Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 6

"Mulai nanti malam Gisel akan tinggal bersama kita." Terdengar Juan berkata. "Semuanya sudah disiapkan. Gisel akan pindah ke sekolah yang baru."

Saat ini mereka tengah sarapan. Indira meletakkan sendoknya di piring. "Viona bagaimana?" Mantan istri Juan tersebut adalah wanita ular. Indira tidak tahu kenapa ayah Juan menjodohkan putranya sendiri dengan wanita seperti itu.

"Semua yang diinginkannya sudah diadapatkan! Tidak ada lagi urusannya dengan dia, Viona tahu untuk tidak mengangguku lagi."

Indira mengangguk. "Jam berapa kamu menjemput Gisel?"

"Mungkin jam enam." Juan menatap Indira. ''Mulai sekarang tidak perlu menyangkal hubungan kita. Bila ada orang yang bertanya, katakan saja yang sebenarnya."

"Maksudmu kita yang tidur bersama?" Indira pura-pura polos hingga mendapat pelototan dari Juan. ''Jadi hubungan kita yang mana?" tanya Indira lagi. Tatapan Juan bahkan lebih tajam lagi. "Baiklah. Baiklah," akhirnya Indira tersenyum, senang melihat ekspresi Juan yang lain, bukan hanya wajah kakunya itu saja. "Aku kekasihmu. Kamu kekasihku. Kita pacaran."

Juan mendengus, kemudian kembali memakan sarapannya. Indira tertawa kecil memperhatikannya. Juan belum mandi, masih telanjang dada dan hanya memakai bokser hitam, rambut pria itu bahkan berantakan, namun Juan tetap tampan.

"Kamu senang sekarang?" Juan menaikkan pandangan ke Indira yang masih tersenyum kecil.

"Memangnya kapan aku nggak senang?"

"Semalam. Kamu merajuk sampai berbohong. Akibat kebohonganmu kamu sendiri yang sengsara."

Indira cemberut. "Aku sudah bilang aku kesal."

"Padahal semua karena ulahmu."

Indira berang melihat Juan yang bertingkah sesuka hatinya, begitu tak berperasaan dan dingin. "Aku takut kamu marah kalau aku mengakui hubungan kita," tukas Indira.

"Aku marah? Kenapa aku harus marah? Aku menyukaimu, kamu tinggal serumah denganku, Dira. Suatu saat pasti akan ada juga yang tahu tentang kita karena..." Juan membiarkan kalimatnya menggantung. Indira menunggu, tapi sepertinya Juan belum ingin melanjutkannya.

"Karena apa, Juan?" Indira tidak sabar.

"Karena aku tidak berniat melepasmu."

Indira memerah, dadanya dipenuhi kupu-kupu karena bahagia. Rasanya ia ingin menari mendengar kata-kata Juan. Juan tidak ingin melepasnya. Juan menyukainya. Mungkin juga Juan menyayanginya. Indira tahu itu, Juan pasti peduli padanya. Walau terkadang cuek dan dingin, Juan selalu baik padanya. Juan sering menanyakan apa yang diinginkan Indira, pria itu perhatian padanya.

Pernah satu kali, tiga bulan setelah mereka bertemu, Indira sakit. Indira mengalami demam di tengah malam, saat itu ia sudah berpikir akan berakhir di rumah sakit. Tapi Juan merawatnya, sangat sabar mengompres keningnya hingga perlahan demamnya turun. Juan selalu terbangun untuk memberikannya minum, pagi harinya Indira merasa lebih baik. Sejak saat itu Indira jadi lebih mengenal Juan, sedikit.

Indira tersenyum lebar, menatap kekasihnya itu dengan pandangan mabuk kepayang. Kupu-kupu di dadanya bertambah banyak, namun tiba-tiba menguap ketika Juan menghancurkannya sekita dengan berkata.

''Setidaknya untuk sekarang."

Bahu Indira merosot, dia jadi tidak selera makan. Didorongnya kursinya ke belakang, berdiri kemudian membawa piringnya ke bak cuci piring. Di sana Indira merengut dan memaki Juan dalam hati.

Rupanya Juan sengaja mengatakannya untuk membuat Indira kesal. Setelah wanita itu pergi Juan tersenyum tipis, ia membalikkan kepala, melihat punggung tegang Indira yang sedang mencuci piring. Juan menggelengkan kepala. Juan berdiri, menghampiri Indira dengan langkah pelan.

Juan memeluk pinggang Indira dengan kedua tangan. "Aku suka baumu," ia mengendus leher Indira. "Pinggangmu juga enak dipeluk."

"Jangan sentuh aku." Indira menggeliat ingin melepas pelukan Juan. "Aku sudah berpakain kerja, Juan. Nggak ada waktu untuk merapikannya lagi."

"Jangan merajuk."

"Aku nggak merajuk." Indira masih berusaha melepaskan tangan Juan.

"Kenapa kamu selalu berbohong, Dira?" Juan menciumi leher atas dan leher bawah Indira.

"Iya, aku merajuk. Kamu puas?" Indira akhirnya berhenti melawan, karena rasanya seperti menggulingkan batu yang beratnya berton-ton. "Sekarang lepaskan aku karena aku harus berangkat bekerja."

"Masih jam tujuh."

"Aku ingin senam." Juan membalikkan badan Indira agar menghadapnya, pria itu memberikan pandangan bertanya. Indira menjelaskan. ''Selama bekerja di sana aku belum pernah ikut senam yang dilakukan setiap hari jumat pagi. Lia, temanku, menyarankan aku agar ikut. Setelah kupikir-pikir sepertinya itu ide yang bagus. Soalnya aku jarang olahraga.''

"Aku selalu mengajakmu ke gym bersamaku, kenapa kamu tidak mau kalau memang kamu ingin olahraga? Dan kenapa kamu tiba-tiba ingin ikut senam?" Mata Juan menyipit, tangannya menarik pinggang Indira. ''Kamu bukan ingin menurunkan berat badanmu, kan?"

Indira memutar matanya. "Senam sekali seminggu nggak akan membuatku kurus, Juan. Apalagi setiap malam kamu membelikanku makanan berlemak." Indira mengalungkan lengannya ke leher Juan. Saat ini mereka sudah seperti pasangan pada umumnya; yang memiliki pembicaraan santai. "Tapi...sebenarnya aku ingin mengurangi ukuran bokongku," Indira nyengir.

Juan menurunkan telapak tangannya ke bokong Indira. "Tidak ada yang salah pada bokongmu."

"Menurutmu begitu?" Indira berjinjit dan mengecup dagu Juan. "Payudaraku terlalu besar." Bisiknya serak.

"Tidak untukku, Dira." Juan mengerang ketika Indira mengecup leher bawahnya. "Hentikan itu kalau kamu tidak ingin terlambat ke kantor."

Indira menarik diri, mengembalikan tumitnya ke lantai. "Siap, kapten," ujarnya seraya tertawa.

Juan menatapnya lama, pria itu mengulurkan tangan menyelipkan rambut Indira ke balik telinga. Indira menikmati sentuhan itu, senyuman mengejeknya tadi menguap digantikan tatapan diam.

"Aku serius," kata Juan setelah beberapa saat. "Jangan mengurangi ukuran tubuhmu, Indira Putri. Aku menyukai segalanya seperti sekarang. Setiap gram-nya yang kamu hilangkan, aku akan membuatmu mengembalikannya. Kamu mengerti?"

Indira mengangguk pelan, tidak punya kekuatan untuk membantah Juan.

*****


"Ya Tuhan, Dira." Lia menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Coba lihat dirimu! Ya ampun, nggak salah pak Juan jadiin kamu kekasihnya. Badan kamu berlekuk parah."

"Jangan berlebihan," Ujar Indira, memasukkan setelan kerjanya ke dalam tas. "Bilang saja aku gendut."

"Kamu nggak gendut, sayang." Lia melirik payudara Indira. "Dada kamu asli, ya, Ra?"

''Asli dua kelinci," Indira tertawa dan menggeleng. "Ya asli lah, Lia. Aku mana punya uang buat operasi-operasi atau suntik botoks."

Indira mengenakan pakaian olahraga yang super ketat, memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang sangat disukai Juan itu. Kalau dalam setelan kerjanya, tubuh Indira tidak terlihat karena tidak seketat pakaian yang dipakainya sekarang. Sebenarnya indira sedikit tidak nyaman, pakaian olahraganya tersebut tidak menyembunyikan apapun.

"Ck, ck," Lia berdecak. "Kamu kenapa sembunyiin bagian tubuh kamu yang bohai itu? Aku yakin semua mata laki-laki pasti langsung memperhatikanmu begitu kamu keluar dari ruang ganti ini."

"Kamu jadi membuatku nggak nyaman, Lia. Atau aku menggantinya saja?''

"Jangan. Jangan." Lia menggoyang-goyangkan tangan ke kanan dan ke kiri. "Kamu cantik pakai baju itu. Jangan diganti, Ra."

Indira menghela napas, ia menarik rambutnya untuk diikat ekor kuda. Lia bersandar di dinding ruang ganti tersebut.

"Ra?"

"Hhhmm?"

''Pak Juan sering ndusel-ndusel di dada kamu, nggak?"

Indira terperangah. "Kalau ada yang dengar gimana, Lia?" desisnya tajam.

Lia tersenyum lebar, ia meletakkan telinganya di dinding pura-pura mendengar ke sebelah. "Nggak ada orang kok," katanya. "Jadi, iya atau enggak?"

"Aku nggak mau membahasnya, Lia. Kamu udah gila, ya."

"Aku cuma ingin tahu saja, Dira. Kamu nggak mau bahas, berarti jawabannya iya."

"Terserah kamu."

Mata Lia berbinar. "Pak Juan jago nggak di tempat tidur. Kalian sering lakuin gaya apa?"

Kesal karena Lia tidak mau berhenti bertanya, Indira mengikat rambutnya cepat lalu melipat kedua tangannya di dada. Ia menatap Lia lantas berkata. "Juan nggak pernah bercinta dengan setengah-setengah. Dia selalu seperti gorila jantan yang kepingin kawin," hati Indira puas melihat wajah Lia berubah semerah tomat. "Dan soal gaya bercintanya," Indira tersenyum sembari menjilat bibir bawahnya. "Christian Grey nggak ada apa-apanya.''

"Ya Tuhan, Ra. Kamu hampir membuatku pingsan." Ujar Lia serius.

****


Perkiraan Lia tidak salah. Saat Indira berjalan menuju halaman belakang yang biasa digunakan sebagai tempat senam, semua mata menoleh padanya.

"Benar, kan?" Lia berjalan di samping Indira.

''Sebaiknya kamu diam, Lia. Daritadi kamu bicara terus."

"Ya Tuhan, bahkan sebagian besar dari mereka sudah menikah dan punya anak."

"Pria-pria hidung belang memang seperti itu." Indira tidak mencari tahu semua mata-mata yang melihat padanya, karena jika ia menolehkan kepala ia pasti mendengus.

Lia dan Indira akhirnya tiba di halaman belakang. Beberapa pria mengajaknya bicara, menanyakan sesuatu yang tidak penting. Dan yang menjadi arah tatapan mereka selalu ke dada dan bokongnya. Ada Irfan, manajer periklanan, yang tiba-tiba mengajaknya makan malam. Ada Ikhsan, sepertinya seorang manajer juga---Indira tidak terlalu ingat---meminta nomor ponselnya, dan ada beberapa pria yang berusaha mencuri perhatiannya.

Indira cepat-cepat menyingkir dari sana, menarik Lia untuk berbaris di halaman.

"Kamu jadi populer," Lia berbisik di telinga Indira.

"Aku nggak mau populer." jawab Indira jujur.

"Kenapa? Karena sudah ada pak Juan?"

"Lia!!" Indira melotot.

"Baiklah. Baiklah. Aku nggak akan menyebut namanya lagi."

Satu jam kemudian Indira sudah berkeringat, bahkan karena itu penampilannya menjadi semakin menarik perhatian kaum Adam. Kaos Indira lembab, wajah dan rambutnya basah.

Indira dan Lia menyingkir dari halaman begitu senam selesai, lirikan-lirikan tertarik terus mengikuti mereka.

''Oh, Tuhan." Indira mengerang. "Aku nggak akan memakai baju ini lagi. Mereka menelanjangiku dengan tatapan mesum itu."

Lia terkekeh. "Namanya juga laki-laki." Katanya, seolah dengan berkata begitu semuanya selesai.

"Sebaiknya kita ganti baju sekarang," Indira membuka botol air mineral kemudian meminumnya hingga tinggal setengah. "Lebih lama lagi aku memakai baju ini aku akan gila."

Baru saja mereka akan pergi ketika namanya dipanggil.

"Dira.''

Indira menoleh ke suara itu. Bima tengah berlari ke arahnya.

"Ternyata benar memang kamu, kupikir aku salah orang." Bima bersiul menatap Indira. "Siapa sangka badanmu sebagus ini."

Indira memerah mendengar pujian blak-blakkan itu. "Kami baru selesai senam," ia memberitahu. "Kamu bekerja di sini?"

Bima mengenakan kemeja dan celana bahan. Ia mengangguk. "Baru satu minggu. Aku menggantikan dokter jaga di pabrik."

"Kamu dokter?" Indira tidak bisa menyembunyikan nada terkejutnya.

"Kenapa? Aku nggak kelihatan seperti dokter, ya?"

Indira menghargai tatapan Bima yang selalu menatap wajahnya, dan bukannya ke dada atau bokongnya.

"Nggak," Indira menggeleng. "Kamu cocok, kok. Pasien kamu pasti betah berlama-lama dirawat sama kamu. Dokternya ganteng begini."

Bima tersenyum. "Kamu bisa saja. Aku senang ternyata kita bekerja di tempat yang sama, yah walaupun gedung kita lumayan jauh." Bima memegang punggung Indira, menariknya sedikit saat ada orang yang ingin lewat.

Punggung Indira menjadi tegang dengan sentuhan itu, Bima cepat-cepat menurunkan tangannya dan tersenyum salah tingkah. Untuk meredakan kecanggungan, Indira tertawa.

"Kami ganti baju dulu, ya," Indira berlagak mencium badannya sendiri. "Bau, harus segera dibersihkan."

Bima mengangguk. "Nanti siang mau makan siang sama?"

"Eh?" Indira termangu.

***

"Bima menyukaimu," kata Lia saat mereka sampai di kamar mandi.

"Jangan ngaco," Indira mengeluarkan setelan kerjanya dari dalam tas. "Kami masih baru kenal."

"Jangan sepelekan suka pada pandangan pertama. Dia bahkan nggak mau nunggu lama untuk mengajakmu makan, Dira. Aku bisa melihat kalau dia memang tertarik sama kamu. Dari cara Bima melirik---"

''---pria lain juga melirik aku tadi, Lia."

"Mereka beda."

"Apanya yang beda," setelah setelannya sudah tergantung, Indira mengambil sabun cair.

"Bima nggak melirik dadamu, dia natap mata kamu. Dan dia salah tingkah tadi. Kamu nggak suka sama dia?"

"Semua orang pasti menyukai Bima. Dia baik, ramah dan tampan. Dokter lagi."

"Tapi?" Lia bertanya.

"Tapi...ya nggak ada tapi-tapi, Lia. Kamu ini bagaimana, sih. Kamu lupa kalau masih ada Juan?"

"Yah, siapa tahu kamu mau ngelepasin Juan demi Bima. Kan aku bisa punya kesempatan," Lia terkekeh. "Kamu enak banget sih, disukai cowo-cowo keren macam Bima dan pak Juan?"

"Ingat suami, Lia!" Indira berdecak.

"Aku ingat suamiku, kok, Dira. Dengan menunduk dan melihat sepatu olahragaku saja aku sudah teringat dia, soalnya dia yang belikan." Lia tertawa sendiri dengan guyonannya.

Indira menggeleng. "Cepat mandi sana, sebelum Bu Lusi datang ke sini dan menggedor pintu. Kita sudah terlambat karena kamu ngoceh terus." Indira membuka bajunya lalu menggantungnya.

"Dira?"

"Apalagi, Lia?" Indira hampir frustasi melihat temannya itu.

"Satu pertanyaan lagi."

"Apa?"

"Kalau kamu harus memilih antara Bima dan pak Juan, kamu pilih siapa?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu?" Indira tertawa.

"Sudah jawab saja."

"Kalau aku disuruh milih, ya?" Indira pura-pura berpikir. "Aku milih...suami kamu."

"Enak saja," Lia terlonjak. "Suami aku nggak masuk hitungan, Dira."

"Kalau aku maunya suami kamu, gimana?" Indira menaik-turunkan alisnya.

"Kamu sudah gila, ya? Pak Juan ganteng dan kayanya ke mana-mana kamu malah lebih memilih suamiku. Ck, ck."











Tbc...

Jangan ada yang bosan lihat akoihh datang terus ya😂😂😂

Semoga suka dengan part yang satu ini😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro