Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 7

"Sudah mau pulang?"

Indira terlonjak, terkejut mendengar suara tiba-tiba itu.

Bima tersenyum. ''Maaf, kamu jadi terkejut. Mau menumpang?"

Siang tadi Bima berhasil membuat Indira tidak bisa menolak ajakan makan siang pria itu, Indira mengajak Lia ikut agar tidak cuma berdua saja dengan Bima. Lagipula Indira memang tidak sepenuhnya menolak ajakan Bima. Indira senang mengobrol dengan Bima, Bima selalu bisa membuatnya tertawa. Bahkan Lia tidak keberatan bila makan siang lagi dengan Bima. Selain senang dengan selera humor pria itu, Lia menyukai makanan gratis.

"Nggak usah, Bim." Indira menolak. ''Aku naik taksi saja."

"Ngapain naik taksi kalau ada dokter ganteng yang mau nganterin kamu?"

Indira tertawa. "Kamu kepedaan, Bima."

Bima menaikkan alisnya. ''Jadi kamu menyangkal kalau aku ini tampan? Sumber yang menjadi penilaiku bisa dipercaya, Ra. Akui saja aku memang tampan." Bima masih penasaran dengan pria yang datang ke rumah Indira tempo hari, namun ia tidak tahu bagaimana cara menanyakannya tanpa terdengar melewati batasan. Bima menyukai Indira, sejak pertemuan mereka malam itu Bima terus memikirkan Indira. Saat sekarang ia tahu Indira bekerja di perusahaan yang sama dengannya, Bima akan mencari cara agar sering-sering bertemu dengannya.

"Iya, kamu memang tampan. Sudah?" Indira menggelengkan kepalanya melihat kenarsisan Bima. "Ada orang ganteng nggak nyadar dia ganteng, nah kamu---"

"Aku sadar aku ganteng, Dira." Bima nyengir, membuat wajahnya semakin manis. ''Sudah, itu berarti sekarang kamu pulang bareng aku."

''Tapi---"

"---aku ambil mobilku dulu," Bima tidak membiarkan Indira bicara. ''Kamu tunggu di sini, aku nggak lama."

"Kamu terbiasa memaksa orang menuruti kemauan kamu, ya?" Seru Indira ketika sudah berada di mobil Bima.

Bima menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, tersenyum senang dengan Indira yang duduk di sampingnya.

"Aku nggak maksa kamu, Ra," ia melihat Indira sekilas. "Aku menawarkan tumpangan."

"Aku menolak tapi kamu nggak terima."

"Baiklah, aku tadi sedikit memaksa. Tapi kamu memang nggak berniat nolak ajakan aku."

"Sok tahu," Indira mendengus.

"Aku memang tahu. Perempuan, kan,  seringnya seperti itu. Pura-pura menolak, itupun setengah hati."

"Ck, ck, kamu memang nggak bisa dilawan, ya."

Bima terkekeh. "Duduk manis saja, Dira. Sebentar lagi juga kita sampai."

Ponsel Bima berbunyi.

"Ra, tolong ambilkan ponselku di tas."

''Tas kamu di mana?" Indira mencari-cari dengan matanya.

"Di kursi belakang."

Indira membalikkan badan, setengah berdiri saat meraih tas kerja Bima. Posisi Tubuh Indira yang seperti itu membuat roknya melekat membentuk bokongnya yang sekal. Bima menelan ludah melihat pemandangan itu, ia berusaha berpikir normal dan bukannya menghayalkan yang tidak-tidak.

Indira sedikit kepayahan meraih tas kulit tersebut. Setelah tangannya bisa memegangnya, dia membalikkan badan. Ketika melakukannya, rambutnya yang panjang hampir menyentuh wajah Bima. Sontak aroma harum rambutnya membuat Bima menegang.

"Kamu letakinnya jauh banget," Indira mengomel. "Aku jadi susah mengambilnya." Indira membuka tas itu kemudian mengeluarkan ponsel Bima yang masih berbunyi, ia menyerahkannya pada Bima. "Mama kamu."

Bima berdehem, menormalkan detak jantung dan perasaannya yang aneh. Ia mengambil ponsel tersebut dari Indira.

"Halo, Ma. Ini lagi di jalan mau pulang," sejenak Bima diam, mendengarkan ibunya bicara. "Oh, ok, Ma." setelah mendengar beberapa kalimat lagi dari ibunya, Bima memutuskan sambungan, mengembalikan ponselnya ke Indira. Indira memasukkannya kembali ke tas. "Kita mampir ke rumah Mamaku sebentar, ya. Sebentar saja, Ra." tambah Bima ketika melihat keengganan Indira. Indira akhirnya mengangguk.

Bima memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah bergaya viktoria, rumah tersebut besar dan mewah. Bima menuntun Indira masuk ke rumahnya.

"Kamu memang kalau nggak disuruh pulang nggak pernah mau pulang sendiri," suara cempreng wanita paruh bayah menyambut kedatangan mereka, wanita itu memeluk dan mencium pipi putranya. Bima terlihat malu dengan perlakuan ibunya tersebut. Bima sudah 28 tahun namun ibunya tetap memperlakukannya seperti remaja.

"Bima sudah punya rumah sendiri, Ma," ujar Bima entah untuk yang keberapa kalinya sejak ia tinggal sendiri. "Lagian Bima sering pulang, kan. Bima juga punya kerjaan, nggak selalu ada waktu."

"Rumah sendiri kamu bilang?" Ibunya menepuk pipi Bima. ''Sebelum kamu punya istri yang bisa mengurus kamu, ibu nggak akan bisa tenang. Seharusnya kamu nggak pindah, rumah ini besar, Bima, masih cukup bahkan untuk selusin anakmu nanti."

Indira tidak bisa menahan tawa mendengar perkataan Ibu Bima. Bima bahkan belum menikah tapi sudah diprediksi punya anak selusin. Apa kabar dengan program pemerintah untuk keluarga berencana?

Ibu Bima menolehkan kepala mendengar tawa pelan itu, ia menatap Indira, baru sadar ternyata anaknya tidak datang sendiri. Ketika melihat Indira, senyum wanita itu mengembang. Ia melepaskan tangannya dari Bima dan beralih ke Indira.

"Kenalin, Indira, Ma," Bima memperkenalkan. Ibunya mengangkat sebelah tangannya menghentikan putranya itu.

''Mama bisa kenalan sendiri," katanya pada Bima, dan saat ia bicara dengan Indira nada suaranya berubah lembut dan manis. "Nama kamu siapa, sayang?"

"Indira, Tante," jawab Indira, menyalim tangannya. "Kebetulan tadi saya dan Bima sedang dalam perjalanan pulang waktu tante nelpon, jadi mampir." Entah kenapa Indira merasa perlu menjelaskan keberadaannya bersama Bima. Mungkin karena tatapan Ibu Bima yang penuh harap.

"Oh," mulut wanita itu membulat. "Bima jemput kamu pulang kerja? Ya, ampun," mata wanita itu menajam melihat anaknya. "Kamu kok nggak bilang soal Indira?"

"Indira kerja di perusahaan yang sama dengan Bima, Ma," kata Bima. "Nggak ada yang perlu diceritakan. Tadi Mama bilang mau bicarain sesuatu, Mama mau bilang apa?"

"Nggak ada," wanita itu memegang tangan Indira, mengedipkan matanya. "Kalian belum makan malam, kan?"

Bima yakin ibunya telah salah menafsirkan hubungannya dengan Indira. Sedangkan Indira terlalu sopan untuk membuat kesenangan ibunya hancur. Bima menghela napas. Ia senang ibunya menyukai Indira, tapi kalau Indira jadi tidak nyaman juga tidak bagus untuk pendekataannya.

"Ma, kami cuma mampir sebentar---"

''Indira pasti lapar," bantah Ibunya. "Iya, kan, sayang?"

"Hhmm," Indira melirik Bima, bingung akan menjawab apa.

"Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Kalau lapar ya makan, cuma itu solusinya. Kebetulan Tante masak banyak, kamu pasti suka. Bima sudah bilang belum kalau Tante pintar masak?" Wanita itu terus bicara sembari menarik tangan Indira ke meja makan. "Anak itu sudah Tante suruh kawin, tapi nggak kawin-kawin. Baru sekarang dia bawa perempuan ke rumah, biasanya cuma kertas-kertas dokternya itu. Bima pikir dia bisa kawin dengan pekerjaannya, Ra. Padahal, kan, cucu nggak bisa datang sendiri."

Bima yang mengikuti kedua wanita itu mengerang malu. Ibunya terus bicara sementara Indira terlihat mendengarkan, indira tersenyum mendengar ocehan-ocehan ibunya.

Indira menoleh melirik Bima. Bima mengangkat bahu seolah mengatakan dirinya tak punya kuasa menangani ibunya dan semua ocehannya.

Sebentar yang dikatakan Bima tadi berlanjut hingga berjam. Ibu Bima benar-benar memperlakukan Indira seperti calon menantunya. Memang itulah yang dipikirkannya. Wanita itu menyukai Indira. Sekali melihatnya dia langsung punya perasaan Indira akan cocok dengan Bima. Indira akan bisa mengurus putranya itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat Bima mengantarnya pulang.

"Maaf, ya, Ra. Kamu pasti nggak nyaman dengan perlakuan Mama tadi," ujar Bima tidak enak.

"Nggak kok. Aku menyukai ibumu, masakannya juga enak."

"Mama juga sepertinya menyukaimu."

Suasana di mobil itu tiba-tiba sunyi, Indira berdehem. "Aku turun, ya. Makasih untuk tumpangan dan makan malamnya," ia tersenyum lalu membuka pintu mobil.

Bima mengangguk. "Aku nggak keberatan kamu terus numpang di mobilku. Karena toh rumah kita sebelahan." Tatapan Bima menangkap mobil hitam yang tempo hari dilihatnya terparkir di halaman rumah Indira. Lidahnya gatal ingin bertanya namun urung, alih-alih dia berkata. "Yasudah kamu istirahat, besok kan harus kerja lagi."

"Sekali lagi makasih, ya." Indira menutup pintu kemudian berjalan ke rumahnya.

****

"Aku baru tahu jarak dari kantor ke rumah memakan waktu tiga jam," Juan berdiri di depannya begitu Indira masuk dan menutup pintu rumah.

Juan marah, Indira tahu. Wajah pria itu sudah menegang seperti orang sakit gigi.

Setelah keluar dari rumah ibu Bima ia melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Juan. Indira ingin mengirimi pria itu pesan, namun tidak jadi, tahu amarah Juan takkan reda hanya dengan satu-dua pesan.

"Aku ke rumah ibu," dustanya, berharap kebohongannya tidak kentara. "Ibu ingin bertemu denganku."

Juan menatapnya dengan tatapan aneh. Indira bukan pembohong yang pintar, apakah Juan tahu ia sedang berbohong.

"Apakah ibu baik-baik saja?" Juan bertanya. "Seharusnya kamu memberitahuku. Aku menghubungimu berulang kali tapi tidak kamu angkat, kupikir terjadi sesuatu denganmu."

"Maaf, tadi aku sedang bercerita dengan ibu jadi panggilanmu tidak terdengar," kebohongan yang lain lolos dari bibirnya. Memang, ketika satu kebohongan sudah timbul, akan ada kebohongan lain untuk menutup kebohongan yang pertama. Bukan ibunya yang tadi bercerita dengannya melainkan ibu Bima. "Ibu baik-baik saja," kalimat itupun adalah setengah kebohongan, pasalnga ia tidak tahu kondisi ibunya sekarang. "Kamu jadi menjemput Gisel?"

"Dia di kamar, dia menanyakanmu tadi." Raut wajah Juan masih tidak enak dipandang, asam.

Indira tersenyum lebar. ''Aku akan menemuinya." Ia pergi ke kamar Gisel. Kamar itu Indira sendiri yang merapikannya, mengisinya dengan mainan-mainan dengan warna beragam.

Gisel berlari menubruk perutnya begitu ia masuk. Indira hampir saja jatuh ke belakang kalau tidak ada Juan yang memegangnya. Juan mengambil tas Indira agar wanita itu bisa leluasa memegang Gisel.

"Tante Indira dari mana saja?" Anak itu mendengak. "Kok pulangnya lama?"

"Gisel dudah nggak cadel lagi?" Hal pertama yang ditangkap Indira dari perubahan Gisel adalah anak itu sudah bisa menyebut huruf 'R' dengan benar.

"Hooh," Gisel mengangguk sambil tersenyum. "Papa belikan Gisel boneka beruang besar karena nggak cadel lagi, Tante. Tapi bonekanya belum bisa dibawa karena besar banget, kata Papa besok Papa yang jemput di rumah nenek."

"Oh, ya?" Indira menggendong Gisel, membawanya keluar kamar. "Sebesar apa?"

"Sebesar apa, ya?" Gisel berpikir. "Pokoknya besar deh," putusnya setelah tidak menemukan ukuran yang tepat. "Kepalanya aja lebih besar dari kepala Papa."

Indira tersenyum, mencium pipinya yang montok. "Gisel sudah makan?"

"Sudah. Kami nunggu-nunggu Tante pulang, jadi makannya lama. Terus Gisel sudah lapar, jadi kami makan duluan." Gisel menatap ayahnya sekilas, gadis kecil itu memajukan kepalanya lantas berbisik di telinga Indira. "Papa bilang biar Tante Dira nggak makan karena nggak pulang-pulang." Gisel terkikik sendiri.

Indira melirik Juan, pria itu masih tetap memegang tasnya dan mengikutinya. Wajahnya masih asam dilihat.

"Gisel senang, nggak, pindah ke sini?" Lebih enak melihat wajah Gisel yang ceria daripada Juan---yang walaupun tampan tapi cemberut.

"Senang, Tante. Senangnya banyak."

Indira terkekeh, diciumnya lagi pipi gembil Gisel.

''Sebenarnya kamu mau membawanya ke mana?" tanya Juan yang mulai lelah berjalan ke sana ke mari tanpa tujuan.

"Keliling rumah saja," Indira menoleh ke Juan. "Memangnya nggak boleh? Kalau kamu nggak suka kamu nggak usah ikut."

"Iya," Gisel setuju. "Tante Dira nggak ada ajak Papa, kok."

Juan menatap keduanya dengan mata melebar. "Berikan Gisel pada pengasuhnya. Aku ingin bicara."

Kali ini Gisel yang cemberut. "Gisel masih mau sama Tante Dira, Pa."

"Besok lagi, Papa mau bicara sama Tante Dira." Nada suara Juan tidak bisa dibantah.

Indira menghela napas kemudian mengembalikan Gisel ke kamarnya di mana sudah ada pengasusnya menunggu di sana.

****

Saat masuk ke kamar Juan malah naik ke tempat tidur dab berbaring di sana.

"Kamu bilang mau bicara," Indira menatap Juan. "Mau bicara apa?"

"Kamu mandi dulu baru kita bicara." Juan melipat tangan dan meletakkannya di bawah kepala, membalas tatapan Indira.

Indira hanya menggeleng lalu pergi ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan mengenakan jubah mandi.

"Naik ke sini." Kata Juan.

"Tunggu," Indira memunggungi Juan. "Aku berpakaian dulu."

"Tidak perlu, Dira. Kenapa harus memakainya kalau pada akhirnya akan kaubuka lagi."

Indira membalikkan badan. "Juan---"

"---naik, Indira."

Indira menghentakkan kakinya kemudian melompat ke Juan, otomatis menimpa pria itu.

"Ya Tuhan, Indira, apa yang kamu lakukan?" Juan Menggeser Indira dari atasnya.

"Menimpamu," jawab Indira biasa saja. "Kamu selalu sok mengatur, Juan." Indira telentang dengan wajah kesal. Juan tidak peduli.

Juan bertumpu di sikunya, ia menatap Indira dalam.

"Apa?" Indira berusaha ketus namun tidak berhasil akibat tatapan Juan yang membuatnya kepanasan.

Perlahan, tangan Juan menyusup ke dalam jubahnya. Menyentuh payudaranya yang seketika menegang mendapat sentuhan itu. Juan menangkupnya, meremasnya lembut.

Indira mengigit bibir bawahnya, merasakan kelembapan di bawah sana.

"Aku sudah men-transfer uang ke rekeningmu," kata Juan parau. Setiap bulan rekening Indira selalu bertambah tanpa ia meminta. Indira tidak kuasa menolak, mengingat ibunya membutuhkan uang itu. Biaya tlansplantasi ginjal sangat mahal, Indira tidak tahu bagaimana lagi mendapatkannya selain dari Juan.

"Terimakasih," nada suara Indira tak kalah serak.

"Kamu cantik sekali," bibir Juan mengecupnya sekilas, hanya sapuan lembut di bibirnya. "Kamu adalah semua yang diinginkan pria di tempat tidurnya, Dira."

Indira menelan ludah. "Karena itukah kamu memberiku banyak uang?"

Tangan Juan meremas payudara Indira yang lain. "Seorang pria memang harus mengeluarkan banyak uang untuk membuat wanitanya bertahan. Aku tidak keberatan."

Indira tahu Juan punya banyak uang tapi haruskah pria itu mengatakannya seterus-terang itu.

"Kalau tubuhku bisa dibeli," bisik Indira. "Akan ada yang membayarku lebih darimu, Juan. Saat itu mungkin aku akan meninggalkanmu."

Juan tersenyum sembari menatap Indira. "Aku takkan membiarkannya. Sebelum aku benar-benar puas denganmu, siapapun tidak bisa mengambilmu dariku."

Indira masih perawan ketika bersama Juan. Saat mengetahuinya Juan tidak menyembunyikan rasa senangnya. Juan membuat malam pertama mereka berkesan untuk Indira. Pria itu mencumbunya dengan sangat lembut.

"Jadi," tenggorokan Indira terasa pedas. "Apa yang akan terjadi bila kamu sudah bosan denganku?"

Mata Juan tersenyum penuh arti. "Aku tidak tahu, karena aku belum berpikir untuk puas denganmu." Juan membuka ikatan tali jubah Indira.

Indira tidak menolak tangan Juan yang menyusuri setiap lapisan kulitnya, sentuhan itu bahkan membuat kulitnya meremang penuh damba.

Juan menyentuhnya di sana, menggodanya dengan belaian lembut hingga Indira mendesah.

"Kamu basah," tatapan Juan sarat akan gairah. Juan menindih Indira, menunduk demi mencium bibir lembut kekasihnya itu.

Hati Indira menolak. Juan rasanya tidak punya hati dengan berkata seperti tadi. Kata-kata itu melukai Indira. Namun tubuhnya memuja Juan. Indira tidak punya kekuatan menolak pria itu.

Juan menciumnya lembut pada awalnya, semakin lama semakin intens. Menjelajah seluruh bagian bibir dan mulut Indira begitu wanita itu membuka mulutnya. Jubah Indira tidak lagi menutupi tubuhnya, Juan menyentuh setiap bagian kulit telanjang itu dengan bibirnya.

Indira melingkarkan lengannya ke leher Juan, membiarkan pria itu membuka lututnya semakin lebar. Indira menengadah ke kepala ranjang ketika Juan memasukinya, bibirnya terbuka terengah.

Juan menjilat ceruk leher Indira, turun semakin ke bawah, melumat puncak payudaranya hingga membuat Indira menggelinjang. Juan menghunjam dengan gerakan memabukkan, mengerang nikmat tatkala Indira meremasnya di dalam kelembutannya.

Mereka meraih puncak bersamaan. Juan menelan teriakan Indira di mulutnya, menghunjam kasar beberapa kali lagi hingga membuat Indira memekik, sebelum kemudian menciumi seluruh wajah wanita itu.




Tbc....

Jangan lupa bintang dan komennya ya😘😘😘


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro