justru balik bertanya.

Kuletakkan kopi kembali ke atas meja. Kemudian, “Iya. Kok saya nggak tahu?”

Dina kelihatan berpikir sejenak. Tangannya bergerak menggaruk rambut pendek sebahunya dengan lidah yang berdecak pelan. Butuh nyaris lebih dari 10 detik hingga akhirnya Dina menjentikkan jarinya. Oke, yang itu justru membuatku makin heran.

“Itu lho, Bu. Yang minggu lalu dibilang mau gantiin Pak Radit karena lulus test CPNS kemarin. Kayaknya itu dia deh.”

Aku ingat perihal pembicaraan minggu lalu. Supervising producer sebelumnya, Raditya, mengundurkan diri karena lulus tes CPNS. Dia memilih untuk mengabdi pada negara—dan aku tidak bisa mengomentari hal itu—dan membiarkan posisinya yang sekarang kosong. Presdir pertelevisian, Pak Wisnu, kemudian menawarkan orang untuk mengganti posisi Radit. Aku memang mengiakan hal itu, tapi tidak tahu kalau orangnya tiba-tiba di sini. Aku bahkan tidak dapat pemberitahuan apapun.

Aku baru saja ingin kembali bertanya pada Dina ketika ketukan pintu terdengar. Dan orang yang ingin kutanyakan itu sudah ada di pintu.

“Permisi. Ini benar ruangan pimred*, kan?”

🔓 🔑


Andra

Menjadi seorang pemimpin itu menyenangkan.

Begitu mendengar pernyataan ini, orang-orang mungkin akan berpikir gue haus akan kepemimpinan. Well, gue juga tidak akan menyangkal hal itu. Tapi pemikiran manusia itu mengerikan.  Hanya karena pernyataan itu gue bisa dicap negatif.

Manusia memang serumit itu. Satu kepercayaan bisa membawa beban-beban berat yang secara tak langsung harus diemban juga beserta tanggung jawab utamanya, dan satu kesalahan bisa merusak semua. Karena setetes nila rusak susu sebelanga.

Belaga banget gue ini. Padahal mata kuliah bahasa Indonesia dapat B minus aja rasanya mau sujud syukur.

Tapi, man, gue serius. Dan karena itulah gue kurang suka jadi pemimpin. A leader isn’t as simple as a person who leads something. Leader doesn’t just lead people. He leads himself too. Dan gue merasa kebanyakan pemimpin sekarang ingin memimpin orang padahal belum bisa memimpin diri sendiri.

Wait. Kenapa sekarang gue berasa seakan kampanye?

Back to the topic. Meski gue senang menjadi pemimpin, gue merasa gue belum cocok untuk itu. Dan itu kenapa gue menerima tawaran Papa untuk mengganti posisi sementara yang kosong di perusahaan sebagai supervising producer. Awalnya Mama nggak setuju, tapi namanya kerjaan, masa iya ditolak? Posisinya bagus, gue pernah memegang posisi yang serupa sewaktu magang kuliah.

Lagi pula kalau disuruh menjadi pemimpin, gue belum mampu. Tidak dengan penilaian orang terhadap gue. Dengan posisi yang begini saja gue sudah direcoki dengan pertanyaan, “Sudah mapan kok belum nyari istri?”

Memangnya kemapanan seseorang itu ada sangkut pautnya dengan pasangan? Yah, gue juga mengerti sih memang laki-laki itu lebih baik mapan dulu baru cari pasangan. Tapi bukan berarti yang mapan harus sudah punya pasangan.

Yeah, human. Dimaklumi saja.

Kalau gue menerima pekerjaan ini hanya karena menghindar, rasanya itu cupu banget. Gue juga punya tujuan datang ke sini. Buat gue, segala sesuatu itu dimulai dari bawah.

Dari bawah, lo bisa melihat segala hal yang sebelumnya tidak pernah lo ketahui. Dan berada di posisi seperti ini sebenarnya tidak buruk juga. This young people is way better than those oldies.

Suara-suara imajinasi kepala gue berhenti begitu mendengar teriakan, “Pak bos, ikut makan bareng kita yuk!”

Salah satu kru dengan rambut panjang—tapi dia cowok, if you want more detail—menunjuk meja dengan tumpukan kotak hoka-hoka bento. “Lagi dapat traktiran dari Bu Adira hari ini. Yuk, Pak. Gratis lho nih.”

Speak of Adira, itu nama pimred di sini. Cukup mengejutkan sih, karena Papa sebelumnya nggak pernah cerita bahwa seorang wanita yang memimpin redaksi. Dan menurut gue dia bagus sih. She got a leader vibes in her, like she was born to lead people. First impression yang cukup berkesan.

Ketika gue menarik kursi untuk duduk, mata gue menangkap Adira. Kakinya melangkah cepat, kelihatan buru-buru.

Begitu para kru lain menyapa, dia hanya tersenyum kecil dan menundukkan kepala sebelum kembali melanjutkan langkah. Mata gue masih mengekori langkah Adira hingga dia dia berbelok dan keluar dari ruangan.

“Pak Andra ngelihatin Bu Adira gitu banget,” kata salah satu kru wanita. Dia tersenyum ke arahku selagi menyodorkan satu kotak hoka-hoka bento. “Bu Adira cantik ya, Pak?”

Gue mengangguk. Adira memang tergolong cantik dan ideal. Dan gue nggak akan berbohong soal itu. Tapi beberapa kru justru tersenyum ke arah gue.

“Bu Adira agak susah didapatin, Pak. Mending coba ke Bu Tirta, hampir sama lah kayak Bu Adira. Lebih gampang didekatin,” sahut kru yang lain. Gue membaca nama di seragamnya. Ardi.

Sebenarnya gue bingung dari mana mereka bisa menarik kesimpulan semacam itu, karena gue yakin sekali tidak ada yang gue ucapkan soal mendekati Adira. “Saya nggak ada niatan ngedekatin siapa-siapa.”

“Udah biasa kok, Pak. Beberapa orang yang datang ke redaksi waktu lihat Bu Adira juga kayak tertarik gitu.” Dina, PA* yang gue temui di kantor Adira tadi pagi,  kali ini yang menyeletuk. “Tapi akhirnya mundur juga.”

“Langsung ditolak sama Adira?” tanya gue. Ini menggosip sih namanya. Tapi gue kepo, gimana dong?

Ardi yang sudah membuka kotak makanannya kini tertawa dengan tangan yang bergerak menepis angin. “Nggak perlu ditolak juga mereka udah mundur, Pak.”

Sebelum gue sempat bertanya, kru dengan rambut panjang tadi, Jason, sudah lebih dulu menambahkan, “Yah gimana nggak mundur, Pak. Bu Adira sudah beda level. Bukan hanya soal posisi aja, tapi otak juga. She looks like a Liberty. Strong enough to stand alone.”

Dina tertawa kemudian mengangguk menyetujui. “Setuju. Yang berani maju juga ujung-ujungnya gagal, kan?”

Kali ini kening gue mengerut. Benar-benar deh, hari pertama kerja justru gue pakai untuk menggosipkan atasan. Tapi ini hal serunya menjadi seorang bawahan.

“Dikirain semuanya mundur,” balas gue.

“Baru satu yang berani, Pak,” celetuk Ardi. Dan begitu dia melanjutkan, gue hanya bisa geleng-geleng kepala. “Supervisor sebelum Bapak, Pak Radit, kan pindah karena ditolak Bu Adira.”

Sebegitu supernya pimred gue ini? I think she is so damn interesting. []

🔐

Glosarium:

*Pimred -> Pimpinan Redaksi
*PA -> Producer Assistant

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro