𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟖: 𝐃𝐞𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢
Hari kematian Evolet Castia sudah seminggu berlalu, tapi atmosfer South Raven tak membaik sama sekali. Esme pikir, itu lebih buruk. Tak banyak kelakar dan candaan tentang pembunuhan seperti seminggu yang lalu. Aneh menyadari South Raven mulai lengang dan menyatu dengan kesunyian hutan hitam di luar sana.
Sekarang, darah Evolet sudah mengering, tapi lantai kamar asrama masih digenangi darah. Setelah kematiannya, beberapa orang menyusul selepas menerima surat bertinta merah Mortem. Dalam seminggu, totalnya ada empat orang termasuk Evolet telah terpenggal. Tak ada yang benar-benar yakin tentang alasannya lebih-lebih menemukan jawabannya. Pesan di dinding terus mengatakan hal sama, sedangkan penyelidikan yang dilakukan pihak South Raven seperti omong kosong.
Semua tragedi itu membuat Esme memiliki penyakit kepala akut. Hanya dalam seminggu ia kehilangan nafsu makan dan berat badannya. Tak aneh bahwa ia tak terkejut sama sekali mendapati wajahnya yang pucat dan kurus di dalam cermin. Semua perasaan yang ditangkap inderanya membuat Esme hampir gila. Ia seperti dikurung dalam ruang penyiksaan yang merusak mentalnya sedikit demi sedikit.
Ia akan terbangun di tengah malam—sekali pun telah terlelap dengan bantuan obat tidur—tepat di saat aroma darah menguar dan nyanyian gagak mulai bertalun-talun. Seolah Fatum sendiri yang telah membangunkan dan membiarkan dirinya mengetahui setiap pembunuhan yang terjadi. Apa yang dewa takdir itu harapkan dari dirinya? Mengungkap seluruh pembunuhan itu? Menduganya saja sudah terasa merepotkan.
Esme mengembuskan napasnya yang berat dengan kasar. Ia kehilangan fokus dari gerakan bilah Elios dan membuat pria itu turut menghentika ayunannya dengan wajah tak senang. Esme menatapnya dan berkata lemas, “Maaf, Sir. Saya sedikit tidak enak badan.”
“Aku mengerti.” Elios mengakhiri pembelajarannya dan menyarungkan kembali pedangnya. Ia jelas mengetahui bahwa anak didiknya itu tampak tak baik di beberapa hari terakhir. “Kau tampaknya begitu terguncang.”
Mengangkat wajahnya, Esme tersenyum masam. “Ya, rasanya seperti melihat semua pembunuhan itu di depan matak saya.”
Kenyataannya Vitae telah memberikan beban yang terlalu berat untuk gadis itu tanggung. Melihat kebohongan dan emosi itu kemampuan yang bagus, tapi membau aroma kematian yang mencekik itu sebuah kutukan.
"Kau hanya terlalu sensitif.” Elios menimpali, ia duduk di samping Esme yang duduk dengan bahu lemas seolah-olah dapat meleleh seperti lilin kapan saja. “Itu pasti sebuah guncangan yang besar untuk orang normal sepertimu. Yah, ayahmu cukup kejam untuk mengirimu ke tempat macam ini.”
Esme mungkin tak baik-baik saja dengan orang di sekitar asramanya mulai terpenggal satu per satu, tapi ia lebih tak baik-baik saja dengan konsentrasi penuh inderanya. Ia tak tahu berapa lama lagi sanggup menahan semua guncangan itu. Berkah Vitae tak sesederhana itu untuk dapat dikendalikan dan digunakan sesuka hati. Lebih-lebih Esme yang tak mengetahui dasar-dasarnya sama sekali.
“Maaf, Sir. Saya akan lebih fokus besok.”
Elios menggelengkan kepalanya, menaruh simpatinya pada Esme. “Tidak. Istirahatlah besok dan temui aku saat kau benar-benar sudah yakin.”
Esme mengangguk sebelum beranjak meninggalkan lapangan. Ia mencengkeram sarung pedang dengan jari-jarinya selagi menjelajah koridor yang sepi. Hanya ada ubin-ubin kusam dan kandil-kandil berkarat tanpa tanda-tanda kehidupan. South Raven mulai lengang setelah pembunuhan itu bertautan dan terus berlangsung seperti wabah. Orang-orang mulai meninggalkan South Raven selagi mereka mampu.
Bahkan, Elyza pun sudah meninggalkan tempat itu sejak dua hari yang lalu. Ia sempat bersikap aneh dan Esme membau sedikit kebohongan dari kalimatnya. Esme memang tak tahu banyak hal tentang Elyza, tapi melihat kebohongannya adalah suatu hal aneh bagi Esme. Ia seperti tengah menutupi sesuatu yang krusial bagi dirinya. Ah, tapi Esme pun tak berniat menyelidikinya lebih lanjut. Kasus pembunuhan itu sudah cukup membuatnya sakit kepala. Lagi pula, Elyza sudah tak ada di sini.
Melihat orang-orang mulai pergi, Esme pun turut ingin angkat kaki dari tempat yang mengikis kewarasannya. Namun, surat yang ia kirimkan pada rumahnya belum mendapat balasan. Surat yang ia tulis untuk ayahnya dikirim oleh merpati pos tiga hari yang lalu, saat atmosfer mencekik South Raven berada di puncaknya. Itu sudah beberapa waktu dan sudah cukup bagi surat balasan atau kereta kuda yang menjemputnya datang.
Nyatanya, tak ada tanda-tanda keluarganya seolah surat itu tidak pernah diterima sama sekali. Esme hanya berharap surat itu tidak tak terkirim atau berakhir di cengkeram tangan Marchioness Collins. Sudah cukup baginya menjalani hukuman di South Raven selama musim gugur dan karena kekacauan seharusnya tak masalah jika kepulangannya dipercepat. Entah kenapa Esme merasa bahwa sejak awal kelurganya tak akan menjemputnya pulang.
Esme mengelus dadanya yang berdebar-debar. Itu kerap terjadi saat ia terlalu memikirkan tentang beberapa kecemasannya dan semakin parah setiap harinya. Kenapa ingatan tentang kecemasannya sangat sulit dicegah untuk terpikirkan?
Angin akhir musim gugur berhembus melewati Esme saat gadis itu melangkahkan kakinya di antara jalan bebatuan menuju gedung utara. Pohon apel di dekat sana—yang ia rasa tak pernah berbuah—sudah menanggalkan keseluruhan daunnya. Sementara beberapa ekor gagak bertengker di rantingnya yang tampak mirip seperti cakar monster yang hendak bangkit dari tanah. Gagak-gagak itu berkoak, membuat kebisingan. Koakannya yang lantang itu seolah menyiar sebuah kabar yang tak pernah Esme tahu isinya. Yang pasti, salah satu dari lima simbol Mortem itu selalu menjadi simbol petaka. Betapa mengerikannya.
Saat tiba di ruang makan untuk makan siang, Esme mendapati Edna duduk di bangku biasanya. Sosok Elyza yang menghilang dari sisinya membuatnya tampak seperti gadis kesepian yang menyedihkan. Ya, Esme mendapati emosi kekecewaan Edna saat Elyza pergi, tapi itu bukan perbuhana emosi yang drastis, seolah hal yang menimpanya adalah angin lalu. Bahkan, kalau ditelisik lebih jauh, gadis itu sama sekali tak mencemaskan tentang pembunuhan yang berlangsung baru-baru ini.
“Kau hampir menyelesaikan makan siangmu. Bagaimana aku bahkan dapat menyusulmu?”
Edna menarik ujung bibirnya. “Aku akan menunggumu. Setidaknya aku juga harus memastikan piringmu betul-betul bersih.” Ia tertawa, sangat tahu bahwa gadis berambut hitam di depannya selalu bermasalah dengan makanannya. “Kau selesai lebih awal. Kupikir Elios Robane betul-betul menyukaimu.”
“Ya, hari ini aku mendengarnya menghela napas sepanjang waktu.” Esme tersenyum getir. Ia melahap makanannya tanpa memedulikan rasanya lagi.
“Kau harus mengatur ulang pola tidurmu.” Edna lantas merapikan alat makannya sebelum melanjutkan. “Peraturan baru South Raven untuk mengisi satu kamar asrama setidaknya dengan dua orang berlaku hari ini, bukan? Tidurlah di kamarku. Kupikir bagus untukmu memiliki teman sekamar.”
Esme mengangguk-angguk. Ya, mungkin keberadaan orang lain di sisinya saat malam menjelang bagus untuk menghilangkan kecemasan. Ia juga harus mengatur ulang jadwal tidurnya karena sudah begitu berantakan selama seminggu terakhir.
Pisau di tangan kanan Esme tergelincir saat mencoba memotong daging sapi alot di atas piringnya. Bahkan hari ini juga tak dimasak dengan baik. Ia hanya berharap sapi itu tidak dibunuh secara kejam, sebagaimana ia diperlakukan setelah dirinya menjadi onggokan daging.
“Sudah ada balasan dari keluargamu?” Edna mengalihakn pembicaraan saat Esme malah mulai mengasihani daging sapi di piringnya. Esme menggeleng dan Edna—yang telah mendengar alasannya berada di South Raven—membuang napasnya kasar. “Jangan terlalu mencemaskannya, itu mungkin sedikit membutuhkan waktu untuk menjemputmu. Wilayah tengah sangat jauh dari perbatasan dan hutan hitam punya medan yang buruk. Semuanya pasti baik-baik saja.”
Semua pasti baik-baik saja. Ya, Esme harap begitu. Tapi kecemasannya bukan omong kosong yang lalu begitu saja. Instingnya jadi begitu kuat setelah kemampuan yang diturunkan kepadanya berada di titik puncak. Semakin sulit baginya untuk mengabaikan itu.
Pandangan Esme beralih pada langit redup di luar jendela. Ia sudah tak begitu nyaman di South Raven, bahkan sejak awal kenyamanan itu tak pernah ada. Rasanya ingin melompati dinding pembatas area South Raven dan menghabur ke pelukan hutam hitam. Namun, belum lama ini sekelompok siswa South Raven yang kabur ditemukan tak bernyawa dengan keadaan mengenaskah di tengah hutan dan satu orang yang selamat menjadi tidak waras.
Tak ada yang benar-benar tahu, apa yang kelompok mereka temui di dalam hutan. Hal yang membuat seorang remaja dengan riwayat kriminal kehilangan kewarasan pastinya suatu hal besar. Hal itu cukup menyadarkan sisi waras Esme, bahwa bukan hanya ada bandit atau hewan buas di luar sana. Itu bukan medan yang mampu Esme jelajah seorang diri.
Keriuhan di meja seberang mengambil alih fokus Esme. Sekelompok orang tengah terlarut dalam obrolan asyik mereka sendiri tanpa memperhatikan seberapa berisiknya mereka. Orang-orang itu berkumpul dengan seorang laki-laki bersurai pirang sebagai pusatnya.
“Apa yang sebenarnya mereka bicarakan.” Esme mencubit daun telinganya, merasa tak nyaman dengan keriuhan itu.
“Oh, mereka organisasi keamanan baru yang dibentuk Dior Elgas. Mereka menyebut diri mereka Raven Knights. Katanya misi mereka untuk memecahkan kasus pembunuhan berantai ini.”
Mendengar penjelasan Edna, Esme mengalihkan pandangannya pada kelompok itu sekali lagi. Kini ia terfokus pada laki-laki bersurai pirang yang tampak mencolok di antara semuanya. Dia pastinya orang yang dipanggil Dior. Kalau tidak salah, Esme pernah mendengar tentang dirinya beberapa waktu lalu karena kemampuan pendengarannya yang sulit dikendalikan.
Ia mendengar seseorang membicarakan tentang pangeran dari Kerajaan Nerine yang memimpin aksi kudeta. Sulit dipercaya bahwa seorang pangeran berusia belasan mampu mengendalikan satu legiun pasukan pemberontak. Kabarnya gerakan kudeta itu gagal, banyak orang mati, tapi sebagaimana hukum yang disepakati di benua South Magnolia, seorang anak di bawah umur memiliki sejumlah hak yang membuatnya terlindung dari hukuman mati.
Kini, ia memang terbebas dari eksekusi pemenggalan kepala, tapi dia kehilangan kewarganegaraan dan statusnya sebagai pangeran. Banyak orang penasaran kenapa ia berada di South Raven. Rumor mengatakan, bahwa dirinya tengah menghimpun pasukan baru.
Esme memperhatikan wajah Dior untuk beberapa saat. Sebagai seukuran pemimpin pasukan pemberontak yang mampu memberikan ancaman pada kerajaan besar seperti Nerine, bukankah laki-laki itu tampak terlalu biasa saja. Maksud Esme, bahkan warna yang menempel padanya sepanjang waktu tampak terlalu terang dan murni untuk seseorang dengan hati gelap. yah, kecuali sedikit sikap sombong dan terlalu percaya dirinya itu perlu sedikit dibendung.
“Aku … sedikit kurang yakin.”
Edna menolehkan kepalanya dan menatap arah yang dituju Esme. “Yah, karena pihak South Raven tak mendapatkan kemajuan dalam penanganan kasus ini, bukannya orang lain harusnya bergerak.”
Esme mengangkat bahunya. “Entahlah, Ed. Firasatku mengatakan mereka tak akan berhasil. Bahkan jika salah seorang dari mereka pemecah teka-teki ulung. Kupikir pihak South Raven tengah menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang bahkan orang seperti mereka tak dapat mencapainya.”
Bibir Edna kembali terangkat, anehnya Esme merinding melihatnya. Ia sempat tersentak sebelum menggosok lengannya.
“Yah, entah bagaimana kau menaruh kepercayaan pada mereka. Aku hanya berharap semua baik-baik saja.”
Semua akan baik-baik saja karena Esme akan meninggalkan South Raven sesegera mungkin setelah keluarganya mengirim kereta kuda. Ia pun tak berniat untuk kembali ke tempat muram ini selama sisa waktu yang dapat ia miliki.
“Ah, aku merasa aman karena hari ini Raven Knight mulai bertugas.” Edna menenggelamkan dirinya ke dalam selimut. Ia tertawa, tapi Esme tahu kalimatnya bualan belaka.
Esmee menelan pil obat tidurnya sebelum naik ke dipan tempat Elyza sebelumnya tidur. Ia masih merasakan aroma tubuh Elyza yang sangat ia kenal. Aneh saat menyadai ia sudah benar-benar tak ada di tempat ini. Suaranya yang ceria dan penuh sorakan masih membayang-bayangi Esme. Gadis itu membenarkan bantalnya sebelum berbaring menghadap di langit-langin, dimana lampu tidur di nakas membuat bayang-bayang aneh. Sesuatu seolah bersembunyi di sana dan menunggu waktu untuk menerkam.
“Aku mengantuk, tapi sulit untuk tidur.” Esme berguling, menatap Edna di seberang dipannya.
“Atur napas dan tutup matamu. Jangan pikirkan apa pun, jika itu hanya membebanimu.” Edna menjawab tanpa membuka matanya. Sejenak, suaranya terdengar seperti orang melantur. Mungkin ada baiknya untuk Esme agar tak menganggunya. Edna yang tak memiliki kecemasan itu pasti tak betah meladeninya sepanjang malam.
Esme mengembuskan napasnya lewat mulut. Masih ada tiga jam lagi untuk mencapai tengah malam. Ia seharusnya tidur dan tidak memikirkannya sama sekali. Belum tentu malam ini akan terjadi lagi. Dan lagi pula, siapa tahu pembunuhan terakhir kali benar-benar menjadi yang terakhir. Semua itu mungkin saja. Namun, tak dapat mencegah Esme untuk terus memikirkannya. Kenapa ia sulit melepasnya seolah itu benar-benar akan menjemputnya? Ia membalikkan badan sekali lagi sebelum menguap. Obat tidurnya mulai bereaksi dan menariknya ke dalam kegelapan.
Malam menjadi terlalu singkat saat Esme tak memimpikan apa pun. Tidurnya seolah hanya sebuah kedipan mata. Kegelapan di mana semua pikirannya menghilang, lalu terbangun di penghujung waktu yang berbeda.
Dentuman di dada Esme menghentak-hentak saat ia terbangun dari tidurnya. Itu tepat tengah malam. Tubuhnya seperti di atur untuk bangun di waktu yang sama. Samar, keriuhan mulai terdengar di koridor luar, di mana hawa keberadaan orang-orang mulai terasa menguat. Ia terhenyak saat aroma anyir yang kuat terendus oleh penciumannya.
Esme menghela napas, mengacak rambutnya sebelum tersenyum getir. Bukannya seharusnya ia tak perlu terkejut lagi. Ini akan menjadi rutinitas selama ia masih menyandang kewarasan dan inderanya belum lumpuh. Fatum masih mengasihinya.
“Apa lagi sekarang.” Esme mendengar Edna menyingkap selimut dan membuat dipannya yang sudah tua berderit. Ia merutuk mendapati dirinya terbangun oleh bising di luar sana.
Esme tersenyum padanya. Wajahnya pucat, seperti waktu-waktu sebelumnya saat ia mulai mencium bau anyir darah. “Kupikir kau masih merasa aman. Raven Knights mulai bertugas malam ini.”
“Kupikir kau mulai tak waras, Esme. Kau mampu bercanda saat ini?” Edna memutar telunjuk di sisi kepalanya. Ia menurunkan kakinya yang telanjang ke atas lantai lantas menghampiri pintu setelah melingkupi dirinya dengan blazer tipis. Beberapa orang melintas di depan pintu dengan buru-buru. Beberapa di antaranya adalah anggota Raven Knights. Esme tak perlu mencari tahu karena jawabannya tepat diteriakkan indera-inderanya. Kelompok orang yang datang dengan misi heroik itu gagal di hari pertama mereka.
Esme menjatuhkan dirinya kembali ke pelukan kasur di bawahnya. Di mana kenyamanan yang seharusnya melarutkan dirinya dalam mimpi terasa seperti tumpukan kain gatal yang membuatnya iritasi. Sementara Edna mencari tahu kabar di luar sana, Esme berusaha mematikan penciumannya sesaat. Hal yang diusahakannya seperti kemustahilan besar. Menutup hidungnya hanya membuatnya sesak napas. Jika saja ia tahu tombol untuk mematikan inderanya.
“Ini membuatku gila.” Edna muncul di balik pintu. “Kenapa terus membuat keributan seperti ini?”
“Malam ini siapa?”
“Seorang laki-laki di kamar tiga nomor dari sini.” Edna menjawab dengan kesal lantas melingkupi dirinya kembali dengan selimut.
Esme memperhatikan sikap tenangnya. Ia kesal karena tidurnya terganggu oleh suara di luar sana. Lihat, di bahkan tak tampak cemas atau ketakutan sama sekali. Ketenangannya membuat Esme bertanya-tanya, sebagaimana lidah gilanya saat melahap makanan Sout Raven.
“Kembalilah tidur, Esme.”
Esme tertawa mendengar kalimat Edna. “Ya, Raven Knights akan mengurusnya. Kau akan merasa aman.”
“Berhenti mengejekku, Esme! Itu hanya bualan.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro