Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5: Mama

Happy satnight, mblo!
Ada Andra buat nemenin kalian nih :)

---

Andra

Rasanya gue masih malu. Sumpah. Gue mendapatkan nomor Adira dengan cara yang konyol. Mana kata-kata gue lebih mirip kayak om-om mesum yang mau ngegangguin anak gadis yang habis diajak ngobrol.

Iya, gue tahu umur gue sudah macam om-om, tapi kan Adira bukan gadis lagi. Maksud gue, umur kami kan tidak begitu jauh. Oke. Jangan bahas umur.

“Nomor saya? Untuk?”

Salah gue dari awal sih. Kalimat gue terlalu ambiguistis. “Buat besok, biar saya bisa ngabarin juga gitu,” balas gue, berusaha menyelamatkan diri. “Tapi kalau nggak juga yah, gapapa.”

Kebodohan memang. Gue nyaris berpikir Adira akan menolak untuk memberikan nomornya, mana gue juga sudah bilang nggak apa-apa. Tapi untungnya, keberuntungan memang teman baik gue. Akhirnya Adira memberikan nomornya juga.

Begitu dapat nomornya, gue justru takut sendiri. Canggung rasanya kalau tiba-tiba menelpon apalagi mengingat ekspresi Adira yang kelihatan bingung bercampur setengah tidak ikhlas.

Mungkin itu hanya sekadar kesoktahuan gue, tapi bagaimana pun gue tetap tahu posisi. Seenak jidat nelpon bos, besok-besok Papa langsung narik gue karena mendapat laporan anaknya tidak becus bekerja dari pimpinan redaksi—which is, Adira.

Karena masih ingin hidup baik-baik, gue memilih untuk mengirim pesan lewat Whatsapp begitu berangkat ke kantor.

Andra Mahendra S.

Pagi, Adira. Saya sudah jalan ya. :)

Dan hanya beberapa menit, gue mendapatkan balasan dari Adira.

Adira Perdana

Pagi juga, Andra. Oke, saya juga sudah siap.

Gue serius sewaktu mengatakan rumah Adira dan apartemen gue memang dekat. Hanya butuh sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah Adira. Gue memarkirkan mobil di dekat trotoar, kemudian keluar dari mobil dan berjalan ke pekarangan rumah Adira.

Awalnya gue terpikir untuk mengirim pesan lagi ke Adira, jadi gue merogoh saku. Tapi itu konyol sih, untuk apa buang-buang pulsa padahal bisa tinggal tekan interkom rumah dan orangnya langsung keluar? Sopan boleh, tapi jangan bego juga.

Tangan gue sudah siap untuk menekan interkom, hanya saja sebelum sempat melakukannya, pintu rumah tiba-tiba terbuka, membuat gue sedikit tersentak. Seketika gue mengambil langkah mundur hingga seorang anak kecil keluar dengan baju kotak-kotak yang menurut gue itu seragam sekolah.

“Aku duluan nih ya? Da—”

Suara anak kecil itu terhenti begitu dia melihat gue. Kepalanya menengadah dan mata bulatnya menatap ke arah gue. Rambutnya yang dikuncir dua itu bergoyang.

Canggung, gue hanya bisa balik tersenyum sambil pelan-pelan menyapa, “Halo.”

Sama anak kecil aja grogi gue.

“Eh, Dinda, ini bekal kamu belum lho.” Dari dalam terdengar suara teriakan lainnya, dan kali ini satu perempuan yang lebih besar muncul. Dia melihat gue sesaat dan tersenyum.

“Permisi,” kata gue, “ada Adira-nya?”

“Oh, bentar ya.” Dia kemudian menolehkan kepalanya ke belakang. “Kakak, ini ada yang nyari nih!”

Dan tak butuh waktu lama terdengar sahutan dari dalam rumah. “Siapa?”

Perempuan yang ada di depan gue ini tidak menjawab, mungkin bingung juga gue siapa. Kepalanya masih menoleh hingga satu sosok lain muncul. Kali ini Adira yang muncul, berjalan dengan kakinya yang sedikit terseok, tapi lebih baik ketimbang kemarin. Ya, syukurlah. Dia membenarkan kerah kemejanya sebelum menolehkan kepalanya ke arah gue.

“Pagi, Dra. Udah sampai ternyata,” sapa Adira.

Gue tersenyum dan mengangguk. “Kan saya bilang juga dekat jaraknya.”

Si anak kecil dengan seragam kotak-kotak itu mundur, mendekat ke arah Adira dengan tangan yang menarik pelan celana Adira. “Tante udah mau pergi?”

“Iya nih. Kan Tante mau kerja. Dinda juga mau sekolah kan?”

“Tante berangkat sama siapa? Nggak sama Mami?”

“Tante berangkat sama teman Tante.” Adira tersenyum kemudian melihat ke gue, dan si anak kecil yang dipanggil Dinda ini ikut melarikan pandangannya ke arah gue.

“Sama Om Ganteng ini?” Dinda menunjuk ke arah gue, dan perempuan yang berdiri di samping Adira kini tertawa, sementara Adira langsung menepuk pundak Dinda.

“Nggak sopan nunjuk orang begitu ah, Din.”

Duh, si kecil ini bisa aja. Om memang ganteng, thank you. Gue menganggap kalimat itu sebagai pujian, dan gue tersenyum. “Nggak papa kok, Ra.”

“Tapi memang ganteng sih,” perempuan di samping Adira menyahut dan menatap gue lagi. “Teman sekantornya Kakak?”

Oh, adiknya Adira rupanya. Tapi sebelumnya memang dia memanggil Adira “kakak” tadi, kan ya?

Gue mengangguk dan menjulurkan tangan, bermaksud bersalaman. “Saya Andra. Teman sekantornya Adira.”

Dia menyambut uluran tangan gue dan membalas, “Asya, adiknya Kak Adira.”

“Ya udah yuk,” kata Adira, dia membenarkan posisi tasnya kemudian menepuk pundak Asya dan melangkahkan kaki. “Takut jalanan macet.”

“Kaki kamu gimana?” gue bertanya dan memerhatikan Adira. Begitu melihat kakinya, kali ini Adira ternyata memakai flat shoes berwarna merah, senada dengan kemejanya.

“Udah lebih baik kok,” balas Adira singkat. “Thanks to you.”

Gue hanya membalas dengan senyuman. Baru beberapa detik kemudian gue sadar, dari tadi Asya memerhatikan gue dan Adira. Begitu gue menolehkan kepala, dia justru tersenyum. “Hati-hati di jalan, kalian berdua.”

“Nanti kalau Mama udah balik belanja, bilang ya hasil print-annya ada di kamarku,” kata Adira.

“Oke.”

“Tante pergi ya, Dinda. Semangat kamu sekolahnya.”

Dinda mengangguk cepat dan melambaikan tangannya, dia juga melihat gue tapi kali ini dia tersenyum. Karena itu gue jadi ikut melambaikan tangan kecil dan pamit sebelum berjalan ke mobil dengan Adira. Gue berjalan untuk membuka pintu mobil dan mempersilakan Adira untuk masuk, kemudian menutup pintu dan ikut masuk ke dalam mobil, mulai menyalakan mesin.

Di saat gue baru saja mau menginjak pedal gas, Adira tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, meletakkannya di dasbor mobil. Sebuah tupperware sedang warna kuning. Sebelum gue sempat bertanya, Adira sudah lebih dulu menyeletuk, “Ada brownies nih. Dimakan ya, Dra.”

“Duh, Ra, nggak perlu repot-repot.”

“Kamu juga sudah jemput saya, jadi biar saya bayar, walaupun nggak seberapa.”

“Kalau gitu makasih, Ra. Pasti saya makan kok.”

Gue kemudian mengendarai mobil ke jalanan, sementara Adira hanya diam. Yah, gue bukannya mau jadi sok akrab sih, hanya dengan keadaan begini rasanya canggung juga. Karena itu gue memberanikan diri untuk membuka cerita.

“Yang tadi itu keponakan kamu, Ra?” tanya gue, mencoba memulai obrolan.

“Iya, namanya Dinda,” balas Adira santai. Oke, lancar. “Dia anak pertamanya Asya.”

“Anaknya lucu.”

“Lucu sih, tapi polosnya itu kadang bikin gemas.”

Gue tertawa. Yah, namanya juga anak kecil. Tapi memang tipikal Dinda itu kelihatannya polos banget sih. Bahkan dia dengan polosnya menunjuk gue dan bilang gue sebagai “om ganteng”. Untungnya masih anak kecil sih, kalau sudah gede kan bahaya juga ngomong blak-blakan begitu.

“Asya sudah punya berapa anak memangnya?”

“Dua. Sekarang lagi hamil anak kedua.”

“That’s pretty fast.”

“I know right?” Kali ini Adira tertawa. Gue menekan pedal rem ketika lampu merah, dan di situ pula lah Adira kembali melanjutkan. “Asya sudah mau punya anak kedua, dan orang-orang justru makin rempong sama hidup saya.”

Tanpa perlu dijelaskan juga, gue mengerti apa maksud Adira. Yah, memang manusia sih. Orang Indonesia pula. Yang punya hidup siapa, yang repot siapa.

Gue juga punya adik, yang untungnya masih sibuk kuliah dan sekolah, jadi gue nggak mendapatkan tekanan untuk segera menikah karena ditikung adik duluan. Tapi dengan yang begini pun, masih ada juga orang yang repot mendiskusikan kenapa gue belum menikah, apalagi Adira yang posisinya dilompati adik yang sudah mau punya anak lagi.

“Menikah itu kan pilihan hidup, bukan tuntutan,” komentar gue akhirnya. Sambil kembali melajukan mobil ke jalanan, gue menambahkan, “Menikah itu soal proses, bukan tergantung sama umur, siapa yang lebih dulu, atau posisi dan kemapanan. Stigma kayak gini yang sebenarnya cukup bikin jengkel.”

“Menurut kamu, menikah itu penting, Dra?” tanya Adira. Tanpa menoleh pun gue tahu dia sudah mengarahkan tatapannya pada gue.

Meskipun gue bingung kenapa pertanyaannya jadi begini, gue tetap mengikuti alur pembicaraan. Lebih baik daripada diam-diam canggung kayak ketemu mantan. Hm, mantan.

“Menurut saya ya penting. Saya percaya kalau tiap manusia itu diciptakan berpasangan, hanya cara dipertemukannya itu nggak ada yang tahu. Itulah ajaibnya Tuhan, di situ letak kuasa-Nya.”

Yah, gue tahu kalimat barusan terdengar terlalu agamis, padahal gue yah.. gue beragama walaupun kelakuan kadang, you know. Hanya gue percaya akan hal itu, bahkan di umur gue saat ini, gue percaya kalau memang sekarang gue tidak bisa menikah, memang Tuhan yang sudah mengatur.

It’s just human who try to rush things. Even God has already planned everything.

Adira diam, dan ketika gue menoleh sekilas, tatapan Adira sudah terttuju ke jalanan di depan. Gue pun ikut melakukan hal yang sama, kembali fokus menyetir, namun bibir bergerak untuk melemparkan pertanyaan lain.

“Menurut kamu menikah itu penting nggak, Ra?”

Serius, ini hanya pertanyaan doang. Sumpah.

Gumaman kecil terdengar dari Adira sesaat hingga dia menjawab. “Penting. Tapi tergantung tujuan menikahnya itu untuk apa.”

“Memangnya ada tujuan lain dalam menikah?”

“Banyak, Dra. Sekarang esensi pernikahan itu bukan hanya cinta doang. Uang udah meraja, kan? Karena cinta nggak bisa bikin kenyang, tapi uang bisa.”

“That’s pretty sarcastic, isn’t it?”

Gue geleng-geleng kepala, dan Adira pun tertawa. Tanpa disadari, ternyata kami sudah tiba di kantor. Gue memarkirkan mobil di parkiran depan gedung, lebih praktis ketimbang harus parkir di basement.

“Nah, udah sampai,” kata gue begitu sudah mematikan mesin mobil. Gue buka seatbelt gue, begitu juga dengan Adira.

“Makasih banyak buat tumpangannya,” kata Adira. Gue tersenyum kemudian mencondongkan tubuh untuk mengambil tupperware kuning di dasbor.

“Thanks juga buat kuenya. Nanti tempatnya saya balikin.”

Kami sama-sama keluar dan menutup mobil, kemudian gue mengunci mobil. Adira sudah berdiri dan melangkahkan kakinya. Langkahnya lebih kecil, tapi itu justru membuat Adira kelihatan lebih anggun dan tidak kelihatan pincang.

Apa Adira mencoba menyembunyikan kakinya?

Butuh beberapa detik bagi gue untuk menyadari bahwa sekarang waktunya untuk mengganti posisi. Adira sudah menyadari itu, dan itu sebabnya sikapnya berubah. Di sini, dia seorang pemimpin. Itulah sisi yang ingin dia tunjukkan pada lingkup yang dia pijak saat ini.

Dan butuh beberapa detik lagi sampai gue menyadari sesuatu. Gue lupa menanyakan pendapat Adira soal pernikahan.

Karena entah kenapa, firasat gue berkata kalau ada jawaban tersendiri yang Adira simpan. Dan itu memicu rasa penasaran gue.

Ada alasan kenapa wanita bersikap kuat dan tangguh, dan tetap sendiri. Kira-kira apa alasan kamu dengan semua pemikiran itu, Adira?

- 🔓🔑 -

Jadi supervising producer itu sebenarnya gampang-gampang susah. Yah, memang tiap pekerjaan begitu sih. Tugas utama gue yah seperti namanya, mengawasi dan memantau pekerjaan yang lain dalam sebuah acara.

Enaknya, gue bukan orang yang benar-benar harus meluncur dan mengurusi setiap tetek bengek teknis dan hal lainnya, tapi gue harus tahu. Dari pekerjaan pun gue sudah terlatih menjadi orang yang punya tingkat penasaran yang tinggi.

Yah, nggak gitu juga sih. But you got my point, right?

Gue mengawasi tiap acara yang gue pegang, dan itu berarti acara-acara itu pula yang jadi tanggung jawab gue. Beruntungnya gue bekerja di redaksi yang tepat, jadi gue tidak perlu repot-repot mengurusi segmen yang bahkan gue sendiri pun nggak suka.

Bukannya menyindir, tapi sebagai orang dalam pertelevisian, gue sendiri tahu kalau acara-acara televisi sekarang memang tidak sedikit yang kurang berbobot.

Manusia memang butuh hiburan, tapi bukan berarti kebohongan yang disuguhkan. Kalau minta dibohongi sih, tetangga sebelah juga bisa kali. Rating memang penting dalam pertelevisian, tapi bukan berarti rating justru membodohi masyarakat. Cari uang boleh, tapi otak jangan sampai membeku.

setelah mengurusi beberapa acara, akhirnya gue bisa makan siang. Gue sengaja makan di meja gue karena ingin menyantap brownies dari Adira sendirian. bukan pelit, tapi kan ini sedikit. Mana rela bagi-bagi.

Yah, padahal gue nyobain juga belum.
Sambil membuka tupperware, tangan kiri gue asik menggeser layar ponsel, memeriksa pesan-pesan masuk yang kebanyakan dari grup keluarga cabang—alias grup yang isinya hanya gue, Ayu, dan Vano. Dan pesannya didominasi Ayu, sebenarnya.

Gue memasukkan satu potong brownies lebih dulu, dan cokelatnya langsung lumer di dalam mulut. Astaga, kalau begini sih gue nggak akan pakai basa-basi menolak di awal. Mungkin gue minta dua tupperware lagi.

Well, nggak tahu diri itu manusiawi kok. Asal sekali-sekali aja kayak gue.

Membaca tiap pesan dari Ayu membuat gue geleng-geleng kepala. Ketika jari gue bergerak untuk membalas, gue hanya berhasil mengetik “elah” di layar karena sudah ada suara ketukan pintu terdengar, membuat gue berdiri untuk melihat siapa yang ada di pintu.

Kali ini seorang wanita paruh baya ada di sana, dengan baju yang kalau gue kategorikan kelihatan mirip Najwa Shihab, hanya lebih tua. Rambutnya pendek sebahu, dan dia tersenyum.

“Permisi, mau tanya kantor pimred ada di mana ya?”

Mata gue mengerjap sesaat, mencoba mengingat siapa kira-kira wanita di depan gue ini. Sungguh, rasanya tidak asing. Gue seakan pernah bertemu atau bahkan melihatnya, tapi di mana ya...

Karena masih bingung, jadi gue bertanya balik. “Ada perlu apa ya, Bu?”

“Ini, saya nyari Adira,” kata wanita itu. “Baru pertama kali soalnya ke sini. Mau nemuin Adira kayak susah banget.”

“Oh, Bu Adira. Ibu Adira lagi sibuk memang, Bu. Karena lagi persiapan untuk acara baru,” gue menjawab sambil tersenyum kecil. “Mungkin sekarang masih ngobrol sama produser atau lagi di luar.”

“Ah, gitu ya.” Nada bicara wanita itu terdengar kecewa. Duh, suka nggak kuat gue kalau ibu-ibu begini dikecewakan. Bahasa gue ini lho, sedap banget.

“Kalau ada yang perlu disampaikan, boleh ke saya aja, Bu. Nanti saya sampaikan ke Bu Adira nanti.”

Gue masih polos selama beberapa menit itu. sumpah. Tapi begitu wanita itu bicara, seketika gue merasa ingin memutar waktu karena kebodohan gue.

“Kalau begitu bilang aja dia dicari sama Rimayanti Hartanti.”

Bagaimana bisa gue tidak mengenali wanita yang dulu jadi reporter terkenal sejak zaman gue masih SMP? Dan gue mengaku sebagai pekerja di dunia pertelevisian dan berita? Potong bebek saja, Dra.

Tapi seakan belum cukup mengagetkan, Bu Rimayanti ini kemudian mengatakan sesuatu yang membuat gue lebih terkejut lagi. “Atau bilang aja dicari mamanya. Dia pasti tahu siapa.”

Dan seketika gue melongo. Lho, kan mamanya Adira itu Tante Sarah. Atau otak gue lagi yang salah?

- 🔐 -

Jeng jeng jeng!

Halo, new update is coming. Mari masuk pelan pelan ke sisi gelapnya Adira, dan mari pelan pelan bucin sama Andra. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro