Indira - 9
Indira tidak keluar dari kamar hingga lewat tengah hari, saat itu Juan ternyata kembali pergi ke kantor. Sarapan yang dibawa Juan tadi sudah tandas berikut jus jambu satu gelas besar yang ada di sana. Perut Indira kenyang dan rasa kesalnya pada Juan sedikit berkurang.
Indira sudah mandi dan berganti pakaian santai, kemudian dia menghubungiLia, mengatakan bahwa ia tidak masuk kerja. Lia bertanya kenapa, Indira hanya mengatakan dirinya tidak enak badan. Sambungan itu berakhir setelah Lia mengucapkan semoga lekas sembuh dan Indira membalasnya dengan ucapan terimakasih.
Awalnya Indira senang tidak masuk kerja satu hari, jadi ia bisa istirahat pasalnya belum pernah ia libur sejak bekerja di perusahaan Juan. Namun ketika satu jam berlalu, kemudian beberapa jam lagi, Indira jadi bosan, ia hanya berbaring di ranjang ataupun menonton TV.
Indira rupanya bukan wanita yang biasa bersantai. Karena sejak kecil ia selalu hidup susah, Indira terbiasa memiliki kegiatan untuk dikerjakannya.
Bingung harus melakukan apa, Indira kembali ke kamar. Ia memutuskan untuk merapikannya saja. Indira membuka lemari pakaian Juan, merapikan pakaian tersebut satu-persatu---walaupun sebenarnya tidak perlu karena lipatan pakaian itu masih rapi, Juan bukan pria yang berantakan. Namun Indira tidak peduli, bila diam tanpa melakukan apapun ia bisa gila.
Setelah membongkar dan menyusun kembali pakaian Juan, Indira beralih ke dasi dan sepatu Juan, semuanya dirapikan Indira dengan senang hati. Mengaturnya agar Juan lebih mudah memilih jam tangan mana yang akan dipakainya.
Indira berdiri, memperhatikan hasil pekerjaannya. Rapi dan memuaskan. Juan memiliki barang-barang berkualitas. Pakaiannya tidak terlalu banyak tapi semuanya berharga mahal, begitupun dengan dasi, sepatu dan jam tangannya.
Tiga bulan yang lalu Juan ulang tahun. Indira saat itu bingung akan memberi hadiah apa padanya. Indira berniat membelikan Juan jam tangan. Sebelum pergi ke toko, ia meneliti dan memperhatikan merk jam tangan Juan yang ada di lemari. Indira terkejut ketika tahu berapa harganya. Dengan meringis dan tersenyum lemah ia permisi ke penjaga toko dan keluar dari toko tersebut. Indira tidak punya uang membeli jam tangan yang sesuai untuk Juan.
Pada akhirnya ia membelikan kaos kaki. Lima pasang sekaligus. Harganya memang tidak terlalu mahal namun nyaman ketika dipakai. Juan senang akan hadiahnya, sekarang Juan selalu memakai kaos kaki yang dibelikannya itu.
Indira tersenyum mengingat saat ia memberikan hadiah itu. Juan tampak terkejut menerimanya, pria itu tidak mengira Indira akan memberinya hadiah. Juan sendiri tidak peduli pada ulang tahunnya. Juan memeluk Indira, menciumnya, dan mengatakan rasa senangnya. Juan bilang kalau ia akan terus memakai kaos kaki itu, sampai rusak dan tak bisa dipakai lagi. Indira tertawa lalu membalas pelukan Juan.
Ada kalanya Juan bersifat manis hingga membuat Indira melayang dengan perasaan senang yang tak terkira. Namun tak jarang Juan bersikap menyebalkan, layaknya bajingan yang membuat siapapun hilang kesabaran.
Ketukan pelan di pintu memutus hayalan Indira tentang Juan dan sikapnya yang berubah-ubah.
''Siapa?" tanya Indira, menutup lemari di depannya.
"Gisel, Tante."
Indira menolehkan kepala ke pintu. "Masuk saja, Sayang. Pintunya nggak dikunci kok."
"Nggak bisa," Gisel merengek. "Tangan Gisel nggak nyampe."
Indira tertawa kemudian berjalan ke pintu. Gisel yang masih mengenakan seragam sekolah menengadah kepadanya. "Mana mba Dewi?" Dewi adalah pengasuh Gisel.
"Nyimpan tas sama sepatu Gisel. Gisel udah bilang kok kalau mau ke kamar Tante."
"Kok Gisel tahu tante nggak kerja?"
"Papa yang bilang," Gisel melewati Indira saat dia masuk ke kamar itu. "Tadi Papa yang jemput Gisel."
Oh. "Terus Papa mana?" tanya Indira, melongokkan kepalanya keluar namun tidak menemukan pria itu.
"Udah pergi lagi," jawab Gisel, ia melompat-lompat di tempat tidur.
Indira menutup pintu kamar, meringis melihat lompatan-lompatan Gisel yang tinggi.
"Jangan melompat seperti itu," tegurnya. "Nanti kamu jatuh, sayang."
Gisel menggeleng, masih terus melompat. "Gisel nggak lompat, Tante. Gisel terbang."
****
Indira dan Gisel sedang bermain di ruang tamu ketika seorang wanita datang. Dewi permisi setelah mempersilahkan wanita itu masuk.
''Ada yang bisa saya bantu?" Indira diberitahu ada tamu, ia langsung menyuruh Dewi menemani Gisel kemudian menemui tamu tersebut.
Indira tidak mengenalnya. Wanita itu cantik dan modis meski tidak muda lagi. Dia menatap Indira dengan tatapan meremehkan dan sedikit menghina.
"Jadi kamu," mulainya. "Yang membuat Juan bercerai dengan Viona?" Ia menggeleng dan berdecak. "Wajah dan tubuhmu memang seperti pelacur."
Indira terhenyak mendengar penghinaan tak berperasaan itu. "Maaf, Tante. Saya tidak mengenal Anda, dan tidak seharusnya Anda mengatakan hal seperti itu pada saya."
"Kamu tidak terima dengan apa yang saya katakan?" tanyanya bengis. "Seharusnya kamu tidak tidur dengan suami orang. Oh, jangan menyangkal kalian berbagi tempat tidur! Aku bisa melihat itulah tujuan Juan membawamu serumah dengannya."
"Juan sudah bercerai.'' Indira berusaha tenang, ia tidak tahu kenapa wanita ini tiba-tiba datang dan marah padanya.
"Kalian sudah bersama bahkan sebelum Juan bercerai." Wanita itu tertawa mengejek. "Akui saja kalau kamu jadi pelacurnya Juan."
"Kalau Anda nggak bisa berbicara sopan sebaiknya Anda keluar!" Napas Indira tidak beraturan. Sakit hati, amarah, malu, segalanya bercampur menjadi satu.
"Kamu mengusirku?"
"Ini rumahku."
"Hah, kamu bahkan mengklaim rumah Juan sebagai rumahmu? Ck. Ck. Kamu memang tidak tahu malu."
Amarah Indira naik ke permukaan. "Rumah ini milikku," ia menjerit keras, menatap tajam wanita itu.
Plakkkk
Indira terkesiap, meraba pipinya yang terasa panas. Baru saja wanita itu menamparnya.
"Wanita murahan sepertimu berani berteriak padaku?" katanya kasar. "Biar kamu tahu, aku ibunya Viona. Dan aku tidak ikhlas Juan bercerai dengan Viona, apalagi karena wanita murahan sepertimu."
Indira merasakan perih di bibirnya, bibirnya berdarah dan ngilu. Ia menatap wanita di depannya dalam diam. Ia berharap wanita itu segera pergi dan meninggalkannya.
Wanita tersebut mengangkat telunjuknya dan menunjuk Indira. "Kamu boleh senang sekarang karena Juan memilihmu, tapi kamu akan menyesal karena membuat Juan dan Viona bercerai. Juan pada akhirnya akan bosan denganmu, aku tidak mengerti apa yang dilihatnya darimu." Dia berbalik begitu saja dan pergi.
Indira bersyukur air matanya jatuh setelah wanita itu pergi, ia menggigit bibirnya agar isakannya tidak keluar.
"Tante," seru Gisel pelan, gadis kecil itu menghampirinya.
Indira buru-buru menghapus air matanya. "Iya, Sayang?" katanya sembari tersenyum.
"Eyang kenapa tampar Tante Dira?" Gisel melihat bekas air mata di pipinya. ''Tante nangis?"
"Nggak, kok," Indira menggeleng. "Tante nggak nangis."
"Tante Dira bohong. Gisel tadi lihat Eyang pukul Tante, Eyang jahat. Tante Dira jadi nangis," Gisel ikut terisak, pipi putihnya jadi merah.
Indira menggendong anak itu dan menenangkannya. "Gisel kok nangis?" tanyanya lembut.
"Eyang pukul Tante Dira." jawabnya tersedu.
"Yang dipukul, kan, Tante bukan Gisel."
"Tapi Gisel nggak suka. Gisel benci Eyang, Eyang jahat."
Indira mengecup puncak kepala Gisel, membawanya semakin erat dalam pelukannya. Tanpa disadarinya air mata jatuh kembali ke pipinya.
****
Jam sembilan malam Juan pulang. Indira sedang berbaring di tempat tidur ketika Juan masuk ke kamar.
Juan memandang Indira, Indira mengabaikan pria itu.
"Kamu masih marah," tanya Juan. Ia membuka lemarinya, mencari kaos yang akan dipakainya. Setiap hari Juan selalu melihat isi lemarinya, jadi ia tahu kalau ada yang berubah pada lemari itu. "Pakaianku kamu rapikan, ya, Ra?" Juan menoleh padanya.
"Kalau kamu ngambil baju makanya jangan buru-buru, biar nggak berantakan terus." Padahal dia dan Juan tahu isi lemari itu tidak ada yang berantakan.
Juan menyugar rambutnya, memilih masuk ke kamar mandi dan membuat tubuhnya segar. Indira tampaknya belum akan menurunkan darah tingginya.
Juan menghampiri Indira sesudah memakai boksernya, tanpa atasan. Indira masih mengabaikannya, wanita itu bermain game di ponselnya.
"Kamu ngapain?" tanya Indira ketika Juan berbaring di sampingnya.
Alis Juan berkerut. "Tidur, apalagi?"
"Siapa bilang kamu boleh tidur di sini?"
"Dira," Juan mengumpat. "Kamu jangan bercanda! Kamu serius mengusirku dari kamar?"
"Sangat serius." Indira meletakkan ponselnya lantas melipat tangan di dada, membalas tatapan Juan. "Masih ada kamar lain di sini, untuk sementara kamu tidur di sana saja dulu."
Juan menatap Indira seolah Indira punya dua mulut. "Kamu bercanda, kan?"
"Aku serius, Juan."
Juan tidak bersuara lagi, pria itu turun dari tempat tidur, keluar kamar dengan membanting pintunya. Indira menatap pintu yang tertutupu itu kemudian menghela napas.
Indira membutuhkan waktu setelah apa yang terjadi siang tadi. Rentetan kata-kata yang diucapkan dengan penuh kebencian itu mengguncang hati Indira.
Apakah benar dirinya adalah penyebab perceraian Juan?
Indira memejamkan mata, menggeleng lemah.
Baru saja perasaannya mulai tenang tatkala pintu lagi-lagi dibanting. Juan masuk dengan wajah yang bahkan lebih marah daripada saat Indira bersama bima.
''Ada apa denganmu?" tukas Indira. "Kenapa kamu suka sekali membanting-banting?"
Juan mengabaikan Indira, pria itu mendekatinya kemudian memegang pipi Indira. "Gisel bilang wanita itu memukulmu," katanya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku?" Satu kaki Juan naik ke tempat tidur, pria itu mencondongkan tubuhnya agar bisa lebih dekat dengan Indira.
Indira mencoba melepas tangan Juan dari pipinya. Walau sentuhan itu lembut namun masih menimbulkan peri di bibirnya.
Juan melihat luka tersebut, rahangnya menegang. "Wanita sialan itu," Juan begitu marah. "Dia akan menyesal karena memukulmu."
"Jangan," Indira berkata pelan. ''Semua memang salahku. Aku nggak seharusnya berteriak padanya. Aku membuatnya marah, Juan."
"Aku mengenalmu, Indira," Juan mengusap pipinya. "Kamu tidak melakukan hal yang salah. Dia yang sudah kelewatan. Perbuatannya tidak bisa dimaafkan."
Indira bangkit, merangsekkan kepalanya ke dada Juan. Ia memeluk pria itu dengan kedua tangan. "Dia...dia menyebutku..." suara Indira tersangkut di tenggorokan.
"Sssttt," Juan mengusap kepala Indira. "Aku tahu apa yang dikatakannya. Aku sampai harus memutar otak karena Gisel bertanya apa itu pelacur. Yang perlu kamu tahu kamu bukan seperti apa yang diakatakan."
Indira semakin membenamkan dirinya di dada Juan. Ia membiarkan detak jantung pria itu menyatu dengan detak jantungnya sendiri.
"Apakah pipimu sakit?" tanya Juan lembut.
Indira menggeleng. "Tadi iya, tapi sekarang sudah nggak."
Lama mereka berpelukan, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Indira menyukai bagaimana Juan memeluknya. Mendekapnya dengan kehangatan yang ada pada pria itu. Ia lega Juan tidak menyalahkannya. Indira sempat mengira bahwa Juan takkan senang ia berteriak pada mantan mertuanya itu dan akan memarahinya.
Tapi ternyata Juan begitu marah dengan luka pada bibirnya. Indira merasa tenang dalam perlindungan Juan. Juan tidak pernah mengatakan dirinya menyayangi Indira, namun entah kenapa Indira tahu Juan akan melindunginya, takkan membiarkannya terluka.
"Dira?" seru Juan setelah beberapa saat yang sunyi.
"Hhmm," Indira menggesekkan pipinya di dada Juan.
"Aku memikirkannya lima menit yang lalu," katanya memulai. "Gisel membutuhkan seorang ibu, Gisel butuh seseorang yang menyayanginya. Gisel menyukaimu, dan aku bisa melihat kamu menyayanginya. Gisel memerlukan ibu yang menyayanginya dengan tulus, bukan memanfaatkannya."
"Lalu?" Indira mendengak, melihat Juan yang mengarahkan tatapannya ke jendela yang tertutup. Tatapan pria itu seolah memikirkan masa depan.
"Kita sudah bersama lebih dari enam bulan. Kita tinggal di rumah yang sama. Kita tidur di tempat tidur yang sama." Indira tidak tahu ke mana arah perkataan Juan, ia menunggu Juan melanjutkan. "Karena itu...," untuk beberapa saat yang singkat Juan terlihat tidak yakin dengan dirinya sendiri. "Menikahlah denganku, Dira."
"Menikah?" Indira nyaris pening mendengar kalimat terakhir Juan. "Tapi kamu baru bercerai, Juan."
Juan menatapnya. "Baiklah, kita menikah satu bulan lagi. Waktu segitu sudah cukup. Persetan dengan apa yang dikatakan orang lain. Aku dan Viona sudah berakhir, bahkan kami berdua tidak saling menyukai. Setiap orang berhak memulai hidup baru."
"Tapi apakah kamu mencintaiku?" Ingin rasanya Indira bertanya seperti itu namun urung, takut akan jawaban Juan. Tak semua pernikahan harus berdasarkan cinta, kan?
"Ada apa?" Juan menyadari kegundahan Indira.
"Aku mau," jawab Indira pelan. "Aku mau Juan."
Juan tersenyum, senyum lebar yang mampu menggetarkan Indira. Juan melumat bibir Indira dengan bernafsu, menguasai setiap sudut mulut Indira dengan lidahnya. Indira melayang, meremas rambut Juan, menjadikannya pegangan. Indira nyaris pingsan karena kehabisan napas saat Juan melepas ciumannya.
"Satu bulan lagi kita menikah," kata Juan dengan napas masih sedikit terengah. "Kamu akan menjadi milikku."
''Sekarang pun aku sudah milikmu, Juan."
"Tapi orang tidak tahu. Setelah kamu menyandang namaku, laki-laki yang menyukaimu akan berpikir ulang sebelum mendekatimu."
"Apa yang kamu takutkan?" Indira memegang pipi Juan.
"Kamu pergi meninggalkanku untuk pria yang lebih baik dariku."
"Kamu sempurna untukku," Indira tersenyum melihat sisi Juan yang ini.
"Aku terlalu tua untukmu."
"Umurku dua puluh tiga, Juan. Menurutku kita cocok."
"Aku tiga puluh lima. Laki-laki yang bersamamu kemarin umurnya lebih muda. Aku bisa melihat dia juga menyukaimu dan ingin menjadikanmu miliknya sendiri."
"Nggak cukup kalau kubilang aku hanya menginginkanmu? Kamu memilikiku, semuanya. Apa lagi yang ingin kamu dengar?"
"Tidak ada," Juan mendorong Indira hingga telentang. "Itu sudah cukup. Untuk itulah aku ingin menikah denganmu."
"Supaya bisa bebas meniduriku?" Indira menggoda Juan.
Juan tertawa. "Tentu saja," Juan menahan tangan Indira di atas kepala. "Apa gunanya istri selain untuk ditiduri setiap malam?"
Indira cemberut, dia sudah akan protes namun protesannya dibungkam Juan dengan bibirnya. Juan sudah hampir melepas pakaian Indira saat pintunya diketuk.
"Siapa??" Juan berteriak. Juan sudah sangat bergairah, hingga gangguan itu membuatnya tidak senang. Orang di balik pintu tidak menjawab.
Karena sudah tidak tahan, Juan kembali melanjutkan aksinya. Indira tertawa melihat ketidaksabaran Juan.
"Kamu senang membuatku terangsang karena menginginkanmu?" desis Juan. Indira mengangguk sembari tersenyum.
Juan menggeram ketika lagi-lagi pintu diketuk, kali ini ketukannya sangat pelan.
Juan tidak mengacuhkan ketukan itu, ia meremas payudara Indira, mengerang karena hasratnya sendiri. Tapi Indira tahu siapa yang mengetuk tersebut.
"Juan," ia memegang pipi Juan, hampir tidak sanggup menarik kepala pria itu menjauh. "Itu Gisel."
Nama putrinya membuat Juan sedikit menjauh, ia menatap Indira tidak percaya.
Indira mengangguk. "Buka pintunya, pasti dia yang ada di belakang pintu."
Juan membenahi diri seadanya, kemudian membuka pintu. Benar saja, Gisel berdiri di sana dengan mata sembab.
Juan membawa gadis kecil itu ke tempat tidur. Indira sudah memakai bajunya, walaupun rambutnya masih berantakan.
"Kenapa, sayang?" tanya Indira.
Melihat Indira, bibir Gisel bergetar kemudian dia menangis. Anak itu mengulurkan tangan, minta digendong Indira, Indira memeluknya,
"Mba Dewi jahat," adu anak itu.
"Memangnya mba Dewi kenapa?"
"Mba Dewi nggak mau Gisel ajak main."
Alis Indira mengernyit. "Kok mba Dewi nggak mau?" Indira menatap Juan, Juan melotot. Indira tertawa, Juan pasti sangat kesakitan. Bukti gairah pria itu masih terlihat jelas.
"Nggak tahu," jawab Gisel sesenggukan. "Padahal Gisel nggak minta yang aneh-aneh. Gisel cuma mau main putri-putri kerajaan, Gisel minta mba Dewi jadi pelacurnya. Mba Dewi marah sama Gisel, mba Dewi bilang Gisel nggak sopan."
Indira terkejut, Juan mengumpat.
Tak lama kemudian Gisel tertidur di pelukan Indira.
"Aku akan membunuh wanita itu," kata Juan marah.
"Waktu Gisel bertanya soal pelacur, kamu jawab apa?"
Juan mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, jadi aku mengatakan kalau pelacur itu putri raja yang kabur dari kerajaan. Gisel menyukai cerita itu jadi dia tidak bertanya lagi," Juan membela diri ketika mendapat pelototan dari Indira.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro