10. Fakta Yang Terungkap
♥️♥️♥️
"Pagi, Nduk." Jihan yang sedang menyesap wedang uwuh, terhenti dan melihat Heru yang kemudian duduk di sebelahnya. Jihan menatap cinta pertamanya dengan wajah berbinar.
Jihan mengulurkan wedang uwuh yang masih mengepul ke arah Heru. Heru menerima dengan antusias dan langsung meneguknya perlahan dan meresapi setiap tegukan yang melahirkan sensasi hangat di badan.
Jihan selalu menikmati momen kebersamaan seperti ini setiap pagi dengan ayahnya. Apalagi di waktu libur seperti ini, Heru dan wejangannya adalah hal yang selalu dirindukan Jihan.
Semasa kecil Jihan merasa tidak terima dan marah dengan sikap protektif orang tuanya, lambat laun seiring kedewasaannya, Jihan memahami itu sebagai bentuk kasih sayang Heru dan Ayumi padanya.
"Kamu ingat nggak Nduk, sewaktu kamu masih sekolah banyak teman laki-lakimu yang datang tanya tugas. Halaahh modus kuwi. Setelah temanmu pulang kamu cemberut dan mangkel sama Ayah." Heru terkekeh mengenang masa-masa itu.
Jihan mengenang peristiwa sembilan tahun silam. "Lha gimana nggak sebel kalo ayah nungguin sambil pura-pura baca berita dan tanya jam terus sama Jihan. Ya pasti temen Jihan takut semua." Jihan memukul pelan lengan ayahnya, mereka pun tertawa bersamaan.
Heru menghabiskan wedang uwuh yang tersisa dalam cangkir dan mengambil lumpia rebung buatan Jihan. "Ndak terasa ya, kamu sekarang sudah mau jadi seorang istri. Jadi istri itu harus cerdas, cerdas dalam bersikap dan bertutur kata sehingga lelahmu menjadi lillah. Apalagi kalo sudah jadi ibu, yang hati-hati menjaga lisan karena itu bisa jadi doa untuk anak-anakmu. Yang pinter jaga niat biar jadi berkah." tutur Heru.
"Insyaallah Jihan paham, doakan yang terbaik untuk rumah tangga Jihan kelak." Jihan memeluk Heru dengan rasa haru, sedangkan Heru membelai rambut panjang Jihan dengan kasih.
****
Jihan menatap benda silver yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan Arman untuk menjemputnya. Arman tadi pagi memberi kabar akan ke rumah sakit menjemput Dirga, setelah itu langsung akan ke sini.
Jihan sudah menelepon Arman berulangkali dan hanya terdengar nada sambung. Pesan yang terkirim pun sama sekali belum terbaca.
"Gimana Jihan, apa Nak Arman sudah bisa dihubungi?" Tanya Ayumi yang sudah rapi mengenakan gamis motif floral warna tosca.
"Belum Bunda, Jihan khawatir." Jihan yang tidak bisa menyembunyikan keresahannya berkali-kali mengecek ponselnya.
"Insyaallah Nak Arman nggak papa, mungkin ada keperluan mendadak. Sudah, ayo, siap-siap sana. Bunda tunggu. Kita sudah terlambat janjian dengan pihak butik. Kamu kirim pesan aja suruh Nak Arman langsung nyusul ke sana." Ayumi tersenyum lembut ke arah Jihan berusaha menyalurkan ketenangan.
"Baik, Bunda, tunggu sebentar. Jihan ambil tas dulu ya." Jihan beranjak menuju ke kamarnya.
****
Virdiano berdiri seraya tersenyum melihat kedatangan Jihan dan Ayumi. Mereka sengaja janjian di butik khusus pengantin muslim di Kotabaru, karena ada hal yang harus didiskusikan perihal susunan acara saat akad nanti.
"Maaf, Bang Arman masih ada keperluan, Insyaallah menyusul nanti." Jihan langsung menyela melihat Virdiano yang tampak mencari-cari sosok seseorang di belakangnya.
"Ayo, Bunda, Jihan, kita tunggu di sana. Mbak Ayu baru ada keperluan di dalam." Tunjuk Virdiano ke satu set sofa berwarna hijau muda di sudut ruangan.
Tidak lama muncul Mbak Ayu beserta asistennya dari dalam dan langsung menyapa dengan ramah. Mbak Ayu adalah pemilik butik sekaligus desainer baju pengantin muslim yang ternama di Jogja.
Mbak Ayu memanggil asistennya untuk mengambil sepasang baju pesanan Jihan dan menawarkan untuk mencoba di ruang ganti.
Jihan tampak ragu, Arman yang ditunggu belum juga menampakkan diri. Ayumi yang menangkap kegelisahan Jihan, mengambil inisiatif dan menatap ke arah Virdiano. "Mas Virdi, Bunda minta tolong untuk mencoba bajunya Nak Arman ya. Ukuran badan kalian hampir sama, Bunda rasa tidak masalah lagian waktunya juga sudah mepet."
Bola mata Jihan melebar menatap Ayumi, tidak percaya mendengar permintaan Ayumi yang menurutnya tidak masuk akal. Virdiano terdiam tampak menimbang sesaat dan akhirnya mengabulkan keinginan Ayumi.
"Masyaallah, anak Bunda cantik sekali." Bunda menatap Jihan yang keluar dari ruang ganti mengenakan kebaya putih tulang dari bahan lace dengan detil bordir dan berhias Payet dan Swarovski yang menjuntai. Binar bahagia terpancar dari wajah Ayumi.
Ayumi melambai ke arah Virdiano yang baru keluar dari ruang ganti dan menatap dengan wajah berbinar. "Masyaallah, Mas Virdi! Bunda jadi pangling, ganteng banget! Kok bisa pas sekali pakaiannya, tuh, 'kan bunda bilang juga apa. Ukuran badan kalian sama."
Jihan sontak menoleh dan matanya terpaku pada sosok pria yang berbalut setelan putih itu berjalan pelan dan berdiri tepat di samping Jihan, menghadap Ayumi. Jihan merasa detak jantungnya berhenti sesaat dan wajahnya memerah, Jihan bahkan tidak berani mengangkat wajahnya.
Virdiano menatap perempuan di sampingnya yang tampak canggung dan gelisah, kemudian berbisik lirih, " Kalau kagum ya kagum aja, nggak usah ditahan. Kamu nggak akan kuat."
Jihan mencebik, melirik ke arah Virdiano yang sedang mengulum senyum tanpa dosa, kenapa hati ini berdebar tidak tahu diri. Apa maksudnya coba, berkata seperti itu pada calon istri orang. Dasar !
****
Arman berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup ramai. Pagi ini, Arman berjanji untuk menjemput Dirga pulang dari rumah sakit.
Pagi tadi sebelum berangkat, Arman mengirimkan pesan pada Jihan bahwa dia harus ke rumah sakit untuk menjemput Dirga. Setelah selesai Arman berjanji segera ke rumah Jihan dan berangkat untuk fitting baju terakhir.
Ketika melewati ruang perawatan anak, dari kejauhan Arman melihat sosok yang dikenalnya masuk ke dalam salah satu ruang VIP membawa kantong plastik.
Tanpa dikomando tubuhnya bergerak menuju ruang VIP bernomor dua. Arman tercekat ketika membaca nama pasien yang tertera di papan samping pintu berwarna putih. Ghazy Alif Prasetya, keningnya berkerut kenapa nama belakangnya sama dengan namanya.
Arman berdiri depan pintu yang setengah tertutup, terdengar suara perempuan sedang bicara lewat telepon dengan seseorang.
[Iya, aku nggak apa-apa.]
[Alif masih kritis, butuh tambahan transfusi darah tapi stok di rumah sakit kosong.]
[Di PMI juga kosong Mas, tadi sudah kuhubungi. Aku bingung....]
[Aku nggak mau mas. Aku nggak mungkin minta tolong sama dia.]
[Tapi Arman nggak boleh tahu Alief anaknya.]
Terdengar isak lirih suara wanita dari dalam ruangan.
Arman membuka pintu dihadapannya dengan keras mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Sherly. Wajahnya memerah dan menatap Sherly dengan tajam, rahangnya mengetat tanpa mampu mengeluarkan kata.
Sherly terkejut melihat sosok lelaki di hadapannya, ponsel di genggamannya terlepas menghantam lantai. Badannya luruh ke lantai, tangisnya pecah.
"Apa benar yang kamu katakan tadi?" Arman berjalan mendekati Sherly dan berlutut dihadapannya. Arman menangkupkan kedua tangannya pada wajah Sherly, menyorot tepat di manik matanya meminta sebuah jawaban."Apa benar?"
Sherly tidak mampu berkata, suaranya tertahan di kerongkongan. Arman mengguncang bahu Sherly dengan tidak sabar. "Apa benar? Jawab aku, Sherly!" pekik Arman.
Sherly hanya bisa mengangguk berkali-kali sebagai jawaban, isaknya semakin menjadi sampai bahunya bergetar. Arman segera mendekap Sherly dengan erat, dadanya terasa sesak seakan dihantam beban ribuan ton. Otaknya seakan tidak mampu mencerna kenyataan yang baru saja terungkap.
Mereka berpelukan dalam waktu yang cukup lama, sampai tangis Sherly mereda. Arman kemudian membimbing Sherly berdiri, menggenggam erat tangan Sherly dan berjalan menuju brankar tempat Alif terbaring lemah.
Arman menatap sendu Alif yang tertidur dengan selang infus dan darah yang menancap di kedua pergelangan tangannya, memindai wajah kecil yang tampak lemah dan menatap dengan lekat garis wajahnya yang mempunyai kemiripan bentuk hidung dan mulutnya.
Tangan Arman terulur pelan dan mengusap pucuk kepala Alif dengan lembut, tanpa kuasa menahan bahunya bergetar, tanpa disadari ada yang luruh di sudut matanya.
" Aku seorang ayah..."
Sherly yang berdiri di samping brankar membekap mulutnya, bahunya bergetar hebat dan terisak tanpa suara menyaksikan peristiwa dihadapannya.
****
Catatan :
Kuwi : itu
Mangkel : sebel
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro