Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21| Memulai Hidup Baru

NOW PLAYING | TAEYONG - LONG FLIGHT

SELAMAT MEMBACA CERITA INEFFABLE

#ByeTicAgam

BAGIAN DUA PULUH DUA | MEMULAI HIDUP BARU

Ini adalah awal dari semuanya. Selamat tinggal.

***

AAGAM masuk ke dalam kamar Trisha, membuka lemari pakaiannya dan ditarik semua pakaian Trisha dari tempatnya dibiarkan berserakan di lantai. Bahkan setelah puas mengeluarkan baju Trisha dari lemarinya, kini Aagam beralih ke meja belajar Trisha.

Buku-buku yang semula tersusun rapi, kini sudah berantakan. Entah, meskipun begitu Aagam tidak merasa puas. Aagam mulai memecahkan beberapa foto yang terpajang di kamar Trisha.

Mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari kamar Trisha. Trisha, orang tua Aagam dan Aidan langsung melihat apa yang terjadi.

Cukup terkejut. Kamar Trisha yang selalu rapi, sekarang berubah menjadi kapal pecah. Aagam benar-benar keterlaluan.

Mungkin ini adalah keputusan yang benar, keluar dari rumah Aagam. Meskipun tante Vero dan Om Tomi adalah orang yang baik.

"AAGAM BERHENTI!" bentak Veronica. Ajaibnya Aagam yang masih mengacak-ngacak kamar Trisha kini berhenti melakukan aktivitasnya.

Sorot mata Aagam menajam, namun tatapan mata Veronica juga tak kalah tajam.

"Sesuai permintaan kamu, Tica bakal keluar dari rumah ini," ujar Veronica, karena sebelumnya hal itu sudah dibicarakan selagi Aagam ada di dalam kamar Trisha.

Trisha hanya diam, Aidan berdiri di sampingnya lalu satu tangannya meraih tangan Trisha. Gadis itu menoleh, namun Aidan hanya cuek saja sambil mrnggenggaam tangan Trisha.

Entah kapan terakhir kali ada yang menenangkannya seperti ini.

Tentu mata elang Aagam melihat apa yang tengah dilakukan oleh Trisha dan Aidan. Pemuda itu berdecak sebal, bisa-bisanya mereka melakukan hal picisan seperti ini.

Diapergi meningalkan kamar Trisha karena kesal akan skinship antara Trisha dan Aidan. Aagam berniat menabrak Trisha dan Aidan supayan genggaman tangan itu terlepas, namun bukannya terlepas, hal itu malah membuat Agam jatuh tersungkur ke depan.

Kedua orang tuanya bahkan Trisha dan Aidan berusaha menahan tawa, karena sekarang Agam pasti tengsin.

Jatuh setelah marah-marah.

"Ca, malem ini kamu nginep dulu di rumah temen kamu ya? Besok Om cariin apartemen buat kamu."

"Iya, Om Tomi, makasih banyak." Trisha tersenyum, meskipun dia tidak tahu harus kemana.

Tidak mungkin dia ke rumah Kimi dan mengatakan bahwa dia diusir. Pasti akan sulit menjelaskannya, namun Trisha tidak mau merepotkan Om Tomi dan Tante Veronica lagi. Mereka sudah cukup baik padanya.

"Apa mau Tante pesanin hotel, Ca?" tawar Veronica dan Trisha langsung menggeleng tegas.

Dia tidak mau, nanti bakalan ada yang berpikiran macam-macam kepadanya. Keluar dari kamar hotel dengan baju seragam pagi-pagi. Membayangkannya saja sudah ngeri. Trisha tidak mau citra baik yang sudah dia ciptakan dari awal rusak begitu saja.

"Padahal Tante udah janji sama Almarhum Papa dan Mama kamu. Tapi, kalau kamu disini Aagam pasti semakin jadi. Tante sayang banget sama Tica." Veronica langsung memeluk Trisha dan Trisha pun membalas pelukan Veronica.

Memang, Veronica memperlakukan dia layaknya anak kandung sendiri. Veronica tidak pernah membeda-bedakannya dengan Aagam. Dia juga sudah menganggap Veronica dan Tomi sebagai orang tuanya sendiri, tetapi Trisha tidak bisa mengadu banyak hal, ada beberapa hal yang harus dia simpan rapat-rapat sendirian, agar tidak ada orang lain yang tahu akan kelemahannya.

Veronica membantu Trisha membereskan barang-barangnya. Awalnya Trisha membawa hampir semua barangnya, namun Veronica melarangnya, dia yakin kalau Trisha akan kembali ke rumah. Saat itu Trisha tidak mau berdebat, jadi dia hanya mengikuti permintaan dari Veronica. Dia hanya membawa beberapa bajunya dan yang terpenting adalah buku-buku pelajaran. Itu adalah nyawa Trisha. Akhir-akhir ini dia kurang fokus, karena ada yang mengganggunya.

Sudah bisa ditebak siapa yang mengganggu waktu dia belajar.

Barang Trisha sudah tersusun rapi di koper warna biru miliknya. Dia keluar dari kamarnya dan melirik sebentar ke kamar Aagam. Hanya helaan napas yang terdengar, Trisha tidak mengatakan apa-apa, namun Veronica tau bahwa Trisha tengah memikirkan tentang anaknya itu.

"Gak usah mikirin Aagam," ujar Veronica yang dibalas anggukan kecil oleh Trisha.

Gadis itu menarik kopernya ke lantai dasar. Mengalihkan tatapan dua orang yang tengah berbicara serius. Aidan dan Tomi. Aidan langsung menghampiri Trisha dan mengatakan apakah dia sudah siap untuk pergi atau belum.

Entah mengapa disaat-saat seperti ini, Aidan benar-benar mengerti dirinya. Mengapa dia tidak datang dari dulu saja? Kenapa Trisha baru mengenalnya sekarang?

Trisha pamit kepada Tomi dan Veronica, dia juga berpesan kalau keduanya tidak perlu khawatir akan keadaan Trisha, dia akan selalu memberi kabar.

"Yuk, Mas," ajak Trisha kepada Aidan.

Dengan sigap Aidan mengambil alih koper itu dan keduanya berjalan menuju pekarangan rumah. Aidan memasukan koper Trisha ke bagasi mobilnya dan meminta Trisha untuk langsung masuk lebih dulu ke mobil. Aidan tersenyum melihat Tomi dan Veronica berdiri disana, mengantarkan Trisha sampai depan.

"Om, Tante, Aidan anter Trisha dulu ya."

"Hati-hati nak Aidan, kalau ada apa-apa kabarin ya. Kalau Trisha butuh uang atau apapun, kamu bisa langsung bilang sama Tante dan Om."

"Pasti."

Aidan masuk ke dalam mobil, dia melihat Trisha enggan menatapnya bahkan membuka suara pun tidak. Untuk saat ini, Aidan tidak ingin banyak bertanya atas apa yang terjadi, karena dia pikir jika Trisha mempercayainya, dia akan buka suara dan menceritakan semuanya.

"Kamu mau saya anter kemana, Ca?" tanya Aidan dengan hati-hati

Trisha menggeleng. Dia tidak punya tujuan.

"Mau ke rumah saya?"

Ajakan konyol Aidan langsung membuat Trisha memicingkan matanya. Aidan sadar, dia salah menawarkan hal itu.

"Kecepetan ya?"

"Emangnya Mas mau jelasin apa ke orang tua Mas kalau ajak gue?" sarkas Trisha, "Apa orangtua Mas gak akan mikir macam-macam, anak SMA kabur bawa koper?"

"Yaudah kamu mau kemana?" Aidan menanyakan pertanyaan itu dengan hati-hati lagi, dia tau kalau Trisha tengah sensitif hari ini.

"Gak tau," jawab Trisha singkat.

Susah. Aidan hanya menjalankan mobilnya tak tentu arah dan tujuan. Tapi, hal itu justru malah membuatnya tersenyum sekilas. Ternyata, Trisha sama saja seperti cewek lainnya, yang akan menjawab gak tau atau terserah saat ditanya sesuatu.

"Kamu kalau kalau kek gini, berasa cewek beneran."

"Emang selama ini gue bukan cewek?"

"Ya, cewek sih, tapi...,"

"Tapi?" Trisha memotong ucapan Aidan.

"Ya selama saya kenal kamu, kamu orangnya punya tujuan. Kamu selalu menjawab A atau B jika saya ajukan pertanyaan, tapi sekarang kamu jawab hal yang tidak pasti. Itu bukan seperti kamu. Namun saya sadar, kalau kamu juga punya naluri seorang cewek yang suka membuat bingung kami. Saya hanya tau kamu berteman sama Nikolas, tapi saya gak mau nganterin kamu ke Nikolas lebih baik saya bawa kamu ke rumah saya."

Ucapan Aidan barusan ada benarnya juga. Trisha tidak pernah seperti ini, dia selalu mempunyai jawaban yang pasti akan sesuatu. Tapi, kali ini dia bingung harus bagaimana dan harus pergi kemana.

"Kamu gak punya teman selain Nikolas?"

"Ada."

"Saya antar kamu kesana aja, ya?"

"Gak bisa Mas, ada hal-hal yang rumit."

"Terus maunya kemana? Mau semalaman di mobil? Kamu enggak cape? Kamu harus istirahat Ca."

"Tica bingung Mas, Tica gak tau harus pergi kemana." Air mata Trisha mengalir di pipinya, membuat Aidan semakin serba-salah.

Trisha gadis yang tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya, tapi Aidan buru-buru mengambil tisu dan memberikannya kepada Trisha. Sebenarnya dia ingin menepikan mobilnya sebentar lalu memeluk Trisha, namun setelah mengingat sifat keras Trisha dia tidak jadi melakukan itu.

"Oke. Saya punya pilihan buat kamu. Kamu, saya pesanin hotel aja ya?"

"Pilihan itu selalu lebih dari satu, dan Tica gak mau ke hotel."

"Pilihan terakhirnya balik lagi ke pilihan pertama, ke rumah saya aja ya?"

"Tapi, nanti apa kata orang tua Mas?"

"Kamu bisa jelasin sedikit permasalahan kamu ke saya, lalu saya bisa membuat alasan buat Mama dan Papa di rumah. Tapi, sebelumnya saya punya permintaan buat kamu."

"Apa?"

"Jujur ya Ca, saya senang kamu panggil saya dengan sebutan Mas. Hanya saja, itu membuat saya berharap lebih dan berpikir kamu tertarik sama saya, kalau boleh saya ingin kamu panggil saya dengan sebutan nama saja."

"Tapi orang-orang di kafe manggilnya Mas juga. Gapapa kan itu?"

"Beda dong Ca, kamu itu lagi saya usahain supaya kamu mau sama saya. Ngerti kan maksudnya sampai sini?"

Ucapan jujur Aidan itu sedikit membuat garis senyum di bibir Trisha, meskipun hanya sekilas dan Trisha rasa Aidan tidak menyadari hal itu.

"Oke, Ay."

"Enggak Ay juga Ca, itu seperti manggil..."

"Ayang?" tebak Trisha, dan kini giliran raut wajah Aidan yang semerah tomat.

"Kamu pinter bikin orang susah jawab ya Ca."

"Oke Aidan. Tapi kalau boleh, Mas eh lo juga ngomongnya pake lo-gue, enggak saya-kamu. Aneh kuping gue dengernya."

Aidan mengangguk setuju, tanpa bantahan sama sekali. Itu perkara yang mudah, lagipula Aidan pun di kampus menggunakan bahasa seperti itu, namun baginya berbicara dengan orang yang dia suka harus sedikit berbeda.

"Tapi Ca, kalau manggil lo dengan kamu, kan, lebih sopan."

"Tica gak mau nanti orang tua lo, mikir kita ada hubungan, itu akan lebih susah dijelasin kenapa gue ke rumah lo. Ngerti, kan?"

"Kan bagus kalau dikira ada hubungan, tinggal nanya restu?"

"Aidan, gak sesederhana itu."

"Oke. Lo mau makan apa dan jangan lupa lo cerita secara garis besarnya masalah lo itu."

"Masakan Aidan aja."

Jawaban Trisha barusan membuat Aidan melayang tinggi. Dia senang.

"Biar irit soalnya, lo gak perlu keluar duit."

DIjatuhin lagi. Sudah biasa.

***

TERIMA KASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA INEFFABLE

JANGAN LUPA UNTUK SELALU VOTE + KOMENTAR

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAM :

Trishaadhiyaksa

aagamaffandra

asriaci13

With Love,

Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro