𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟏: 𝐂𝐡𝐞𝐜𝐤𝐦𝐚𝐭𝐞
"Aroma malt yang kuat. Apa ini assam?"
Esme menghirup aroma teh dari cangkirnya khidmat. Menebak-nebak teh apa yang disajikan untuknya sore ini.
"Tajam seperti biasanya, Esme." Ayahnya, Marquess Bethony Collins tersenyum sembari meletakkan buah catur terakhir di atas papan, tampak siap untuk memulai permainan.
Esme mengulas senyum sebelum menjatuhkan pandangannya pada bidak hitam dan putih. Seperti halnya Sabtu sore biasa, ia dan ayahnya akan menghabiskan waktu bersama. Untuk menjaga kerukunan hubungan ayah dan anak, katanya. Bukan melakukan hal muluk-muluk, hanya beradu taktik di atas papan hitam putih. Toh, Marquess Collins hampir tak pernah libur selama seminggu penuh. Menyisihkan dua jam kosong untuk putrinya sudah lebih dari sekadar bonus. Dan Esme sangat mengerti hal itu.
Tak. Bidak pertama Esme mulai bergerak, mengambil satu langkah ke depan. "Bagaimana pekerjaan ayah? Aku dengar pangeran mahkota membuat kebijakan baru untuk pasukan khusus."
Marquess Collins berdeham sembari menggerakkan bidak pertamanya. "Tak banyak yang berubah. Hanya ada beberapa pekerjaan kuli tambahan."
Esme manggut-manggut, tapi tampak kurang puas dengan jawaban sang ayah. Ia ingin mendengar lebih banyak. Ayahnya adalah seorang komandan pasukan khusus yang mana merupakan satu dari sekian satuan kemiliteran resmi Freesia. Keluarganya secara turun-temurun dipercaya untuk berada di puncak piramida kepimimpinan pasukan khusus. Yang maknanya, keluarga Collins dan satuan pasukan khusus tak terpisahkan lagi.
Yang disesalkan Esme atas status keluarganya itu adalah dirinya seorang perempuan. Dalam budaya Freesia, perempuan memiliki beberapa batasan. Termasuk tidak memegang senjata atau berkeliaran dengan celana ketat. Menurutnya, itu sedikit tak adil. Wanita dengan celana ketat, bot kulit, dan sebilah pedang di atas kuda itu kelihatan sangat mengagumkan. Dan ia selalu mengkhayalkan dirinya seperti itu. Berharap kalau-kalau Fatum--sang dewa takdir--mendengar rancauannya dan membuat penguasa menghapus hukum tidak tertulis itu. Mungkin, dirinya dapat bergabung dengan pasukan. Lebih-lebih berada di sisi kakak laki-lakinya memimpin pasukan khusus di masa depan.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" Marquess Collins balik bertanya, menyadarkan Esme pada realitas.
Gadis itu terdiam sejenak, sebelum mengukir senyum getir. "Hmm, yah. Seperti biasanya."
Walaupun disebut sekolah untuk perempuan bangsawan, Esme hanya merasa sekolah itu didirikan untuk mencetak gadis-gadis bangsawan menjadi istri yang baik di masa depan. Etiket bangsawan, merajut, menjahit, berdansa, dan segala hal yang membuatmu sempurna sebagai wanita yang beradab. Esme juga belajar sedikit tentang teologi, filsafat, bahasa, dan politik, tapi rasa-rasanya pelajaran itu hanyalah bumbu minoritas yang membuat seorang wanita beradab kelihatan berpengetahuan. Pelajaran dasar yang tak akan berkembang jika tak ada inisiatif untuk mempelajarinya sendiri lebih lanjut.
Ditambah, sekolah bangsawannya itu hanya dipenuhi sekumpulan merpati penjilat yang hanya memikirkan gaun dan perhiasan, teh dan kue manis, tanpa tertarik dengan dunia luar yang kotor. Benar-benar kawasan menjemukan yang harus Esme hadapi empat kali dalam seminggu. Ia akan lebih bersyulur kalau ayahnya mengundang tutor untuk putrinya ke manor. Tetapi, ia selalu saja berdalih, "Hubungan sosial sejak dini itu penting, Esme." Perkataan itu berdengung di telinga Esme seperti seekor lebah yang masuk ke rongga telinganya.
"Ayah dengar kau bertengkar dengan putri pertama Duke Iverson, Beatrice."
Esme menahan dirinya untuk tak memutar bola mata di depan sang ayah. "Bukan hal yang besar." katanya tak acuh, tampak tak ingin menyinggung masalah itu sama sekali. Mendengar namanya saja sudah membuat Esme ingin membalikkan meja di hadapannya. Ia tak mengerti kenapa Fatum harus menghubungkan utasnya pada Beatrice sepanjang waktu.
"Tak ada yang ingin kau ceritakan pada ayah?"
Berdeham, Esme menimbang-nimbang, tanpa berharap mendapatkan jawaban. Beatrice itu seperti gambaran biang onar sekaligus tokoh paling jahat sejagat dongeng yang Esme tahu. Perempuan egois yang hanya memikirkan kuku dan rambutnya. Tukang raup perhatian sekalian pendengki akut. Esme tak dapat lagi mengorek sudut pikirannya untuk mencari sosok yang lebih buruk dari putri pertama Duke Iverson itu.
Keanggunan dan kecantikannya hanyalah topeng yang menutupi seluruh celanya. Mungkin, dia disebut-sebut sebagai bintang pergaulan kelas atas di masa depan. Namun, di mata Esme, dia hanyalah gadis buas nan manja yang suka menindas bangsawan kelas bawah.
"Apa itu perlu?" Esme hampir mendecak. Ia menggerakkan bidak rajanya dengan gusar, tak dapat memusatkan pikiran dengan benar.
"Sangat perlu," kata Marquess Collins tegas, "karena ibumu pergi menghadap kepala sekolah, itu sudah cukup menjadi pertanda bahwa kau membuat masalah besar."
Esme melotot, tak dapat menahan keterkejutannya. Ia bahkan tak pernah tahu ibunya sudi memenuhi panggilan sekolah untuknya. Tidak. Terlebih itu, dirinya tak tahu menahu tentang panggilan itu.
"Kabarnya kau membuat keributan. Bertengkar dengan Beatrice beberapa kali, begitu."
"Aku tak pernah punya niatan untuk membuat masalah, Ayah. Putri Duke itu, Beatrice itu benar-benar pengecualian besar."
Marquess Collins mengernyitkan dahinya, seolah-olah tak paham dengan apa yang diutarakan putrinya. "Yang ayah tahu, Lady Iverson itu punya pamor baik di antara bangsawan lain. Bahkan, ada yang mendukungnya menjadi ratu masa depan. Esme, jika kau terus bersikap seperti itu, reputasimu di masa depan akan memburuk."
Esme mengentak bidaknya sedikit kasar, menjatuhkan bidak gajah milik sang ayah. "Aku tak pernah berpikir apa yang kulakukan ini salah, Ayah." ia menghela napasnya, menahan amarah yang bergemuruh dalam dadanya. Ia merasa sangat dongkol dengan hal-hal yang menyangkut Beatrice. Kenapa hal-hal buruk tentangnya sulit sekali terkuak? "Beatrice menindas orang-orang yang lebih lemah darinya. Menganggapnya seperti budak dan mencela mereka seperti tanpa harga diri. Aku tak bisa diam saja melihatnya."
Kebenaran dan keadilan adalah hal utama yang harus dijunjung. Kira-kira begitulah prinsip dasar keluarga Collins. Sebagaimana pesan pendahulu, pengabdi Vitae--dewa kehidupan--sebagai bayaran atas berkah yang ia limpahkan. Dalam nadi setiap Collins, telah terukir sumpah atas kebenaran. Kejujuran sebagai halnya napas kehidupan dan dusta adalah racun yang mematikan. Esme belajar banyak hal tentang hakikat Collins, tentang hal yang seharusnya ia lakukan. Ia tak akan melakukan hal menyimpang. Namun, seperti halnya semua orang biasa. Mereka tak memiliki kemampuan untuk melihat dusta. Terkadang, kebenaran yang telah dia lakukan menjadi suatu kekeliruan di mata yang lain.
Tapi seharusnya ayah bisa melihat dusta. Dia mewarisi berkah Vitae.
Esme menggapai cangkir keramiknya dan menyesap teh yang mulai dingin. Sementara pikirannya berpencar, tumpah ruah dalam jalinan rumit di kepalanya.
"Esme, berhenti membicarakan kejelekan orang lain dan jujurlah pada ayah."
"Ayah, tidakkah kau melihat kejujuranku." Esme hampir kehilangan kesabarannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam. Lagi dan lagi dalam waktu yang lama. Sejenak, ia melihat ekspresi sang ayah mengeras. Seolah-olah Esme mengatakan sesuatu yang salah.
"Tak ada bukti bahwa Beatrice melakukan penindasan."
Keramahan perlahan menghilang dari mata Marquess Collins. Esme merasakan gigil yang janggal. Ia merinding, merasakan aura berbeda yang menguar dari sang ayah dan emosi yang tak dapat ia tafsirkan. Sejenak, ia ingin kabur dari tempat duduknya. Melompat melalui jendela yang terbuka dan menghilang di antara angin sore. Menghilang. Bersembunyi di mana ia tak lagi berhadapan dengan sang ayah yang bersikap lain atau meneruskan perbincangan yang membuat kepalanya mendidih ini.
"Apa yang sebenarnya ingin ayah sampaikan?" Esme menjaga nada bicaranya sopan, mencoba tetap menjadi gadis beradab. Walaupun hatinya terus mendesaknya untuk sedikit menjadi kurang ajar. Seperti menyarankan dirinya untuk berteriak atau menggulingkan meja di hadapan. Mungkin akan jadi pertunjukkan yang spektakuler dan ia dapat menjumpai ekspresi baru di wajah ayahnya.
Marquess Collins meletakkan selembar surat dengan stampel akademi putri bangsawan. Esme hanya menatapnya dalam diam, menunggu. "Kau dikeluarkan dari sekolah."
Esme hampir menjatuhkan dagunya ke lantai. Tercengang dengan hal irasional yang disampaikan sang ayah. Tapi itu tampak terlalu serius untuk sebuah guyonan. "A-apa?" ia lantas menggapai surat itu dan membacanya secermat mencari kosakata dalam kamus. Dan kembali melotot untuk alasan yang sama. "Apa ini sebuah lelucon?"
"Beatrice mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu di akademi. Kau juga tahu hal itu, bukan? Lengannya patah karena jatuh dari tangga." Marquess Collins menautkan alisnya. "Beberapa orang telah bersaksi bahwa kau bertanggung jawab atas insiden ini."
Esme tak menahan dirinya lagi untuk menggebrak meja, membuat pion-pion di atas papan bergetar. "Aku tak melakukannya! Siapa yang mengatakan kesaksian palsu macam itu? Teman-teman dekat Beatrice? Ini fitnah, Ayah!" Ia kehilangan kendali, tak sadar dengan suaranya yang meninggi.
"Yora Bennet, Lunea Evans, dan tiga orang lainnya." Marquess Collins meletakkan kertas-kertas lain di atas meja, menghadapkannya pada Esme. Seolah-olah mencoba menarik gadis itu pada realitas. "Mereka teman-teman dekatmu, bukan?"
Esme terdiam, tak dapat berkata-kata. Bagaimana mungkin gadis-gadis yang matian-matian ia lindungi dari cengkeraman cakar Beatrice kini mengacungkan belati ke arahnya. Seolah-olah menantangnya dengan pongah. Padahal, sejauh ini, ia telah berusaha membangun dukungan untuknya dengan menggandeng gadis-gadis bangsawan kelas bawah yang menjadi sasaran cela Beatrice. Berharap bahwa di masa depan, mereka dapat memberikan balasan pada Esme dengan layak. Tapi yang satu ini benar-benar membuat Esme ingin menertawai seberapa menyedihkannya ia.
"Apa selama ini kau menyimpan iri terhadap Lady Iverson? Katakan dengan jujur."
Tersentak, Esme menatap sang ayah dengah pongah. "Tidak sama sekali. Demi Vitae, ini lelucon yang buruk."
"Lalu, apa alasanmu bersikap begitu kejam pada Beatrice?" Sorot mata Marquess Collins menajam. "Ayah harap itu alasan yang bagus."
"Aku tak punya alasan karena aku pun tidak melakukan apa yang dituduhkan padaku." ekspresi Esme mengeras. Ia merasa dituduh menjadi gadis bengal di luar sana. Liar, tak beradab, bukan lagi putri Marquess Collins yang duduk di taman sembari menyesap teh dengan anggun. Semua itu sama sekali tak benar.
Di satu sisi, ia merasa ganjil. Untuk pertama kalinya, sang ayah menolak kejujurannya. Seharusnya, tanpa Esme tegaskan pun, ia sudah mampu mengetahuinya. Vitae memberkahi satu dari setiap generasi Collins dengan kepekaan indra melebihi yang lainnya; melihat, mendengar, membau, merasa. Dan ayahnya memiliki berkah itu. Ia pun dapat melihat kebohongan. Ada sesuatu yang salah.
"Esme, kedengkian hanya akan membuat penyakit di hatimu. Tinggalkan itu."
Itu tidak benar.
Sama sekali tak ada yang benar.
Telinga Esme berdengung sejenak. Situasi ini membuatnya kebingungan. Berbicara dengan sang ayah seharusnya tidak semelelahkan ini. Ayahnya seharusnya berhenti bertanya saat ia berkata satu kata tidak, selama itu sebuah kejujuran.
"Ayah mengirimu ke sekolah asrama di wilayah selatan."
Belum lepas dari kebingungannya, Esme dilimpahkan lagi dengan satu perkataan yang membingungkan. Dia hanya dapat menatap sang ayah dengan kernyitan dalam di dahinya. "Asrama? Tapi aku tidak--"
Tak! Satu hentakan keras dari pion kuda sang ayah membuat Esme terdiam. Itu sebuah sekakmat. Pion rajanya terguling di atas papan kotak-kotak. Menyisakan satu pion kuda, benteng, dan beberapa bidak. Mereka masih berdiri dengan tegak, seolah-olah loyalitas mereka pada sang raja telah sirna. Sebuah pengkhiantan telak.
Marquess Collins beranjak dari duduknya, tak berniat mendengarkan Esme lebih lanjut. "Berkemaslah. Ayah mungkin segera mengirimmu pulang setelah kau selesai merenungkan segala kesalahanmu."
Suara pintu tertutup membuat bahu Esme melemas. Ia terkulai di atas kursinya, tampak kebingungan daripada putus asa. Kejujurannya terasa dibungkam oleh pendengaran yang tuli dan penglihatan yang buta akan dusta.
Namun, dirinya tak tahu, bahwa ini adalah langkah awal Fatum membawanya pada takdir yang jauh di selatan. Di tanah tempat Mortem, sang Dewa Kematian, begitu dipuja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro