MIS | Rencana Bella
Happy Reading!
Saat jam istirahat, Bella sudah berada di kafetarian dengan salah satu rekan kerjanya dari divisi pemasaran. Wanita berkulit sawo matang dengan rambut pendek yang dikenalnya saat mereka berkuliah di universitas. Ann, begitulah panggilan akrabnya. Bella banyak menceritakan masalahnya pada Ann, dan hanya kawannya itu yang mengerti bagaimana perasaannya pada Alex.
"Jadi, belum ada kemajuan?"
Bella menggeleng lesu. Sejak tadi pun dia hanya mengaduk minumannya dengan tak semangat. Sudah hampir setahun berkerja di sini dan menempati posisi yang sangat dekat dengan lelaki idamannya, tapi hanya sebatas itu. Alex bahkan belum meliriknya sedikit pun. Lelaki itu hanya menganggapnya sebagai asisten, tidak lebih. Ini yang membuat Bella frustasi sendiri. Hubungannya seakan berjalan di tempat.
"Kamu sudah menggodanya?" tanya Ann, menarik sebelah alisnya pada Bella. Telinganya sudah tidak asing mendengar curhatan Bella tentang atasan mereka. Entah dari sisi mana Bella bisa sampai tergila-gila pada lelaki itu. Ann malah lebih tertarik pada Diaz yang jelas seumuran dengannya.
"Menggoda bagaimana?"
"Tidur bersama, maybe," balas Ann dengan cuek.
Bella melotot horor. "Kamu gila!" pekiknya kencang yang membuat beberapa orang menatap ke arahnya.
Bella dan Ann membalas tatapan mereka dengan datar hingga mereka lekas berpaling dan bersikap seakan tidak terjadi apa pun. Di perusahaan ini memang tidak ada yang berani pada mereka. Ann yang tak jarang berucap pedas dan bermain kekerasan pada lawan. Sedangkan Bella mendapatkan perlindungan dari posisinya. Itulah yang membuat keduanya cukup ditakuti.
"Jadi, kamu nggak mau coba rayu Pak Bos?"
"Tidak tahu," jawab Bella dengan lesu. Tatapannya sudah kembali pada Ann, menatap penuh putus asa pada kawannya itu. "Lagi pula, aku tidak yakin akan berhasil. Bisa saja, aku malah ditendang sebelum berhasil menghangatkan ranjangnya."
Ann terkekeh kecil membayangkan hal itu. "Benar juga. Tapi dia sudah setahun sendiri, tidak ada yang menghangatkan ranjangnya. Sebagai lelaki, bukankah dia perlu pelepasan?" goda Ann dengan seringai menyebalkan.
Bella mendengus keras. Dia melemparkan sedotannya ke arah Ann yang cepat menghindar. "Memangnya tidak ada cara lain? Sekiranya cara itu aman dan tidak terlalu beresiko."
Ann tampak berpikir. Dia menatap lurus pada Bella, sedangkan otaknya mencari ide bagus untuk kawannya itu. Selang beberapa menit, bibirnya tertarik dan membentuk senyum cerah. Otaknya yang cemerlang sudah mendapatkan jawaban yang dicarinya.
"Dekati Diaz," ujarnya cepat.
Bella melotot kian lebar. Dia memukul lengan Ann dengan keras hingga si empunya tangan memekik kesakitan.
"Sakit, Bell."
"Kamu gila, Ann," balas Bella dengan nada yang sama.
Ann mencibir terang-terangan. "Itu ide yang bagus."
"Bagus dari mana. Yang aku suka itu Alex, kenapa kamu malah menyuruhku mendekati Diaz?"
Ann merotasikan matanya malas. Cukup kesal dengan otak Bella yang tidak sejalan dengannya. "Dekati anaknya dulu, baru ayahnya, bodoh!"
"Sialan! Aku tidak bodoh!" sungut Bella dengan tatapan tajam. "Lagi pula, aku tidak mau berurusan dengan Diaz. Kamu tidak tahu bagaimana Diaz yang selalu memberikan tatapan permusuhan denganku. Dia seakan siap membunuhku kapan saja."
"Ya itu salahmu. Kamu memutuskan Diaz saat dia sangat membutuhkan kamu. Apalagi kamu malah menyukai ayahnya. Wanita idiot mana yang bisa segila kamu."
Bella mencebikkan bibirnya kesal. Dia tidak menyangkal bahwa semua ini karenanya. Diaz yang ramah dan selalu menatapnya dengan lembut, berubah dingin dan menatapnya penuh benci. Pria itu bahkan tak tanggung-tanggung berkata kasar padanya seperti malam itu.
Namun Bella merasa semua ini pun bukan sepenuhnya kesalahannya. Tidak ada yang tahu bagaimana hati bisa jatuh dan menatap pada hati yang lain. Pun dengan Bella yang juga tidak bisa menjelaskan bagaimana dia bisa jatuh pada pesona seorang Alex. Lelaki paruh baya yang lebih pantas menjadi ayahnya.
Bahkan demi cintanya pula, dia menyakiti Diaz, pria yang memberikan cintanya dengan tulus.
"Kamu dekati saja gadis cacat itu." Suara Ann membuat Bella memutuskan lamunannya. Dia menatap Ann dengan kedua alis yang hampir menyatu.
"Irey?"
Ann mengangguk mantap. "Ya, dia. Kamu bisa ambil hatinya dulu. Siapa tahu, Alex bisa menaruh rasa padamu karena kedekatan kalian."
Bella berdecih keras. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan gaya angkuh. "Dia putri terbuang. Untuk apa aku dekat dengannya? Dia tidak berguna sama sekali."
"Aku kira itu hanya rumor," balas Ann yang jelas tidak mudah percaya dengan rumor yang beredar.
Namun wajah Bella yang menunjukkan keyakian membuat Ann tidak bisa mendebat. Menurut Ann, itu juga bukan urusannya. Dia mengedikkan bahu santai, memilih membuang ide tersebut.
"Terserah. Kamu cari cara sendiri saja." Ann berujar dengan ketus. Dia kembali menyantap makan siangnya, mengingat waktu istirahat tidak akan lama lagi berakhir. Ann sudah banyak membuang waktu hanya untuk mendengar keluh kesah yang tidak penting.
Sedangkan Bella tetap mengabaikan makanannya. Otak cantiknya benar-benar digunakan untuk berpikir keras. Keinginannya untuk mendapatkan Alex semakin terasa besar. Dia tidak sabar mendapatkan lelaki itu dalam pelukannya.
Hingga berjam-jam kemudian, saat jam kantor telah usai, Bella masih berada di tempatnya. Kepalanya bertumpu di atas meja, dengan kedua mata yang terpejam erat. Gara-gara melewatkan makan siangnya, perutnya terasa panas dan melilit. Tubuhnya lemas dengan kepala pening. Dia berniat beristirahat sejenak sebelum pulang menggunakna taksi.
Alex yang kebetulan keluar dari ruangannya menatap meja sang asisten dengan heran. Keningnya berkerut samar saat melihat posisi Bella yang aneh. Perlahan Alex mendekat dan berhenti di depan meja sang asisten. Dia mengetuk meja dua kali hingga wajah Bella mendongak dan menatapnya.
Alex cukup terkejut melihat wajah pucat pasi Bella. Bahkan keringat sebesar biji jagung membasahi sekitar kening wanita itu yang makin menjelaskan bahwa sang asisten tidak dalam keadaan baik.
"Kamu kenapa?"
"Magh saya kambuh, Sir," jawab Bella dengan suara lirih. Beruntung Alex cukup peka dan mendengarnya.
Alex mengamati keadaan Bella yang tampak tak bertenaga. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Sebenarnya dia memiliki janji dengan Irey untuk menemui dokter yang akan merawat putrinya itu. Namun melihat keadaan Bella yang memprihatinkan, tidak mungkin pula Alex bersikap abai. Jiwa kemanusiaannya bergejolak. Alex menarik napas panjang dan mengambil keputusan segera.
"Kamu kuat berdiri?" tanyanya yang tiba-tiba mengagetkan Bella.
"Eh, maksudnya?"
"Saya antar kamu pulang. Kamu masih bisa berdiri?" tanya Alex lagi, kali ini nadanya penuh dengan penekanan dan tidak ingin basa-basi.
Bella sebenarnya masih memiliki sedikit tenaga untuk berdiri. Namun dia ingin mencoba peruntungan yang tidak mungkin datang dua kali. Bella memberikan wajah memelas dan menggeleng pelan. Kedua tangannya menekan perut dengan kuat, dia menggigit bibir bawahnya yang membuat Alex makin bersimpati.
Lagi-lagi sikap Alex membuat Bella terkejut. Lelaki yang menjadi atasannya itu memutari mejanya dan dengan mudah mengangkat Bella dalam gendongan hangatnya.
"Sir?"
"Diamlah. Saya tidak ingin kamu pingsan di tengah jalan," sela Alex ketus.
Alex lekas keluar dari sana dengan Bella dalam gendongannya. Wanita itu semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang atasan. Meraup dengan rakus aroma maskulin dari badan lelaki yang dicintainya. Tanpa sadar, seulas senyum tipis muncul di bibir merahnya. Bella merasa dewa keberuntungan sedang berpihak padanya.
Sedangkan di pintu lift yang baru saja terbuka, Ann menatap tingkah kawannya itu dengan gelengan kecil. Bella dan kebodohan memang berteman sangat akrab. Dan sebagai kawan, Ann tidak mau membuang waktu untuk meluruskan Bella. Karena menurutnya, orang yang sedang jatuh cinta memiliki tingkat kebodohan dan keras kepala yang sama-sama besar.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro