Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 | Tanpa 'Kamu' di dalamnya

Update, 11 Agustus 2019

Jangan lupa follow instagram :

Asriaci13

Trishaadhiyaksa

Aagamaffandra

***

NOW PLAYING | Baekhyun - Un Village

SELAMAT MEMBACA CERITA INEFFABLE

BAGIAN DUA PULUH DUA | Tanpa "Kamu" di dalamnya.

Karena terbiasa dengan kamu selama ini. Aku sampai lupa, kalau kamu sudah tak disini lagi.

***

"CAAAAA jaket gue dimana?"

Teriakan Aagam membuat gaduh di dalam rumah. Bahkan sekarang kamarnya sudah tidak berbentuk sama sekali. Hanya untuk sekadar mencari jaket untuk fashion dia ke sekolah.

"CAAAA..." Aagam keluar dari kamarnya, turun kebawah. Melihat orang tuanya tengah sarapan pagi berdua membuat Aagam mendelikkan matanya.

"Kok gak nunggu Agam?" rengek Aagam dengan nada kesal.

"Selamat pagi sayang." Veronica menyapa anak semata wayangnya itu.

"Pagi Mi," balas Aagam. Meski dia tengah kesal, tapi dia tidak akan mengabaikan sapaan Maminya itu.

Tatapan mata Aagam seperti tengah mencari seseorang. Membuat Veronica mengerutkan dahinya.

"Gak duduk kamu?" tanya Tomi sekilas melihat anaknya itu.

"Tica mana?" Aagam balas bertanya, "Jaket Aagam yang merah dimana?"

"Kamu lupa?" Tomi menyindirnya, "Semalam siapa yang ngotot minta Tica keluar dari rumah?"

Sepertinya ingatan Aagam tak berlangsung lama. Dia mengusir Trisha semalam.

"Makanya kalau gak bisa hidup tanpa Tica gak usah sok gengsi gitu deh." Veronica balas bersuara, "Liat Pi, baru ditinggal satu malam aja."

"Biarin. Kamu urus aja diri kamu sendiri."

"Aagam cuma mastiin orangnya pergi atau enggak." Aagam langsung menghentakkan kakinya dan kembali ke kamarnya, mencari jaket yang ada saja.

Sementara Veronica dan Tomi hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Aagam memang seperti itu, gengsinya terlalu tinggi untuk sesuatu hal. Semoga saja dengan kejadian seperti ini, Aagam bisa berpikir dan tidak seenaknya saja.

"Papi udah cari apartemen buat Tica?" tanya Veronica dengan nada sedikit khawatir, biar bagaimanapun mendiang orang tua Trisha menitipkan anaknya kepada mereka.

"Udah, nanti sama Tica surveynya. Papi jemput Tica di sekolah."

"Kabarin Mami dimana tempatnya, kalau Mami sempat dan gak banyak kerjaan, Mami nyusul."

"Iya."

***

SEMALAM saat Trisha datang ke rumah Aidan, rumahnya terlihat sepi. Namun, pekarangan rumah Aidan masih terlihat asri, banyak pohon dan tanaman di depan rumahnya. Halamannya sangat luas, bahkan lebih luas dibandingkan dengan bangunan rumahnya.

"Sepertinya ortu gue belum balik dari acara reuninya. Lo takut?"

"Hah? Takut apa?"

"Sama gue. Karena di rumah berdua."

"Enggak. Harus takut karena apa?"

"Lo gak nganggep gue cowok, Ca?"

"Ai, gue percaya sama lo."

Aidan mengangguk paham dengan senyuman kecil di bibirnya. Trisha bahkan tidak ragu mengatakan bahwa dia percaya kepada Aidan.

Mobil Aidan berhenti di garasi rumahnya, ada dua motor matic yang terparkir rapi disana. Bahkan beberapa barang yang ada disana tersusun rapi.

"Motor siapa?" tanya Trisha

"Motor ade gue. Kayanya dia ada di rumah." Aidan menoleh ke arah Trisha yang masih menatap ke arah motor itu, "Yuk, Ca."

Trisha terkesiap dan kembali ke dunianya. Lalu dia mengangguk dan mengikuti langkah kaki Aidan. Pemuda itu mengeluarkan kunci rumah dari sakunya, pintu rumah terbuka. Aidan menyalakan lampu ruang depan.

"Mau langsung istirahat?" tawar Aidan.

"Iya boleh Ai."

"Kenalan dulu ya sama ade gue, biar besok dia gak kaget. Jangan suka tapi sama dia, sama gue aja sukanya."

Frontal. Pipi Trisha terasa panas, Aidan berulang kali membuatnya seperti ini. Setiap di dekat Aidan, dia merasa berbeda. Trisha melihat tubuh jangkung Aidan di depannya, seolah pemuda itu datang dengan sejuta kebaikan untuk membantunya. Dia berbeda dengan orang-orang yang pernah Trisha kenal sebelumnya. Sampai akhirnya langkah Aidan terhenti di sebuah pintu kamar dan mengetuknya.

"Dan..."

"Ardan..."

Ceklek pintu terbuka. Trisha disuguhkan dengan pemandangan seorang laki-laki seusianya dengan penampilan kaos oblong dengan bokser hitam. Rambutnya terlihat masih basah, sepertinya dia baru keramas.

"Apaan Mas?" tanyanya. Meski matanya masih fokus ke ponsel yang ada di tangannya.

Gamers detected.

"Kenalin. Temen Mas."

"Oh..."

"Ardan yang sopan."

"Apaansih... Biasanya juga gak suka dikenalin kalau ada temen Mas ke rumah. Ribet amat." Ardan kini menaikan matanya, lalu dia melotot melihat seorang gadis disamping kakaknya itu.

Ini adalah hal yang tidak biasa. Aidan tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah mereka. Bukan Aidan tidak pernah punya pacar, hanya saja setahu Ardan dia tak pernah mengenalkan pacarnya kepada keluarga.

"Mas tunggu... Dia? Pacar Mas?"

"Ah, bukan, gue Trisha." Trisha mengulurkan tangannya selayaknya orang yang akan berkenalan.

Ardan masih diam saja, bahkan dia mengerutkan keningnya. Lalu dia menarik tangan Aidan untuk masuk ke kamarnya, meninggalkan Trisha diluar.

Cukup lama Aidan dan Ardan berada di kamar, membuat Trisha sedikit kepo dengan apa yang yang terjadi, sebelum akhirnya pintu kamar kembali terbuka.

"Ardan bukan Ardan radio. Tapi Ardan Jaya Saputra." Ardan kini menglurukan tangannya lebih dulu.

"Trisha, biasa dipanggil Tica."

"Oke Trish."

Padahal Trisha sudah memberitahu nama panggilannya, tapi tetap saja Ardan memanggil dengan nama aslinya. Obrolan mereka tak lama, karena Aidan memotongnya dengan mengajak Trisha menuju kamar tamu.

Dari cerita Aidan, Trisha jadi tahu kalau Aidan dua bersaudara, tetapi dia mempunyai kakak angkat perempuan yang sudah menikah. Keluarganya pun hanya memperkerjakan satu orang pembantu dan hanya bekerja di pagi sampai sore hari.

"Selamat istirahat." Aidan meninggalkan Trisha di depan sebuah kamar yang cukup luas dan rapi. Sepertinya kamar ini sering dibersihkan, terbukti tidak ada debu di semua sudutnya.

Trisha merebahkan tubuhnya. Dia mengingat kejadian saat Aagam mengusirnya, menyakitkan. Cairan bening keluar dari matanya, namun tak lama dia langsung menyekanya. Terkadang Trisha ingin mengeluh layaknya orang-orang, mengadu kepada seseorang yang bisa membuatnya tenang.

"Seandainya Mama dan Papa masih disini. Tica enggak akan kesepian seperti ini, enggak akan diperlakukan tidak adil dan semena-mena." Air matanya kini dibiarkan lolos begitu saja.

Trisha memeluk lututnya dengan mata terpejam dan dia tertidur karena terlalu lelah dalam menangis.

Pagi hari Trisha melihat wajahnya di kaca, takut bengkak. Jadi dia berusaha ngecover wajahnya yang bengkak dengan  make up. Menyapunya dengan brush dan bedak miliknya.

"Ca, udah bangun?" suara Aidan berasal dari luar. Cepat-cepat Trisha membukakan pintu untuk Aidan.

"Udah."

"Yuk, sarapan, yang lainnya udah nunggu."

Trisha menoleh ke samping kamarnya. Biasanya pemandangan yang akan dia lihat adalah kamar Aagam, tapi sekarang tidak lagi. Dia mengikuti langkah Aidan dengan kecil-kecil, sampai tiba di meja makan keluarga Aidan. Semua sudah lengkap.

"Ardan kamu bawa pacarmu ke rumah?" tanya seorang wanita paruh baya kepada anak berseragam putih abu yang tengah mengolesi selai coklat ke rotinya.

"Gak ada Papa dan Mama kamu berani ya," sahut Papanya.

"Kamu mau kami nikahin selagi muda? Mau putus sekolah?" Mamanya masih mengomel ke arah Ardan, lalu dia menoleh ke arah Trisha, "Kok kamu mau nginep di rumah cowok saat orang tuanya gak ada?"

Mampus. Trisha diam, dia tidak bisa menjelaskan dia menoleh ke arah Aidan mencoba meminta pertolongan untuk sekadar menjelaskan kronologi semalam. Tapi sepertinya Aidan tak menerima sinyal itu.

"Tante..."

"Hahahahaha wajahnya lucu ya Pa?" Wanita itu kini tertawa lepas membuat Trisha bingung dengan tingkahnya, "Kami bercanda Trisha. Semalam Aidan udah menjelaskan semuanya kepada kami, tapi kamu gak mau sama Ardan aja yang lebih manis daripada Aidan."

"Ma, apaan sih." Aidan menimpali, lalu dia menarikkan kursi untuk Trisha duduk. Namun, disaat Aidan akan mengoleskan selai ke roti, Trisha langsung menyambarnya.

"Biar sama gue aja."

"Oh, lo mau buatin buat gue, gitu, Ca?"

"Eh." Trisha terlalu percaya diri dengan menganggap bahwa Aidan akan membuatkan roti untuknya. Dia malu. Namun, Aidan hanya tersenyum.

Senyuman Aidan membuat paginya lebih berwarna.

"Aidan hari ini kamu ikut ke kantor kan? Inget perjanjian kita diawal."

"Tapi, Pa. Tica gimana?"

"Dianter gue." Sambar Ardan

"Tau emang lo dia sekolah di mana?"

"Assford," jawab Ardan cepat.

"Tica sepertinya kamu bakalan bikin perang saudara," ujar mamanya Aidan.

"Hah, maksud tante?"

***

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA CERITA INEFFABLE.

GAK ADA KEJADIAN AAGAM DAN TICA DISINI.

TAPI AGAM EMANG SOK GENGSI SIH, NGESELIN.

ADA SARAN BUAT VISUAL ARDAN?

***
WITH LOVE,

ACI ISTRI SAH DAN SATU-SATUNYA OH SEHUN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro