11. Menyimpan Prahara
♥️♥️♥️
Hari menjelang sore ketika Arman keluar dari parkiran rumah sakit. Banyak sekali notifikasi di ponselnya yang masuk. Dirga memakinya habis-habisan karena Arman tidak kunjung datang. Akhirnya Dirga pulang dari rumah sakit dijemput salah satu sepupunya.
Jihan adalah orang pertama yang langsung terpikir oleh Arman. Arman mengambil ponsel di saku celana dan melakukan panggilan. Setelah berbicara sebentar, Arman melajukan mobilnya menuju rumah Jihan.
"Abang minta maaf karena tidak bisa ikut ke butik. Supervisor proyek mendadak memberi kabar, ada kendala yang harus diselesaikan segera," kelu rasanya lidah Arman harus berbohong pada Jihan.
Jihan memindai wajah Arman yang menyimpan rasa bersalah dari tempat duduknya. Jihan memilih memendam kecewa dan tersenyum. " Alhamdulillah bila Abang baik-baik saja, itu cukup buat Jihan."
Melihat senyum Jihan semakin menggerogoti rasa bersalah Arman, untuk sementara dia memilih menyimpan semuanya sendiri. Arman membutuhkan waktu untuk dirinya berpikir dan mengambil keputusan.
"Sebaiknya Abang istirahat yang cukup. Jangan terlalu keras masalah pekerjaan, jaga diri Abang. Jangan buat Jihan khawatir dan jangan lupa kasih kabar. Jihan paham Abang butuh fokus pada pekerjaan karena pernikahan kita tinggal tiga minggu lagi. Insyaallah semua persiapan sudah beres," tutur Jihan.
"Maaf, Abang—."
"Ssshhh, Jihan sudah maafin Abang tanpa Abang minta." Jihan memotong perkataan Arman, dan menatap prihatin melihat Arman yang tampak lelah dan seperti menanggung beban pikiran. Jihan meyakinkan Arman bahwa dirinya baik-baik saja dan menyuruh Arman untuk fokus pada pekerjaan.
****
Seminggu ini Arman bolak-balik ke rumah sakit, fokus untuk merawat Alif. Bahkan beberapa kali Arman bersikeras menginap dan menyuruh Sherly untuk beristirahat di rumah. Arman mendonorkan darahnya untuk Alif karena kondisi Alif yang kritis dan kekurangan darah. Mereka memiliki golongan darah yang sama.
Alif terkena tipes yang cukup akut sehingga mengalami pendarahan pada saluran pencernaan, yang apabila terlambat penanganan bisa mengancam jiwanya.
" Papa—", Arman yang sedang membalas email yang masuk pada ponselnya di sofa, menoleh dan berdiri beranjak menuju brankar. Arman menggenggam tangan Alif yang terdapat bekas tusukan jarum infus dan tersenyum lembut.
"Mau minum?" tawar Arman. Alif mengangguk. Arman mengulurkan gelas dan membantu Alif minum melalui sedotan. Arman membenarkan posisi bantal Alif agar bisa duduk bersandar dengan nyaman.
"Alif harus makan yang banyak biar cepet sembuh dan kata dokter nanti sore bisa pulang ke rumah. Nanti kita main sama-sama, papa belikan mobil balap yang ada remotnya. Oke?" Arman mengusap pucuk kepala Alif dan mencium keningnya. Alif mengangguk-angguk seraya tersenyum lebar.
Awalnya Alif takut akan kehadiran Arman, tapi rupanya ikatan darah jauh lebih kental. Arman berhasil mengambil hati anaknya, bahkan meminta Alif memanggil papa.
Sherly hanya mengamati interaksi ayah dan anak itu dalam diam sambil memasukkan baju-baju Alif dan merapikan semua barang bawaan yang akan dibawa pulang.
"Sherly, ada yang perlu kita bicarakan." Arman menyuruh Sherly untuk duduk di sofa di hadapannya.
"Kamu pasti tahu bahwa aku akan segera menikah, aku akan bicara perihal Alif pada Jihan. Aku akan bertanggungjawab penuh untuk Alif, jadi kamu nggak perlu khawatir untuk masa depannya. Aku masih berharap kamu mau menceritakan kenapa kamu menghilang tiga tahun yang lalu." Sherly meneguk ludahnya dan tersenyum kaku.
Sampai saat ini Sherly masih menjaga jarak untuk Arman, banyak hal yang terjadi selama tiga tahun ini dan membuatnya trauma.
"Kamu nggak usah repot, aku bisa membiayai Alif. Tapi aku mengijinkan kapanpun kamu mau bertemu dengan Alif." Sherly sadar, Alif membutuhkan figur seorang ayah. Bertahun-tahun hidup sebagai yatim-piatu membuatnya paham akan kerinduan akan keluarga. Sherly tidak ingin Alif mengalami hal yang sama seperti dirinya.
Arman menggeleng melihat Sherly yang masih saja keras kepala seperti dulu, percuma mendebat Sherly sekarang. Mungkin nanti Arman akan bicara lagi dan mencoba membujuknya.
"Aku pergi ke kantor dulu." Arman meninggalkan Sherly dan berpamitan pada anaknya, berjanji akan menjemput nanti sore.
****
Arman menggendong Alif yang tertawa-tawa di pelukan Arman. Sherly mengekori di belakangnya sambil menenteng tas yang berisi baju dan kantong plastik.
Arman membuka pintu di samping kemudi, mendudukkan Alif dan memasangkan sabuk pengaman. Setelah memastikan keamanan Alif, Arman berjalan memutar dan bersiap di belakang kemudi.
"Di mana alamatnya?" Arman menoleh ke belakang arah kursi penumpang. Setelah mendapat jawaban dari Sherly, Arman melajukan kendaraannya ke tempat yang dimaksud.
Memasuki kawasan komplek perumahan sederhana, Arman menurunkan laju kecepatan mobilnya dan berhenti di rumah sederhana tipe 36 yang cukup asri. Rumah bercat hijau muda yang sebagian sudah pudar warnanya.
Arman memperhatikan dari samping Alif yang pulas tertidur, kemudian turun dan menggendong Alif yang masih terlelap. Sherly yang berjalan terlebih dahulu, membuka pintu dan mempersilakan Arman untuk masuk.
Arman mengedarkan pandang ke ruang tamu yang hanya beralaskan karpet dan di pojok ruangan terdapat meja makan kecil dengan dua buah kursi. Tidak banyak perabotan dalam ruangan, tampak beberapa mainan anak-anak tercecer di lantai.
Arman menidurkan Alif di salah satu kamar yang lebih kecil. Wallpaper berhias ruang angkasa menghias dinding kamar dan terdapat keranjang besar yang berisi mainan di ujung ruangan.
"Silakan diminum. Maaf, hanya ada ini." Sherly mengangsurkan sebotol air mineral ukuran kecil di hadapan Arman.
Sembari meneguk air mineral, Arman memindai Sherly yang tampak kikuk sambil meremas ujung bajunya. Selama satu minggu di rumah sakit, Sherly masih menjaga jarak dengan Arman dan hanya berbicara hal-hal yang berkaitan dengan Alif.
"Siapa Virdiano ?" Pertanyaan ini sudah bercokol di kepalanya seminggu ini, dia menahan diri untuk tidak bertanya selama di rumah sakit.
Sherly mendongak, mengerjap dengan pandangan penuh tanya ke arah Arman.
"Siapa Virdiano? Ada hubungannya apa kamu sama dia?" tuntut Arman dengan tidak sabar.
"Mas Virdi, dia ... dia dewa penolong kami. Kami nggak ada hubungan apa-apa," cicit Sherly.
Mata Arman menelisik mencoba mencari kebohongan pada Sherly. Meskipun Sherly tidak mau menjelaskan lebih lanjut tentang pemilik Wedding Organizer, Arman berjanjii akan mencari tahu sendiri kebenarannya.
"Aku usahakan sering berkunjung untuk menemui Alif. Aku harap kamu nggak keberatan." Menghela napas panjang Arman menunggu Sherly yang tidak mengeluarkan suara.
"Baiklah, aku pulang dulu. Sampaikan Alif kalo papanya akan datang besok." Beranjak dari kursi, Arman menuju kamar Alif dan mencium kening anaknya untuk berpamitan.
Begitu Arman melangkah keluar, pintu depan ditutup dengan cepat. Tak lama Arman mendengar lirih suara isak dari dalam.
Menghentikan langkah sejenak, Arman memutuskan untuk meneruskan langkah dan masuk menuju mobil. Sherly membutuhkan waktu, sama seperti dirinya yang perlu memikirkan semua hal yang baru terjadi dalam hidupnya.
Arman memikirkan kembali perasaannya terhadap Sherly, rasa yang dulu menggebu dan kuat bergeser dengan kehadiran Jihan. Rasa nyaman dan ketenangan dia dapat dari pribadi Jihan.
Bersama Sherly dulu hubungannya panas dan menggebu-gebu, pribadi Sherly dulu terbuka dan ceria. Entah mengapa Sherly kini menjadi sosok yang berbeda 180 derajat. Arman menerka apa mungkin ada hubungannya dengan peristiwa tiga tahun silam.
Arman belum tahu caranya menyampaikan kebenaran ini pada Jihan, dia tahu tidak mungkin mennyimpan hal ini terlalu lama.
Suara klakson bersahutan di belakangnya membuat Arman tersadar dari lamunannya. Berusaha fokus pada lalu lintas di hadapannya, memijit keningnya dengan satu tangannya merasakan kepalanya yang terasa berat.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro