𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟏𝟕: 𝐊𝐞𝐡𝐞𝐧𝐝𝐚𝐤 𝐀𝐥𝐚𝐦𝐢
“Aku baru meninggalkanmu beberapa jam dan Mortem sudah melambaikan tangannya kepadamu lagi.”
Mata Evelyn menyipit, melirik Esme sejenak sebelum teralih kepada sebuah jarum dan benang di tangannya. Gadis Collins itu sendiri tak dapat berkata-kata, lebih memilih mengalihkan netranya kepada rak kayu ketimbang luka robek di pergelangan tangan kiri. Rubis duduk tak jauh dari sana, memperhatikan dalam ekspresi yang tak dapat dibaca. Entah itu sebuah ekspresi bersalah atau tidak acuh sama sekali. Hal yang pasti, Esme ingin memukul kepala pemuda itu sekali.
“Dan kau, Ru!” Keganasan tatapan Evelyn beralih pada Rubis, seolah hendak menerkamnya kala itu juga. “Jangan menyayat pergelangan tangan seseorang sembarangan.”
Esme tersenyum masam, hendak membuka mulut. Namun, urung lantaran tersentak oleh tusukan jarum di kulitnya. Ia berharap syarafnya mati untuk sejenak atau jatuh dalam ketidaksadaran. Evelyn sengaja untuk tidak membiusnya karena hendak memberinya sebuah pelajaran. Sebut saja dirinya telah mengabaikan pesanan terakhir perempuan itu untuk tidak banyak bertingkah. Gadis yang menerima berkah Vitae itu pada akhirnya harus menggigit bibirnya sendiri selagi rasa sakit merambah dari lengan kiri.
Fatum, sungguh, ini jalan yang kejam. Esme tak dapat berbuat banyak, tapi ia rasa Dewa Takdir sedang mempermainkannya. Ia hanya pergi menjelajah halaman sejenak lalu berakhir dengan luka sayat sepanjang dua senti di pergelangan tangan.
Karena bosan dan rasa ingin tahunya, Esme berniat melihat-lihat Byron’s Villa. Salju yang berderai dari bentang langit mendung lagi suhu udara yang menukik turun tidak menghalangi niatnya. Lagi pula, apa yang salah dengan halaman depan yang terlindung oleh tembok tinggi dari keganasan Hutan Hitam? Geia sangat padat dan rapat, hampir tak memberi Esme ruang untuk bernapas. Hampir sebagian besar darinya datang dari kubah tak kasat mata yang menyelubungi Byron’s Villa.
Gadis Collins itu perlahan mengerti mengapa tak pernah ditemukan jejak keberadaan yang jelas tentang Black Orchid. Orang tak akan menemukan mereka sekali pun telah mencermati setiap inci bagian hutan. Byron’s Villa tersembunyi dalam barrier sihir tingkat tinggi. Hampir membuat keberadaannya menjadi sebuah ilusi semata.
Esme sendiri berakhir terpenjara di dalamnya karena gerbang tidak memberi akses orang asing untuk masuk ataupun keluar. Lagi pula, gadis itu juga tidak berniat menghambur ke pelukan Hutan Hitam seperti orang gila lalu mati tanpa jasad yang utuh.
Mungkin merasa sedikit aman telah membuat Esme lengah. Padahal, komitmennya untuk menyintas di tempat di mana lehernya dipertaruhkan sudah cukup kuat. Ia terjerat—secara harfiah—oleh tanaman ivy hitam legam yang dipenuhi duri beracun dan bergerak seolah memiliki kesaradarannya sendiri. Racun merasuk ke pembuluhnya dengan cepat. Tubuhnya akan berada di ambang bahaya jika Rubis—yang secara kebetulan berada di sana—tidak mengiris pergelangan tangan Esme yang terjerat.
Cairan hitam keunguan mengalir keluar bersamaan dengan darah yang malahan membuat Esme pening karena kehilangan banyak darah. Rubis menariknya paksa sementara langkahnya tersandung-sandung sebab kesadaran yang mengabur. Esme bahkan tidak ingat bagaimana ia berakhir duduk di ruang Evelyn dan dihujani ceramahan yang menggali ke dalam rongga telinga hingga terasa sakit.
Suara gunting yang memotong ujung benang mengakhiri penderitaan Esme. Luka robek di pergelangan tangannya telah tertutup sepenuhnya, meninggalkan bekas jahit kemerahan. Sementara Evelyn membebatnya dengan perban, Esme menarik napas panjang. Sepasang manik zamrudnya jatuh ke langit-langit. Pandangan gadis itu mengabur ditelan pening, selagi debaran jantung dipacu lebih cepat.
“Kau kehilangan banyak darah.” Evelyn menyelesaikan bebatannya. Ia mendecak pada lengan baju Esme yang diwarnai merah, mengingatkannya lagi dengan kondisi kedatangan gadis itu di gendongan Rubis sepekan lalu. Gadis Collins ini selalu tahu bagaimana cara menyapa Mortem.
“Ah, ya. Aku sedikit pusing.”
Esme menyandarkan punggunya pada sofa, hampir memejamkan mata karena godaan untuk terlelap dan meninggalkan raganya yang terasa berat. Namun, ia tetap membuka mata dan mengamati Evelyn yang berputar-putar di dalam ruangannya sendiri dan melirik Rubis yang melototinya. Gadis itu terhenyak. Wajah pemuda yang jinak itu hampir membuatnya lupa kalau dia memiliki nama lain sebagai pemenggal gila. Wajar ia mengiris pergelangan tangannya tanpa keraguan.
“Apa kau mencoba mencari jalan untuk kabur?”
“Tidak!” Esme menyanggah sebelum Evelyn betul-betul menyelesaikan kalimatnya. “Aku hanya keluar untuk melihat-lihat.”
Evelyn meliriknya sembari menggapai bagian teratas rak obat-obatan, hampir tampak tak percaya seolah Esme baru saja memuntahkan sebuah bualan acak. “Esme kupikir kau adalah seseorang yang bertindak secara rasional. Nyatanya emosi masih mempengaruhi sebagian besar tindakanmu. Kupikir, aku baru saja mengerti bagaimana kau berakhir dengan Ru.”
Bahu Esme tersentak. Ia tidak senang mendengarnya, tapi tak dapat menyanggahnya. Terdiam sejenak, gadis itu membuka mulut dengan keraguan, “Kupikir aku takut.”
Banyak hal terjadi akhir-akhir ini. Kehidupan Esme dipelantingkan jauh dari garis yang selama ini menjadi jalannya. Fatum membentangkan utas dengan kejam, dingin, tak adil, dan menyakitkan. Esme Collins hanyalah gadis bangsawan biasa--yang tidak istimewa sama sekali--dan menjalani kehidupan kerontang, bukan gadis yang wajahnya tercetak dalam selebaran buron. Siapa gadis yang terjebak dengan Black Orchid? Bukan dirinya.
Selama ini, Esme hidup dalam ketidaktahuan sekali pun dengan berkah yang dilimpahkan padanya. Ketidaktahuan akan dunia luas membuatnya takut. Ia bahkan mulai takut akan rasa sakit dan luka kecil yang menoreh perih di kulitnya. Namun, jelas baginya untuk terus melangkah, melampaui rasa sakit itu dan menuju ke tempat yang lebih benderang.
“Aku ingin memahami kalian.” Kalimat itu keluar dengan campuran kekalutan hati dan kepahitan di lidah Esme. “Aku takut karena aku tak mengenal kalian.”
Segaris senyum merekah di bibir Evelyn. Wajahnya tampak puas akan sesuatu yang belum Esme sadari. Perempuan itu lantas duduk kembali di sisi sofa, menyerahkan beberapa pil obat berbeda dari yang diterima Esme pagi tadi.
“Yah, kupikir kau tahu bagaimana bertindak pada akhirnya setelah terjerembab.” Evelyn tertawa, meninggalkan kerutan-kerutan dalam di dahi Esme.
“Kedengarannya kau akan memberiku penjelasan akan sesuatu.”
Esme menelan pil dengan satu tegukan air, sementara Rubis mengulurinya sebungkus kecil permen cokelat tanpa permintaan. Walaupun dengan wajah kosong itu, Esme pikir ia sedikit merasa bersalah. Gadis Collins itu tidak tahu, sama sekali tak ada yang bisa dibaca dari pemuda itu seolah kabut hitam menghalangi pandangnya.
“Ini sebuah permintaan, tidak, sebuah saran.” Wajah Evelyn berangsur menjadi lebih tegas. “Bukannya Collins memiliki semacam insting bawaan untuk mencari kebenaran? Entah dia seorang pewaris atau bukan.”
Esme mengamati Evelyn dan mencermati setiap kata darinya, mencoba mencari tahu ke mana pembicaraannya mengarah. Sebagai tanggapan, ia hanya menaggukkan kepalanya ringan. Memang sudah menjadi sifat alami seorang Collins untuk selalu mencari tahu kebenaran. Bahkan, setelah zaman berganti dan beberapa hal dalam tradisi keluarga tertinggal menjadi lembar-lembar catatan dalam buku, seorang Collins tidak dapat menolak kehendak yang diwariskan melalui darah. Kejujuran sebagai halnya napas kehidupan dan dusta adalah racun yang mematikan.
“Seperti sebuah kehendak alamimu untuk mencari tahu tentang kami. Bahkan, sebelum aku mengatakan ini, kau sudah akan melakukannya.” Ada emosi yang berbeda di bayang mata Evelyn, Esme mendapatinya.
Menghela napas, Esme menutup matanya. “Berkah Vitae tidak bisa melihat kebenaran yang bisu,” ungkapnya dengan kepahitan di ujung lidah. “Kau tahu, aku bisa melihat kebohongan yang terucap, tapi bukan berarti aku mengetahui sesuatu salah dan benar sekali lihat.”
Esme tak tahu apakah Evelyn mengetahui bahwa ia mewarisi berkah Vitae atau tidak. Namun, melihat perkataannya, tampaknya ia percaya bahwa keberadaan Esme penting untuk keluarga Collins itu sendiri. Jika Esme menafsirkannya, perkataan Evelyn akan menjadi semacam ini, “Cari tahu kebenaran tentang kami, lalu kau akan menjadi penghubung kebenaran kami kepada dunia.” Ada hal-hal tentang Black Orchid yang tidak diketahui dunia. Pastinya sesuatu yang lebih dalam ketimbang status buron mereka.
“Kau punya cukup banyak waktu untuk mengamati lebih jeli. Bukankah itu cara seorang Collins untuk mencari tahu?” Evelyn beranjak, menuju ke meja kerja besarnya yang berisi bertumpuk-tumpuk buku tentang sihir medis. Ia menyapukan jarinya di sana, mendapati duli mulai menebal semenjak pembersihan rutin pekan lalu. “Lagi pula, hanya itu yang bisa kau tawarkan untuk membujuk Marshall. Aku tak bisa menjaminmu tetap di sini saat pemimpin kami sudah berkata lain.”
“Jadi, aku harus dibutuhkan untuk dapat diterima?”
Evelyn mengangguk. “Esme, di suatu waktu, kami membutuhkan sumpah dan kebenaran yang terucap dari bibirmu. Itu akan menjadi hari di mana kebenaran tentang kami, Black Orchid, diungkap kepada dunia.”
Setelah insiden terjerat, Evelyn mengurung Esme di kamarnya. Sebelumnya ia telah memberi pesanan pada Sean untuk menghilangkan geia di kamar Esme—yang selalu mengeluhkan seberapa sesaknya ia di Byron’s Villa. Tindakannya itu setidaknya cukup untuk membuat Esme berdiam di kamarnya, alih-alih berkeliaran lagi. Evelyn juga menempatkan Rubis di sisi gadis Collins itu, seperti seorang opsir polisi yang senantiasa mengawasinya sebagai tahanan.
Esme tak dapat berbuat banyak, ia toh lebih suka berbaring daripada terluka oleh hal-hal lain di dalam Byron’s Villa. Awalnya, ia memang tak nyaman dengan tatapan Rubis yang duduk di ambang jendela. Apalagi lengkap dengan kebungkaman dan wajah batunya yang tak tergoyahkan. Alih-alih takut padanya, Esme lebih mengenali rasa penasarannya. Setiap berada di sisinya, semua berkah Vitae terasa hilang tak bersisa. Gadis itu tidak bisa tidak bertanya-tanya.
Sementara itu, Byron’s Villa sangat lengang. Orang-orang selalu sibuk. Dari sembilan orang anggota utama Black Orchid, hanya Marshall dan Walter lah yang belum pernah ia temui. Melihat bagaimana Evelyn selalu memperingatkannya akan Marshall, Esme pikir dia adalah seseorang yang dingin dan menakutkan.
“Ru, kau akan mengikutiku seperti ini?” Esme mengamati Rubis dari balik bahunya.
“Ya.” Itu jawaban singkat. Esme sempat kesal olehnya selama waktu-waktu awal menghabiskan hari dengan hanya ada pemuda itu di sekitarnya.
“Apa kau tidak ada pekerjaan?” Gadis itu disambut keheningan. “Tidak? Sungguh?”
Dengan helaan napas tertahan, Esme hanya meniti lantai koridor dengan matanya. Jika ia mengurung diri di kamar hanya dengan Rubis, dirinya bakal kehilangan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain cepat atau lambat. Namun, tak ada orang lain yang dapat diajaknya mengobrol sering-sering.
Evelyn mengurung diri di ruangannya, sibuk dengan segala kertas-kertas di meja yang entah apa isinya. Igrid dan Sean sama-sama jarang terlihat, sementara Jeslyn dan Carnel tidak begitu ramah. Terakhir, orang yang paling jarang Esme lihat adalah Gavin yang selalu mengurung diri di bengkelnya untuk meneliti tentang logam atau cara membuat sebuah senjata lebih tajam daripada sebelumnya.
Esme hanya melihat mereka semua di satu tempat di waktu makan malam beberapa hari yang lalu. Makan malam hari berikutnya, kursi tak pernah penuh. Entah mereka sibuk atau menghindari menu makan malam yang disediakan Igrid. Jeslyn selalu menyebutnya sebagai pakan ternak lantaran selalu berisi sayuran.
“Igrid, sungguh, ini makan malam! Tak bisakah kau memasak beberapa daging?!” Jeslyn berteriak lantang, hampir menggebrakkan meja di hadapannya. Esme rasa perempuan itu tengah menahan diri untuk tidak melempar semua yang ada di atas meja. “Aku lebih suka saat Walter yang memasak.”
“Jess, duduk di kursimu dan makan sayurnya. Walter sesungguhnya terlalu memanjakan kalian.”
Nyatanya masakan Igrid tidak seburuk itu. Orang-orang tidak menyukainnya karena sayur terasa hambar di lidah. Bagi Esme, masakan Igrid menjadi sajian enak selepas terjebak dalam rasa buruk masakan South Raven sepanjang waktu. Bahkan, ia tanpa sadar menitikkan air mata sampai-sampai Igrid merasa masakannya terasa begitu buruk dan memberikan Esme beberapa daging asap. Jeslyn--yang lebih sering bersikap ketus padanya--bahkan menatapnya dengan kasihan. Ia tahu segala hal tentang South Raven--termasuk cita rasa masakannya yang absur--karena tugasnya sebagai pemburu informasi Black Orchid.
Esme tersenyum tanpa sadar. Beberapa hari terakhir ini semuanya berjalan baik. Pandangannya jatuh pada lengan kiri yang tersembunyi dalam bebatan perban. Ia juga tidak terluka lagi. Netra gadis itu beralih ke sisi lorong, ke arah jendela-jendela besar membentangkan lanskap putih musim dingin. Ia juga punya satu tujuan lagi selain menyintas, mengungkap kebenaran tentang Black Orchid.
“Ack! Makan saja makanannya, kalian bocah nakal!”
Evelyn sempat menyarankan Esme untuk menghabiskan waktu di ruang santai--yang menghadap langsung ke halaman belakang--jika dirinya bosan terkungkung dalam kamar. Ia bilang, pintu geser yang seluruhnya dibuat dari kaca membuat lanskap halaman belakang terlihat jelas. Gadis itu berpikir tentang ruang hangat yang sangat pas untuk menghabiskan sore. Namun, yang kini ia lihat hanyalah Igrid yang bertarung dengan seekor kucing berbulu lebat di ruangan itu.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Igrid yang memasang posisi kuda-kuda—dengan mangkuk makanan kucing di tangannya—menoleh atas tanggapan pertanyaan Esme. “Oh, Collins, tidak, maksudku Esme. Ack!”
Kucing itu mencakar tangan Igrid sekali sebelum melompat menjauh. Bulu keemasan nan lebatnya bergetar saat ia melangkah dengan keaggunan yang tak dapat Esme pahami. Sementara Igrid menyumpah, kucing berjenis anggora itu hanya berlalu tanpa menoleh. Namun, bukannya pergi, ia menghamipiri kaki Esme lantas menggosokan badannya sembari mengeong pelan.
Igrid yang mengamati tingkah kucing itu mengertutkan kening. Ia memandangi Esme beberapa saat sebelum memasang senyum yang mana membuat gadis Collins itu bergidik.
“Esme ….” Igrid berkata lembut, hampir terdengar seperti bisik rayu. Ia menggegam tangan Esme, mengalihkan mangkuk makanan kucing kepadanya. “Aoife adalah majikanmu sekarang.”
“Ao siapa?” Kucing berbulu keemasan, Aoife, mengeong menanggapi perkataan Esme.
“Dia benar-benar liar dan mencakar semua orang. Benar-benar kucing tak tahu diri! Namun, lihatlah bagaimana dia bertingkah manja padamu!” Sorakan tak percaya Igrid membuat Esme mengernyit. Ia tak pernah memelihara kucing sebelumnya, tidak, dia tidak pernah punya peliharaan sama sekali.
Esme menggeleng, setengah tak paham apa yang mesti ia lakukan. Ia hanya berjongkok dalam kebungkaman sembari meletakkan mangkuk di dekat Aoife. Alih-alih mencakarnya, kucing itu mengeong sekali sebelum mulai melahap makanannya tanpa keluhan. Esme hendak beranjak, tapi hentakan keras di bahu hampir membuatnya tersungkur.
“Oh, dia pembuat onar lainnya.” Bersamaan dengan penjelasan Igrid, burung hantu putih mengepak sayapnya ringan di bahu Esme. “Dia burung hantu milik Marshall, Shane.”
“Burung yang cantik.”
Setelah memeberi makan dua pembuat onar itu, Esme berakhir duduk di ruang santai dengan Igrid. Ia turut penasaran mengapa kedua hewan yang hanya tahu cara mencakar dan menggigit orang lain itu sangat jinak padanya. Igrid bahkan menudingnya menyemprot semacam parfum penjinak hewan yang malahan membuat perkataannya terdengar aneh lagi sukar dipahami.
Sementara Rubis menikmati kebungkamannya sendiri di sudut sofa, Esme duduk berdekatan dengan Igrid. Tengah hari baru saja lewat dan salju berhenti turun, tapi temperatur udara belum juga naik. Netra Esme teralih pada bentang lanskap di luar kaca. Walaupun dengan dinding tinggi vila, barisan pegunungan yang dibingkai batang-batang putih pepohonan birch--yang telah selesai meranggas--masih terlihat di tengah kabut musim dingin. Alangkah baiknya jika Esme duduk di sana saat musim panas.
“Aku sudah mendengarnya dari Eve.” Igrid menjatuhkan punggungnya ke sandaran lembut sofa setelah menyalakan perangkat sihir termal di perapian. “Kau seorang pewaris rupanya. Pertanyaanku, bagaimana bisa?”
“Jika kau bertanya padaku, aku tak memiliki jawaban.”
Mendengar tanggapan dingin Esme, Igrid tertawa. “Aku tidak berniat menyinggungmu, Collins.”
Esme mengernyit mendengar nama Collins dari mulut Igrid. Padahal, dia meralatnya saat memanggilnya begitu tanpa sengaja. Mendengarnya lagi membuat Esme mengingat tajuk surat kabar yang ia baca, rasanya getir.
“Aku bukan Collins lagi.”
Igrid menggeleng. “Darahmu tetap Collins. Kau bahkan seorang pewaris simbol dari keluargamu. Bagaimana mereka menyebut itu? Ah, berkah Vitae?”
Aoife menggeliat di pangkuan Esme, merajuk pada gadis itu untuk terus mengelus bulu-bulu keemasannya. Selagi gadis Collins itu mengelusnya, Aoife akan mendengkur nyaman sembari mengibaskan ekornya. Sementara Aoife sibuk bersikap manis, Shane hanya bertengger diam di bahu Esme, tampaknya kekenyangan setelah menyantap beberapa potong daging.
“Kau kedengaran tahu banyak tentang keluargaku.”
Igrid menunjukkan jajaran giginya yang rata. “Oh, aku hanya suka membaca tentang sejarah keluarga tua. Ada keluarga yang mewarisi berkah dewa, keluarga dengan darah naga, bahkan keluarga yang melahirkan penyihir-penyihir besar dari generasi ke generasi. Mereka lebih menarik dipelajari ketimbang mempelajari sejarah berdirinya Freesia.”
“Itu pengetahuan yang tidak mudah kau baca di sembarang tempat.” Mendengar tanggapan Esme, Igrid hanya meringis.
Semua penghuni vila tahu bahwa hanya Igrid yang telah membaca semua koleksi buku di perpustakaan Byron’s Villa. Siapa sangka ia bahkan mengendap-endap pergi membaca koleksi buku-buku tersegel yang tidak diperuntukkan untuk khalayak umum di perpustakaan-perpustakaan kepemilikan pribadi. Itu juga cara yang sama bagaimana ia memiliki begitu banyak pengetahuan tentang keluarga tua, melebihi batas yang diperuntukkan untuk khalayak umum.
Sikapnya yang ceria dan kadangkala bertindak bodoh menutupi fakta bahwa ia mungkin saja tahu segala rahasia dunia. Esme mengira seseorang semacam Igrid lah yang menakutkan ketimbang seorang pembunuh berdarah dingin. Siapa tahu ia akan menggunakan pengetahuan rahasianya itu untuk menusuk seseorang dari belakang? Pengetahuan itu juga mungkin dapat meruntuhkan sebuah keluarga tua, tidak, sebuah negara.
“Kau seseorang yang menakutkan.”
Terbahak, Igrid memukul punggung Esme. “Kau harusnya menyimpan pemikiranmu sedikit lebih dalam atau kau tidak akan pernah bisa menyembunyikan secuil rahasia.”
Esme tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mendesah. Bagaimana ia bisa memikirkan hal-hal baik tentang Black Orchid sementara orang-orang di dalamnya begitu menakutkan bahkan di tingkat bahaya itu sendiri? gadis itu bahkan tak yakin dapat keluar dengan leher utuh setelah mengetahui semuanya.
“Tapi melihat keluargamu sendiri bahkan tak tahu kau seorang pewaris, kau pasti seseorang yang senang bermain dengan rahasia.” Igrid mendekatkan wajahnya, membuat Esme tersentak. “Hei, Collins, mau berbagi rahasia?”
Bulu roma Esme meremang. Emosi Igrid hanya didominasi perasaan keingintahuan tinggi, tapi ia tidak bisa menahan rasa takutnya. Apa yang menakutkan dari rasa ingin tahu? Tanpa sadar, pupil mata Esme bergetar. Seperti ada seseorang yang berbisik padanya untuk lari dari rasa keingintahuan Igrid. Namun, pikiran gadis itu dipenuhi kekacauan. Sebelum akhirnya pandangannya menggelap. Eh?
“Berhentilah.”
Suara dingin nan kaku Rubis merasuki telinga Esme. Lain dengan suaranya, tangan yang menutup mata Esme terasa hangat. Pikiran gadis itu yang kacau perlahan pulih dan malahan menambah kebingungan akan apa yang terjadi. Aoife menggeram di pangkuannya dengan bulu-bulu menegak, turut menyuarakan ancaman.
“Ru, akau hanya bercanda.” Igrid mengangkat kedua tangannya seperti pencuri yang telah tertangkap basah. Suaranya terdengar main-main. “Lagipula, dia seorang pewaris dari Collins. Dia adalah satu dari jenis yang sulit ditembus.”
“Minta maaf.”
Itu sebuah kalimat singkat, tapi Esme pun menyadari tekanan darinya. Sebuah hawa mendominasi terasa lebih menyesakkan ketimbang geia yang padat. Esme tak tahu situasinya. Apa yang salah? Kenapa Rubis tampaknya marah? Ia bahkan tak bisa melihat ekspresi Igrid karena terhalang tangan Rubis.
“Akan kulakukan. Hentikan ancamanmu.”
Suara tertahan Igrid terdengar sebelum cahaya kembali kepada penglihatan Esme. Pandangannya mendapati Igrid yang tersenyum masam dengan beberapa kerutan di wajahnya. Entah sejak kapan, Rubis juga berdiri di sisinya, melototi Igrid dengan wajah dingin yang biasa, tetapi dengan tekanan tak kasat mata.
“Apa yang terjadi?”
“Aku minta maaf, Esme.” Menutup mata, Igrid mengatur napasnya yang sempat tersekat. “Aku tidak bermaksud memasuki pikiranmu atau pun mengobrak-abrik isi kepalamu. Aku hanya mencoba mengetahui seberapa kuat penghalang yang kaumiliki untuk membendung kemampuanku.”
“Ah!” Esme tanpa sadar berseru ringan. “Kau sungguh menakutkan.”
Karena tanggapan santai Esme, Igrid tidak dapat menahan tawanya. Esme bersungguh-sungguh, tapi nada bicaranya membut Igrid percaya bahwa gadis Collins itu tak sedikit pun takut akan dirinya. Lagipula, penghalangnya terlalu kuat dan jauh di luar kemampuan Igrid untuk mencoba mendobraknya.
Seperti yang diharapkan dari gadis dengan darah dua keluarga tua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro