Chapter 8: Lunch Confession
Andra
Kalau saja gue berada di Brazil saat ini, mungkin gue akan menceburkan diri dan mengikhlaskan daging lezat gue buat ribuan piranha di sana. Tapi itu terdengar lebay, dan gue juga belum mau mati. Maunya mati dalam keadaan suci. Tapi gue nggak suci.
Orang bilang, ada dua hal di dunia ini yang tidak terbatas. Alam semesta dan kebodohan. Dan gue baru saja menjadi orang yang membukti infinitas dari faktor yang kedua.
Penasaran itu memang membunuh, dan gue bukan termasuk tipikal yang bisa menahan rasa penasaran itu dengan mudah. Jari-jari gue dengan asiknya sudah mengetik dan menghapus beberapa pertanyaan yang gue tujukan pada Adira. Tapi gue tidak pernah berpikir untuk mengirimkan pesan itu.
Yah, tapi itulah kenyataannya. Jari gue keseleo dan pesan itu langsung mendapat tanda centang dua.
Mungkin gue bisa dengan mudah menggunakan fitur unsend—ini fitur untuk mengurangi rasa malu, sebenarnya—tapi siapa yang sangka kalau Adira ternyata cepat memberi respon. Dan sebelum gue sempat menggunakan fitur unsend itu, warna centangnya sudah berubah biru, dan sebuah balasan gue dapatkan.
Adira mengira gue salah kirim.
Bersyukur? Oh, jelas. Tapi nyatanya gue bukan salah kirim. Karena pesan itu memang tertuju untuk Adira. Yang salah, pesan itu terkirim ke orang yang benar. Sialan.
Biar gue akui, kalau gue memang agak pengecut. Karena gue bingung harus merespon bagaimana, jadi gue membiarkan pesan dari Adira tanpa balasan sampai akhirnya gue mengirim balasan sebelum tidur, sekitar 2 jam setelah pesan Adira masuk.
Dan gue hanya bisa bilang "sorry". Yep, great.
Tanpa perlu diberitahu, gue juga sudah sadar bahwa gue nggak seharusnya melakukan itu. Selama semalam otak gue bergumul dengan hal itu sampai akhirnya gue membuat keputusan. Gue harus minta maaf sama Adira. Dan mungkin gue bisa langsung tanya. Masalah dia jawab atau nggak bisa diurus belakangan.
"Pak Andra habis ini mau langsung ke kantor?"
Suara itu membuat gue kembali tertarik ke alam gue yang seharusnya, kembali ke dunia nyata. Gue menoleh dan mendapati Jason di samping gue, tangannya menenteng tas berisi kamera yang kami gunakan untuk meliput langsung tadi pagi.
"Lho memangnya kalian mau mampir ke mana?"
"Mau makan di sini dulu." Gue bergumam pelan dengan kepala yang mengangguk. "Ikut bareng kita aja yuk, Pak. Ada ayam geprek juara daerah sini juga. Lumayanlah."
Percayalah, ayam geprek itu kelemahan gue. Semua ayam, sih. Tapi ada sesuatu yang harus gue kerjakan di kantor, dan gue harus balik lebih dulu.
"Saya harus ke kantor dulu sih. Kalian aja," balas gue.
"Padahal kru yang lain mau ketemu Pak Andra lho." Jason terkekeh. "Siapa tahu ada yang nyantol, Pak."
Gue spontan ikutan tertawa. Dari beberapa orang, memang Jason yang termasuk berani bicara begini ke gue, mungkin ditambah Ardi dan beberapa orang yang dari awal sudah kenal sama gue.
Yah, to be honest, makan siang memang kesempatan yang bagus untuk nyari pasangan, paling nggak ada seseorang yang bisa didekati. Tapi gue berani jamin mereka nggak tahu apa-apa soal gue selain nama belakang gue.
Awalnya gue berpikir untuk langsung menolak, hanya saja tiba-tiba ada ide dadakan yang melintas, mampir ke stasiun kepala gue.
"Ayamnya enak nggak?" tanya gue pada Jason.
"Banget, Pak. Cobain aja. Belakangan lagi rame tuh," balas Jason cepat. "Jadi Bapak ikut nih?"
Gue ikut. Jadi gue mengangguk. Tapi ada satu hal yang berbeda. Gue mengambil ponsel, memeriksa satu kontak di ponsel gue dengan status last active on 09.47. Itu meyakinkan gue dengan keputusan gue.
"Nggak, Jas. Saya mau take away aja."
"Wah, Bapak nggak bareng kita dong?"
Gue tertawa. "Saya mau makan di kantor aja. Lagian saya ada teman makan bareng kok."
Jason kelihatan ingin bertanya, tapi sebelum dia melakukan itu, gue memilih untuk memberikan jawaban lebih dulu. "Saya bareng Bu Adira kok. Soalnya saya yakin dia pasti belum makan siang."
Sebenarnya, ada yang mau gue tanyakan pada Adira langsung. Karena gue ingin memastikan apa yang gue baca lewat internet semalam. Internet itu mengerikan. Dan karena itulah gue ingin memastikan. Meski kesannya ikut campur, tapi gue ingin mempercayai yang benar.
Dan dalam hati gue masih berharap, semoga yang gue baca itu salah.
Gue berharap ayahnya Adira tidak seburuk yang gue baca.
- 🔑🔓 -
Adira
Orang mungkin berpikir seorang pemimpin lebih santai ketimbang para bawahannya. Dan, yah, harus kuakui memang mayoritasnya begitu. Tapi mayoritas bukan berarti keseluruhan. Dan aku bukan bagian dari mayoritas.
Menjadi seorang pemimpin bukan berarti hanya melempar perintah kepada para pekerja, tapi mengurus apa yang pekerjanya lakukan.
Setelah beberapa jam terlewat, aku masih menerima beberapa telepon dari kantor. Salah satunya Adrian. Untungnya, Adrian bisa mengerti bahwa pekerjaanku cukup banyak dan memutuskan untuk mengobrol nanti, berkaitan dengan acara yang akan diadakan bersama politisi-politisi itu.
Aku masih sibuk dengan tumpukan kertas ketika ada yang mengetuk ruanganku.
"Masuk."
Pintu terdorong, dan Andra muncul dari balik pintu. Di ujung sana dia tersenyum ke arahku. "Lho, Bu Adira nggak istirahat?"
"Nanti juga bisa kok. Tanggung," balasku, mencoba ikut tersenyum meski sebenarnya merasa cukup letih. "Ada apa, Dra?"
"Saya mau ngasih laporan buat liputan langsung di lapangan tadi, Bu. Sekalian sama ini," kata Andra. Dia menunjukkan lembaran-lembaran kertas yang sudah dijepit dan berjalan ke mejaku, meletakkan kertas itu di sana. "Ini masih rough cut. Setelah istirahat makan siang dilanjut lagi."
Aku mengambil kertas itu, membacanya beberapa lembar acak. "Hasil revisi script untuk jam 7 nanti sudah dikasih ke anchor?"
"Done."
"Ya sudah kalau gitu. Istirahat aja dulu. Nanti setelah selesai periksa ini, saya keluar buat periksa sekalian cek bagian editing."
Mungkin ini agak kurang sopan. Tapi aku hanya berusaha untuk menyelesaikan tugasku secepat mungkin dengan lembar demi lembar kertas menumpuk ini. Toh aku juga dengar dengan apa yang Andra katakan. Aku sama sekali tidak bermaksud mengabaikannya.
Aku masih berkutat dengan pena dan kertas selama beberapa saat hingga menyadari kalau Andra belum beranjak, masih berdiri di tempat tanpa sedikit pun bergerak. Dia menatap ke arahku—atau lebih tepatnya memang menatapku. Kali ini aku menengadahkan kepala untuk memandanginya.
"Ada apa, Dra? Ada lagi yang mau kamu sampaikan ke saya?"
Sesaat Andra diam, satu tangan yang sebelumnya ia jejalkan ke dalam saku kini keluar. Dan konyolnya aku baru menyadari sedari tadi Andra membawa plastik yang tertutup punggungnya.
"Bentar lagi istirahat makan siang, kan?" Andra justru balik bertanya padaku. Kakinya melangkah untuk mendekat ke mejaku, memandangiku seakan menunggu jawaban.
"Iya. Makanya saya bilang..."
Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku dan Andra sudah tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, tangan bertumpu pada meja, memberi hentakan yang tidak terlalu kuat tapi cukup mengagetkan. Aku spontan memundurkan tubuh karena jarak di antara kami yang terlalu dekat.
"Ayo kita makan bareng, Ra."
Kali ini alisku menyatu, kemungkinan besar lipatan di keningku bertambah. Tidakkah dia lihat pekerjaanku masih banyak di sini? Dan kenapa dia peduli? Aku punya prioritas lain untuk didahulukan ketimbang makan.
Aku baru saja ingin membalas, tapi tiba-tiba Andra menggeser kertas-kertas di mejaku dan merebut pena di tanganku dan meletakkannya di sudut meja sebelum semakin mencondongkan wajahnya. Mendadak embusan napasnya seolah menerpa wajahku.
"Kamu pasti belum makan kan, Ra?"
Aku mengernyitkan kening. Ada apa dengan gaya bicara yang mendadak informal begini?
"Dra, saya masih..."
"Jangan banyak alasan. Sekuat apapun perempuan, makan itu tetap kebutuhan. Kalau aku nggak bilang sekarang kamu pasti nggak akan makan siang."
Dengan mudahnya Andra memotong ucapanku. Dia masih tetap dengan ekspresi datarnya, sama sekali tidak menyiratkan amarah atau apapun. Andra kemudian meletakkan plastik di atas mejaku, mengeluarkan dua kotak makanan.
"Ini apa, Dra?"
"Ayam geprek. Tadi bareng sama yang lain ke sana, tapi saya take away," katanya. "Nggak papa kan nggak usah formal? Lagi makan siang juga. Istirahat dulu jadi bosnya."
Kembali ke "saya". Mungkin lidah Andra hanya terpeleset.
Aku tidak bisa merespon. Tidak tahu bagaimana caranya. Karena hanya Andra yang begini. Ini pertama kalinya aku tiba-tiba mendapat seorang karyawan yang memberikan makanan begini, yang dengan seenaknya masuk dan membuatku seolah tidak berkutik. Andra menaikkan lengan kemejanya hingga ke siku.
"Oh, ya, Ra. Saya belum bales chat kamu, ya?" Pertanyaan tiba-tiba lainnya dari Andra kali ini membuatku mengangkat alis, mencoba mengingat sesuatu. Chat katanya, ya?
"Yang kamu salah kirim itu?" Aku balik bertanya. Andra menganggukkan kepalanya cepat.
"Tapi sebenarnya itu bukan salah kirim."
Hah?
Jangan salahkan aku yang heran sekarang. Keningku sudah mengernyit lebih dulu. Di tengah kebingungan yang meracuni otak, Andra kembali mengeluarkan suaranya. "Saya memang pengen tanya itu ke kamu. Salah saya karena penasaran sama urusan orang sih, tapi saya nggak bisa bohong."
"Kamu penasaran sama saya?"
"Ya." Entah bagaimana, namun jawaban singkat itu terdengar begitu meyakinkan untukku. Tatapan Andra pun mendukung jawaban itu. "Kamu beda, Ra. Baru pertama kalinya saya ketemu cewek yang kayak kamu. Terlalu mandiri."
Jawaban itu justru membuat keningku semakin mengerut. Memangnya apa yang salah dengan menjadi mandiri?
Orang bilang, seorang wanita tidak seharusnya bergantung sepenuhnya pada siapapun, apalagi lawan jenis. Dan itu prinsipku. Aku berusaha melakukan sesuatu yang bisa kulakukan. Kenapa harus mengandalkan orang lain ketika diri sendiri bisa melakukannya?
Lagi pula, bergantung pada orang lain berarti memberi kepercayaan. Hanya saja manusia itu makhluk yang paling mudah menghancurkan kepercayaan.
"Saya mandiri karena saya nggak mau bergantung sama orang lain," balasku pada akhirnya. "Selagi bisa sendiri, saya coba kerjakan sendiri."
"Tapi manusia itu makhluk sosial, Ra."
"Hanya karena mandiri bukan berarti saya anti sosial, kan?"
Selanjutnya, Andra tidak menjawab. Dia menghela napas, dan sebenarnya dia menggeram. Aku bisa mendengarnya meskipun tidak terlalu kentara. Tangannya bergerak untuk menyugar rambut abu-abunya pelan. "Mandirinya kamu itu beda, Adira. Kamu..."
"Saya kenapa?"
"Kamu seolah nggak mau dibantu sama cowok."
Aku hanya bisa diam. I don't expect that one to come. Sungguh. Kali ini ada sesuatu yang terasa dari tatapan Andra. Seakan ada yang ingin dia keluarkan, namun diri sendiri masih menahan hal itu.
Aku masih mencoba mencari jawaban yang tepat untuk merespon Andra. Hanya saja sebelum satu jawaban sempat terbentuk dalam pikiran, Andra sudah kembali menyerangku.
"Apa kamu jadi nggak percaya sama cowok karena kasus ayah kamu dan Bu Rimayanti, Ra?"
Dan kali ini, aku benar-benar tidak bisa menjawab.
- 🔐 -
Andra: Lebih sayang Arata atau saya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro