Chapter 6: Blinded Heart
Update gengs ;)
Halooo. Main sama Andra lagi yuk.
Berhubung susah nyari foto Juki rambut abu-abu, dan aku nggak bebas megang photoshop kek dulu bikos seebook uhuk, jadi mari dianggap foto yang aku masukin rambutnya abu-abu, oke? Kalau lagi rajin aku masukin editan aku~
---
Adira
Ketimbang Sushi Tei, sebenarnya aku lebih suka warung nasi padang. Karena tidak selamanya rasa enak itu bisa dibeli dengan uang setumpuk. Bahagia biasanya ada dalam kesederhanaan, bukan?
Tapi berhubung ini bukan ajang makan sendiri, dan aku bicara dengan beberapa orang, termasuk salah satu orang-orang ternama, aku tahu bahwa aku harus menyiapkan uang lebih hanya untuk makan.
Yah, diskusi ini sebenarnya hanya untuk membahas program baru yang akan membuat forum dan mengundang beberapa politisi dan ahli-ahli hukum untuk berdiskusi, namun nyatanya butuh pembicaraan basa-basi lebih dulu—dengan waktu yang jujur saya terlalu lama—sebelum akhirnya kami masuk ke topik pembahasan.
Setelah hampir dua jam berada di restoran ini, yang mungkin saja pramusajinya sendiri sudah bertanya dalam hati kenapa kami belum pulang-pulang, akhirnya beberapa orang sudah pulang, sementara dua orang tokoh politisi lainnya permisi untuk ke kamar mandi.
Aku hanya diam dan menyeruput minuman pesananku, berusaha untuk tetap bersikap biasa saja.
“Ngobrol sama bapak-bapak emang ngebosanin sih, apalagi yang punya nama kayak gitu.”
Suara itu membuatku meletakkan gelas. Seorang laki-laki yang duduk di depanku tersenyum. Dia juga salah satu dari orang yang mengobrol denganku hari ini.
Namanya Adriel Pramudiwirja, juru bicara dari salah satu petinggi negara. Begitu melihat Adriel di sini, aku merasa lega. Paling tidak ada orang seumuranku, meskipun hanya aku sendiri yang perempuan dalam kumpulan.
Adriel tersenyum padaku dan ikut menyeruput minuman miliknya hingga habis. “Saya salut kamu bisa tahan sama omongan mereka.”
“Memangnya ada apa sama mereka?”
“Garing, dan agak... tahulah.”
Aku mengerti apa yang Adriel maksud. Memang saat bicara tadi, beberapa perkataan mereka seakan mengacu pada satu atau dua pihak tertentu. Bahayanya membahas politik memang begitu sih, kenetralan hanyalah sebuah ilusi. Karena politik itu memihak, padahal seharusnya tidak terikat.
Aku tersenyum karena komentar Adriel barusan. “Mereka aja, saya nggak mau ikut-ikutan.”
“Dan itu kenapa saya salut sama Bu Adira.”
Itu mungkin sebuah pujian yang menyanjung, tapi aku bukan tipikal orang yang mudah tersanjung.
Orang dulu bilang, semakin tinggi disanjung, semakin mudah tersandung. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil, kemudian mengalihkan perhatian kepada batangan logam berlogo apel.
Tahu kan, benda ini sebenarnya bukan hanya berfungsi untuk membantu komunikasi, tapi untuk mengakhiri komunikasi juga. Dan itulah yang aku lakukan sekarang.
Aku pura-pura fokus pada ponselku, dan Adriel pun melakukan hal yang sama. Yang tidak aku duga, Adriel tetap bersuara juga. “Oh, ya, Bu, kalau saya minta nomor Ibu boleh?
“Nomor saya?”
“Iya. Biar kalau ada apa-apa bisa dibicarakan.”
Yah, alasannya masuk akal juga sih. Tapi rasanya agak aneh jika aku memberikan nomor pribadi. Bukannya pelit atau sok jual mahal, tapi urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi itu kan beda, dan seorang profesional tidak pernah menggambungkan keduanya.
Jadi aku merogoh tas kecilku, mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Adriel. “Bisa hubungin saya lewat nomor di situ. Itu nomor langsung ke kantor kepala redaksi, jadi langsung nyambung ke saya.”
“Um, oke. Thanks.”
Entah hanya perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang mengganjal dari ekspresi Adriel, namun dia tetap menerima kartu nama yang aku sodorkan. Sekarang aku baru terpikir, kenapa waktu itu aku tidak melakukan hal yang sama waktu Andra meminta nomorku, ya?
And speaking of the devil, ada satu pesan yang masuk ke ponselku. Pesan dari Andra.
Andra Mahendra S.
Sorry for sending you a message so sudden. Tapi ada yang nyariin kamu, Ra.
Mama kamu.
Aku mengernyitkan kening ketika membaca pesan dari Andra. Mama ke kantor? Tumben. Padahal Mama tidak ada mengabariku apapun. Mama tidak pernah langsung datang ke kantor, dan memberitahuku pasti hal yang pertama Mama lakukan jika ingin bertemu.
Awalnya aku mau membalas pesan dari Andra. Namun sebelum sempat melakukannya, satu pesan lagi masuk.
Andra Mahendra S.
Tapi yang datang bukan Tante Sarah.
Yang nyariin kamu Bu Rimayanti, Ra.
Apa yang mau dia lakukan sampai datang ke kantorku, sih?
- 🔑🔓 -
Sebagai pekerja di bidang pertelevisian, aku yakin Andra pasti tahu siapa itu Rimayanti Hartanti.
Siapa yang tidak tahu perempuan yang begitu ternama dalam meliput tiap kejadian, muncul di televisi dengan memberikan pendapat-pendapat kritis yang berani dan mengagumkan.
Aku juga tahu dia. Bu Rimayanti memang semegagumkan itu. Aku begitu mengidolakannya sejak pertama kali memilih untuk fokus dalam dunia broadcasting.
Tapi aku lupa satu fakta, bahwa tokoh idolaku pun manusia. Dan manusia tidak pernah tidak mengecewakan.
Meski aku enggan menemuinya, tapi masih ada kewajiban yang harus kuselesaikan di kantor redaksi. Bu Rimayanti itu urusan pribadiku, dan aku tidak akan kabur dari pekerjaan hanya karena alasan pribadi. Adira Perdana harus jadi wanita profesional.
Dulu Bu Rimayanti yang bilang begitu padaku. Tapi nyatanya, dia tidak seprofesional bahasanya. Aku tahu betul itu.
Setelah selesai dengan obrolan di Sushi Tei, aku kembali meluncur ke kantor dengan Uber, yang untungnya aku tidak perlu menunggu lama. Begitu sampai, aku langsung berjalan menuju ke kantorku. Itu yang aku pikirkan awalnya sebelum melihat sosok yang duduk tak jauh dari ruanganku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengenalinya.
Itu dia tokoh idolaku. Dulu. Rimayanti Hartanti.
Seketika kakiku berhenti melangkah, dan spontan mengambil langkah mundur dan berbalik. Hanya saja kejutan lain muncul lagi, dan kali ini Andra yang datang. Meski sudah berusaha untuk bersikap santai, tapi mataku nyatanya sudah membulat.
“Bu Adira?”
“Y-ya?” Aku mengedipkan mata beberapa kali, memasang senyum yang dipastikan kelihatan canggung. Raut wajah Andra dengan alisnya yang sedikit meninggi seolah mengatakan hal itu padaku.
“Saya baru mau ke kantor Ibu,” kata Andra lagi. “Oh ya, Ibu dapat chat dari saya nggak? itu, Bu Rimayanti nyariin. Tadi sih masih nunggu...”
“Saya tahu. Saya lihat kok,” balasku cepat kemudian menghela napas. Yah, menjadi profesional memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah motivasi dari diri sendiri saja tidaklah cukup. “Dia nunggu dari kapan?”
“Dari tadi. Sekitaran jam makan siang datangnya sih.”
Aku melirik jam tanganku. Berarti sudah sekitar 4 jam Bu Rimayanti menungguku. Aku dipastikan jadi tokoh antagonis jika pergi begitu saja. Menunggu itu memang tidak mengenakkan.
Tapi terkadang menunggu memang tidak selamanya baik. Untuk apa menunggu sesuatu yang jelas-jelas tidak ingin ditunggu? Karena jujur saja, aku tidak ingin ditunggu. Aku Tidak ingin menemuinya. Tidak bisa sekarang, dan mungkin akan begitu seterusnya.
Situasi seperti ini membuatku serba salah. Dan ini semakin terasa tidak menyenangkan dengan adanya Andra di sini.
Lagi pula, kenapa harus Andra? Tiga hari berturut-turut dan selalu saja ada caranya aku bertemu dengan Andra. Dan semuanya selalu di posisi yang kurang menguntungkan bagiku.
“Apa Ibu nggak mau ketemu Bu Rimayanti?” tanya Andra tiba-tiba. Jelas saja, aku terkejut. Aku Keningku mengerut, namun Andra tetap kembali bicara, “Bukannya saya mau ikut campur atau apa sih, but it seems like there is something between you and her. Beliau memang nggak ada bicara apa-apa ke saya, tapi saya sendiri bingung karena beliau bilang kalau beliau orang tua Ibu, padahal baru kemarin saya ketemu sama Tante Sarah.”
“Mama saya hanya satu, hanya yang kamu lihat waktu pesta kemarin,” balasku. “Bu Rimayanti bukan orang tua saya.”
Andra menatapku datar, tidak bicara apapun untuk beberapa saat, tidak juga memberikan tatapan. Hanya saja aku merasa tatapannya seakan membongkar sesuatu di dalam diriku, membuatku mengalihkan pandanganku.
“Saya memang orang luar, dan sekarang saya di posisi yang seharusnya nggak mengomentari kehidupan pribadi Ibu,” kata Andra. Ajaibnya, intonasi yang dia gunakan membuat perhatianku kembali memandanginya, sementara Andra sudah menyodorkan tupperware kuning padaku sambil tersenyum. “Tapi saran saya, Bu, kalau memang nggak mau ketemu, jangan dipaksa. Ada alasan kenapa kita mau dan tidak mau melakukan satu hal, dan untuk kasus ini saya yakin Bu Adira punya alasan sendiri.”
“Mengikuti hati kadang membuat orang bodoh, Dra,” balasku akhirnya. Aku menerima uluran tupperware itu dan tersenyum. “Saya memang nggak mau ketemu sama Bu Rimayanti. Tapi saya tahu kalau saya nggak bisa kabur gitu aja. Itu tanggung jawab saja.”
“Dan tanggung jawab apa kira-kira yang bikin kamu harus membutakan hati, Ra?”
Kali ini tatapan Andra berubah, begitu juga dengan nada bicaranya. Ada tanda tanya besar yang tergambar dalam tatapannya, namun di sisi yang lain tatapan itu terasa begitu retorik.
Mungkin yang aku katakan bukan tanggung jawab, tapi aku tahu aku harus melakukannya. Kabur pun tidak akan menyelesaikan masalah. Aku bukan buta hati.
Hatiku mungkin sudah hilang sejak beberapa tahun yang lalu. Memiliki hati hanya membuat rasa sakit terasa semakin dalam.
Obrolan-obrolan sebelumnya yang terjadi antara aku dan Andra memang menyenangkan. Tapi kami tetaplah manusia dengan kepala yang berbeda. Dan kurasa hal itu semakin jelas sekarang. Kami memang berbeda.
Aku bukannya tidak ingin menghargai perbedaan, hanya saja inilah prinsipku untuk hidup. Aku memilih untuk terus menjadi kuat. Ini hidupku. Dan ini hal terbaik yang kupercayai. Experience is the best teacher.
“Yang saya percaya, tidak semua hal itu baik dijalani hanya karena hati,” aku membalas simpul. Kutegakkan kepalaku, menghela napas dalam dan tersenyum kecil. “Maaf, saya permisi dulu, Andra. Ada yang harus saya temui.”
Dan aku segera berbalik, melangkahkan kaki dan meninggalkan Andra, berjalan ke arah Bu Rimayanti yang langsung berdiri begitu melihatku. Andra tidak salah. Tapi mungkin dia yang belum tahu bagaimana rasanya terlalu mengikuti hati.
Andra memang benar. Aku tidak ingin bertemu dengan wanita ini. Itu yang hatiku bilang. Tapi meskipun aku tidak ingin, aku juga tidak ingin kabur dari masalah. Karena kabur dari masalah hanyalah sebuah kebodohan.
Dan Bu Rimayanti-lah yang mengajarkanku hal itu. Melalui Papa.
- 🔐 -
P.s:
Walaupun keliatan sama-sama kritis, tapi Adira sama Andra ini beda. Nggak semua cowok berpikir kalo ngikutin otak lebih baik, begitu juga sama cewek. Begini cara aku ngegambarin perbedaan itu.
Nggak nyangka udah sampe sini nih, gais. Sampe sini ada kesan pesannya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro