𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟔: 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧
Angin malam akhir musim gugur berhembus, menyusupi jubah gelap sesosok misterius yang hampir menyatukan dirinya dalam kegelapan. Wajahnya tersembunyi di balik topeng yang siapa pun tak berminat menatapnya untuk waktu lama. Topeng itu mengisyaratkan, bahwa dirinya bukan sosok yang ramah lebih-lebih membawa berita gembira. Sementara bulan membasuhnya dengan cahaya remang, ia bergeming di atap bangunan South Raven sembari mengedarkan pandangannya. Maniknya yang sewarna mirah mengamati dengan saksama, seolah tak akan melewatkan serangga terkecil pun di hadapannya.
Gagak-gagak yang penasaran oleh kehadirannya mulai mendekat, bertengger dengan mata jelaga yang penuh rasa ingin tahu. Namun, bukannya berkoak ricuh seperti yang sudah-sudah, mereka tenang dalam gerakan-gerakan halus. Seolah-olah, mereka datang hanya untuk memberi salam pada sosok dalam jubah itu tanpa mengusiknya sama sekali. Mereka tampak berbaur dengan cara yang tak dapat dipahami.
Sosok itu mengedarkan pandangannya sekali lagi dan mendapati cahaya chandelier merebak menembus kaca jendela lebar di gedung sebelah utara. Orang-orang masih berada di sana, berkerumun dengan baki-baki logam yang berkelotak. Bising. Hampir terdengar seperti sekumpulan massa yang hendak berperang dengan bilah-bilah besi di tangan mereka. Siapa pun tak akan menyangka, bahwa di tengah hutan hitam yang sunyi, ada tempat sebising South Raven. Suara kelakar dan seru-seruan riuh itu bahkan tampak tak cocok sama sekali. Lebih terdengar masuk akal jika yang terdengar adalah ratap tangis dan jeritan.
Terlebih, South Raven bukanlah tempat untuk bersenang-senang atau menghabiskan waktu remaja. Hanya orang sinting yang datang jauh-jauh kemari hanya untuk belajar, sedangkan di luar sana banyak akademi kelas atas berlomba untuk mencetak generasi-generasi emas. Yang dilihat olehnya atas sebentang tanah dengan bangunan-bangunan tua itu hanyalah sarang sekumpulan pendosa, para pebisnis dunia gelap, kriminal, dan manusia-manusia busuk lainnya. Tempat penjelmaan yang penuh muslihat. Tempat yang amat memuakkan.
Kedatangan dua sosok lain dalam balutan yang sama membuat para gagak menyingkir dengan kebisingan. Seolah menyuarakan tolakan atas kehadiran mereka.
"Bukannya kau datang terlalu awal, Phantasm?" Salah satu dari kedua sosok itu bersuara, ia seorang wanita dengan aksen wilayah timur Freesia yang khas. Wajahnya tersembunyi dalam topeng bermotif rumit, tapi seseorang yang dipanggilnya Phantasm itu mengenalinya seperti mengenali telapak tangannya sendiri, Hilde.
Phantasm tak merespon pertanyaan Hilde. Ia hanya berbalik dan menatap mereka berdua tanpa kata. Seperti hal biasa yang ia lakukan. Orang lain mungkin mengiranya bisu, tapi Hilde mengenalnya cukup baik.
"Kau sudah membaca laporan kami dengan benar, bukan?" sosok yang lain, Hawk, bertanya dan hanya ditanggapi anggukan samar. Ia mengenal Phantasm cukup lama, tapi selalu merasa canggung untuk bertukar kata. Kalimat panjangnya akan selalu berakhir sia-sia dengan balasan singkat atau anggukan.
"Eksekusi dimulai tengah malam dan kau harus melakukannya dengan rapi. Seperti yang kau tahu, Marshall tak menyukai kesalahan." Hilde menghela napasnya panjang, merasa pengap terus bernapas di balik topengnya sepanjang waktu. "Yah, walaupun aku tak perlu mengkhawatirkanmu sebagai pengeksekusi yang andal."
"Aku mengerti." Phantasm akhirnya menjawab dengan singkat. Hampir terdengar seperti kalimat penutup dan tampak tak berniat untuk bicara lebih banyak.
"Kami selesai di sini. Semuanya milikmu untuk beberapa hari ke depan. Semoga beruntung."
Tak lama setelah Hawk menutup kalimatnya, mereka berdua menghilang dalam sekejab, tertelan oleh tirai sihir yang tipis. Sedangkan Phantasm kembali membuang tatapannya pada bangunan bedegab berdinding hitan. Hanya beberapa jam lagi sebelum tengah malam. Ia menggeggam gagang pedang hitam yang tergantung di pinggangnya erat. Sarungnya yang tebal dan berlapis mantra pun tak sanggup meredam kekuatannya yang luar biasa. Ia sempat bergetar, menguarkan aura yang menekan, seolah berusaha mendorong sang pemilik untuk menghunuskannya dan mulai menggila. Namun, Phantasm hanya menghela napas, tak mengindahkannya sama sekali. Memuaskan dahaga pedangnya sembarangan hanya akan membuatnya gila.
Phantasm merapatkan jubahnya, menghalau cahaya bulan purnama menyorot topengnya. Sebelum akhirnya melompat, menyatu dengan udara, dan bergerak dengan cepat untuk berpindah. Cepat dan tenang hingga orang lain tak akan menyadari kehadirannya.
Satu bulan pertama Esme di South Raven sudah berlalu, tapi ia belum juga terbiasa dengan makanan bercita rasa ganjil di bakinnya. Sekali pun tampilannya sedikit cukup pantas untuk dilihat, rasanya sama sekali tak lebih baik. Ia penasaran, butuh berapa lama lagi menjadikan lidahnya kehilangan kemampuan untuk merasa?
Untungnya, bulan ini adalah akhir musim gugur. Dalam waktu dekat, musim dingin akan datang. Itu sama halnya liburan dan pulan ke Glorion dengan suka cita. Ia sungguh telah melupakan aroma kamarnya sendiri.
"Aku harap musim dingin lekas datang." Esme bergumam, memandangi Bukit Aphony dari tempatnya duduk. Sedangkan tangannya memutar garpu, tanpa minat pada makan malamnya seperti yang sudah-sudah.
"Hmm, yang kau harapkan itu liburan, bukan?" Edna bersuara di sisi lain. Ia hampir menuntaskan makan malam dengan kemampuan lidah luar biasanya.
"Siapa yang tak menginginkan liburan?" Elyza tertawa. "Aku pun ingin pulang dan tidur di kamar yang kurindukan. Kau tahu, ranjang asrama mulai membuatku gatal-gatal."
Esme mengangkat bibirnya. Ia tak dapat mengira bahwa hari-hari neraka di South Raven tak begitu buruk sampai-sampai membuatnya frustasi. Jika ia menutup mata dan mengabaikan semua keganjilan, ia akan mendapati kehidupan asrama yang normal. Kecuali ketika semua inderanya dalam konsentrasi penuh. Semua anggapan normal itu lebur sia-sia dalam sekejab.
Gadis itu tak ingat kapan tepatnya terjadi. Namun, kemampuan inderanya betul-betul berada di titik puncak seperti kata Roland, sampai-sampai membuatnya kewalahan. Emosi banyak orang bisa ia lihat dalam satu waktu dengan warna-warna yang semakin banyak, bahkan kadangkala menyatu satu sama lain hingga sulit ditafsirkan. Semua gumaman orang-orang yang berada dalam satu tempat tiba-tiba terdengar dengan begitu jelas, seperti diteriakan keras-keras. Selama seminggu pertama mendengarnya, Esme terjaga sepanjang malam. Seperti halnya gumaman orang-orang kurang waras, yang ia dengar bukanlah sebuah angin lalu yang dapat dilewatkan begitu saja. Semua gumaman itu sinting sampai bulu romanya meremang.
Bahkan, kini, ia dapat merasakan aura keberadaan seseorang tanpa melihatnya, yang malahan membuatnya insomnia karena merasa gelisah dengan semua orang yang melintas di depan pintu kamarnya. Belum lagi bau-bau asing yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Semua yang tertangkap penciumannya bukanlah aroma dari sesuatu yang terlihat. Ia tak tahu hal macam apa itu. Baunya terkadang terasa manis kadang pula terasa mencekik.
"Ada apa?" Suara Edna membuyarkan pemikiran Esme, tapi ia hanya menanggapinya dengan gelengan semata.
Manik zamrud Esme berkilat oleh pendaran chandelier besar ruang makan. Ia mengamati Edna dalam diam, mencoba mencari tahu makna paduan warna gelap yang melingkupinya. Kini, bukan hanya emosi atau kebohongan, dalam penglihatan Esme, setiap orang memiliki warna tetap yang menempel padanya sepanjang waktu. Seperti Elyza yang selalu dilingkupi pendar kuning keemasan, atau Edna yang penuh oleh warna-warna gelap misterius. Esme tak tahu maknanya dengan pasti, sedangkan rasa penasarannya memburu. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Glorion, mengakui berkah Vitae itu kepada sang ayah, dan mempelajarinya sedalam mungkin. Ia lebih penasaran dengan reaksi sang ibu daripada kemampuan matanya sendiri.
Karena terlarut dalam pikirannya yang panjang, terlintas pemikiran lain di kepala Esme. Ia menatap kedua temannya dengan gumaman, "Takdir Fatum itu benar-benar tak tertebak, ya."
Yang sungguh ingin Esme katakan adalah mengapa dewa takdir itu senang sekali membolak-balikkan jalan hidup seseorang dengan sesuka hati. Maksud Esme, harinya di South Raven betul-betul tak terkira. Pagi yang baik tak akan berakhir dengan tenang di malam jua. Apalagi, berada pada satu lingkup dengan orang-orang yang mayoritas tidak suka beramah-tamah dan apatis. Pun banyak kejutan yang kadang kala membuat Esme hampir kehilangan kewarasannya. Setidaknya ia masih sadar diri sebagai putri marquess dan menjaga etiketnya dengan baik. Ia tak pernah tahu bahwa nama belakang yang tersemat padanya bisa menjadi sebuah beban berat.
Elyza menatap Esme sejenak, tapi lantas menanggapi dengan antusias. "Oh, tak hanya Fatum. Bukankah Vitae dan Mortem juga begitu? Semua dewa itu sama saja." Ia menusuk sayur rebusnya dengan garpu sebelum mengunyahnya seperti seeokor kelinci.
"Aku hanya penasaran." Esme membuang tatapannya pada bulan purnama di balik jendela. "Kemana utas-utasku terjalin."
"Itulah yang menyenangkan dari kehidupan, Esme. Kau bisa menjalaninya dengan tenang tanpa tahu hal buruk apa yang akan menghadangmu di depan sana." Edna melipat lengannya, tampak menjadi juara atas kecepatan makan antara mereka bertiga.
"Bukankah akan lebih menyenangkan kalau tahu? Kita bisa menghindari hal-hal buruk," sangkal Elyza.
"Ah, entahlah. Berhenti mengkhayalkan hal-hal tidak berguna dan jalani hidupmu." Edna menghela napas, menjeda sebelum melanjutkan, "lagi pula, aku tidak suka pelajaran teologi karena aku pun tak percaya pada dewa."
Esme menatap Edna dengan kerutan di dahinya. Tampak mengharapkan perempuan itu mengulang perkataannya sekali lagi kalau-kalau ia salah dengar. "Sungguh?"
Edna mengangguk, sedangkan Elyza menyilangkan tangannya dengan panik. "Jangan dengarkan dia, Esme! Dia bukannya ateis, tapi agnostik."
"Siapa yang kau sebut agnostik."
"Tentu saja itu kau."
Esme menggelengkan kepalanya selagi kedua temannya beradu mulut. Ia mengaduk-aduk teh dalam gelasnya yang berwarna pekat, tanpa minat untuk mencicipi rasanya yang sepat dan asam. Kini ia merasa begitu merindukan rumah. Duduk di ruang tengah, tepat di sofa yang menghadap langsung ke perapian di akhir musim gugur. Aroma kue-kue manis, secangkir teh berkualitas tinggi, dan kelotak bidak di atas papan kotak-kotak. Ia merindukan suasana di mana ia dan ayahnya menjalin hubungan sepantasnya ayah dan anak. Apakah aneh kalau kini ia pun merindukan tatapan tak bersahabat ibunya juga tingkah menjengkelkan Beatrice?
Entah kenapa itu semua menjadi terasa jauh untuk diharapkan.
Sekelebat banyangan melintas cepat di balik jendela membuat Esme terperanjat. Ia membuang pandangannya pada jendela dengan mata menyipit. Jantungnya berdebar, seperti gendang yang ditabuh bertalu-talu. Mengumbar perasaan aneh yang mengganjal dadanya. Sekonyong-konyong, tubuhnya dirambati gelenyar aneh. Ia menggigil untuk alasan tidak pasti. Itu sebuah perasaan yang tak dapat ia lukiskan dengan kata-kata. Kata ngeri pun tak cukup untuk menggambarkannya. Penciuman Esme turut menangkap aroma yang mencekik. Seolah aroma yang tercium itu menyumbat kerongkongannya.
Esme menarik napasnya dengan susah payah sebelum beranjak dan bicara dengan suara bergetar. "A-aku merasa tidak enak badan."
Edna yang tak begitu memperhatikan gelagat Esme ikut beranjak. "Ya, aku pun juga akan pergi."
"Jangan tinggalkan aku." Elyza melahap sayur terakhirnya dengan cepat dan merangkul Esme. "Ngomong-ngomong wajahmu agak pucat."
"Aku baik--" Suara Esme tersekat saat aroma itu terasa makin kuat, mencekam merihnya. Dadanya bergemuruh, membuat keributan di balik kerangka rusuk. Aroma itu menguat dan terasa dekat. Ia mengedarkan pandangan seperti orang kehilangan arah sebelum jatuh pada seorang perempuan berambut gelap yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Aroma itu berasal darinya. Perasaan ngeri tadi telah menghilang hingga tak bersisa, tapi aroma itu sangat kuat hingga membuatnya sesak.
"Esme, kau sakit?" Edna berhenti melangkah saat menyadari Esme berhenti dan tampak lunglai. Sedangkan gadis yang ditanyainya hanya terdiam seolah kehilangan kata-kata. Jemarinya mencengkeram leher dengan wajah memucat.
"Sebaiknya kami mengantarmu sampai kamar."
Tepat tengah malam, menara jam South Raven berdentang 12 kali. Dentangnya menggelegar, menusuk-nusuk pendengaran mereka yang terbuai dalam tidur. Hari baru saja berganti, tetapi Esme bahkan belum dapat menidurkan dirinya sama sekali. Ia berbaring terlentang sembari menatap langit-langit, sedangkan jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka membawa angin malam masuk dengan sejuta kabar tak tertafsirkan. Suara koakan gagak, lolongan anjing di kejauhan, serta seranga-serangga malam turut terdengar turut membuat kantuk Esme hengkang entah ke mana.
Esme membangunkan tubuhnya paksa dengan desahan napas panjang. Debaran di dadanya belum juga mereda. Rasa gelisah dari hal yang tak diketahui membuat kantuk enggan datang. Malam pun menahannya untuk tetap terjaga, seolah hendak memberikan jawaban atas apa yang ia rasakan.
"Fatum, sebenarnya apa yang hendak kau sampaikan?"
Ia akhirnya beranjak, hendak menutup daun jendela. Namun, ia terhenti, sekadar menatap bulan purnama dan Bukit Aphony yang menjelma menjadi siluet gundukan tanah raksasa. Ah, gagak-gagak pun belum berhenti untuk membuka paruh mereka dan berseru keras-keras. Sebetulnya apa untungnya bagi mereka untuk membuat keributan sepanjang malam?
Angin malam yang berhembus melewatinya membuat Esme menggigil. Rasa cemas membuatnya tak dapat membedakan apakah dirinya menggigil oleh hawa dingin atau oleh kengerian. Memikirkannya saja sudah membuatnya makin frustasi. Ia akhirnya menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, lengking jeritan yang dibawa angin di luar sana membuatnya bergeming. Jantungnya memompa darah lebih cepat, membuat keributan di balik kekangan rusuknya hingga nyeri. Gagak-gagak pun makin terdengar ribut, terbang mengitari bangunan-bangunan South Raven seolah tengah menyiar kabar. Hingga akhirnya, sebuah aroma anyir yang begitu pekat menyendat pernapasan Esme. Aroma itu memberinya jawaban bahwa Mortem baru saja membawa seseorang pergi dengan cara yang kejam. Kepekaan inderanya memberi dirinya gambaran tanpa melihatnya secara langsung.
Kedua kaki Esme melemas dan tubuhnya merosot seperti lilin yang meleleh oleh api. Ia duduk bersimpuh dengan mengatur napasnya susah payah. Bau anyir yang ditangkapnya begitu kuat hingga membuat asam lambungnya naik ke kerongkongan. Bahunya bergetar hebat. Tubuhnya menegang seolah menyaksikan sebuah pembantaian di depan matanya sendiri. Itu akan jadi malam paling buruk yang pernah ia lewati.
Namun, ia tak tahu, segala hal dapat semakin memburuk sejak malam itu.
Note:
Aku kembali :')
Aku tak ingin membicarakan alasanku begitu lama karena kalian pun mengerti aku begitu bermasalah dengan kontinuitas update konsisten dan tepat waktu.
Ini mungkin sulit, tapi aku akan berusaha update seminggu sekali antara Sabtu, Minggu, atau Senin. Jadi, tolong ingatkan aku :')
(Ngomong-ngomong, aku mengganti banner dan pembatasnya karena warna merah terlalu mencolok ( ^∇^)
Yah, aku hanya ingin bilang,
Mari mulai masuk ke inti ceritanya
(^v^)
Salam, AleenaLin
27-7-20
Nb:
Aku juga membuat sesuatu yang tidak berguna (─‿─)
Ini Esme ngomong-ngomong, tapi aku tak bisa menggambarnya dengan benar. Aku pun ragu untuk memperlihatkannya di sini
(゚∀゚ )
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro